Seputar Surat Kuasa bagi Kuasa Hukum, yang Ideal dari Segi Yuridis dan Praktik

LEGAL OPINION
Question: Ketika hendak menyewa seorang pengacara, maka kami sebagai kliennya disodori surat kuasa khusus untuk mewakili pemberi kuasa beracara di persidangan. Pertanyaan kami, bila didalamnya terdapat klausul untuk sidang di Pengadilan Negeri, juga untuk tahap banding, kasasi, dan bahkan Peninjauan Kembali, maka apakah kira-kira yang menjadi konsekuensi hukumnya dikemudian hari? Dapatkah kami hanya meminta klausul dalam surat kuasa khusus tersebut hanya benar-benar khusus untuk perkara satu tingkat saja, misal untuk beracara di PN saja, atau Pengadilan Tinggi saja, atau Kasasi saja?
Answer: Hingga saat ini masih terdapat kerancuan atas praktik substansi surat kuasa, apakah bila dalam satu surat kuasa khusus tercantum kuasa untuk perkara di tingkat pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi, Mahkamah Agung, bahkan hingga peninjauan kembali (PK), maka apakah surat kuasa itu berlaku sejak perkara tingkat PN hingga PK?
Dahulu, dalam berbagai yurisprudensi, dinyatakan bahwa surat kuasa khusus antara surat kuasa untuk berperkara di tingkat judex factie (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) harus saling terpisah dengan surat kuasa untuk perkara di tingkat judex jure (kasasi di Mahkamah Agung). Namun sejak diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012, dinyatakan bahwa dalam satu Surat Kuasa boleh berlaku untuk perkara PN hingga Kasasi, kecuali PK yang membutuhkan surat kuasa terpisah. Namun, kini masih terdapat petugas pengadilan yang menyatakan bahwa dalam satu surat kuasa dapat diberlakukan untuk semua tingkat, dari PN hingga PK selama hal tersebut tercantum dalam surat kuasa.
EXPLANATION:
Secara teori, surat kuasa khusus haruslah bersifat khusus, sehingga menurut penulis pribadi, sifat suatu surat kuasa khusus semestinya adalah hanya berlaku untuk satu tingkat peradilan saja. Argumen ini logis, mengingat cukup besarnya potensi suatu surat kuasa yang mencantumkan dua atau untuk tiga tingkat peradilan dalam satu surat kuasa untuk disalahgunakan.
Misal, bila Anda selaku pemberi kuasa merasa tidak perlu mengajukan banding atas putusan PN, namun bila dalam surat kuasa tercantum pula untuk Pengadilan Tinggi dengan kata-kata didalamnya “mengajukan memori banding” atau kata-kata lain sejenisnya, maka pihak penerima kuasa pun tetap berhak mengajukan memori banding sebelum surat kuasa itu Anda cabut. Sebaliknya, pihak penerima kuasa pun akan merasa akan dipersalahkan oleh pemberi kuasa bila tidak mengajukan banding sementara pemberi kuasa tidak secara tertulis maupun lisan menyatakan kehendaknya sementara hukum acara memberi tempo waktu pendaftaran atas suatu upaya hukum dalam tempo hanya 14 hari.
Lantas apakah konsekuensi “politis”-nya bagi pemberi dan penerima kuasa? Inilah bagian yang menarik yang jarang diketahui para principal (pemberi kuasa). Pertama, bila dalam surat kuasa selain mencantumkan kuasa untuk tingkat PN namun juga tercantum untuk tingkat banding serta kasasi, konsekuensinya bila pihak Anda menang di tingkat PN dan PT, dan pihak lawan kalah lantas ia mengajukan memori kasasi, maka relaas pemberitahuan kasasi dan memori kasasi yang akan dikirimkan oleh juru sita pengganti pengadilan negeri bukanlah ditujukan kepada Anda selaku principal/pemberi kuasa, namun kepada penerima kuasa/lawyer Anda. Konsekuensi ekonomisnya, jangka waktu mendaftarkan memori kasasi dibatasi hanya selama 14 (empat belas) hari kalender sehingga bila Anda memilih untuk memakai jasa pengacara lain, tentunya itu waktu yang sangat krusial belum lagi memori banding dari pihak lawan untuk Anda bantah berada di lawyer semula Anda (memori banding/kasasi mana perlu dibantah dalam kontra memori yang harus dimasukkan ke PN paling lambat 14 hari setelah menerima relaas penyampaian salinan memori banding/kasasi).
Kedua, konsekuensi ekonomisnya pula ialah, Anda akan kembali dikenakan tarif atas banding atau kasasi yang lawyer Anda lakukan, yang mungkin nilainya belum Anda sepakati.
Kesimpulan, pastikan sebelum Anda menanda-tangani surat kuasa: Pertama, harus berbentuk dan bersubstansi khusus untuk spesifik perbuatan tertentu—kian spesifik kian baik. Kedua, pastikan bahwa surat kuasa tersebut hanya berlaku untuk satu tingkat peradilan saja, apakah hanya untuk tingkat PN, apakah hanya untuk upaya hukum banding di PT, kasasi, ataukah Peninjauan Kembali.
Demikianlah surat kuasa khusus untuk beracara di pengadilan yang ideal dan yang paling minim unsur politisnya, guna mencegah penyalahgunaan psikologis maupun politis.

Pastikan pula surat kuasa berupa satu lembar saja, ketimbang memberi resiko peluang penyalahgunaan surat kuasa oleh penerima kuasa sebagai kerap SHIETRA & PARTNERS junpai dalam praktik. Bila Surat Kuasa terdiri dari dua halaman atau lebih, Penerima Kuasa sewaktu-waktu dapat memisahkan kedua lembaran surat kuasa, dan membuat baru halaman pertama dari surat kuasa untuk kemudian disatukan kembali dengan halaman dua yang berisi tanda-tangan pemberi kuasa.

REKOMENDASI TAMBAHAN: Bila Surat Kuasa Khusus tersebut terdiri dari dua halaman atau lebih, pastikan bahwa setiap halaman di-tanda-tangani (bukan paraf), guna memastikan bahwa tidak terdapat celah bagi kuasa hukum Anda untuk mengganti substansi halaman satu atau halaman lainnya selain halaman terakhir yang memiliki kolom penandatanganan pemberi kuasa diatas materai. Anda pun dapat memilih untuk tidak memberikan “hak substitusi” kepada penerima kuasa, agar penerima kuasa adalah pihak yang benar-benar maju dalam mewakili Anda baik didalam maupun diluar persidangan.
Guna antisipasi kemungkinan terburuk, Anda dapat meminta agar pemberlakuan surat kausa ini dapat ditarik sewaktu-waktu baik secara lisan maupun tertulis, dengan meminta agar tidak dicantumkannya frasa "mutlak" pada surat kuasa sehingga dapat dicabut tanpa syarat. Jika Pemberi Kuasa menarik kembali kuasanya, Penerima Kuasa wajib secara seketika dan sekaligus mengembalikan segala berkas dan bukti, dengan kewajiban untuk tetap merahasiakan segala keterangan yang telah diberikan kepada Penerima Kuasa.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.