Salah Kaprah Badan Pertanahan Nasional terhadap Hukum Agraria mengenai Peralihan Hak atas Tanah. Ketika Institusi yang Membidangi Pertanahan Nasional justru Tidak Memahami Hukum Agraria

LEGAL OPINION
SALAH KAPRAH KEMENTERIAN NEGARA AGRARIA / BPN TERHADAP HUKUM PERTANAHAN MENGENAI PERALIHAN HAK ATAS TANAH
Question: Saat ini saya hendak mengajukan permohonan peralihan hak atas rumah yang kami beli. Kondisi rumah adalah sedang dihuni oleh penyewa dari pihak penjual, dimana kontrak sewa si penyewa masih berlangsung untuk dua tahun kedepan. Anehnya, kami diminta mengisi dan menandatangani formulir pernyataan “telah dikuasai secara fisik” dan “tiada sengketa” oleh kantor pertanahan. Memang bagaimana saya tahu bahwa tanah tersebut tiada sengketa? Bukankah kewajiban itu semestinya dibebankan kepada pihak penjual alih-alih pembeli yang tidak tahu-menahu sejarah rumah yang kami beli? Secara fakta di lapangan (de facto), rumah yang saya beli tersebut masih dihuni oleh penyewa dari pihak penjual. Bagi saya pribadi, penyewaan tersebut tidak menjadi masalah, dimana saya menghormati perjanjian sewa-menyewa tersebut hingga habis masa berlakunya. Apakah dengan berbohong alias saya bersedia menandatangani kedua formulir tersebut, maka tiada resiko bagi saya dikemudian hari? Apakah memang benar terdapat peraturan demikian di kantor pertanahan? Kedengarannya aneh bagi kami yang awam hukum.
Answer: Peraturan salah kaprah yang mensyaratkan penandatanganan formulir pernyataan “tiada sengketa dan kuasai secara fisik” tersebut memang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan (Perkaban No.1/2010).
EXPLANATION:
Pendaftaran Peralihan Hak Karena Pemindahan Hak diatur dalam Pasal 103 Ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 selaku Peraturan Pelaksana PP Nomor 24 Tahun 1997 (Permenag No.3/1997), yang berbunyi:
Dalam hal pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah bersertipikat atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya;
b. surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hak;
c. akta tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang bersangkutan yang dibuat oleh PPAT yang pada waktu pembuatan akta masih menjabat dan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan;
d. bukti identitas pihak yang mengalihkan hak;
e. bukti identitas penerima hak;
f. sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dialihkan;
g. izin pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2);
h. bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997, dalam hal bea tersebut terutang;
i. bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terutang.
Ketentuan diatas tidak mensyaratkan / mewajibkan pembeli rumah/tanah untuk mengisi maupun menandatangani formulir pernyataan “kuasai secara fisik” maupun pernyataan “tiada sengketa”. Secara lebih lanjut Pasal 104 Ayat (1) Permenag No.03/1997, mengatur secara tegas, dengan bunyi:
Untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun karena pemindahan hak yang dibuktikan dengan akta PPAT tidak diperlukan syarat berupa dokumen lain dari pada yang disebut dalam Pasal 103 ayat (1) atau ayat (2), kecuali apabila hal tersebut dipersyaratkan oleh suatu Peraturan Pemerintah atau peraturan yang lebih tinggi.”
Sementara itu Lampiran II Butir II Ayat (1) point (a) Perkaban No.1/2010 mengenai Peralihan Hak Jual-Beli menyatakan, bahwa salah satu prasyarat pengajuan permohonan balik-nama berdasarkan jual-beli ialah:
Formulir permohonan memuat:
1. Identitas diri;
2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon;
3. Pernyataan tanah tidak sengketa;
4. Pernyataan tanah/bangunan dikuasai secara fisik.
Menjadi terang dan jelas, bahwa Perkaban No.1/2010 justru mengatur syarat baru tambahan (norma baru pemberat) yang tidak dibebankan oleh Permenag No.3/1997.
Pengajuan balik-nama sertifikat hak atas tanah yang diajukan pembeli rumah/tanah ditolak Kantor Pertanahan dengan alasan tidak menandatangani Formulir Pernyataan “tanah tidak sengketa” maupun Formulir Pernyataan “tanah dikuasai secara fisik”, maka yang patut dipersalahkan ialah tindakan penjual yang tetap menguasai objek lelang secara ilegal/melawan hukum, bukan justru membebankan kewajiban pada pembeli yang beritikad baik dan sepatutnya dilindungi hukum.
“Penguasaan Hak Atas Tanah” dalam Hukum Agraria pada dasarnya terbagi menjadi dua: “penguasaan hak atas tanah secara YURIDIS” dan “penguasaan hak atas tanah secara FISIK”. Balik-nama sertifikat hak atas tanah hanya berhubungan dengan “penguasaan hak atas tanah secara YURIDIS”. Penguasa hak atas tanah secara YURIDIS tidak harus selalu merupakan penguasa hak atas tanah secara FISIK, sebagaimana dapat kita temui pada kasus penyewa dengan perjanjian sewa-menyewa, pemukim liar, dan penghuni bukan pemilik sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik (“PP No.44 Tahun 1994”).
 Konsiderans butir (b) PP No.44 Tahun 1994 menyebutkan: “bahwa untuk melindungi kepentingan pemilik, penyewa atau penghuni dalam penggunaan rumah perlu dilakukan upaya pengaturan yang dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum.” PP No.44 Tahun 1994 telah memisahkan secara tegas perbedaan antara ranah penguasaan hak atas tanah secara YURIDIS” dan “penguasaan hak atas tanah secara FISIK”.
Pasal 5 UU No.12/2011 mengenai Pembentukan Peraturan perundang-undangan (penulis tidak merujuk UU No.10 Tahun 2004, oleh sebab dasar pengujiannya ialah living law, sehingga lebih tepat bila diuji berdasarkan UU No.12/2011 berhubung Perkaban No.01/2010 masih diberlakukan hingga saat ini), mengatur:
“Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
Dengan demikian persyaratan tambahan berupa formulir pernyataan “tiada sengketa dan kuasai fisik” bertentangan dengan asas yuridis, dimana secara imperatif telah diatur: peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (asas lex Superior derogat legi priori)
Landasan Yuridis Formil dari Perkaban No.1/2010 adalah Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Permenag No.3/1997), dimana Pasal 6 Permenag No.3/1997 mengatur mengenai “permohonan hak baru atas tanah negara” (bukan ‘peralihan hak’ sebagiamana jual-beli sertifikat tanah/rumah), sebagai berikut:
(1) Dalam hal kepemilikan atas sebidang tanah tidak dapat dibuktikan dengan alat pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, maka penguasaan secara fisik atas bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh yang bersangkutan dan para pendahulu-pendahulunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dapat digunakan sebagai dasar untuk pembukuan tanah tersebut sebagai milik yang bersangkutan.
(2) Kenyataan penguasaan secara fisik dan pembuktiannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk surat pernyataan, …
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain berisi:
a. bahwa fisik tanahnya secara nyata dikuasai dan digunakan sendiri oleh pihak yang mengaku atau secara nyata tidak dikuasai tetapi digunakan pihak lain secara sewa atau bagi hasil, atau dengan bentuk hubungan perdata lainnya;
c. bahwa apabila penandatangan memalsukan isi surat pernyataan, bersedia dituntut di muka Hakim secara pidana maupun perdata karena memberikan keterangan palsu.
Menjadi terang dan jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Permenag No.3/1997 tersebut diatas, dalam Ayat (3) disebutkan bahwasannya penguasaan secara fisik bukanlah syarat mutlak, karena penguasaan secara yuridis adalah lebih relevan. Penguasaan secara fisik hanya cocok untuk konteks “permohonan hak atas tanah baru” diatas tanah negara, bukan permohonan “peralihan hak atas tanah” yang sudah bersertifikat . Pasal tersebut juga menegaskan, surat pernyataan yang tidak sesuai fakta adalah tindak pidana, sehingga Kementerian Agraria/BPN justru mendorong pembeli tanah untuk terjebak dalam kriminalisasi.
Setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori)—mengandung arti bahwa aturan yang lebih rendah tidak dapat mengubah substansi yang ada dalam aturan yang lebih tinggi, tidak menambah, tidak mengurangi dan tidak menyisipi suatu beban kewajiban baru secara menyimpang dari apa yang telah digaraiskan dalam aturan induknya
Perkaban No.1/2010 bersifat kontraproduktif, karena justru memihak penjual nakal (beritikad buruk) dengan mengamputasi hak pembeli yang sah. Hal itu bersumber dari ketidak-tahuan BPN / Kementerian Agraria atas adagium yang berbunyi: “Habendum et tenendum”— Memiliki belum tentu sekaligus memegangnya.
Persyaratan formulir demikian kepada pembeli tanah membuat “Pernyataan tanah tidak sengketa” dan “Pernyataan tanah dikuasai secara fisik” MENJADI AJANG PUNGUTAN LIAR (PUNGLI) OKNUM-OKNUM KANTOR PERTANAHAN SETEMPAT. Semestinya penjual yang dibebani kewajiban pernyataan tidak akan menipu pembeli serta menguasai objek tanah yang dijualnya.
Perkaban No.1/2010 yang mensyaratkan kepada pembeli tanah membuat “Pernyataan tanah tidak sengketa” dan “Pernyataan tanah dikuasai secara fisik” adalah contoh “law as a tool of crime” yang dibentuk oleh Instansi Pertanahan, dimana ketentuan tertulis tersebut dijadikan dalil oknum-oknum untuk melakukan pungutan liar agar pembeli tanah dapat dibebaskan dari “kewajiban” untuk menandatangani kedua formulir absurb tersebut.
Bahwa yang menjadi bukti tidak relevannya pengaturan Perkaban No.1/2010 mengenai “Peralihan Hak Jual-beli” yang mensyaratkan pembeli membuat Pernyataan tanah tidak sengketa dan Pernyataan tanah dikuasai secara fisik, antara lain:
-       Pasal 1474 KUHPerdata: “Penjual mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya.”
-       Pasal 1491 KUHPerdata: “Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu: pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram; kedua, tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian itu.”
Melihat kaidah KUHPerdata diatas, menjadi terang dan jelas bahwa yang semestinya dibebani kewajiban untuk serah-terima kepada pembeli, adalah pihak penjual. Ketika penjual lalai untuk mengosongkan objek lelang, maka dapatkah dibenarkan bila “kerugian” dibebankan kepada pembeli sebagaimana secara membuta diwajibkan oleh Perkaban No.1/2010 ?!
Dengan kata lain, Kantor Pertanahan yang menolak permohonan balik-nama oleh pembeli tanah yang berkeberatan menandatangani formulir pernyataan “kuasai fisik dan tiada sengketa” berarti Kantor Pertanahan telah melanggar PP No.24/1997 dan melanggar Permenag No.3/1997 karena menetapkan kaidah yang irasional. Artinya pula, Kementerian Agraria telah ultra vires, melampaui kewenangan dengan membuat restriksi hak pembeli tanah yang melanggar hak kebolehan yang diberikan oleh PP No.24/1997.
Lantas untuk apakah yurisprudensi Mahkamah Agung mengatur bahwa: “Jual-beli tak memutus hubungan sewa-menyewa”—yang artinya, bisa jadi si pembeli tak kuasai fisik objek jual-beli, bahkan si penjual itu sendiri tak kuasai fisik rumah. Jika pembeli secara paksa menguasai fisik rumah yang dibelinya sementara kontrak sewa masih berlaku dan sah, maka sama artinya Kementerian Agraia dan Tata Ruang RI memaksa pembeli rumah untuk melakukan perbuatan melawan hukum.
Asas hukum adat yang dianut hukum agraria hanya mengenal asas "terang dan tunai", bukan "terang, tunai, tiada sengketa, dan wajib dikuasai".
Janggalnya ketentuan dalam Perkaban No.1/2010, ditanggapi Philippe Nonet dan Philip Selznick  dengan komentar: (Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Penerjemah: Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 11)
“… Ini suatu bentuk ‘kesalah-pahaman tentang kenyataan yang salah tempat’ (fallacy of misplaced concreteness).”
Menjadi bukti konkret betapa Kementerian Agraria/BPN demikian berjarak dengan konstituen yang diaturnya, bagaikan berliang di menara gading, terdapat jurang/sekat lebar antara yang mengatur dan yang diaturnya.
Jika penjual tidak secara sukarela menepati janji untuk mengosongkan objek rumah/tanah yang dijualnya kepada pembeli, maka yang terjadi ialah sengketa gugatan perdata pengosongan objek jual-beli. Untuk itu, variabel bebas dan variabel terikat dari Perkaban No.1/2010 menjadi rancu, dimana hak pembeli untuk balik-nama justru digantung oleh itikad baik si penjual, tampak seperti “membeli kucing dalam karung”.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang telah membuat peraturan yang mengamputasi hak pembeli tanah yang diberikan oleh PP No.24/1997 maupun Permenag No.3/1997 (yang ironisnya: diterbitkan oleh Kementerian Agraria itu sendiri), sehingga Perkaban No.1/2010 adalah bentuk akrobatik hukum yang dilakukan Kementerian Agraria seolah memiliki semboyan: “l’etat, C’est Moi”—“Saya adalah negara”, karena menderogasi hak bagi pembeli tanah/rumah sebagaimana diatur dalam PP No.24/1997 yang notabene “Peraturan Pemerintah”.
Bahwa Kementerian Agraria/BPN tidak memahami adagium hukum yang berbunyi: “Aliud est vendere, aliud vendenti consentire--Menjual adalah satu hal, dan menerima (tawaran) si penjual adalah hal lainnya lagi”. Menguasai fisik dan tiada sengketa adalah satu hal, sementara jual-beli adalah hal lainnya lagi.
Lex niminem cogit ad impossibilia”—Peraturan perundang-undangan tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin.

KESIMPULAN & REKOMENDASI: Tetap berpedoman pada PP No.24/1997 dan Permenag No.03/1997, oleh sebab Perkaban No.01/2010 adalah peraturan yang salah kaprah. Jika kantor pertanahan masih bersikukuh, ajukan uji materiil ke hadapan Mahkamah Agung. 
UPDATE: Ketentuan dalam Perkaban No. 01/2010 tersebut telah diajukan uji materiel dimana SHIETRA & PARTNERS menjadi kuasa hukum tunggal, yang pada tanggal 23 Desember 2015 Mahkamah Agung RI telah menjatuhkan amar putusan dengan register perkara Nomor 38 P/HUM/2015, bahwa pembeli lelang eksekusi tidak lagi diperkenankan diwajibkan mengisi ataupun menandatangani formulir "kuasai fisik" maupun "tiada sengketa".
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.