ARTIKEL HUKUM
Dua komisioner Komisi Yudisial diadukan tuduhan“pencemaran nama baik”oleh seorang hakim yang memutus perkara pra-peradilan Budi Gunawan. Maksud dari kedua komisioner tersebut cukup baik, namun hal tersebut dapat menjadi pelajaran bagi para akademisi untuk menggunakan pendekatan baru dalam penghadapi mereka yang memegang kekuasaan politik.
Ketimbang membuat pernyataan / statement yang dapat menjadi bumerang dikemudian hari, akan lebih elegan dan cemerlang bila digunakan kalimat “tanya” alih-alih kalimat afirmasi ataupun negasi.
Contoh, alih-alih menyatakan pada pers: “Hakim satu itu yang memutus pra-peradilan adalah hakim bermasalah!” Akan lebih jitu dan lebih efektif jika menggunakan kalimat tanya: “Apakah putusan hakim tersebut telah dapat dipertanggungjawabkan secara moral pribadinya ataupun bagi moral sosial masyarakat? Adakah putusan yang membebaskan Budi Gunawan bukan suatu kemerosotan hukum yang dapat menjadi ancaman baru dengan tidak diakuinya proses persidangan guna membuktikan terbukti atau tidaknya Budi Gunawan bersalah?”
Masyarakat alias audiens pendengar bukan orang bodoh, kini zaman sudah cukup maju dan masyarakat dapat menilai sendiri, cukup kita berikan input-input demikian, maka biarlah masyarakat kita sendiri yang akan menilai dan menjawab serta berimprovisasi. Jangan perlakukan masyarakat kita seperti layaknya anak kecil yang tidak dapat berpikir dan disuasi dengan konklusi-konklusi kita sepihak. Cukup berikan input-input cerdas, dan mereka akan mampu mencernanya sendiri.
Teknik / stategi menggunakan kalimat tanya kadang lebih jitu dan lebih mengena. Teknik ini pula yang acapkali efektif dalam “perang” di persidangan. Cara lain ialah dengan menggeneralisasi suatu tokoh hakim pemutus menjadi “tanggung-jawab” instansi.
Misal, alih-alih menunjuk hakim tersebut secara personal, tunjuklah instansinya, tudinglah instansinya, cercalah instansinya, lalu berkilahlah bahwa instansi pemerintah yang anti kritik adalah tirani. “Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah membuat sejarah tonggak kemunduran peradaban hukum dengan membiarkan tersangka pelaku kejahatan bebas berkeliaran dengan tidak mengzinkan Komisi Pemberantasan Korupsi maju hingga tahap dakwaan agar segala tuduhan dapat terbukti atau tidaknya.”
PN Jakarta Selatan tidak akan marah pada si pengkritik, justru ketua PN akan jengah namanya jadi rusak akibat perilaku hakim di dalam lembaganya sendiri.
Dalil kedua komisioner KY dengan mengambil sample contoh hujatan terhadap presiden adalah tidak membawa dampak hukum, adalah dalih yang ceroboh, oleh karena pasal pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait penghinaan terhadap kepala negara, telah dikualifikasikan sebagai "delik aduan" oleh Mahkamah Konstitusi, bukan lagi sebagai "delik umum".
Ketika berhadapan dengan kekuatan politik, jangan pernah mengajak perang mereka secara frontal. Inilah aturan pertama seni “permainan” catur hukum yang tampaknya tidak dikuasai oleh Komisioner KY tersebut. Ketika berhadapan dengan kekuatan politik, gunakan tekanan psikologi. Inilah aturan main kedua para cendekiawan.
Buatlah keadaan tampak dramatis dengan suatu gerakan dramatisasi seolah hukum adalah barang dagangan tanpa menunjuk pada pribadi hakim yang memutus. Ketimbang Budi Gunawan dinyatakan bersalah oleh pengadilan, adalah lebih menimbulkan kebencian oleh masyarakat luas yang bersifat meluas ketika Budi Gunawan tidak berani untuk menghadapi persidangan untuk membuktikan dirinya bersih, alih-alih mengajukan gugat pra-peradilan untuk mengelak dari persidangan.
Lihatlah, Budi Gunawan menjadi musuh masyarakat justru karena aksinya sendiri yang kontraproduktif terhadap pencitraan dirinya sendiri. Penulis tak dapat dikatakan mencemarkan nama Budi Gunawan oleh artikel ini, karena hingga kini tiada satupun putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan Budi Gunawan bersih dari tindak pidana korupsi, tiada satupun putusan hakim yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak berbukti secara sah dan meyakinkan. Yang ada ialah diloloskan meski belum memasuki proses pembuktian oleh Majelis Hakim, bukan hakim tunggal layaknya pra-peradilan. Aksi pra-peradilannya sendiri yang telah mencemarkan nama baiknya.
Okelah, saya nyatakan dengan ini Budi Gunawan adalah polisi yang bersih, jujur tulen. Namun apakah para pembaca juga berpendapat sama? Anda berhak menyatakan pendapat yang berbeda dengan pernyataan terakhir saya tersebut.
Penulis tidak menutup fakta dari kenyataan bahwa banyak penyelidik maupun penyidik yang bagaikan polisi bayaran untuk mengkriminalisasi masyarakat kecil. Banyak kasus, seperti pencemaran nama baik, dsb, yang mana merupakan pesan sponsor mereka yang dapat membeli kehormatan dan kekuasaan polisi tersebut untuk ‘mengerjai’ seseorang agar merasakan teror penyidik kepolisian yang terkenal memiliki kekuasaan menahan dan menangkap, memenjara, menembak, dsb, dimana kekuasaan itu dapat disalahgunakan sebagai alat “jualan” bagi mereka yang mampu membayar.
Namun momennya keliru, karena pra-peradilan diajukan oleh seorang polisi versus penyidik KPK, bukan pra-peradilan masyarakat kecil versus penyidik polisi. Mengapa momennya justru harus ketika melawan KPK?
Ini menjadi pertanyaan besar yang hanya bisa dijawab oleh satu hipotesis atau inferensi: manusia Indonesia dijajah oleh bangsanya sendiri.
Citra kepolisian dirusak oleh korps-nya sendiri, bukan oleh pihak luar. Citra kotor pengadilan dibentuk oleh pelaku pejabat pengadilan itu sendiri, bukan kotor dan rusak oleh masyarakat luar yang melihat pengadilan dari luar. Memang, para pengkritik hanyalah penonton, bukan pemain, namun untuk apa juga menjadi pemain kotor didalamnya? Di mata Anda sekalian, apakah polisi adalah teror bagi masyarakat, ataukah penyagom dan pelindung masyarakat? Apakah mereka hanya menjadi alat bagi mereka yang mampu membeli polisi, bagaikan “tentara bayaran” yang dilegalkan? Apakah akan terlihat bodoh jika ada yang hendak membantah?... Lihat, kalimat tanya!!!
Artikel sederhana ini penulis hadirkan sebagai bentuk keprihatinan terhadap praktik hukum di Indonesia yang tidak memiliki kepastian hukum akibat dirusak oleh oknum pengemban hukum itu sendiri.
Akhir kata dari penulis: jika seorang hakim mau berlindung di balik kedok “hakim memiliki kebebasan dan independensi serta imunitas dalam memutus”, lantas mengapa hakim dilarang untuk dikritik dan dicela? Jika gentle, lepas imunitas sang hakim, biarlah mari kita beradu jotos jika perlu. Jika sang hakim mengklaim memiliki imunitas, mengapa kemudian dirinya yang mengajukan tuntutan pencemaran nama baik sementara dirinya ketika memutus mengatasnamakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selaku instansi tempatnya bernaung. Semestinya hanya kepala institusi yang berhak menuntut pencemaran nama baik terhadap instansinya, bukan pribadi sang hakim. Disayangkan kedua Komisioner KY tidak menyadari keliru pikir sang hakim tersebut guna mematahkan tuntutan yang diajukannya.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.