Gugatan Perbuatan Melawan Hukum di Hadapan Pengadilan Niaga, Konteks Sengketa Boedel Kepailitan

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya pengadilan manakah yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum? Seorang kurator mengajukan gugatan “perbuatan melawan hukum” kepada kami, sementara gugatan tersebut justru diajukan ke hadapan pengadilan niaga. Menurut pandangan kami selaku kreditor dari debitor pailit, kurator tersebut semestinya mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke pengadilan negeri, bukan pengadilan niaga. Dengan bahasa lainnya, apakah perkara sengketa perbuatan melawan hukum termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Pengadilan Niaga?
Answer: Dalam perkara No. 306 K/Pdt.Sus/2010, Hakim Agung MA membuat sebuah kaidah hukum, yang dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan: “Bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan oleh karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum karena baik Penggugat maupun Tergugat mempersoalkan tentang obyek yang oleh Penggugat dinyatakan sebagai obyek kepailitan, sehingga dalam putusan hakim ini akan ditentukan apakah obyek gugatan yang telah dilelang tersebut merupakan boedel pailit atau bukan.”
Dengan kata lain, pengadilan niaga wajib terlebih dahulu memeriksa, apakah objek sengketa memang benar termasuk dalam bagian dari boedel pailit ataukah tidaknya, sebelum memutuskan bahwa telah terjadi kekeliruan dalam penerapan kompetensi absolut (kewenangan yurisdiksi peradilan).
Namun, pertanyaan Saudara belum cukup detail, dimana secara spesifik perlu diterangkan, apakah kedudukan Anda adalah kreditor separatis ataukah kreditor konkuren. Jika Anda adalah kreditor separatis, maka status agunan yang Anda kuasai bukanlah merupakan bagian dari boedel pailit, sepanjang Pasal 59 UU Kepailitan sedang Anda jalankan. Jika Anda tidak menggunakan ketentuan Pasal 59 UU Kepailitan, maka status agunan jatuh ke dalam penguasaan Kurator, alias masuk dalam boedel pailit, sehingga status Anda berubah menjadi kreditor konkuren, sehingga Pengadilan Niaga berwenang memeriksa dan memutus sengketa gugatan perbuatan melawan hukum.
EXPLANATION:
Pasal 300 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang:
“Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang.”
Memang betul, bahwa Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negeri adalah dua yurisdiksi yang berbeda, dipisahkan oleh doktrin Kompetensi Absolut, dimana hakim wajib memutus secara seketika, apakah memiliki kewenangan mengadili atau tidak lewat putusan sela. Namun tampaknya menjadi suatu perkecualian terhadap sengketa yang tersangkut-paut dengan boedel pailit.
Untuk menentukan apakah objek sengketa merupakan bagian dari boedel pailit atau tidaknya, maka perlu dimajukan agenda persidangan pembuktian, sehingga tidak dapat dilakukan putusan sela oleh majelis hakim. Jika majelis hakim menilai bahwa objek sengketa termasuk dalam boedel pailit, maka pengadilan akan menyatakan bahwa gugatan perbuatan melawan hukum (PHM) tersebut “diterima” (meski pada akhirnya belum tentu pokok permintaan dalam petitum “dikabulkan”). Jika ternyata objek sengketa bukan merupakan bagian dari boedel pailit, maka pengadilan dalam amar putusannya wajib menyatakan bahwa “gugatan tidak dapat diterima” (niet onvantkelijk verklaard) oleh sebab keliru dalam penempatan kompetensi absolut, dimana yang berwenang memutus sengketa Perbuatan Melawan Hukum ialah Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan Niaga.
Namun yang menjadi permasalahan utama ialah isu utama terhadap topik “kreditor separatis” dan “kreditor konkuren”. Bila objek sengketa ternyata adalah agunan yang diikat sempurna dengan sertifikat jaminan kebendaan, seperti Fidusia ataupun Hak Tanggungan, maka perlu dirujuk ketentuan dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan):
(1) Dengan tetap memperhatikan ke tentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1). ß Belum jatuh ke dalam boedel pailit.
(2) Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak Kreditor pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut. ß Menjadi jatuh ke dalam boedel pailit.
Apa yang dimaksud dengan “harus melaksanakan haknya” sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Ayat (1) UU Kepailitan? Adapun bunyi Penjelasan Resmi Pasal 59 Ayat (1) UU Kepailitan:
Yang dimaksud dengan "harus melaksanakan haknya" adalah bahwa Kreditor sudah mulai melaksanakan haknya.”
Pasal 59 UU Kepailitan tidak mensyaratkan kreditor pemegang jaminan kebendaan untuk laku terjualnya agunan dalam lelang eksekusi selama 2 (dua) bulan masa insolvensi, sehingga kreditor separatis bersangkutan memiliki hak untuk mengajukan lelang ulang meski telah melampaui dua bulan masa insolvensi. Kata kuncinya, apakah kreditor separatis bersangkutan sudah mulai melaksanakan haknya dalam masa insolvensi, seperti mengajukan permohonan lelang kepada kantor lelang negara (KPKNL). Jika start awal telah dilaksanakan, maka kreditor separatis tetap memiliki hak memegang agunan, dan melelang ulang agunan hingga laku terjual tanpa dapat diintervensi sang Kurator meski telah melewati jangka waktu insolvensi, dimana artinya agunan tersebut karena tidak ditelantarkan, maka tetap menjadi agunan terpisah dari boedel pailit.
Kaidah tersebut tertuang dalam putusan kasasi MA perkara Nomor 576 K/Pdt.Sus/2011 antara Bank Mandiri selaku kreditor pemegang hak tanggungan yang digugat oleh kurator dari debitor pailit. Permasalahan utama dalam perkara ini, kreditor separatis gagal menjual hak tanggungan dan fidusia yang dipegangnya dalam pelelangan karena nilai piutang mencapai 51 miliar rupiah, sehingga kesulitan menjaring calon pembeli dalam jangka waktu insolvensi 2 bulan. Setelah lewat jangka waktu insolvensi, penguasaan hak atas tanah agunan (hak tanggugnan) tetap dikuasai, sehingga kurator menggugat kreditor separatis tersebut agar menyerahkan penguasaan atas aset agunan debitor pailit.
Atas perkara tersebut, Hakim Agung MA perkara No.576 K/Pdt.Sus/2011  dalam amar putusannya menyatakan, gugatan kurator ditolak dengan pertimbangan:
3.  Bahwa Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dihubungkan dengan ayat (1) maka sesuai dengan penjelasan Pasal tersebut yang harus melaksanakan haknya adalah kreditur (i.c. Tegugat). Tergugat sudah mulai melaksanakan haknya, dengan cara menjual lelang sebagaimana di dalilkan Penggugat dalam gugatannya, berarti kreditur (Tergugat) sudah melaksanakan haknya
4.  Bahwa karena kreditur sudah melaksanakan haknya maka kurator (i.c. Penggugat) tidak dapat menuntut penyerahan agunan tersebut.

Lebih jauh, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat kaidah hukum, apakah suatu aset/objek dapat dikategorikan sebagai bagian dari boedel pailit atau tidaknya, berdasarkan kedua putusan MK, yakni:
-        Putusan MK tahun 2013 Nomor 67/PUU-XI/2013, memutuskan bahwa agunan yang dipegang kreditor separatis adalah bagian dari budel pailit, dengan catatan: JIKA KREDITOR SEPARATIS TIDAK MULAI MENGGUNAKAN HAKNYA UNTUK PARATE EKSEKUSI SAAT MASA INSOLVENSI, MAKA AGUNAN JATUH DALAM BODEL PAILIT DAN KEDUDUKAN PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN JATUH MENJADI KONKUREN SEMI PREFEREN.
-        Putusan MK tahun 2008 Nomor 18/PUU-VI/2008, diputuskan bahwa agunan bukanlah bagian dari boedel pailit. Maka, karena tidak melebur dalam budel pailit, terutang gaji buruh maupun piutang pajak negara tidak dapat mengintervensi hak dari kreditor separatis. ß Dibaca dan dimaknai sebagai berikut: JIKA KREDITOR SEPARATIS MULAI MENGGUNAKAN HAKNYA UNTUK PARATE EKSEKUSI SAAT MASA INSOLVENSI DALAM KEPAILITAN, MAKA KREDITOR SEPARATIS BERHAK SEPENUHNYA ATAS HASIL PARATE EKSEKUSI TANPA DIAMPUTASI SATU SEN PUN OLEH PIUTANG PAJAK NEGARA MAUPUN GAJI BURUH TERHUTANG DEBITOR PAILIT.

KESIMPULAN & REKOMENDASI: Bila ternyata, terbukti bahwa objek sengketa merupakan bagian dari boedel pailit, maka seketika itu juga majelis hakim memutus berdasarkan hukum acara kepailitan yang tunduk pada UU Kepailitan. Sementara jika terbukti bahwa objek sengketa bukan merupakan bagian dari boedel pailit, dan gugatan berjenis gugatan PMH, maka seketika itu juga majelis menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili, sebab yang berwenang menyidangkan perkara yang tunduk pada hukum acara perdata umum (H.I.R) adalah Pengadilan Negeri.
Namun, dengan catatan, selama perkara tersebut tersangkut-paut dengan hak dari kreditor separatis, maka hakim Pengadilan Niaga wajib seketika menyatakan bahwa telah terjadi keliru kompetensi absolut, mengingat agunan yang menjadi hak kreditor separatis adalah agunan terpisah (separated), yakni terpisah dari boedel pailit—kecuali Kreditor Separatis pemegang jaminan kebendaan tersebut menelantarkan agunan dan melepaskan haknya dengan sama sekali tidak melakukan upaya parate eksekusi terhadap agunan/jaminan kebendaan tersebut.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.