Pembatalan Putusan Arbitrase Asing oleh Pengadilan Negeri di Indonesia

LEGAL OPINION
TELAAH KASUS PUTUSAN ARBITRASE ASING YANG DIBATALKAN PENGADILAN NEGERI
Question: Kami pernah bersengketa dengan pihak asing dengan menunjuk salah satu arbitrase asing sebagai pemutus sengketa. Kami merasakan adanya suatu keganjilan terhadap putusan arbitrase tersebut, dapatkah kami mintakan pembatalan putusan arbitrase tersebut ke hadapan pengadilan di Indonesia?
Answer:  Belum terdapat konsistensi ataupun kesatuan praktik putusan atas isu tersebut. Terdapat putusan Pengadilan Negeri di Indonesia yang menyatakan berwenang membatalkan, sementara terdapat putusan terbaru yang menyatakan bahwa pengadilan di Indonesia tak memiliki yurisdiksi untuk membatalkan putusan arbitrase asing.
EXPLANATION:
Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi terhadap sengketa arbitrase dengan perkara Nomor 631 K/Pdt.Sus/2012, tanggal 27 Desember 2012, adalah salah satu contoh putusan mengenai pembatalan putusan arbitrase yang ditolak oleh Mahkamah Agung dengan alasan bahwa pengadilan di Indonesia tidak berwenang memeriksa maupun membatalkan putusan arbitrase di negara asing.
Dalam perkara tersebut, HARVEY NICHOLS AND COMPANY LIMITED, suatu perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Inggris dan berkedudukan di Inggris, adalah pihak yang dimenangkan oleh Arbitrase.
Semnetara PT. HAMPARAN NUSANTARA dan PT. MITRA ADIPERKASA, Tbk merupakan badan hukum Indonesia yang merasa keberatan atas putusan arbitrase tersebut, kemudian mengajukan gugatan pembatalan atas putusan arbitrase tersebut ke hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kasus bermula ketika HARVEY NICHOLS AND COMPANY LIMITED mendaftarkan putusan arbitrase pada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sehingga diterbikan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional oleh PN Jakarta Pusat tanggal 22 Maret 2011. Hal ini sesuai ketentuan dalam Undang-undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) yang mensyaratkan putusan arbitrase harus didaftarkan agar dapat memiliki daya eksekutorial.
Pasal 67 Ayat (1) UU Arbitrase:
Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.”
Putusan arbitrase menyatakan bahwa perjanjian lisensi ekslusif tahun 2007 antara para pihak yang bersengketa adalah sebuah perjanjian yang sah dan mengikat, dan menyatakan salah satu pihak telah melanggar perjanjian, serta dihukumnya ganti-rugi sebesar £971,524.26, bersama dengan bunganya sebesar 4% setiap tahunnya di atas Libor, berlipat setiap bulannya, dari 1 Juli 2010 hingga pembayaran.
PT. HAMPARAN NUSANTARA dan PT. MITRA ADIPERKASA, Tbk. selaku penggugat pembatalan putusan arbitrase internasional tersebut beralasan, bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor 394/PDT.G/2010/ PN.JKT.SEL tertanggal 15 Desember 2010 menyatakan HARVEY NICHOLS AND COMPANY LIMITED melakukan perbuatan melawan hukum, dan perjanjian lisensi ekslusif (waralaba) tertanggal 23 Januari 2007 melanggar dan bertentangan dengan hukum yang berlaku dan karenanya batal demi hukum, bahkan PN Jakarta Selatan menghukum HARVEY NICHOLS AND COMPANY LIMITED untuk membayar ganti kerugian kepada PT. HAMPARAN NUSANTARA dan PT. MITRA ADIPERKASA, Tbk. yang seluruhnya berjumlah Rp 191.290.659.369,-.
Antara putusan arbitrase internasional dan putusan PN Jakarta Selatan, saling bertentangan, dan jika keduanya memang saling memiliki daya eksekusi, maka yang terjadi ialah kedua putusan tersebut menjadi sama sekali tidak berdaya untuk dieksekusi karena saling bertentangan satu sama lain (overlaping).
Sementara itu pihak PT. HAMPARAN NUSANTARA dan PT. MITRA ADIPERKASA berdalih, bahwa Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 UU Arbitrase hanya mengatur pembatalan putusan Arbitrase Nasional, bukan pembatalan putusan Arbitrase Internasional.
Adapun bunyi selengkapnya dari ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase:
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”
Sementara itu Penjelasan Umum UU Arbitrase menyebutkan:
“Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”
Dalam berbagai putusan pengadilan negeri terkait gugatan pembatalan putusan arbitrase internasional, gugatan pembatalan tersebut dikabulkan dengan alasan adanyanya frasa “antara lain” (sehingga memiliki tafsiran luas layaknya pasal karet) dalam Ketentuan Umum UU Arbitrase, tanpa melihat fakta bahwa yang diajukan gugatan pembatalan adalah putusan arbitrase asing.
Pasal 71 UU Arbitrase:
“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri."
Pasal 72 UU Arbitrase:
(1). Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(2). Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
(3). Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima.
(4). Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
(5). Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.”
PT. HAMPARAN NUSANTARA dan PT. MITRA ADIPERKASA mengajukan dasar hukum berupa Konvensi New York mengenai Pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase Asing, sebagaimana telah diratifikasi oleh Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 34/1981, tanggal 5 Agustus 1981, yang menyatakan bahwa Pengadilan yang berwenang untuk mengadili permohonan pembatalan putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan di tempat putusan arbitrase tersebut dijatuhkan.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menetapkan putusan sela yang menyatakan bahwa dirinya berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, meski putusan akhirnya adalah menyatakan gugatan pembatalan terkait putusan arbitrase tersebut, sebagai "tidak dapat diterima", sehingga putusan arbitrase telah sah dan mengikat.
Adapun pertimbangan hukum PN Jakarta Pusat, berbunyi:
Menimbang, bahwa setelah Majelis memperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Tergugat dan Penggugat mengenai eksepsi ini Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam seluruh peraturan perundang-undangan maupun sumber-sumber lain yang dijadikan alasan eksepsi Tergugat maupun jawaban Penggugat tersebut ternyata tidak ada satupun ketentuan yang secara nyata atau eksplisit menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara pembatalan putusan Arbitrase Internasional."
PT. HAMPARAN NUSANTARA dan PT. MITRA ADIPERKASA kemudian mengajukan kasasi terhadap putusan PN Jakarta Pusat, meski tidak dinyatakan kalah dalam tingkat PN, semata untuk melawan pernyataan PN bahwa PN Indonesia berwenang memeriksa gugatan pembatalan putusan arbitrase asing. Pada akhirnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum, dengan bunyi:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut dapat dibenarkan, dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
- Bahwa Pengadilan yang berwenang membatalkan putusan Arbitrase IDSR 129100009 a quo adalah di Negara mana putusan arbitrase tersebut dibuat yaitu Pengadilan di London, Inggris;
- Bahwa pembatalan putusan Arbitrase Internasional tidak diatur dalam perjanjian internasional, oleh sebab itu Pengadilan Nasional suatu Negara tidak mungkin dapat membatalkan putusan Arbitrase Internasional;
- Bahwa pembatalan putusan Arbitrase Internasional diatur dalam Konvensi New York 1958 dan sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing Negara peserta konvensi untuk menentukan sendiri kriteria dan dasar yang digunakan sebagai alasan pembatalan putusan arbitrase, sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang, namun pertimbangan hukum Pengadilan Negeri tentang gugatan prematur sudah tepat sebab landasan putusan adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang belum berkekuatan hukum tetap;
"Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: HARVEY NICHOLS AND COMPANY LIMITED tersebut, dan membatalkan putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 126/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst tanggal 13 Oktober 2011 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: HARVEY NICHOLS AND COMPANY LIMITED tersebut;
Membatalkan putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 126/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst tanggal 13 Oktober 2011;
MENGADILI SENDIRI:
Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili gugatan pembatalan putusan Arbitrase Internasional atas putusan IDSR 129100009;”

Putusan tersebut cukup memprihatinkan, oleh sebab jika putusan PN Jakarta Selatan yang membatalkan perjanjian waralaba telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), menjadi pertanyaan adalah: maukah pengadilan negeri di Inggris mengakui putusan Indonesia yang bisa jadi akan membatalkan putusan arbitrase tersebut? Apakah hakim di Inggris mengetahui regulasi di Indonesia terkait perjanjian waralaba?
Sebenarnya terdapat sebuah prinsip koneksitas antara putusan arbitrase tersebut dengan kewenangan pengadilan di Indonesia. Jangan sampai pengadilan di Indonesia menjadi alat bagi pihak asing dalam mengeruk sumber daya Indonesia dengan kedok putusan arbitrase non-lokal. Cara demikian dapat menjadi modus baru di bidang perdata internasional dalam mengeruk sumber daya suatu bangsa yang terjebak oleh undang-undangnya sendiri.

Sebagai informasi tambahan, ketentuan mengenai arbitrase menyebutkan:
Pasal 68 UU Arbitrase:
(1). Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
(2). Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional, dapat diajukan kasasi.
(3). Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
(4). Terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf e, tidak dapat diajukan upaya perlawanan.
Pasal 69 UU Arbitrase:
(1). Setelah Ketua Pengadilan Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya.
(2). Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi.
(3). Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.

KESIMPULAN DAN PENUTUP:  
Putusan Mahkamah Agung Indonesia tersebut merupakan tonggak mundurnya logika hukum. Lembaga arbitrase, memiliki sifat yang lentur, dalam arti dapat digunakan arbitrase lokal Indonesia (BANI) maupun arbitrase lain yang berdomisili di luar negeri, seperti Singapura, dan negara asing lain.
Adalah tidak relevan mneyangkut-pautkan dengan kompetensi relatif yurisdiksi pengadilan negeri manakah yang berwenang membatalkan putusan arbitrase tersebut, karena pemilihan arbitrase yang berdiri di suatu negara tidaklah terikat oleh aturan baku mengenai kompetensi relatif.
Namun penulis memiliki sebuah logika hukum, bahwasannya Pengadilan Indonesia berwenang memutus sengketa pembatalan putusan arbitrase, sekalipun itu merupakan putusan dari lembaga arbitrase asing, sepanjang objek eksekusi terletak di dalam yurisdiksi negara Republik Indonesia.
Karena arbitrase tidak mengenal sekat negara, maka kompetensi dari pengadilan yang berwenang memutus mengenai sengketa pembatalan putusan arbitrase pun semestinya tidak mengenal konsep sekat negara.
Mahkamah Agung RI kurang memiliki pertimbangan hukum, bahwa putusan arbitrase tersebut tidak hanya membawa dampak terhadap para pihak yang terkait sengketa arbitrase, namun para buruh dan pegawai yang menggantungkan hidup keluarganya dari perusahaan di Indonesia yang terancam gulung tikar akibat putusan arbitrase yang bisa jadi memihak pihak yang berasal dari bangsanya sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.