Harta Bawaan Tidak Tunduk pada Hukum Harta Gono-Gini, alias Bukan Harta Bersama

LEGAL OPINION
Question: Saya memiliki sebidang tanah yang telah saya miliki sebelum saya menikah. Kini, meski status kami masih pasangan suami-istri, apakah saya dapat melakukan jual-beli terhadap aset tanah tersebut tanpa persetujaun istri di notaris PPAT? Pertanyaan kedua, bagaimana jika saat perkawinan berlangsung, saya mendapatkan harta wasiat dari mendiang orang-tua atau saya mendapat hadiah hibah dari seseorang, apakah harta hibah dan warisan jatuh dalam harta gono-gini antara saya dan istri saya? Sebagai gambaran, saya dan istri saya tidak memiliki perjanjian perkawinan yang menyatakan selama perkawinan berlangsung tidak terjadi percampuran harta bersama. Dan sebagai tambahan informasi, tampaknya istri saya tidak kooperatif terhadap rencana saya untuk menjual secara sepihak harta-harta tersebut diatas. Saya pun hendak mengajukan pertanyaan ketiga, apakah semua harta kekayaan yang kemudian tercatat atas nama saya setelah terjadi pernikahan ini, maka semua itu akan dianggap sebagai harta gono-gini?
Answer:  Kesemua harta yang Anda miliki dan dapatkan sebagaimana tersebut diatas, merupakan jenis harta yang dikategorikan sebagai “harta bawaan”, bukan “harta bersama/gono-gini”. Artinya, baik kini maupun dikemudian hari, baik masih dalam hubungan suami-istri maupun akan terjadi putusnya hubungan perkawinan dikemudian hari, Anda tetap memiliki hak untuk menjual secara sepihak aset-aset “harta bawaan” tersebut diatas, tanpa perlu mendapat persetujuan istri. Menurut Mahkamah Agung, pembuktian untuk menentukan harta bawaan/bersama dalam suatu perkawinan maupun dalam proses perceraian, perlu mempertimbangkan juga nilai-nilai kepatutan dan kewajaran.

EXPLANATION:
Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan):
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36 UU Perkawinan:
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

KESIMPULAN DAN PENUTUP:  
SHIETRA & PARTNERS hendak menggarisbawahi apakah yang dimaksud dengan “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama” sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) UU Perkawinan. Apakah setiap aset yang tercatat atas nama salah satu pihak dalam perkawinan otomatis menjadi harta bersama? Inilah yang kerap kali mengundang salah kaprah berujung sengketa gugatan harta gono-gini di pengadilan.
Logikanya ialah sebagai berikut: bisa jadi seorang suami/istri membeli sebidang tanah dari uang tabungan yang telah ia miliki sebelum terjadinya perkawinan, maka meski tanah tersebut baru dibelinya setelah terjadi hubungan perkawinan, maka tanah tersebut bukan jatuh dalam "harta bersama", namun "harta bawaan", karena asal sumber perolehan tanah tersebut adalah dari harta bawaan (uang tabungan) sang suami/istri.
Begitupun contoh serupa lainnya, bila suatu ketika sang suami/istri mendapat hibah maupun warisan berupa uang (maupun berupa tanah yang kemudian dijual sehingga mendapat dana tunai), kemudian dari sumber hibah atau warisan tersebut kemudian oleh sang suami/istri membeli sebidang rumah toko sebagai contoh, maka rumah toko tersebut bukan dikategorikan sebagai harta bersama, namun harta bawaan. Sehingga kata kuncinya ialah: “sumber dana”, alias segala penghasilan riel “pasutri” (pasangan suami-istri) yang menjadi harta bersama. Bila penghasilan riel pasutri tersebut kemudian dibelikan sebidang tanah, maka tanah tersebut menjadi harta bersama.
Mahkamah Agung RI, dalam putusannya Nomor 1200 K/Pdt/2008 jo. Putusan Nomor 17 PK/PDT/2010, Mahkamah Agung membuat sebuah kaidah hukum bahwasannya Pasal 35 Ayat (1) UU Perkawinan harus ditafsirkan dan dimaknai sebagai berikut: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan (dimana sumber dana perolehannya berasal dari penghasilan riel pasangan suami-istri selama berlangsungnya perkawinan) menjadi harta bersama."
Hakim agung MA RI dalam putusan tersebut diatas, menjatuhkan amar putusan yang menyatakan bahwa meski aset benda tak bergerak berupa tanah dan bangunan baru tercatat atas nama salah satu pihak setelah berlangsungnya perkawinan, namun hakim agung menyatakan semua aset benda tak bergerak tersebut bukan sebagai harta bersama, dengan kutipan pertimbangan hukum hakim agung, sebagai berikut:
“ … sesuai nilai-nilai kepatutan dan kewajaran, bahwa nominal aset barang tidak bergerak tersebut tidak sedikit sehingga, dihubungkan juga dengan sumber penghasilan mereka berdua ketika itu, tidak mungkin diperoleh dalam waktu singkat.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.