Kepastian Hukum bagi Pemenang / Pembeli Lelang Eksekusi Hak Tanggungan atas Sebidang Tanah dan/atau Bangunan

LEGAL OPINION
HUKUM PERTANAHAN YANG KONTRAPRODUKTIF TERHADAP KEPASTIAN HUKUM BAGI PEMENANG / PEMBELI LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN 
Question: Saudara kami telah menang lelang melalui KPKNL (kantor lelang negara dibawah lingkungan Kementerian Keuangan) atas rumah dan tanah yang diagunkan, tetapi sekarang rumah tersebut disengketakan (direkayasa) melalui pengadilan dengan salah satu tuntutannya adalah sita jaminan serta dimintakan blokir kepada BPN. Apakah setelah lewat 30 hari bisa dibalik nama ke pemenang lelang, dan apa resikonya jika kemudian pengadilan mengabulkan sita jaminan?
Answer:  Berbagai putusan pengadilan melarang sita jaminan diatas benda tak bergerak yang telah diikat sempurna sebagai jaminan kebendaan, oleh karena pada dasarnya terhadap hak atas tanah tersebut telah tersangkut-paut hak kreditor sebagai pihak ketiga yang beritikad baik. Gugatan, hanya memiliki kekuatan pembekuan status hak atas tanah selama 30 (tiga puluh hari), dan otomatis “bersih” setelah melewati 30 hari alias blokir dicabut demi hukum pada hari ke-31. Yang dapat bersifat blokir permanen hanyalah sita jaminan maupun putusan provisionil (putusan sela). Pengadilan hanya berwenang mengabulkan sita persamaan terhadap objek tanah tersebut, karena Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 telah melarang pengadilan untuk mengajukan sita jaminan, baik revindicator beslaag maupun conservatoir beslaag, terhadap tanah yang telah diikat sempurna sebagai jaminan kebendaan.
EXPLANATION:
Kepastian dan perlindungan hukum telah diberikan oleh Mahkamah Agung  Republik Indonesia lewat dikukuhkannya sebuah yurisprudensi terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 1068 K/Pdt/2008 Tanggal 21 Januari 2009 dalam Rakernas MA Tahun 2011, dengan kaidah hukum:
-      Bahwa pembatalan suatu lelang yang telah dilakukan berdasarkan adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar lelang eksekusi pun memiliki irah-irah yang sama seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap), tidak dapat dibatalkan;
-      Bahwa pembeli lelang terhadap obyek sengketa berdasarkan Berita Acara Lelang dan Risalah Lelang yang didasarkan atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah pembeli lelang yang beritikad baik dan oleh karena itu harus dilindungi;
-      Bahwa apabila dikemudian hari ada putusan yang bertentangan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan menyatakan putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut tidak mengikat, maka putusan itu tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk membatalkan lelang (terlebih meminta untuk diletakkan sita ataupun blokir), yang dapat dilakukan adalah menuntut ganti rugi atas obyek sengketa dari Pemohon lelang.
Prinsip yang sama juga berlaku terhadap pihak ketiga yang mengklaim kepemilikan terhadap agunan, hanya dapat menggugat ganti rugi berupa suatu nominal tertentu kepada debitor/pemberi agunan, bukan menuntut pembatalan akad kredit ataupun agunan yang diikat sebagai jaminan kebendaan terlebih blokir ataupun sita jaminan terhadap objek tanah. Karena pada karakteristiknya, kreditor dan pemenang lelang adalah pihak ketiga yang tidak tahu-menahu atas sengketa pribadi antara debitor/pemberi agunan terhadap pihak lainnya yang merasa ditipu, dirugikan, atau klaim lainnya yang bisa jadi hanya merupakan klaim sepihak tanpa dasar, alias rekayasa yang diskenariokan debitor nakal.
SHIETRA & PARTNERS telah berkoordinasi dengan berbagai pejabat di Kementerian Agraria menyangkut permasalahan mengenai sita jaminan yang diajukan oleh suatu pihak terhadap tanah/rumah yang telah diikat sempurna dengan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT).
Yang perlu digaris-bawahi ialah, status kreditor pemegang hak tanggungan adalah preferen, sementara pihak lain yang menggugat debitor/pemberi agunan, hanya dalam posisi “kreditor konkuren”, sehingga hak kreditor konkuren tidak dapat menderogasi hak dari kreditor preferen yang bersifat didahulukan—itulah sebabnya hanya sita persamaan yang dibolehkan diletakkan diatas tanah yang telah dijadikan agunan, bukan sita jaminan.
Adapun bunyi selengkapnya, ialah:
a.     Pasal 1131 KUHPerdata: “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu.”
b.    Pasal 1132 KUHPerdata: “Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”
Itulah sebabnya, sekalipun terdapat gugatan demikian, lelang tetap dapat dilanjutkan dan risalah lelang adalah sah, sebab hak kreditor preferen adalah didahulukan oleh sebab SHT memiliki irah-irah yang bersifat eksekutorial.
SEMA No.7 Tahun 2012 telah mengatur secara tegas: ”Pemegang Hak Tanggungan yang beritikad baik harus dilindungi sekalipun kemudian diketahui bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang tidak berhak.” SEMA ini diperkuat oleh SEMA Nomor 5 Tahun 2014 dan berlaku di seluruh pengadilan umum di Indonesia. Disini kita dapat menarik sebuah kesimpulan, bahwa kreditor pemegang hak tanggungan adalah pihak ketiga yang beritikad baik, dan jika kreditor tersebut dinyatakan beritikad baik sehingga berhak melakukan lelang eksekusi, maka pembeli selaku pemenang lelang terhadap objek lelang agunan tersebut juga merupakan pihak ketiga yang wajib dilindungi oleh hukum sehingga sita jaminan tidak dapat diletakkan terhadap objek lelang yang telah laku terjual.
SEMA No.7 Tahun 2012 tersebut juga menyebutkan:
Bagi Pemegang Hak Tanggungan tidak perlu mengajukan derden verzet / perlawanan karena obyek Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan Sita Eksekusi kecuali Sita Persamaan, karena itu tidak mungkin dilakukan lelang eksekusi.”
Jika sita eksekusi saja tidak dapat diletakkan terhadap objek tanah yang telah menjadi agunan, terlebih telah dibalik-namakan kepada pembeli lelang, maka terlebih untuk meletakkan sita jaminan ataupun blokir buku tanah pada BPN. Tujuan sita jaminan adalah untuk membaut objek sita menjadi status quo, dan semua itu akan berujung pada sita eksekusi. Jika sita esekusi saja dilarang, maka untuk apa lagi sita jaminan ataupun blokir?
Sekarang Penulis akan membahas mengenai hukum pertanahan nasional di Indonesia. Pasal 126 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Permenag No.3 Tahun 1997), telah mengatur secara tegas dan limitatif efek suatu gugatan terhadap tanah, yakni:
(1) Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan jadikan obyek gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan.
(2) Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan status quo atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan, maka perintah tersebut dicatat dalam buku tanah.
(4) Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Disinilah terjadi berbagai salah kaprah bahkan oleh berbagai Kantor Pertanahan maupun Kementerian Agraria itu sendiri, yang notabene selaku penerbit Sertifikat Hak tanggungan. Salah kaprah tersebut, antara lain:
            I.          Menafsirkan “catatan” sebagai “blokir”. Blokir bersifat permanen hingga ia diangkat ataupun bila blokir tersebut dinyatakan tidak sah oleh putusan pengadilan. Sementara “catatan status quo” memiliki suatu sifat sementara dengan limitasi waktu yang telah ditentukan peraturan. Tidak semua “catatan” merupakan “blokir”. Adanya perikatan Hak Tanggungan, permohonan SKPT lelang oleh kantor lelang negara, ataupun risalah lelang pun merupakan “catatan”, lantas mengapa terhadap “catatan adanya hak tanggungan/SKPT lelang/risalah lelang” tersebut masih juga ‘diterabas’ dan diingkari oleh kantor pertanahan yang secara gegabah menimpanya dengan “blokir” atau “catatan” lainnya?
         II.          Sertifikat Hak Tanggungan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan qq. BPN/Kementerian Agraria, namun Kementerian Agria cq. Kantor Pertanahan itu sendiri yang kemudian mengingkari keabsahan Sertifikat Hak Tanggungan dengan dibebankannya sebuah “catatan” terlebih “blokir berupa sita jaminan” diatas objek yang telah diikat sempurna sebagai jaminan kebendaan dalam SHT.
Untuk itu Penulis mencoba meluruskan salah kaprah tersebut, dengan memberikan sebuah pendefinisian secara leterlijk atas ketentuan Pasal 126 Permenag No.3 Tahun 1997 tersebut diatas, yakni:
1.     Jika terdapat surat permohonan status quo oleh suatu pihak sipil, kantor pertanahan dapat mencatat status quo dalam buku tanah, dimana status quo tersebut gugur secara otomatis dalam tempo 30 hari (adalah alasan mengada-ngada bila pejabat kantor pertanahan tetap menyatakan status quo seolah-olah blokir permanen);
2.     Jika surat permohonan status quo tersebut tidak dilanjutkan dengan adanya gugatan yang terdaftar di pengadilan, maka catatan status quo tersebut pada point pertama berakhir dengan sendirinya pada hari ke-31;
3.     Sementara jika surat permohonan status quo dilanjutkan dengan adanya surat gugatan yang disampaikan kepada kantor pertanahan secara resmi via relaas pengadilan, maka status quo ditambah 30 hari, sehingga maksimum total keadaan status quo ialah selama 60 hari, dan dihari ke-61 status quo wajib dihapus dan dibersihkan dari buku tanah.
Pasal 167 Permenag No.3 Tahun 1997:
(1) Dalam pendaftaran hak untuk pertama kali pencatatan mengenai kekurang-lengkapan atau masih disengketakannya data fisik dan atau data yuridis sesuai ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dilakukan dalam halaman 3 buku tanah dengan kalimat sebagai berikut:
a. jika data fisik dan atau data yuridis belum lengkap:
“Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan data fisik/yuridis berupa ………………..………………………. belum lengkap”,
b. jika data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan, tetapi tidak diajukan gugatan ke pengadilan:
“Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan ada keberatan dari ………………. mengenai ……………………………….. dan kepadanya sudah diberitahukan agar mengajukan gugatan ke pengadilan dalam waktu ……. hari dengan surat nomor …….. tanggal ………. “
c. jika data fisik dan atau data yuridis disengketakan di pengadilan tetapi tidak ada status quo dan tidak ada perintah sita:
“Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan ada gugatan di Pengadilan …………………… mengenai data fisik dan atau data yuridisnya dengan register perkara nomor ……… tanggal …………”
d. jika data fisik dan atau data yuridis disengketakan di pengadilan dan ada perintah status quo atau putusan penyitaan :
“Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan bahwa ada gugatan di Pengadilan …………… mengenai data dan atau data yuridisnya dengan register perkara nomor …………. tanggal …………….. dan telah diletakkan sita jaminan berdasarkan putusan pengadilan …………….. Nomor ……….. Tanggal …………….. jo Berita Acara Sita Jaminan Nomor ………………. Tanggal ……………….. / diperintahkan status quo oleh Pengadilan dengan surat Hakim ……………. Nomor ……… tanggal…………..”,
dan nama pemegang haknya tidak dicantumkan dalam buku tanah.
(2) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani pejabat yang menandatangani buku tanah yang bersangkutan.
Pasal 168 Permenag No.3 Tahun 1997:
(1) Penghapusan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 sesuai ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2), (3), (4), dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dilakukan dengan mencoret catatan di atas dan menuliskan dibawahnya dasar penghapusan tersebut dengan kalimat: “Catatan di atas dihapus karena ………………………. “.
(2) Catatan mengenai penghapusan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi bertanggal dan ditandatangani oleh pejabat yang pada waktu penghapusan dilakukan berwenang menandatangani buku tanah.
Terdapat sebuah fakta dari regulasi berikut, bahwa tak selamanya “catatan” adalah “blokir”, oleh sebab tak semua gugatan di pengadilan diartikan sebagai “status quo” (memang sangat diherankan bila Kementerian Agraria beserta Kantor Pertanahan dibawahnya tidak memahami peraturan yang dibuatnya sendiri, atau mungkin berpura-pura tidak memahami), yakni:
Pasal 30 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP No.24/1997):
(1) Atas dasar alat bukti dan berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) hak atas bidang tanah:
a. yang data fisik dan data yuridisnya sudah lengkap dan tidak ada yang disengketakan, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah menurut ketentuan Pasal 29 ayat (1);
b. yang data fisik atau data yuridisnya belum lengkap dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai hal-hal yang belum lengkap;
c. yang data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan tetapi tidak diajukan gugatan ke Pengadilan dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut dan kepada pihak yang berkeberatan diberitahukan oleh Ketua Panitia Ajudikasi untuk pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan untuk pendaftaran tanah secara sporadik untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai data yang disengketakan dalam waktu 60 (enam puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan 90 (sembilan puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik dihitung sejak disampaikannya pemberitahuan tersebut;
d. yang data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan dan diajukan gugatan ke Pengadilan tetapi tidak ada perintah dari Pengadilan untuk status quo dan tidak ada putusan penyitaan dari Pengadilan, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut serta hal-hal yang disengketakan;
e. yang data fisik atau data yuridisnya disengketakan dan diajukan ke Pengadilan serta ada perintah untuk status quo atau putusan penyitaan dari Pengadilan, dibukukan dalam buku tanah dengan mengosongkan nama pemegang haknya dan hal-hal lain yang disengketakan serta mencatat di dalamnya adanya sita atau perintah status quo tersebut. ß Inilah yang baru dapat disebut sebagai blokir.
(2) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihapus apabila:
a. telah diserahkan tambahan alat pembuktian yang diperlukan; atau
b. telah lewat waktu 5 (lima) tahun tanpa ada yang mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai data yang dibukukan.
(3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dihapus apabila: ß Berdasarkan Pasal 126 Permenang No.3 Tahun 1997, adanya gugatan hanya membuat status tanah menjadi status quo selama 30 hari, sehingga meski “catatan” adanya sengketa di pengadilan belum dihapus dari buku tanah, pihak yang berkepentingan tetap dapat mengajukan hak, oleh karena tiada perintah sita jaminan ataupun putusan provisi dari pengadilan, dan karena “catatan” dengan “blokir” adalah dua hal yang berbeda.
a. telah diperoleh penyelesaian secara damai antara pihak-pihak yang bersengketa; atau
b. diperoleh putusan Pengadilan mengenai sengketa yang bersangkutan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (ketentuan adanya putusan pengadilan ini ganjil, karena Ayat (1) huruf (C) adalah bila ada sengketa namun TIDAK diajukan gugatan, sehingga bagaimana mungkin terdapat putusan) atau
c. setelah dalam waktu 60 (enam puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan 90 (sembilan puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik sejak disampaikan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak diajukan gugatan mengenai sengketa. tersebut ke Pengadilan.
(4) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dihapus apabila: ß Ketentuan ini menjadi bukti bahwa “catatan” adalah hal yang berbeda dengan “blokir”, oleh sebab sebelum adanya putusan pengadilan sekalipun, pihak kreditor dapat mengajukan lelang eksekusi dan pemenang lelang tetap dapat mengajukan balik-nama sertifikat hak atas tanah yang dibelinya via lelang meski terdapat gugatan dari debitor/pihak ketiga dan belum diputus, karena hakim tidak/belum menjatuhkan putusan provisionil.
a. telah dicapai penyelesaian secara damai antara pihak-pihak yang bersengketa; atau
b. diperoleh putusan Pengadilan mengenai sengketa yang bersangkutan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. ß Namun sengketa ini tidak perlu menunggu putusan terbit yang dapat memakan waktu bertahun-tahun, oleh karena “catatan” bukanlah “blokir”.
(5) Penyelesaian pengisian buku tanah dan penghapusan catatan adanya sita atau perintah status quo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan apabila: ß Inilah yang betul-betul merupakan “Blokir” dalam arti yang sebetulnya, bersifat permanen, dan menutup peluang bagi pihak lain untuk merubah data fisik maupun yuridis hak atas tanah.
a. setelah diperoleh penyelesaian secara damai antara pihak-pihak yang bersengketa; atau
b. diperoleh putusan Pengadilan mengenai sengketa yang bersangkutan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pencabutan sita atau status quo dari Pengadilan.
Penjelasan Resmi Pasal 30 PP No.24/1997:
Ayat (1)
Huruf a: Salah satu tujuan pendaftaran tanah adalah untuk mengumpulkan dan menyajikan informasi mengenai bidang-bidang tanah. Oleh karena itu data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang sudah dinilai cukup untuk dibukukan tetap dibukukan walaupun ada data yang masih harus dilengkapi atau ada keberatan dari pihak lain mengenai data itu. Dengan demikian setiap data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah itu, termasuk adanya sengketa mengenai data itu, semuanya tercatat.
Huruf b: Ketidaklengkapan data yang dimaksud pada huruf b dapat mengenai data fisik, misalnya karena surat ukurnya masih didasarkan atas batas sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3), dan dapat pula mengenai data yuridis, misalnya belum lengkapnya tanda tangan ahli waris.
Huruf c, d dan e: Sengketa yang dimaksud pada huruf c, d, dan e juga dapat mengenai data fisik maupun data yuridis. Dalam hal sengketa tersebut sudah diajukan ke Pengadilan dan ada perintah untuk status quo atau ada putusan mengenai sita atas tanah itu, maka pencantuman nama pemegang hak dalam buku tanah ditangguhkan sampai jelas siapa yang berhak atas tanah tersebut, baik melalui putusan Pengadilan maupun berdasarkan cara damai. Perintah status quo yang dimaksud di sini haruslah resmi dan tertulis dan sesudah sidang pemeriksaan mengenai gugatan yang bersangkutan berjalan diperkuat dengan putusan peletakan sita atas tanah yang bersangkutan. ß Secara analogi, dapat kita katakan bahwasannya bila sengketa, sekalipun dihadapkan ke pengadilan lewat adanya gugatan, namun tidak terdapat putusan provisi (putusan sela) maupun penetapan sita jaminan oleh hakim), maka pada dasarnya “catatan” tersebut bukanlah “blokir”, sehingga tetap dapat diajukan perubahan data yuridis oleh kreditor atau pembeli lelang setelah melewati jangka waktu 30 hari.
Ayat (2): Waktu 5 (lima) tahun dipandang cukup untuk menganggap bahwa data fisik maupun data yuridis yang kurang lengkap pembuktiannya itu sudah benar adanya. ß Ini yang disebut sebagai sertifikat sebagai sistem pembuktian kuat dan mutlak sehingga tidak dapat dipersengketakan di pengadilan.
Ayat (3):  Penyelesaian secara damai dapat terjadi di luar maupun di dalam pengadilan. Apabila dalam waktu yang ditentukan pihak yang berkeberatan atas data fisik maupun data yuridis yang akan dibukukan tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai hal yang disengketakan itu, keberatannya dianggap tidak beralasan dan catatan mengenai adanya keberatan itu dihapus. Apabila dalam waktu yang ditentukan keberatan tersebut diajukan ke Pengadilan, catatan itu dihapus setelah ada penyelesaian secara damai atau putusan Pengadilan mengenai sengketa tersebut.
Ayat (4): Cukup jelas
Ayat (5): Cukup jelas

Itulah bukti konkret bahwa “catatan” dan “blokir” adalah dua hal yang berbeda. “Blokir” sudah pasti “catatan”, dan sifatnya status quo permanen. Sementara “catatan” belum tentu “blokir”, karena tidak menghalangi masyarakat (kreditor maupun pemenang lelang) untuk mengajukan perubahan data yuridis terhadap hak atas tanah yang terdapat “catatan” tersebut.

KESIMPULAN DAN PENUTUP:  
Jika Sita jaminan terlanjur diletakkan oleh pengadilan terhadap tanah/rumah yang sedang/pernah diikat sebagai agunan, maka jalan bagi kreditor pemegang hak tanggungan maupun pemenang lelang ialah melakukan gugat perlawanan (verzet) terhadap penetapan maupun berita acara sita jaminan yang dikeluarkan oleh pengadilan.
Cara lainnya, lakukan keberatan tertulis kepada pihak Kantor Pertanahan, bahwa berita acara sita jaminan tersebut hanya dapat diterima sebagai sita persamaan, jika atas tanah tersebut masih berstatus sebagai agunan. Atau, jika tanah tersebut telah balik-nama kepada nama pemenang lelang, maka pemenang lelang dapat membuat surat keberatan kepada ketua pengadilan penerbit penetapan sita jaminan ataupun kepada Kementerian Agraria.
Perhatikan bunyi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 berikut:
Terhadap pelelangan hak tanggungan oleh kreditur sendiri melalui kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkan obyek lelang, eksekusi pengosongan dapat langsung diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan.”
Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung yang diperkuat dalam SEMA No. 5 Tahun 2014 merupakan bentuk pengakuan Ketua Mahkamah Agung RI terhadap kedudukan pemenang lelang.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.