Campur-Aduk Istilah Hukum Pertanahan ‘Catatan’ dan ‘Blokir’ terhadap Hak atas Tanah oleh Kantor Pertanahan

LEGAL OPINION
‘CATATAN’ DAN ‘BLOKIR’ TERHADAP HAK ATAS TANAH, SERTA KONSEPSI ‘SEGEL’ TERHADAP BUKU TANAH
Question: Apakah “catatan” dalam istilah di kantor pertanahan harus selalu identik dengan “blokir”? Apakah jika terdapat gugatan dari suatu pihak, maka otomatis buku tanah akan dinyatakan “terblokir” oleh kantor pertanahan?
Answer:  Semua “blokir” adalah “catatan”, namun tak semua “catatan” adalah “blokir”. “Blokir” pada dasarnya hanya boleh dilakukan oleh Kantor Pertanahan jika terdapat putusan sela (putusan provisionil) dari pengadilan maupun sita jaminan berdasarkan penetapan dan berita acara resmi pengadilan. Putusan sela / provisi biasanya berbunyi: “Memerintahkan kepada Tergugat untuk tidak mengalihkan hak atas tanah atas sebidang tanah dan/atau bangunan dengan SHM No. … yang terletak di jalan…”. Selama tiada putusan sela ataupun sita jaminan tersebut, maka Kantor Pertanahan/BPN hanya berwenang “mencatat”, bukan “memblokir”. “Mencatat adanya gugatan” hanya membawa konsekuensi yuridis berupa keadaan status quo terhadap hak atas tanah tersebut selama 30 (tiga puluh) hari, dan pada hari ke-31 Kantor Pertanahan setempat wajib mencoret catatan tersebut. Berbeda dengan “blokir” yang bersifat permanen hingga terbit putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap bahwa penggugat adalah pihak yang tidak benar, atau ketika hakim menyatakan bahwa sita jaminan tidak sah dan diperintahkan untuk diangkat.
EXPLANATION:
SHIETRA & PARTNERS secara pribadi merumuskan dan memperkenalkan sebuah istilah baru dalam hukum pertanahan nasional, yakni istilah “segel” terhadap buku tanah dan sertifikat. Berbeda dengan “catatan” serta “blokir”, segel bersifat “terikat” secara permanen sampai ia dicabut kembali oleh pihak yang mengikatnya.
“Segel” adalah “catatan”, namun ia bukanlah “blokir”, karena sifatnya tetap dapat dilakukan perubahan data yuridis pemegang hak jika terdapat izin dari pengikat “segel”. Contoh, bila atas suatu hak atas tanah diikat sempurna dengan suatu jaminan kebendaan yang bernama “Hak Tanggungan”, maka status tanah adalah “tersegel” hingga ia dicabut dengan surat “roya” (pencoretan hak tanggungan”. Kunci segel hanya dimiliki dan dipegang oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan.
Pada prinsipnya, hukum melarang sifat suatu “catatan” yang overlaping. Contoh, jika suatu pemegang hak atas tanah ialah seseorang, maka suatu pihak tidak dapat melakukan intervensi dengan meminta kantor pertanahan meminta agar namanya “dicatat” sebagai pemilik tanah tersebut.
Oleh sebab itu pula, bila telah terdapat “catatan” mengenai pemegang sah terhadap hak atas tanah tersebut, maka sekalipun terdapat gugatan dari pihak ketiga yang mengaku-ngaku sebagai pemilik sah atas tanah tersebut, kantor pertanahan wajib menghormati dan tunduk terhadap “catatan” mengenai nama pemegang hak atas tanah tersebut, kecuali pengadilan telah memutuskan dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) untuk mencoret nama tersebut dan menggantinya dengan nama pihak penggugat yang dinyatakan menang. Itulah sebabnya mengapa dalam sengketa pertanahan, kantor pertanahan kerapkali dijadikan pihak Turut Tergugat dalam gugatan perdata agar dapat diperintahkan oleh pengadilan untuk tunduk pada isi putusan.
Begitupula bila telah terdapat “catatan perikatan jaminan Hak Tanggungan” terhadap hak atas tanah, maka Kantor Pertanahan wajib menghormati dan tunduk terdapat “catatan” tersebut, dan tidak dapat dibenarkan untuk secara overlaping menimpa buku tanah dengan “catatan” yang mengamputasi “catatan” sebelumnya, semisal dengan “catatan blokir” berupa sita jaminan.
Itulah sebabnya Mahkamah Agung lewat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 menyebutkan:
Bagi Pemegang Hak Tanggungan tidak perlu mengajukan derden verzet / perlawanan karena obyek Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan Sita Eksekusi kecuali Sita Persamaan, karena itu tidak mungkin dilakukan lelang eksekusi.”

Pasal 126 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Permenag No.3 Tahun 1997), telah mengatur secara tegas dan limitatif efek suatu gugatan terhadap tanah, yakni:
(1) Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan jadikan obyek gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan.
(2) Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan status quo atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan, maka perintah tersebut dicatat dalam buku tanah.
(4) Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 167 Permenag No.3 Tahun 1997:
(1) Dalam pendaftaran hak untuk pertama kali pencatatan mengenai kekurang-lengkapan atau masih disengketakannya data fisik dan atau data yuridis sesuai ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dilakukan dalam halaman 3 buku tanah dengan kalimat sebagai berikut:
a. jika data fisik dan atau data yuridis belum lengkap:
“Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan data fisik/yuridis berupa ………………..………………………. belum lengkap”,
b. jika data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan, tetapi tidak diajukan gugatan ke pengadilan:
“Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan ada keberatan dari ………………. mengenai ……………………………….. dan kepadanya sudah diberitahukan agar mengajukan gugatan ke pengadilan dalam waktu ……. hari dengan surat nomor …….. tanggal ………. “
c. jika data fisik dan atau data yuridis disengketakan di pengadilan tetapi tidak ada status quo dan tidak ada perintah sita:
“Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan ada gugatan di Pengadilan …………………… mengenai data fisik dan atau data yuridisnya dengan register perkara nomor ……… tanggal …………” ß Ini menjadi bukti konkret bahwa “catatan” dengan “blokir” adalah dua hal yang berbeda. “Catatan adanya gugatan” tidak sama dengan “catatan adanya blokir”. Bahkan, adanya Hak Tanggungan pun merupakan “catatan” itu sendiri. “Catatan adanya gugatan” tidak secara serta-merta membuat hak atas tanah menjadi “terblokir”, karena itulah dibedakan antara Pasal 167 Ayat (1) butir (c) dengan ketentuan dalam Ayat (1) butir (d) dibawah ini.
d. jika data fisik dan atau data yuridis disengketakan di pengadilan dan ada perintah status quo atau putusan penyitaan :
“Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan bahwa ada gugatan di Pengadilan …………… mengenai data dan atau data yuridisnya dengan register perkara nomor …………. tanggal …………….. dan telah diletakkan sita jaminan berdasarkan putusan pengadilan …………….. Nomor ……….. Tanggal …………….. jo Berita Acara Sita Jaminan Nomor ………………. Tanggal ……………….. / diperintahkan status quo oleh Pengadilan dengan surat Hakim ……………. Nomor ……… tanggal…………..”, ß Bandingkan dengan ketentuan sebelumnya pada butir (c) diatas.
dan nama pemegang haknya tidak dicantumkan dalam buku tanah.
(2) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani pejabat yang menandatangani buku tanah yang bersangkutan.
Pasal 168 Permenag No.3 Tahun 1997:
(1) Penghapusan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 sesuai ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2), (3), (4), dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dilakukan dengan mencoret catatan di atas dan menuliskan dibawahnya dasar penghapusan tersebut dengan kalimat: “Catatan di atas dihapus karena ………………………. “.
(2) Catatan mengenai penghapusan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi bertanggal dan ditandatangani oleh pejabat yang pada waktu penghapusan dilakukan berwenang menandatangani buku tanah.

KESIMPULAN DAN PENUTUP:  
Penulis tidak memungkiri, bahwa praktik di berbagai kantor pertanahan telah menyimpang dari koridor hukum agraria nasional. Bahkan penulis dalam berbagai kesempatan bertatap muka dengan para pejabat berwenang di Kantor Pertanahan maupun pada berbagai kesempatan berdiskusi dengan penyusun kebijakan di Kementerian Agraria / Badan Pertanahan Nasional pusat, mendapatkan fakta mengejutkan bahwa pihak Kementerian Agraria selaku regulator ternyata tidak paham terhadap regulasi pertanahan yang mereka terbitkan sendiri. Terdengar berlebihan, namun itulah realitanya.
Terhadap sikap tidak komprehensifnya Kementerian Agraria selaku pembina para Kantor Pertanahan di Indonesia, mengakibatkan praktik antar Kantor Pertanahan satu dengan Kantor Pertanahan lainnya menjadi tidak seragam, dan disitulah terjadi banyak penyimpangan serta penyalahgunaan oleh para oknumnya. Pada gilirannya, tiada kepastian hukum bagi masyarakat yang wajib dilayani oleh Kantor Pertanahan selaku instansi pemerintah yang memonopoli aspek kebutuhan primer warga masyarakat akan "papan" (disamping "sandang" dan "papan").
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.