Harta Bawaan, Tidak Tunduk pada Hukum Harta Gono-Gini, sehingga merupakan Hak Sepihak, Bukan Hak Harta Bersama Suami-Istri

LEGAL OPINION
HARTA BAWAAN VS. HARTA BERSAMA
Question: Bila saya memperoleh sertifikat tanah atas nama saya dari kantor pertanahan pada tahun 2010, sementara saya telah terikat oleh hubungan pernikahan pada tahun 2008, alias dua tahun sebelum sertifikat tersebut terbit, apakah otomatis berarti sertifikat tanah tahun 2010 tersebut menjadi harta bersama jika tak dibuat perjanjian perkawinan antara kami? Sekedar informasi, tanah tersebut bukan kami beli, namun benar-benar kami ajukan pensertifikatan pertama kami ke kantor pertanahan, karena keluarga besar saya telah tinggal di tempat tersebut selama puluhan tahun.
Answer:  Khusus untuk konteks kasus Anda, tanah tersebut tidak menjelma harta bersama, meski disertifikatkan dua tahun setelah perkawinan terjadi.
EXPLANATION:
Pasal 61 Ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, mengatur:
“Dalam hal kepemilikan atas sebidang tanah tidak dapat dibuktikan dengan alat pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, maka penguasaan secara fisik atas bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh yang bersangkutan dan para pendahulu-pendahulunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dapat digunakan sebagai dasar untuk pembukuan tanah tersebut sebagai milik yang bersangkutan.”
Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan):
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36 UU Perkawinan:
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

KESIMPULAN DAN PENUTUP:  
Setiap pengajuan permohonan hak atas tanah, akan dipersyaratkan adanya “alas hak” oleh kantor pertanahan setempat. Terdapat dua jenis “alas hak”, yakni:
1.     alas hak permohonan baru pendaftaran tanah pertama kali atas tanah negara, berupa konversi dari tanah adat, pengakuan, dan penegasan hak dari tanah adat; dan
2.     alas hak permohonan hak atas tanah berupa peralihan hak yang sebelumnya telah bersertifikat.

Untuk peralihan hak, “alas hak” biasanya berupa akta jual beli, hibah, tukar-guling, atau akta perikatan sejenisnya dari penguasa/pemilik tanah sebelumnya kepada pembeli baru. Sementara itu bagi permohonan hak atas tanah yang berupa pengajuan hak milik dari tanah negara/adat, biasanya “alas hak” berupa “lampaunya waktu yang melahirkan hak” seperti menguasai tanah secara fisik selama kurun waktu tertentu.

Kedaluwarsa sebagai suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu, termasuk memperoleh “alas hak” (dasar klaim kepunyaan), diatur secara umum dalam Pasal 1963 KUHPerdata, dengan bunyi:
“Seseorang yang dengan itikad baik memperoleh suatu barang tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, dengan suatu besit selama dua puluh tahun, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan kedaluwarsa. Seseorang yang dengan itikad baik menguasai sesuatu selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik tanpa dapat dipaksa untuk menunjukkan alas-haknya.”

Dengan demikian, menjadi bukti persangkaan dalam hukum acara perdata, bahwa meskipun atas tanah tersebut dilakukan sertifikat hak milik atas tanah (SHM maupun SHGB), pada tahun 2010, dan meski pernikahan terjadi pada tahun 2008, maka SHM/SHGB yang diperoleh pada tahun 2010 tersebut bukan harta bersama, namun harta bawaan, mengingat penguasaan fisik sebagai alas hak telah muncul pertama kali sejak 20 atau 30 tahun sebelum terbitnya sertifikat hak atas tanah.
Dengan kata lain, hukum harta bawaan dalam perkawinan, bersifat retroaktif sejak pertama kali harta bawaan tersebut bermula.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.