Semua Akta Wasiat Sejatinya Melanggar Hak Mutlak Ahli Waris (Legitieme Portie), Namun Tetap Sah dan Berlaku Sepanjang Tidak Ada yang Mengajukan Gugatan Pembatalan


LEGAL OPINION
AKTA WASIAT / HIBAH WASIAT YANG MELANGGAR HAK MUTLAK AHLI WARIS (LEGITIEME PORTIE), TETAP SAH SEPANJANG TIDAK TERDAPAT PEMBATALAN DARI AHLI WARIS SAH YANG HAKNYA ATAS WARISAN BERDASARKAN HUKUM BERKURANG AKIBAT AKTA WASIAT TERSEBUT
Question: Sebetulnya apakah sebuah akta wasiat yang melanggar hak saya selaku ahli waris bersifat batal secara sendirinya atau harus dituntut dimuka pengadilan untuk pembatalannya? Apakah boleh sebuah akta wasiat dari almarhum Pewaris memberikan apa yang menjadi hak saya secara hukum selaku ahli waris kepada ahli waris lain ataupun kepada pihak diluar ahli waris? Sebetulnya apa fungsi dari akta wasiat, sebab setahu saya setiap ahli waris telah ditentukan oleh undang-undang hukum waris besaran bagian masing-masing.
Answer:  Fungsi akta wasiat, sebagai corntoh, sebetulnya hanya untuk menentukan A yang berhak mendapat objek waris rumah di daerah B, dan ahli waris C yang berhak atas objek waris rumah di daerah D, agar semata tidak terjadi perebutan antar ahli waris. Yang paling riskan dan dipastikan akan dapat dibatalkan ialah akta hibah wasiat, oleh karena betul bahwa tanpa dibuat akta wasiat sekalipun maka besaran hak mutlak setiap ahli waris telah ditetapkan oleh hukum, yang sifatnya tidak dapat disimpangi atau dikurangi oleh Pewaris (almarhum pemberi warisan) sekalipun—dalam istilah hukum dikenal dengan sebutan “legitime portie. Karena hibah wasiat pada dasar sifatnya ialah menyimpangi bagian mutlak para ahli waris dengan mengurangi hak mutlak ahli waris dan memberikan bagian tersebut kepada pihak diluar ahli waris. Secara hukum tertulis, akta wasiat ataupun hibah wasiat yang melanggar “legitime portie” demikian dianggap “batal demi hukum” dengan sendirinya dan dianggap tidak mempunyai kekuatan mengikat sejak awal. Namun dalam tataran praktiknya, Mahkamah Agung membuat kaidah baru bahwa suatu akta wasiat/hibah wasiat, adalah sah sekalipun berisi pelanggaran terhadap legitime portie ahli waris, sepanjang belum dibatalkan oleh ahli waris yang dirugikan tersebut; sehingga sifatnya bukan lagi “batal demi hukum” (null and void), namun menjadi “dapat dibatalkan” (voidable). Akta tersebut tetap sah sepanjang tidak diganggu-gugat ahli waris.
EXPLANATION:
Menurut (alm.) Prof. Subekti, S.H., seorang pakar hukum perdata nasional, Legitieme portie adalah “bagian warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak para ahliwaris dalam garis lencang dan tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.” (Prof. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Penerbit Intermasa, 2008, Jakarta, hlm. 107)
Sebagai perbandingan, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.433/PDT.G/2011/PN.JKT.PST Tanggal 04 April 2012, memiliki kasus posisi yang dapat memberikan gambaran, dengan kutipan pertimbangan hukum majelis hakim, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Legitime portie hanya berlaku terhadap ahli waris menurut undang-undang dalam garis lurus ke bawah atau keatas. Semua anak yang lahir dalam perkawinan maupun yang lahir diluar perkawinan adalah legimaris Yang berhak legitime porsinya harus dilindungi. Seorang istri bukanlah legitimaris, demikian juga seorang suami dan saudara tidak mempunyai kedudukan sebagai legitimaris.”
“Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 902 KUHPerdata, suami atau istri kedua atau selanjutnya, tidak boleh dengan surat wasiat diberi hibah hak milik atau sejumlah barang yang lebih besar dari bagian terkecil anak sah dari perkawinan pertama dan maksimum 1/4 (seperempat) dari harta peninggalan seluruhnya.”
“Menimbang, bahwa dengan demikian, hibah wasiat atas harta peninggalan dari almarhum Dicky Benyamin Masengi untuk Nyonya Jeanne Masengi (Tergugat I) mempunyai jumlah yang lebih besar dari bagian terkecil yang diterima oleh Para Penggugat dan Tergugat II sebagai anak sah, keadaan mana bertentangan dengan ketentuan Pasal 902 KUHPerdata.”
“Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan di atas bahwa "Akta Hibah Wasiat" Nomor 1 dari almarhum Dicky Benyamin Masengi yang dibuat dihadapan Notaris / PPAT F.J. Mawati tanggal 2 Oktober 1992, bertentangan dengan ketentuan Pasal 902 KUHPerdata;”
“Menimbang, bahwa pelanggaran legitieme portie tidak mengakibatkan hibah wasiat tersebut batal "demi hukum" (nietigheid), melainkan hanya dapat "diminta pembatalannya" (vernietigbaarheid). Dan setiap ketentuan yang diambil oleh si pewaris mengenai legitieme portie tunduk pada ketentuan Pasal 920 KUHPerdata, dan oleh karena itu tetap sah sampai legitimaris menggugatnya.”

Adapun yang menjadi dasar hukum ketentuan waris, ialah Pasal 913 KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata):
Legitime portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah suatu bagian dari harta-benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat.”
... yang diwajibkan tunduk pada peraturan tersebut adalah almarhum Pewaris.
Bahwa Pasal 920 KUHPerdata mengatur:
Pemberian-pemberian atau hibah-hibah, baik antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat, yang merugikan bagian legitime portie, boleh dikurangi pada waktu terbukanya warisan itu, tetapi hanya atas tuntutan para legitimaris dan para ahli waris mereka atau para pengganti mereka. Namun demikian, para legitimaris tidak boleh menikmati apa pun dari pengurangan itu atas kerugian mereka yang berpiutang kepada pewaris.”

Adapun yang menjadi contoh Akta Wasiat dapat dibatalkan karena melanggar ketentuan hukum waris perdata:
-        Pasal 183 KUHPerdata: “Suami-istri tidak diperkenankan dengan cara yang berliku-liku saling memberi hibah lebih daripada yang diperkenankan dalam ketentuan-ketentuan di atas. Semua hibah yang diberikan dengan dalih yang dikarang-karang, atau diberikan kepada orang-orang perantara, adalah batal."
-        Pasal 839 KUHPerdata: “Ahli waris yang tidak mungkin untuk mendapat warisan karena tidak pantas, wajib mengembalikan segala hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak terbukanya warisan itu.”
-        Pasal 891 KUHPerdata: “Penyebutan suatu alasan, baik yang benar maupun yang palsu, namun berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan yang baik, menjadikan pengangkatan ahli waris atau pemberian hibah wasiat itu batal.”
-        Pasal 903 KUHPerdata: “Suami atau istri hanya boleh menghibah wasiatkan barang-barang dari harta bersama, sekedar barang-barang itu termasuk bagian mereka masing-masing dalam harta bersama itu.
Bahwa yurisprudensi Mahkamah Agung RI mengenai hukum waris perdata, menyatakan:
-        Putusan Mahkamah Agung No. 148/PK/Perd/1982 menyatakan ketetapan waris yang melanggar kaidah Legitime Portie adalah batal demi hukum.
-        Putusan Mahkamah Agung RI No.841 K/Pdt/2003 tanggal 24 Februari 2005, yang dalam putusannya menyatakan batal karena hukum dan atau tidak mempunyai kekuatan hukum akta pembagian harta yang melanggar legitieme portie;
-        Putusan Mahkamah Agung No. 517 PK/Pdt /2010 tanggal 26 April 2011, diputuskan bahwa hibah wasiat yang dilakukan dengan melanggar hak mutlak (legitieme portie) ahli waris yang sah, adalah cacat hukum dan batal demi hukum dengan sendirinya;
-        Putusan Mahkamah Agung No. 699 K/Pdt/2005 tertanggal 26 Juni 2008, menyatakan akta wasiat yang melanggar legitieme portie adalah batal demi hukum sehingga tidak memiliki kekuatan hukum.

Meski dinyatakan batal demi hukum” akta wasiat ataupun akta hibah wasiat yang melanggar ketentuan hukum maupun melanggar hak mutlak minimum dari ahli waris, namun dalam tataran praktik akta demikian perlu diajukan gugat pembatalan ke pengadilan untuk dapat dinyatakan batal.
Jika diartikan sebaliknya, akta wasiat dan akta hibah wasiat batal demi hukum dengan sendirinya, berarti seluruh akta wasiat/hibah wasiat yang terdaftar di Kementerian Hukum, patut dinyatakan gugur secara otomatis, karena dipastikan melanggar legitime portie satu atau beberapa ahli waris yang sah. Itulah sebabnya, penerapan hukum perdata waris dalam praktiknya di-haluskanoleh pengadilan, agar tidak terjadi chaos—meski hal tersebut merupakan langkah pragmatis akibat gagalnya notaris pembuat akta waris/hibah wasiat yang lalai atau abai memberi edukasi pada pihak calon pemberi wasiat.

Pasal 921 KUHPerdata:
Untuk menentukan besarnya legitime portie, pertama-tama hendaknya dijumlahkan semua harta yang ada pada waktu si pemberi atau pewaris meninggal dunia; kemudian ditambahkan jumlah barang-barang yang telah dihibahkan semasa ia masih hidup, dinilai menurut keadaan pada waktu penghibahan itu dilakukan dan menurut harga pada waktu meninggalnya si penghibah; akhirnya, setelah utang-utang dikurangkan dari seluruh harta peninggalan itu, dihitunglah dari seluruh harta itu berapa bagian warisan yang dapat mereka tuntut, sebanding dengan derajat para legitimaris, dan dari bagian-bagian itu dipotong apa yang telah mereka terima dari yang meninggal, pun sekiranya mereka dibebaskan dari perhitungan kembali.”
Kemudian, adapun contoh putusan dengan perkara sengketa waris dimana seluruh harta peninggalan pewaris dihibah wasiatkan pada seorang pihak, ditemui dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 188/Pdt.G/2013/PN.Smg tanggal 13 November 2013:
“Menimbang, bahwa Pasal 913 KUHPerdata menentukan bagian mutlak (Legitime Portie) adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris menurut garis lurus menurut Undang-undang, terhadap bagian mana si meninggal tidak boleh menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup maupun selaku wasiat.”
“Menimbang, bahwa Pasal 881 ayat 2 KUHPerdata menentukan dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah dari yang mewariskan tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak.”
“Menimbang, bahwa dari testament yang dibuat didalam Akta No.9 maupun Akta No 1 tanggal 29 Desember 2003 Ko Bing Nio memberikan keseluruhan tanah HGB No 318 kepada salah satu anaknya.”
“Menimbang, bahwa dari uraian tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat Testament yang dibuat berdasakan Akta No.9 dan Akta No.1 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 913 KUHPerdata dan Pasal 881 ayat 2 KUHPerdata, sehingga akta tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak sah.”

KESIMPULAN DAN PENUTUP:  
Pasal 834 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata):
Ahli waris berhak mengajukan gugatan untuk memperoleh warisannya terhadap semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa alas hak, demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya. Dia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan bila dia adalah satu-satunya ahli waris, atau hanya untuk sebagian bila ada ahli waris lain. Gugatan itu bertujuan untuk menuntut supaya diserahkan apa saja yang dengan alas hak apa pun ada dalam warisan itu, beserta segala penghasilan, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturan-peraturan yang termaktub dalam Bab III buku ini mengenai penuntutan kembali hak milik.”
Pasal 835 KUHPerdata:
Tuntutan hukum itu menjadi kedaluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, terhitung dari hari terbukanya warisan itu.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.