Perbedaan Amar Putusan DITOLAK dan TIDAK DAPAT DITERIMA

LEGAL OPINION
Question: Apakah terhadap suatu putusan pengadilan sebelumnya yang menyatakan “tidak dapat diterima” dapat diajukan gugatan/permohonan kembali tanpa resiko “DITOLAK” karena nebis in idem? Sedikit beralih pada isu uji materiil, bagaimana jika peraturan yang hendak diuji materiil ke hadapan Mahkamah Agung dibentuk sebelum tahun 2011, namun baru kini hendak kami ajukan uji materiil oleh sebab fakta kejadian atau kerugiaan riel yang kami alami adalah saat ini, sehingga apakah bisa diuji materiil berdasarkan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 01 Tahun 2011?
Answer: Suatu putusan pengadilan yang beramar putusan “Tidak dapat diterima” alias “niet onvantkelijk verklaard” atau yang juga biasa disingkat “N.O.”, dapat kembali diajukan gugatan / permohonan tanpa resiko dinyatakan nebis in idem ataupun resiko seketika ditolak karena dahulu dinyatakan “N.O.”. Sebab, ketika perkara dinyatakan “N.O.”, maka pokok perkara tidak diperiksa, sebab gugatan/permohonan tersebut gugur saat pemilahan awal, semisal tiadanya legal standing penggugat/pemohon, keliru yurisdiksi peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus, dsb, sehingga pokok perkara sama sekali tidak diperiksa maupun diputus. Mengenai pertanyaan kedua, karena apa yang hendak diuji materiil adalah produk peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan sifatnya tidak temporer (regelen), bukan suatu penetapan / keputusan yang individual temporer (beschikking), maka kejadian / fakta kerugiaan yang Anda alami bukan hanya terjadi saat terbentuknya peraturan perundang-undangan tersebut, namun terjadi sejak dahulu, dan terjadi juga saat kini. Ibarat dalam pemidanaan dikenal istilah tempus delicti guna menentukan kejadian materiil dan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Sehingga, Mahkamah Agung seharusnya (ought to) menerima dan memeriksa pokok permohonan uji materiil yang Anda ajukan tanpa diamputasi Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.01 Tahun 2004 yang membatasi hak uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang terbit sebelum tahun 2011 sebatas 180 hari sejak peraturan tersebut ditetapkan.
EXPLANATION:
Putusan pengadilan dengan amar yang berbunyi "menolak gugatan Penggugat untuk sepenuhnya" atau "menolak gugatan Penggugat untuk sebagian (dan mengabulkan untuk sebagian lainnya)", berarti atas pokok sengketa dengan petitumnya (pokok permintaan dalam gugatan ataupun permohonan) tidak dapat lagi diajukan gugatan ulang karena akan menjadi berkekuatan hukum tetap (inkracht) bila tidak diajukan upaya hukum banding maupun kasasi.
Bedakan pula dengan "menolak permohonan banding/kasasi dari Pembanding/Pemohon Kasasi". Menolak disini bukan dalam arti menolak pokok perkara beserta dengan petitumnya, namun menolak permohonan banding ataupun kasasi, semisal karena kadaluarsanya hak mengajukan upaya hukum karena telah melewati jangka waktu 14 hari setelah pemohon mengetahui amar putusan yang diajukan banding/kasasi, atau karena memori kasasi menyinggung hal-hal yang bukan merupakan kompetensi Hakim Agung tingkat kasasi.
Dalam konteks "menolak permohonan banding/kasasi", mengakibatkan putusan pengadilan judex facti, baik amar putusan Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, menjadi dikuatkan oleh Majelis Hakim tingkat banding/kasasi.

Akan tetapi konteks akan berbeda bila amar putusan dalam perkara gugatan maupun tuntutan pidana dinyatakan Majelis Hakim sebagai "tidak dapat diterima", semisal karena gugatan kurang pihak, dakwaan pidana tidak patut karena perkara dinilai hanya berunsur perdata belaka, telah lewatnya waktu hak menggugat/menuntut, gugatan rancu, keliru komptensi absolut/relatif yurisdiksi pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus, dsb. Dalam konteks ini, Penggugat dapat kembali mengajukan gugatan dan hakim dapat mengabulkan gugatan / tuntutan baru ulangan meski pokok perkara dan subjeknya adalah sama dengan gugatan sebelumnya.

Mahkamah Agung pernah membuat ”kecelakaan hukum” yang fatal, sebagaimana tercermin dalam putusannya tertanggal 15 Mei 2012 Nomor 04 P/HUM/2012 dalam permohonan keberatan Hak Uji Materiil terhadap Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP.158/D.P2TKLN/III/2005 dan Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor : KEP.152/PPTK/VI/2009, dengan pertimbangan hukum dan amar putusan yang berbunyi sebagai berikut:
“Menimbang bahwa mengenai alasan-alasan dari permohonan keberatan Pemohon, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut 
• Bahwa objek permohonan Hak Uji Materiil (HUM) yang sama telah pernah disampaikan dan diputus dibawah Register No. 07 P/HUM/2011 tanggal 18 Mei 2011 dengan amar putusan: “Menyatakan permohonan Hak Uji Materiil (HUM) dari Pemohon Toni Layitno tersebut tidak dapat diterima”.
• Bahwa permohonan tersebut diputus berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2004 karena berkaitan dengan tenggang waktu.
• Bahwa In casu permohonan Hak Uji Materiil (HUM) yang diajukan oleh Pemohon sekarang ini diajukan agar di periksa berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2011 yang tidak mengenal tenggang waktu pengajuannya. 
• Bahwa permohonan Hak Uji Materiil (HUM) yang diajukan oleh Pemohon ini disamping terkena asas nebis in idem, juga dalam penerapan PERMA No. 1 Tahun 2011 tidak berlaku retro aktif (berlaku surut), sehinga ketentuan bebas tenggang waktu uji materiil tersebut hanya berlaku bagi peraturan perundang-undangan yang lahir setelah berlakunya PERMA No. 1 Tahun 2011 tersebut. Menimbang, bahwa dengan demikian permohonan keberatan hak uji materiil yang diajukan oleh Pemohon, haruslah dinyatakan tidak dapat diterima.
M E N G A D I L I :
Menyatakan Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil dari Pemohon : TONI LAYITNO tersebut tidak dapat diterima; Menghukum Pemohon keberatan Hak Uji Materiil untuk membayar biaya perkara yang ditetapkan sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta Rupiah).”
Namun, sebagai catatan, ketentuan mengenai daluarsa tempo waktu pengajuan Hak Uji Materiil tidak secara konsisten diterapkan oleh MA, sebagaimana tercerminta dalam putusan MA lainnya, antara lain:
-       Putusan Mahkamah Agung Nomor 70 P/HUM/2013 tanggal 25 Februari 2014 yang mengabulkan HUM terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaaan Pajak Pertambahan Nilai, sebagaimana kemudian ditindaklanjuti Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2014 Tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70P/HUM/2013 Mengenai Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Hasil Pertanian Yang Dihasilkan Dari Kegiatan Usaha Di Bidang Pertanian, Perkebunan, Dan Kehutanan Sebagaimana Diatur Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
-       Putusan Mahkamah Agung 36 P/HUM/2011 yang diputus pada tanggal 9 Februari 2012 dalam Perkara Permohonan Hak Uji Materiil Terhadap Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Dan Ketua Komisi Yudisial Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim
Sepatutnya MA menerapkan prinsip keselarasan dan kepastian hukum, dimana antara putusan satu dan putusan lainnya tidak bersifat kontradiktif. Analisis permasalahan MA dapat dikatakan "tumpul", mengingat konsep analogi tempus delicti tidak dipahami dengan baik oleh MA dalam membedah persoalan lewat silogisme.
Kita wajib meluruskan praktik MA yang telah menyimpang dari kaidah hukum umum demikian, dengan secara aklamasi menyatakan kepada jajaran Hakim Agung, bahwa Tahun kejadian materiil / konkret / kerugian adalah tempus  yang menjadi syarat penentu keberlakuan suatu regulasi, bukan tahun dimana / kapan peraturan tersebut ditetapkan.

KESIMPULAN: Mahkamah Agung wajib dan seharusnya tidak menolak memeriksa permohonan / gugatan / hak uji materiil yang diajukan, mengingat putusan terdahulu hanya beramar “tidak dapat diterima”, dan kejadian riel materiil yang Anda alami adalah setelah tahun 2011, sehingga terhadap permohonan uji materiil Anda, wajib diputuskan berdasarkan hukum acara PERMA Nomor 01 Tahun 2011.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.