Undang-Undang Kepailitan hanya Relevan Diterapkan bagi Subjek Hukum Termohon Pailit, sementara Status Hak dan Kewajiban Pemegang Jaminan Kebendaan maupun Status Objek Jaminan Kebendaan secara Yuridis Tunduk Mutlak terhadap Undang-Undang terkait Jaminan Kebendaan

LEGAL OPINION
YANG PAILIT SEBETULNYA DEBITOR (DALAM) PAILIT ATAUKAH KREDITOR SEPARATIS PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN? 
MENGAPA JUGA KURATOR JUSTRU BERSIKAP SEOLAH YANG PAILIT ADALAH SANG KREDITOR? 
INILAH SALAH KAPRAH TERBESAR DARI PENGADILAN NIAGA YANG KERAP DIJUMPAI DALAM PRAKTIK
Question: Apakah saat kepailitan masih dalam proses jangka waktu penundaan (masa stay), kreditor separatis boleh mengajukan permohonan lelang parate eksekusi ?
Answer: Diperbolehkan, Mahkamah Agung dalam putusannya tahun 2010—2011 menyatakan bahwa masa stay dalam kepailitan tidak mengamputasi hak kreditor separatis untuk mengajukan permohonan penetapan lelang eksekusi.
EXPLANATION:
Dalam perkara tingkat kasasi Nomor 306 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 11 Mei 2010, dimana yang menjadi Tergugat dI Pengadilan Niaga Jakarta, adalah PT. Perkebunan Indonesia (pembeli lelang), kantor lelang negara alias KPKNL Lampung (pelaksana lelang), PT. Bank Mega (Tergugat I), Tbk.; sementara yang menjadi pihak Penggugat adalah Tim Kurator PT. Tripanca Group (dalam pailit), PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., dan Indonesia Eximbank.
Yang menjadi Tergugat I, ialah kreditor separatis di dalam kepailitan PT. Tripanca Group (dalam pailit) yang memegang hak jaminan fidusia atas komoditi kopi milik PT. Tripanca Group (dalam pailit), dan telah diikat sempurna dengan Sertifikat Jaminan Fiducia tahun 2007.
KPKNL selaku penyelenggara lelang, maupun pihak pemenang lelang didudukkan sebagai tergugat. PT. Tripanca Group telah dinyatakan pailit berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada tahun 2009 dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada tahun yang sama.
Bank Mega (Tergugat I), melelang 25.939.913 kilogram kopi yang berada di Gudang milik PT. Tripanca Group (dalam pailit), lewat KPKNL Bandar Lampung. Lelang eksekusi pada tanggal 1 Oktober 2009 tersebut ternyata dinyatakan Tidak Adak Peminat (TAP), karena tiadanya peserta lelang yang yang melakukan penyetoran uang jaminan ke rekening Tergugat II (KPKNL) sehari sebelum hari pelaksanaan lelang eksekusi.
Kemudian pada tanggal 2 November 2009, lelang ulang dilaksanakan, dimana kemudian KPKNL menyatakan dan mensahkan PT. Perkebunan Indonesia (Turut Tergugat) sebagai pemenang lelang dengan nilai penawaran sebesar Rp.277.500.001.000,- (dua ratus tujuh puluh tujuh milyar lima ratus juta seribu rupiah). Meski pelaksanaan lelang dinyatakan sah oleh KPKNL, namun pihak Kurator menyatakan bahwa lelang tidak sah, dengan alasan bahwa terbitnya penetapan adalah setelah putusan pailit dikeluarkan.
Putusan pailit dibacakan pada tanggal 3 Agustus 2009, sementara itu lelang eksekusi jaminan fiducia dilangsungkan pada tanggal 1 Oktober 2009, dan lelang ulang pada tanggal 2 November 2009. Kedua pengumuman lelang, antara lain tertanggal 26 September 2009 (sementara masa insolvensi baru dimulai pada tanggal 22 Oktober 2009) dan tertanggal 26 Oktober 2009, dimana terhadap itu kurator memandang bahwa Bank Mega dan KPKNL telah mengetahui bahwa PT. Tripanca Group (dalam pailit) telah dalam keadaan pailit sebagaimana pengumuman putusan pailit PT. Tripanca Group melalui surat kabar tanggal 5 Agustus 2009, surat pemberitahuan kepada Bank Mega tanggal 7 Agustus 2009 perihal “pemberitahuan kepailitan, undangan rapat, dan pangajuan tagihan”, serta surat pemberitahuan kepada KPKNL pada tanggal 3 Agustus 2009 perihal pemberitahuan kepailitan PT. Tripanca Group.
Kurator menyatakan bahwa Bank Mega tunduk pada UU Kepailitan, lewat adanya tindakan dan perbuatan Bank Mega, dengan dalil:
1.     Bank Mega mengajukan dan mendaftarkan tagihan sebanyak dua kali kepada sang Kurator, yakni tanggal 1 September 2009 dan 7 Oktober 2009;
2.     Bank Mega ikut dalam Rapat Kreditor yang diadakan oleh sang Kurator pada tanggal 18 Agustus 2009;
3.     Bank Mega ikut dalam Rapat Pencocokan Piutang yang juga diadakan sang Kurator pada tanggal 15 September 2009, 8 Oktober 2009, dan 22 Oktober 2009.
Sehingga, sang Kurator mendalilkan, dengan penundukan diri Bank Mega dalam kepailitan PT. Tripanca Group, Bank Mega telah mengetahui bahwa PT. Tripanca berada dalam sita umum (meski secara yuridis, agunan yang menjadi jaminan kebendaan merupakan aset diluar boedel pailit karena menjadi hak pelunasan kreditor separatis, separated creditor).
Kurator mengutip ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) yang menyatakan: Kepailitan adalah SITA UMUM atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.
Disinggung pula ketentuan:
-       Pasal 29 UU Kepailitan: “Suatu tuntutan hukum di Pengadilan yang diajukan terhadap Debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap Debitor.”
-       Pasal 31 UU Kepailitan:
1)     Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan Pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera Debitor.
2)     Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya.
Sang Kurator menyatakan bahwa Bank Mega mengetahui pengumuman peringatan dari sang Kurator pada Harian Lampung Post tanggal 25 September 2009, juga pengumuman dari Bank Mandiri di harian Lampung Post pada tanggal 8 Oktober 2009 dan pada harian Kompas tanggal 9 Oktober 2009.
Sang Kurator memandang, sikap Bank Mega dan KPKNL menunjukkan tidak ada itikad baik untuk menjalankan prosedur kepailitan karena tetap melaksanakan lelang pada tanggal 1 Oktober 2009 dan 2 November 2009—dimana dalam pelaksanaan lelang ulang tersebut terdapat keberatan dari kreditor separatis lainnya, yakni dari Bank Mandiri, bahkan Bank Mandiri sempat melakukan interupsi di dalam ruangan pelaksanaan lelang bahwa objek kopi yang akan dilelang masih dalam sengketa, meski Pejabat Lelang KPKNL sama sekali tidak memberikan tanggapan atas interupsi dimaksud.
 Kurator menyatakan, karena telah terbentuk pemenang lelang, dan mengingat bahwa pemenang lelang adalah pihak ketiga yang beritikad baik sehingga dilindungi oleh hukum, sang Kurator meminta hakim agar uang hasil lelang tidak menjadi milik Bank Mega, melainkan harus diserahkan kepada sang Kurator dan selanjutnya dimasukkan ke dalam Boedel Pailit PT. Tripanca Group (dalam pailit). Sehingga sang Kurator mengakui, bahwa pemenang lelang tetap layak untuk mendapatkan objek lelang berupa kopi.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan, lewat putusan No.01/PAILITLAIN-LAIN/2009/PN.NIAGA.JKT.PST Jo. No.33/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.-PST. tanggal 17 Februari 2010 yang amarnya sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat pada petitum Subsidair;
2. Memerintahkan agar uang hasil lelang sejumlah Rp.277.500.001.000,- (dua ratus tujuh puluh tujuh milyar lima ratus juta seribu rupiah) ditambah seluruh bunga dari hasil lelang tersebut diserahkan kepada Team Kurator PT TRIPANCA GROUP (Dalam Pailit) sebagai bagian dari Boedel;
Pada awal tahun 2010, Para Tergugat mengajukan Kasasi ke hadapan MA terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut diatas.
Pembeli lelang, selaku Pemohon Kasasi I, beragumentasi bahwa penjelasan Pasal 27 Ayat (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fiducia) secara tegas menyatakan bahwa:
"Ketentuan dalam ayat ini berhubungan dengan ketentuan bahwa Jaminan Fidusia merupakan hak agunan atas kebendaan bagi pelunasan utang. Di samping itu, ketentuan bahwa Undang-undang tentang Kepailitan menentukan bahwa Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia berada di luar kepailitan dan atau likuidasi."
Sementara bunyi ketentuan Pasal 27 UU Fiducia:
(1). Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya.
(2). Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
(3). Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia.
Tiba pada amar putusan Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya, dimana terhadap keberatan Pemohon Kasasi atas keberadaan Bank Mandiri yang memasukkan dirinya dalam perkara sebagai Penggugat Intervensi, sementara Pasal 26 Ayat (1) UU Kepailitan menegaskan: “Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap Kurator.”—yang menjadi tanggapan Hakim Agung dalam pertimbangan hukumnya:
Bahwa keberatan inipun tidak dapat dibenarkan oleh karena kewenangan kreditur adalah mewakili debitur Pailit, sehingga kreditur selalu mempunyai hak untuk bertindak di muka Pengadilan.
Majelis Hakim Agung menyatakan dalam pertimbangan hukumnya, bahwa:
Pertimbangan Judex Facti tersebut tidak mempertimbangkan ketentuan lain di dalam undang-undang yaitu:
a.     Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan yang menentukan : “……. setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengekseksui haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan
b.     Penjelasan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 (Undang-Undang Jaminan Fidusia) menyatakan “Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia berada diluar kepailitan dan atau likuidasi”
c.      Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan menyatakan “dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 56, 57 dan Pasal 58 ketentuan ini (Pasal 31 ayat (1) tidak berlaku bagi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55”
Selanjutnya pertimbangan MA dalam putusan Kasasi tersebut menyatakan:
“Bahwa dengan pertimbangan di atas, maka seolah-olah ada pertentangan antara Pasal 34 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dengan Pasal 55, penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan serta Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, sehingga menurut Mahkamah Agung ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 haruslah diartikan bahwa yang tidak boleh dilaksanakan setelah adanya putusan pernyataan pailit adalah melakukan perjanjian yang bermaksud :
a. Memindah tangankan hak atas tanah ;
b. Balik nama kapal ;
c. Pembebanan hak tanggungan ;
d. Hipotik ;
e. Jaminan fidusia ;
Yang telah diperjanjikan lebih dahulu. Artinya perjanjian yang ada tersebut tidak boleh diwujudkan/dilaksanakan lebih lanjut, misalnya dengan menerbitkan sertifikat. Tetapi apabila perjanjian-perjanjian tersebut telah sempurna dengan adanya sertifikat, maka yang harus berlaku adalah Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, yaitu obyek jaminan tidak masuk dalam harta/budel pailit.
Menimbang, bahwa dengan dasar-dasar pertimbangan tersebut di atas, maka proses pelelangan atas obyek jaminan fidusia yang telah dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Tanjungkarang pada tanggal 2 November 2009 tidaklah bertentangan dengan hukum.
M E N G A D I L I :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : 1. PT. PERKEBUNAN INDONESIA LESTARI, 2. KANTOR PELAYANAN LELANG DAN KEKAYAAN NEGARA (KPKNL) BANDAR LAMPUNG, 3. PT. BANK MEGA, Tbk. tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 01/PAILIT LAIN-LAIN/2009/PN.NIAGA.JKT.PST Jo No. 33/PAILIT/ 2009/PN.NIAGA.JKT.PST. tanggal 17 Pebruari 2010 ;
MENGADILI SENDIIRI :
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”

Selanjutnya, Bank Mandiri, sang Kurator, dan Indonesia Eximbank mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi diatas, dengan nomor register perkara No. 062 PK/Pdt.Sus/2011 (tanggal putusan 26 Juli 2011), sementara Bank Mega, KPKNL, dan pemenang lelang didudukkan sebagai termohon PK.
Kurator kembali melancarkan gugatan Perbuatan Melawan hukum kepada para Termohon PK, dengan dasar hukum Pasal 1365 KUHPerdata:
Tiap-tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut"
Pemohon PK mendalilkan, Bank Mega selaku Kreditur Separatis dapat melaksanakan lelang seolah-olah tidak terjadi kepailitan PT Tripanca Group (dalam pailit), akan tetapi pelaksanaan lelang ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi, sebagaimaan diatur dalam Pasal 56 Ayat (1) UU Kepailitan, yang berbunyi:
“Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.”
Namun isu tersebut dibantah sendiri oleh para pemohon PK, lewat novum yang mereka ajukan berupa Penetapan Hakim Pengawas PT. Tripanca Group (dalam pailit) yakni penetapan insolvensi tertanggal 22 Oktober 2009, sebagai berikut:
1) Harta PT. Tripanca Group (dalam pailit) demi hukum berada dalam keadaan insolvensi dengan segala akibat hukumnya ;
2) Menyatakan bahwa keadaan insolvensi tersebut berlaku sejak tanggal ditetapkan ;
Insolvensi berlaku sejak tanggal 22 Oktober 2009 sampai dengan 22 Desember 2009, namun Bank Mega dan KPKNL Bandar Lampung melaksanakan lelang pada tanggal 1 Oktober 2009, namun pelelangan tersebut dinyatakan TAP (tidak ada peminat) dan dilakukan pelelangan kembali pada tanggal 2 November 2009, yang kemudian berhasil keluar pemenang lelang. Dengan kata lain, lelang awal sebagai dasar lelang ulang, dilangsungkan sejak sebelum masa insolvensi, alias lelang pertama dilakukan masih dalam cakupan masa stay (jangka waktu penangguhan).
Dengan kata lain, isu baru yang diangkat oleh Pemohon PK ialah: Bank Mega selaku Kreditur Separatis dapat melaksanakan lelang seolah-olah tidak terjadi kepailitan PT Tripanca Group (dalam pailit), akan tetapi pelaksanaan lelang ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi. Alias, apakah permohonan lelang agunan dapat diajukan oleh kreditor separatis dapat diajukan seketika saat debitor dinyatakan pailit, ataukah harus menunggu masa insolvensi tiba terlebih dahulu?
Mengingat lelang eksekusi membutuhkan jeda waktu pengumuman koran dan selebaran objek lelang yang dapat memakan waktu satu bulan, terlebih jika padatnya jadwal lelang KPKNL yang bisa terjadi baru akan mendapatkan tanggal lelang dua bulan kemudian, maka menjadi irasional masa insolvensi 2 bulan dapat menjual lelang dan laku.
Berikut petikan bunyi dalil Pemohon PK:
“Bahwa Penetapan tentang Parate Eksekusi Sertipikat Jaminan tersebut telah dilaksanakan sebelum waktu yang ditentukan dalam UUK, dimana penetapan dilaksanakan pada tanggal 1 September 2009 sementara menurut UUK Parate Eksekusi hanya dapat dilaksanakan dalam angka waktu 22 Oktober 2009 sampai dengan 22 Desember 2009. Oleh karena itu penetapan parate eksekusi tanggal 1 September 2009 tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum.
“Bahwa dengan adanya penetapan Parate Eksekusi yang telah dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2009 dan 2 Nopember 2009 dan karena penetapan tersebut batal demi hukum, maka mutatis mutandis proses lelang tanggal 1 Oktober 2009 dan 2 Nopember 2009 juga tidak sah dan batal demi hukum.”
Terhadap permohonan PK tersebut, Hakim Agung dalam putusan PK langsung membuat putusan dengan amar:
M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali : I. PT. BANK MANDIRI (Persero) Tbk., II. TITIK KIRANAWATI SOEBAGJO, SH. dan JANDRI SIADARI, SH., LL.M., III. INDONESIA EXIMBANK (dahulu PT. BANK EKSPOR INDONESIA (Persero), tersebut.”
Sehingga, yang menjadi kesimpulan atas sengketa kepailitan tersebut diatas: pengajuan permohonan parate eksekusi dapat dimohonkan sebelum masa insolvensi tiba, guna langkah antisipasi masuknya masa insolvensi.

Analisis SHIETRA & PARTNERS:
Bunyi ketentuan pasal 31 Ayat (1) UU Kepailitan:
Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan Pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera Debitor.”
Sementara itu Penjelasan Resmi Pasal 31 Ayat (1) UU Kepaailitan menerangkan:
Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, ketentuan ini tidak berlaku bagi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55.”
Menjadi persoalan utama, apakah yang dimaksud dengan “ketentuan ini” sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 31 Ayat (1) UU Kepailitan tersebut diatas? ß Rujuk kembali pertimbangan Hakim Agung MA dalam putusan kasasinya tersebut diatas, dimana frasa “ketentuan ini” diartikan/dimaknai sebagai “Pasal 31 ayat (1)”.

PENUTUP & PANDANGAN HUKUM :
Penulis menilai, berdasarkan penafsiran sistematis, terhadap hak kreditor separatis yang berlaku ialah UU Jaminan Kebendaan—baik UU Fidusia maupun UU Hak Tanggungan; sementara yang berlaku untuk debitor pailit ialah UU Kepailitan. Menerapkan ketentuan UU Kepailitan terhadap hak kreditor separatis adalah salah tempat dan salah kaprah.
UU Kepailitan adalah produk lex specialis derogat legi generalis ketentuan kepailitan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Sementara UU Fidusia dan UU Hak Tanggungan adalah lex specialis dari KUHPerdata sepanjang menyangkut jaminan kebendaan. Oleh sebab itu, menerapkan ketentuan UU Kepailitan terhadap hak kreditor pemegang jaminan kebendaan, adalah bentuk salah kaprah yang tidak pada tempatnya.
UU Jaminan Kebendaan mengikuti subjek hukum kreditor pemegang jaminan kebendaan dan mengingat pemberi jaminan kebendaan, sementara UU Kepailitan hanya mengingat subjek hukum yang terkena pemailitan, bukan justru membebani pihak yang justru bukan menjadi subjek termohon pailit.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.