ARTIKEL HUKUM
Seorang pemimpin, tidak harus seorang yang
ahli. Seorang ahli, hanya menjadi kriteria dari mereka yang menjabat selaku staf
ahli. Seorang pemuka agama, seharusnya memiliki kriteria keluhuran sifat. Seorang
guru, seharusnya memiliki komptensi teknik ajar-mengajar (pedagogi) serta teladan. Seorang sarjana hukum, seharusnya menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, seorang jujur.
Seorang pemimpin, haruslah seorang yang
memiliki kecakapan manajerial, dalam arti mampu mengkoodinir para stafnya untuk
mencapai suatu tujuan bersama, tujuan lembaga yang dipimpinnya.
Alm. Steve Jobs, sang pendiri Apple Inc., konon bukanlah seseorang yang hanya ahli, namun seorang yang mampu memanajemen segenap sumber daya
manusia di dalam institusinya. Ia mampu mengelola, memberdayakan, dan
mengarahkan segenap potensi yang ada dari para karyawan Apple untuk
menghadirkan suatu inovasi dan produk yang kreatif sesuai kebutuhan pasar.
Seorang pedagang, adalah seorang risk taker. Tiada jaminan berusaha
dagang pasti akan untung, namun keberanian mengambil resiko itulah jiwa seorang
pedagang. Bila seseorang tidak memiliki jiwa entrepreneur ini, lebih baik ia
menjadi karyawan saja, dan sudah cukup puas dengan gaji yang ada tanpa hak
untuk menuntut lebih atas sifatnya yang lebih suka mencari aman—itu jugalah
sebabnya adalah keliru jika aparat / oknum pemerintah menarik pungutan liar
dari para pengusaha yang hendak mengurus perpanjangan izin usahanya dengan alasan
“orang usaha pasti ada untung jadi wajar ditarik pungli”, orang usaha belum
tentu untung dan apakah mau oknum
tersebut menanggung resiko kerugian yang diderita sang pengusaha yang
dipunglinya?
Itulah sebabnya, seorang aparatur negara
hendaknya hanya lolos seleksi penerimaan pegawai negeri sipil, bila ia memiliki
jiwa seorang pelayan publik. Apa jadinya bila terjadi mindset yang terbalik, seolah masyarakat yang membutuhkan dirinya
yang memegang kekuasaan monopoli sehingga harus dilayani oleh masyarakat, alih-alih
melayani masyarakat selaku pembayar pajak yang menjadi sumber dana gaji
dirinya. Suatu sikap durhaka, dengan cara memeras dan mempersulit rakyat oleh
aparatur yang semestinya berperan melayani masyarakat, namun justru hanya ingin
dilayani dan menjadikan kekuasaan monopolinya sebagai barang dagangan.
Seorang pejabat negara, yang mengepalai suatu
instansi, disamping kebersihan moralnya, yang dipersyaratkan adalah kemampuan
bersikap tegas sekalipun berupa keputusan diskresioner yang harus diambilnya. Ia
tidak harus seorang ahli, namun seorang pengambil keputusan. Yang menjadi prasyarat mutlak seorang pemimpin negara, ia harus punya kemauan baik. Mengenai keterampilan teknis, hal itu dapat disupport oleh para Menteri dalam kabinet.
Anggota parlemen, haruslah seorang cendekia, tidak
perlu seorang ahli, karena setiap anggota parlemen memiliki staf ahlinya masing-masing.
Jika anggota parlemen seorang cendekia, ia tidak akan membuat kabur makna “uang
negara”, seolah itu bersumber dari negara, sehingga bukanlah suatu kedurhakaan
untuk memboroskan anggaran negara, tetapi melihat sebagai “uang rakyat”, sehingga
harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat setiap sen anggaran yang dikeluarkan.
Kembali kepada permasalahan seorang kepala
instansi, ia dituntut untuk mampu membuat keputusan dan kebijakan secara tegas,
seketika, dan segera. Apa jadinya bila dikepalai oleh seorang “ahli”, yang notabene
selalu berjibaku pada dalil “menunggu hasil penelitian selesai diverifikasi”, “menunggu
penelitian lebih lanjut”, “belum ada kejelasan regulasi”, dsb. Itulah dalih-dalih
yang acapkali dipakai oleh seorang “ahli” guna menghindar dari tanggung jawab. Sementara
rakyat tak bisa dibiarkan menunggu ketegasan sikap seorang kepala instansi
demikian. Dinamika masyarakat terlalu besar untuk dibendung kekerdilan sikap
kepala instansi demikian.
Ambil contoh kasus para pedagang yang membuat
semewarut jalanan dengan alasan “mencari sesuap nasi”, tidak ada yang melarang
seseorang mencari nafkah, namun tindakan mereka yang merebut hak pejalan kaki
adalah tidak dapat dibenarkan oleh alasan apapun. Ia gagal mencari nafkah secara kreatif, dan kelalaian ia untuk bersikap kreatif merupakan sebuah kesalahan. Semua orang ingin berjualan
di tempat strategis, namun semua tunduk pada kriteria untuk dapat berjualan di
tempat strategis. Seperti analogi “semua orang berhak menjadi presiden, namun
tak semua orang layak menjadi presiden”.
Yang terjadi sebenarnya, adalah kurangnya
kreativitas dari para pedangang kaki lima yang tidak tertib tersebut, sehingga
hanya senang mencari jalan pintas, tanpa mau dituntut bersusah payah seperti
para pedagang tertib lainnya. Buktinya, kebanyakan dari mereka adalah warga pendatang,
dimana mereka justru melepaskan pekerjaan yang bisa mereka garab sebagai petani
di kampung halaman mereka sendiri alih-alih menjadi pendatang urbanisasi.
Lihatlah seorang tukang jahit sol sepatu, dengan
berjalan kaki dari komplek ke komplek, pendapatan mereka dari satu pasang sepatu
yang mereka jahit solnya, adalah paling sedikit sepuluh ribu rupiah. Dikalikan 20
orang pelanggan dalam satu hari, paling tidak ia membawa pulang dua ratus ribu
per hari. Silahkan kalikan jumlah pendapatan ia per bulan. Selama ada
kreativitas, maka tiada kata kekurangan. Hanya ia yang suka mencari jalan
pintas, kemudian menuntut kesana kemari tanpa mau melihat kekeliruan tindakan
mereka sendiri dengan membuka lapak sembarangan, adalah bentuk ketamakan dan
kelambanan daya kreativitas. Orang manja seperti itu sebaiknya secara tegas
dikirim kembali ke kampung halamannya sebagai buruh tani, sebab mereka tidak
memiliki kapasitas otak sebagai seorang pengusaha—dimana jika dipaksakan, yang
ada adalah pengusaha bebal yang hanya bisa mencari jalan pintas dengan berdagang
di pinggir jalan yang menghalangi hak para pejalan kaki.
Seorang pemimpin negara, perlu memiliki sikap
tegas. Pilihannya hanya dua: benar atau salah. Sikap tegasnya, dapat berupa
suatu putusan tegas salah, juga bisa jadi tegas keliru. Tidak boleh suatu
pemimpin negara berlindung di balik zona abu-abu. Pemimpin yang plin-plan,
lamban memutus, atau bahkan menutup mata, lebih baik segera diturunkan, secara
paksa bila perlu. Jika ia selalu
berlindung di balik dalil “abu-abu”, maka bisa dipastikan dirinya mengabdi
untuk dirinya sendiri, bukan untuk kepentingan segenap rakyatnya. Karena ia hanya mencari zona aman bagi kursi kekuasaan yang didudukinya.
Jadi, untuk mengetahui klasifikasi dan
kriteria yang dibutuhkan, ketahui apa yang Anda butuhkan dan apa kreteria untuk
mendapatkan calon yang tepat.
Sebagai penutup, penulis cuplik sebuah contoh
sederhana dan nyata. Sebuah univesitas, pernah dikepalai oleh seorang yang ahli
dan cerdas, yakni diambil dari fakultas kedokteran, karena dinilai cerdas dan
ahli. Namun, ternyata universitas tersebut bergerak stagnan. Ia bukan seorang
pengambil keputusan, ia seorang peneliti dan hanya membedah, hanya sejauh itu,
bukan seorang pemutus. Ia mungkin cocok sebagai analis, namun bukan penyusun
kebijkaan dan bukan eksekutor.
Bila sebuah kantor hukum bukan ahli dibidang hukum
pasar modal, adalah kurang tepat bila kantor hukum tersebut menerima kasus di
bidang pasar modal. Adalah kurang bijak pula bila ada klien yang menyerahkan
kasusnya pada kantor hukum demikian. Ketahui apa kompetensi yang Anda butuhkan,
itu lebih baik daripada memberikan asumsi palsu pada diri sendiri bahwa semua
kantor hukum menguasai segala jenis bidang hukum. Kecuali, kantor hukum
tersebut mempekerjakan 300 orang ahli hukum dengan masing-masing bidang
spesifikasinya masing-masing, sebagaimana firma hukum di Amerika. Tetap saja,
firma hukum yang terspesialisasi tetap menjadi rujukan utama bagi masyarakat yang
rasional.
Jadi, ketahui apa yang Anda butuhkan, sadar
diri atas kompetensi diri, dan biarlah “the
man in the right place”.
© 2015 by Hery Shietra, S.H.
Praktisi Hukum dan Pemerhati
Gejala Masyarakat