Kewajiban Penjual Lelang Eksekusi terhadap Pembeli Lelang

LEGAL OPINION
Permasalahan: Apakah pihak kreditor pemohon lelang eksekusi adalah berkedudukan sebagai pihak “penjual”?... Lantas, berkedudukan sebagai apakah pihak debitor / pemberi jaminan kebendaan terhadap perikatan kewajibannya terhadap pembeli lelang? Dapatkah dibenarkan atas praktik di lapangan dimana pemenang lelang dikriminalisasi oleh debitor / pemilik jaminan ketika mencoba menguasai fisik objek lelang yang dibelinya secara sah dimana sertifikat secara yuridis telah atas nama pemenang lelang?
Analisis Singkat: Terdapat missing link alias legal gab, di dalam konstruksi hukum risalah lelang yang selama ini terjadi dalam praktik lelang eksekusi, disebabkan oleh karena ketidakjelasan posisi hukum para pihak di dalam risalah lelang. Melihat substansi risalah lelang, hanya terdapat dua pihak: kreditor pemegang hak tanggungan dan pembeli lelang. Sementara itu, dimanakah posisi hukum debitor / penjamin, belum ter-cover dalam format baku risalah lelang. Undang-Undang tentang Hak Tanggungan hanya mensyaratkan kewajiban debitor / penjamin terhadap kreditornya, sementara apa yang menjadi kewajiban debitor / penjamin terhadap pemenang lelang, disitulah letak tanda-tanya besar yang tampaknya luput diformat dalam risalah lelang, seolah seluruh beban tanggung jawab penjual beralih kepada pihak kreditor bila melihat substansi “kutipan risalah lelang”, sehingga terjadi putusnya benang merah atas konsep hukum “prestasi dan kontraprestasi” antara debitor / penjamin dengan pembeli lelang.
Prolog
Dalam ”Kutipan Risalah Lelang” yang diperoleh pemenang lelang, tidak tersua keterangan bahwa debitor berkedudukan sebagai pihak penjual ataupun pemberi kuasa menjual pada pihak pemegang hak tanggungan (in casu Pemohon Lelang Eksekusi Pasal 6 UU HT). Acapkali, debitor / pemberi jaminan kebendaan yang mempidanakan pemenang lelang, berkilah bahwa dirinya tidak merasa pernah menjual rumah/tanah miliknya. Berangkat dari pola pikir keliru demikian, pihak kepolisian selaku penyidik akan melihat alat bukti milik pihak pembeli lelang, dimana sama sekali tidak tercantum keterangan bahwa pihak debitor / pemberi jaminan kebendaan adalah pihak yang menjual, justru terjadi konstruksi hukum bahwa pihak kreditor yang menjadi pihak penjual. Atas konstruksi hukum demikian, tidak heran bila pada gilirannya terjadi kriminalisasi terhadap pemenang lelang di kemudian hari.

Kewajiban Penjual Terhadap Pembeli Lelang
Merujuk ketentuan hukum perdata yang berlaku di Indonesia, jual-beli via lelang tunduk dalam Bab Ke-5 Buku III KUHPerdata tentang genus perikatan jual-beli. Namun yang menjadi sentral permasalahan legal opinion ini, adalah pertanyaan mendasar: “Siapakah yang menjadi pihak penjual dalam Lelang Eksekusi?” “Siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap pembeli lelang?” “Apakah beban kewajiban penjual justru beralih pada pihak kreditor?”
Adapun ketentuan pasal perdata dimaksud ialah:
a.     Pasal 1474 KUHPerdata: “Penjual mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya.”
b.    Pasal 1491 KUHPerdata: “Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu: pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram; kedua, tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian itu.”
ß Adapun pertanyaan mendasar yang dapat diajukan ialah: mungkinkah pihak kreditor pemegang jaminan kebendaan HT dibebani tanggung jawab untuk “menyerahkan barang” dan “menanggungnya”? Siapakah yang paling rasional dan logis untuk menanggung beban kewajiban demikian?
Untuk itu penulis mencoba untuk menguraikan argumentum per analogiam dalam konteks “jual-beli non lelang” dalam kaitan “jual-beli lelang eksekusi”:
-        Jual Beli (non lelang) rumah à terima uang tunai à objek rumah berpindah tangan.
-        Kredit tahun 2010 à beri agunan rumah dan terima uang tunai à kredit macet/wanprestasi à lelang eksekusi tahun 2015 à objek rumah berpindah tangan.
Melihat analogi diatas, perbedaan jual-beli non lelang dengan jual-beli lelang eksekusi hanya terletak pada persoalan waktu implementasi riel terhadap pihak pembeli, serta atau tanpa pihak kreditor selaku penengah. Perikatannya tetap sama dan tunduk pada Buku Ketiga KUHPerdata tentang perikatan. Bukti kedua, pihak kreditor dapat saja membeli objek agunan lewat mekanisme AYDA (aset/agunan yang diambil alih)—karena mustahil secara logika hukum bila suatu pihak membeli barang yang dijualnya sendiri kecuali barang yang dijualnya itu adalah atas dasar “kuasa menjual”.
Sementara itu, yang dimaksud dengan “penyerahan” dalam Pasal 1474 KUHPerdata, diatur dalam Pasal 1475 KUHPerdata, yang berbunyi:
Penyerahan ialah suatu pemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli.”
Lebih lanjut, Pasal 1480 KUHPerdata mengatur sebagai berikut:
Jika penyerahan karena kelalaian si penjual tidak dapat dilaksanakan, maka si pembeli dapat menuntut pembatalan pembelian, menurut ketentuan-ketentuan pasal 1266 dan 1267.”
Atas praktik lelang eksekusi yang seolah bersifat “hit and run”, dapat menjadi buah simalakama. Keberhasilan pemasaran suatu objek lelang eksekusi, sangat bergantung pada animo masyarakat guna berpartisipasi sebagai peserta lelang, sementara animo tersebut sangat bergantung pula pada citra dunia lelang yang beredar dari mulut ke mulut oleh mereka yang memiliki pengalaman sebagai pembeli lelang. Bila pembeli lelang sampai kecewa, bahkan berniat menggugat pembatalan lelang kepada kreditor pemohon lelang, maka hal demikian akan menyulitkan kreditor pemegang jaminan kebendaan tersebut itu sendiri dalam mengupayakan pencairan agunan lewat mekanisme lelang. Tanah, termasuk dalam kategori aset non-liquid, dalam arti sangat bergantung pada animo masyarakat.
Dasar Hukum Jual-Beli
Adapun substansi Pasal 1457 KUHPerdata ialah:
“Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”
Sementara bila dilakukan metode “penafsiran sistematis” dengan merujuk pula pada ketentuan Pasal 1465 KUHPerdata:
“Harga beli harus ditetapkan oleh kedua belah pihak. Harga beli namun itu dapat diserahkan kepada perkiraan seorang pihak ke tiga.”
ß Maka yang menjadi kesimpulannya ialah: tidak mungkin kreditor dibebani perikatan menyerahkan objek gedung/tanah, meskipun kreditor berwenang menentukan nilai limit berdasarkan Pasal 1465 KUHPerdata tersebut diatas.

Praktik yang Acapkali Menyimpangi Ketentuan Hukum—Berujung Kriminalisasi Pembeli Lelang.
Dalam praktiknya, pihak pembeli lelang diwajibkan untuk melakukan eksekusi pengosongan via pengadilan sekalipun tiada penghuni pada objek lelang, karena dalam pandangan berbagai kalangan, sebuah figura yang menempel pada dinding gedung objek lelang sekalipun harus dikosongkan ketika pembeli lelang hendak menempati objek yang dibelinya via lelang tersebut.

Sementara itu, bila kita merujuk pada Pasal 1 Ayat (1) UU HT, disebutkan:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”

Namun sari pertanyaannya ialah: Apakah HT hanya mengikat tanah dan bangunan di atasnya? Legal Opini ini hanya menyatakan ketentuan normatif yang berlaku, meski dalam praktiknya di lapangan, acapkali pembeli lelang dikriminalisasi debitor ketika debitor mengklaim terhadap harta benda miliknya di dalam objek lelang ketika telah ditempati oleh pemenang lelang.

Pasal 584 KUHPerdata: “Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, ...”

Pasal 506 KUHPerdata: “Barang tak bergerak adalah:
1. tanah pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya;
2. penggilingan, kecuali yang dibicarakan dalam pasal 510;
3. pohon dan tanaman ladang yang dengan akarnya menancap dalam tanah, buah pohon yang belum dipetik, demikian pula barang-barang tambang seperti: batu bara, sampah bara dan sebagainya, selama barang-barang itu belum dipisahkan dan digali dari tanah;
4. kayu belukar dari hutan tebangan dan kayu dari pohon yang tinggi, selama belum ditebang;
5. pipa dan saluran yang digunakan untuk mengalirkan air dari rumah atau pekarangan; dan pada umumnya segala sesuatu yang tertancap dalam pekarangan atau terpaku pada bangunan.”

Pasal 507 KUHPerdata: “Karena peruntukkannya, termasuklah dalam paham kebendaan tak bergerak:
1. dalam perusahaan pabrik: barang-barang hasil pabrik itu sendiri, penggilingan-penggilingan, penggemblengan, besi dan barang-barang tak bergerak sejenis itu, apitan besi, kuali-kuali pengukusan, tempat api, jambang-jambang, tong-tong dan perkakas-perkakas sebagainya yang termasuk dalam asas pabrik, pun sekiranya barang itu tidak tertancap atau terpaku;
2. dalam perumahan: cermin-cermin, lukisan-lukisan, dan perhiasan lain-lainnya, sekedar barang-barang itu dilekatkan pada papan atau pasangan batu yang merupakan bagian dinding, pagar atau plesteran ruangan, pun sekiranya barang-barang itu tidak terpaku
3. dalam kepemilikan tanah: lungkang atau timbunan gemuk diperuntukkan guna merabuk tanah; burung merpati termasuk dalam kawan, sarang burung yang dapat dimakan, selama belum dipetik, ikan yang ada di dalam kolam;
4. bahan pembangunan gedung berasal dari perombakan gedung; jika diperuntukkan guna mendirikan kembali gedung itu; dan pada umumnya, benda-benda yang oleh si pemilik telah dihubungkan dengan kebendaan tak bergeraknya guna dipakai selamanya. Si pemilik dianggap telah menghubungkan benda-benda yang demikian kepada kebendaan tak bergeraknya, bilamana benda-benda itu dilekatkan padanya dengan pekerjaan menggali, pekerjaan kayu atau pemasangan batu, atau bilamana benda-benda itu tidak dapat dilepaskan dengan tidak memutus atau merusaknya, atau dengan tidak memutus atau merusak bagian dari kebendaan tak bergerak tadi, dimana benda-benda itu dilekatkannya.”
Dikaitkan pula terhadap Pasal 542 KUHPerdata: “Tiap-tiap pemegang kedudukan berkuasa atas sesutu kebendaan, dianggap mempertahankan kedudukannya, selama kebendaan itu tak beralih ke tangan orang lain atau selama kebendaan tadi tidak nyata telah ditinggalkannya.” ß Pasal perdata ini selalu mentah ketika debitor mempidanakan pembeli lelang yang mencoba menempati fisik objek lelang yang dibelinya.


Sementara, secara lebih spesifik diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UU HT), dengan rincian sebagai berikut:
Pasal 4 UU HT:
(4) Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(5) Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.
Penjelasan Pasal 4 Ayat (4) UU HT:
Sebagaimana sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka 6, Hak Tanggungan dapat pula meliputi bangunan, tanaman, dan hasil karya misalnya candi, patung, gapura, relief yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan. Bangunan yang dapat dibebani Hak Tanggungan bersamaan dengan tanahnya tersebut meliputi bangunan yang berada di atas maupun di bawah permukaan tanah misalnya basement, yang ada hubungannya dengan hak atas tanah yang bersangkutan.”

Timbul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan “hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan”? Merujuk pada Pasal 507 KUHPerdata, maka yang menjadi kata kuncinya ialah “dilihat menurut peruntukkannya”. Contoh, mesin pabrik, meja, kursi, guci, cenderung dilekatkan dan jarang untuk dipindah-pindah, sehingga sifatnya ialah tetap. Tidak ada yang kekal, bahkan gedung pun dapat direnovasi, dirubuhkan, dan dipindahkan materialnya, sehingga UU HT perlu dibaca bersamaan dengan kriteria benda tetap karena sifatnya menurut KUHPerdata.

Sedikit mengulang, Pasal 507 KUHPerdata telah tegas menyatakan: “Karena peruntukkannya, termasuklah dalam paham kebendaan tak bergerak:… pun sekiranya barang itu tidak tertancap atau terpaku.”

Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Selaku Penerima Kuasa Menjual
Terdapat dua jenis pemberian kuasa, pemberian kuasa berdasarkan undang-undang (contoh: seorang direksi tidak membutuhkan surat kausa dari RUPS untuk bertindak atas nama perseroan terbatas, legal mandatory, karena ia diberikan kuasa oleh UU PT), dan pemberian kuasa secara perdata lewat surat kuasa khusus (peer to peer). Sementara yang dimaksud dengan pemberian kuasa, ialah sebagaimana diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata:
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”

Lebih lanjut diatur dalam pasal 1796 KUHPerdata ayat Ke-2:
Untuk memindahtanganan benda-benda atau untuk meletakkan hipotik di atasnya, atau lagi untuk membuat suatu perdamaian, ataupun suatu perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.”


Sementara merujuk pada Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU HT):
Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan … . Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan ...”


“Atas kekuasaan sendiri” berarti suatu pemberian kuasa secara hukum (legal mandatory berdasarkan UU HT) kepada sang kreditor pemegang jaminan untuk menjual di pelelangan umum. Dengan kata lain, kedudukan kreditor pemegang jaminan kebendaan ialah sebagai “kuasa untuk dan atas nama Debitor/Penjamin”, bukan atas nama diri sendiri. Karena kreditor adalah penerima kuasa berdasarkan UU HT, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1799 KUHPerdata:
Si pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan siapa si kuasa telah bertindak dalam kedudukannya, dan menuntut daripadanya pemenuhan perjanjiannya.”

Tidaklah mengherankan bila kemudian Mahkamah Agung menyatakan bahwa debitor/penjamin hanya dapat menggugat ganti-rugi pada pihak kreditor selaku penerima kuasa untuk menjual, bukan pada pemenang lelang, sebagaimana diputuskan Mahkamah Agung dalam Perkara Nomor 1068 K/Pdt/2008 yang telah dikukuhkan sebagai yurisprudensi tetap Mahkamah Agung dalam Rakernas tahun 2011, dengan kaidah hukum:
-       Lelang yang dilakukan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dibatalkan;
-       Apabila di kemudian hari ada putusan yang bertentangan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menjadi dasar hukum lelang, maka pihak yang bersangkutan dapat menuntut ganti rugi atas obyek sengketa dari pemohon lelang.

Jual-beli Lelang yang Dianaktirikan
Terdapat beberapa keganjilan terhadap praktik lelang eksekusi hak tanggungan dalam praktiknya di lapangan yang butuh ketegasan dari regulator, antara lain:
1.     Dalam jual-beli non lelang, bila pihak penjual tidak segera menyerahkan objek ke dalam penguasaan fisik dan yuridis pembeli, maka dapat dikategorikan tindak pidana penipuan. Sementara, dalam jual-beli lelang eksekusi, pemenang lelang hanya dapat “gigit jari” bila tiada itikad baik debitor untuk menyerahkan agunan.
2.     Dalam jual-beli non lelang, bila pihak penjual tidak mengosongkan gedung dari barang-barang, namun hanya mengosongkan penghunian, maka segala benda dan perabot isi gedung dianggap menjadi milik pembeli, karena dianggap telah ditelantarkan oleh pihak penjual, dan berlakulah asas “bezitter recht”.[1] Namun, dalam jual-beli lelang, debitor memiliki modus untuk memidanakan pembeli lelang dengan tuduhan “ada harta karun yang telah dicuri pembeli dari rumah yang dibelilnya sendiri.” Modus ini bisa menjadi perangkap bagi pembeli lelang bila terdapat itikad buruk debitor.
3.     Dalam jual-beli non lelang, tidak dipersyaratkan bagi pihak pembeli untuk melakukan eksekusi pengosongan sebelum menghuni/menempati objek jual-beli. Namun dalam jual-beli lelang, sekalipun objek telah kosong dari penghunian, tetap diwajibkan eksekusi pengosongan atas benda-benda dengan resiko kriminalisasi oleh pihak debitor bila debitor mengklaim terdapat simpanan “harta karun” di dalamnya.
4.     Dalam jual-beli non lelang, bila terdapat pihak ketiga yang menitipkan barang dagangan pada pihak penjual untuk dipajang/dijual di gedungnya, lantas gedung tersebut dijual-belikan, dan barang titipan dagang tersebut hilang, maka pihak ketiga dapat menggugat ganti-rugi pada pihak penjual gedung yang dititipinya, bukan menggugat/menuntut pidana pihak pembeli gedung. Namun, dalam jual-beli lelang, pembeli lelang bahkan dapat dipidanakan dengan alasan pencurian “di dalam ruko yang dibelinya sendiri”.
5.     Hanya satu praktik yang telah berjalan kongkuen, yakni bila terdapat pihak penyewa yang objek gedung sewanya kemudian di lelang eksekusi hak tanggungan, pihak penyewa dapat menuntut ganti-rugi sewa gedung yang telah dibayarkan secara proporsional terhadap sisa masa sewa dari pihak debitor/penjamin, bukan menggugat kepada pembeli lelang. ß Seandainya seluruh konstruksi hukum jual-beli lelang berjalan kongruen seperti contoh kelima ini.

Rekomendasi
Sekiranya hukum yang bersifat normatif-imperatif bersifat konsisten dan tegas, bukan bersifat sosio-deskriptif yang hanya terbatas pada uraian “law in the book” berbeda dengan “law in society”—tidak mengatasi masalah. Ketegasan dan kepastian hukum merupakan peran vital sifat kondusif suatu perikatan perdata, tidak terkecuali terhadap praktik lelang.
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), telah mengatur:
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.


Namun dalam praktiknya, pembeli lelang teramputasi haknya, oleh sebab tidak dapat:
1.     Tidak dapat mengajukan tuntutan pidana penyerobotan lahan terhadap debitor/pemilik jaminan/penghuni yang memiliki afilisasi dengan debitor;
2.     Tidak dapat memutuskan jaringan listrik maupun air terhadap gedung yang telah atas nama pembeli lelang dalam sertifikat kepemilikan hak atas tanah.
3.     Terjadi kerancuan dalam menggugat tanggung jawab “penjual”, dimana Penjual Lelang secara yuridis adalah pihak pemilik jaminan sementara dalam risalah lelang disebutkan pihak kreditor pemohon lelang yang berkedudukan sebagai penjual.
4.     Justru pembeli lelang menjadi sasaran empuk kriminalisasi oleh pihak debitor.
5.     Debitor tidak pernah merasa menjual tanah/gedung diatasnya sehingga tidak memiliki itikad baik untuk mengosongkan objek lelang eksekusi.
6.     Dalam ketentuan UUPA mengenai HGU, pemilik hak atas tanah dalam sertifikat tanah wajib menguasai secara fisik atas obek HGU, sementara dalam faktanya hanya menguasai secara yuridis.
7.     Peraturan Kepala BPN Nomor 1 tahun 2010 mewajibkan pembeli lelang untuk membuat pernyataan “telah menguasai secara fisik objek lelang” dan “tiada sengketa” untuk ditanda-tangani jika hendak balik-nama sertifikat tanah. Hal tersebut overlaping, sebab untuk melakukan pengosongan tentunya terjadi sengketa. (Ketentuan ini telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 38 P/HUM/2015 tanggal 23 Desember 2015, dimana SHIETRA & PARTNERS menjadi kuasa hukum tunggal pemohon uji materil.)
8.     Dalam praktik seringkali kreditor menetapkan nilai limit di kisaran harga pasar, bahkan acapkali di atas harga pasar, sehingga tidak terdapat margin bagi pembeli lelang untuk mengeluarkan biaya eksekusi pengosongan. Alih-alih terbitor terdorong untuk melunasi hutang, justru dengan senang hati mempersilahkan agunannya dilelang dengan harga pasar.
9.     Pihak pengadilan tidak dapat menjamin bahwa eksekusi pengosongan pasti berhasil. Dapat dan sering terjadi pengosongan oleh aparat kepolisian kalah menghadapi preman-preman bayaran debitor.
10. Tidak ada kepastian besaran biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan eksekusi pengosongan via pengadilan.
11. Dalam jual-beli non lelang, bila penjual setelah memenuhi atas “terang dan tunai”, tidak juga menyerahkan objek jual-beli kepada pembeli, maka pihak penjual dapat dipidanakan karena penipuan. Sementara dalam jual-beli via lelang eksekusi, meski APHT secara baku mencantumkan klausula bahwa “Debitor/Penjamin akan mengosongkan objek agunan ketika terjadi lelang eksekusi”, dalam realitanya banyak pembeli lelang yang tidak dapat menguasai objek lelang, sementara debitor/penjamin tetap menguasai fisik objek lelang tanpa dapat diseret keranah pidana.
12. Terhadap objek lelang yang dengan nilai sekitar seratus hingga tiga ratus juta Rupiah, cost yang dikeluarkan untuk eksekusi pengosongan dapat sama besarnya dengan harga objek lelang yang dibelinya itu sendiri.
13. Dalam jual-beli lelang eksekusi, pembeli lelang dapat dikriminalisasi  debitor dengan alasan sepele “lukisan” rumah telah dicuri dan digelapkan pembeli lelang, atau klaim mengada-ngada terdapat emas logam mulia milik debitor yang dicuri pembeli lelang.
14. Terjadi kontraproduktif terhadap citra dunia lelang bilamana pembeli lelang yang kecewa tidak dapat menguasai fisik objek lelang, pada gilirannya akan menyebarkan antipati terhadap lelang di masyarakat.
15. Pembeli lelang sewaktu-waktu dapat menggugat pembatalan lelang atas dasar alasan tidak diberikan penguasaan fisik atas objek jual-beli lelang.


Untuk itu SHIETRA & PARTNERS merekomendasikan:
-        Seyogianya DJKN dapat membentuk MOU dengan pihak POLRI dengan substansi bahwasannya debitor/penjamin tidak lagi menkriminalisasi pihak pemenang lelang;
-        Mem-format ulang bentuk baku risalah lelang, dimana pihak penjual tercantum atas nama Debitor/Penjamin, sementara pihak kreditor pemegang jaminan kebendaan hanya berkedudukan sebagai Pemohon Lelang—dikarenakan secara yuridis formil kedudukan kreditor hanya sebatas kuasa Debitor/Penjamin untuk menjual secara lelang jika terjadi wanprestasi.
Tidak selamanya pihak Kantor Lelang Negara (KPKNL) maupun pemohon lelang dapat berlindung dibalik klausula eksenonerasi “lelang dijual apa adanya (as it is)”, oleh sebab klausula baku demikian dilarang dalam berbagai putusan Mahkamah Agung[2], disamping pertentangannya dengan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Pemenang lelang, karena sifatnya adalah berposisi sebagai pembeli, maka lelang eksekusi pun tunduk pada ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen.
Klausula eksenorasi demikian batal demi hukum, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1494 KUHPerdata:
Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung suatu apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang apa yang berupa akibat dari sesuatu perbuatan yang dilakukan olehnya; segala perjanjian yang bertentangan dengan ini adalah batal.”


Ditambahkan pula dalam Pasal 1504 KUHPerdata:
Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang,”

Adalah suatu motif penipuan bilamana debitor hendak mengemplang dana kredit sekaligus menguasai agunan, modus “perampokan” terhadap kreditonya sendiri. Debitor tersebut, sejak awal meminjam dana kredit, memang tidak berkehendak untuk mengosongkan objek secara baik-baik ketika suatu saat terjadi kredit macet, dan ternyata memang demikian yang terjadi dikemudian hari. Itulah yang disebut dengan “cacat tersembunyi berupa maksud batin debitor untuk menguasai dana kredit sekaligus agunan”. Maka, berlakulah ketentuan Pasal 1508 KUHPerdata:
Jika si penjual telah mengetahui cacat-cacatnya barang, maka selain di wajibkan mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya, ia juga diwajibkan mengganti segala biaya, kerugian, dan bunga kepada si pembeli.”

Jika hal tersebut diatas sampai terjadi, apakah kreditor pemegang jaminan kebendaan yang harus dibebani kewajiban mengembalikan harga pembelian sementara yang paling mengetahui cacat atau tidaknya objek (niat batin penghuni) adalah debitor/penjamin itu sendiri. Sehingga jika sampai terjadi kasus dimana pemenang lelang tidak dapat menguasai objek secara fisik, maka debitor (entah dengan dana kredit yang tidak dikembalikan pada kreditornya atau dari tabungan pribadinya) wajib mengembalikan dana pembelian pemenang lelang, bukan dituntut dari pemulihan piutang kreditor berdasarkan eksekusi HT.

Kesimpulan
Klausula eksenorasi “penjualan secara as it is” dalam konteks bila dalam risalah lelang dinyatakan pihak debitor/penjamin berkedudukan sebagai “penjual” ataupun sama sekali tidak dicantumkan status debitor/penjamin di dalam risalah lelang, dapat menjadi kontraproduktif, sebab debitor dapat berkilah bahwasannya penjualan dilakukan “apa adanya dengan segala cacat tersembunyi maupun cacat vulgar itikad tidak baik debitor/penjamin untuk terus menguasai agunan secara fisik”.
Lebih jauh, pihak kreditor pemegang jaminan kebendaan tidak perlu khawatir atas gugatan pembatalan pembeli lelang, karena pihak yang semestinya dijadikan tergugat dan beban tanggung jawab adalah pihak debitor/penjamin, oleh sebab pihak kreditor pemegang jaminan kebendaan hanya kuasa debitor/penjamin untuk menjual lelang agunan—dengan catatan bila dalam Kutipan Risalah Lelang maupun Minuta Risalah Lelang dan segala produk turunannya, dinyatakan secara tegas, bahwa yang menjadi pihak penjual ialah: Debitor/Penjamin, bukan sang kreditor yang mengeksekusi agunan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.


[1] Pasal 1977 KUHPerdata: “Barangsiapa menguasai barang bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang tidak harus dibayar atas tunjuk, dianggap sebagai pemiliknya sepenuhnya. Walaupun demikian, barangsiapa kehilangan atau kecurian suatu barang, dalam jangka waktu tiga tahun, terhitung sejak hari barang itu hilang atau dicuri, dapatlah menuntut supaya barang yang hilang atau dicuri itu dikembalikan pemegangnya, tanpa mengurangi hak orang yang disebut terakhir ini untuk minta ganti rugi kepada orang yang menyerahkan barang itu kepadanya, pula tanpa mengurangi ketentuan pasal 582.”
Pasal 529 KUHPerdata: “Yang dimaksudkan dengan besit adalah kedudukan menguasai atau menikmati suatu barang yang ada dalam kekuasaan seseorang secara pribadi atau dengan perantaraan orang lain, seakan-akan barang itu miliknya sendiri.”
Pasal 533 KUHPerdata: “Pemegang besit harus selalu dianggap beritikad baik; barangsiapa menuduhnya beritikad buruk, harus membuktikannya.”
Pasal 538 KUHPerdata: “Besit atas suatu barang diperoleh dengan menarik suatu barang ke dalam kekuasaannya dengan maksud mempertahankannya untuk diri sendiri.”
[2] Lihat putusan Mahkamah Agung perihal klausula baku terhadap karcis parkir “segala kehilangan menjadi tanggung jawab pemilik kendaraan” yang dinyatakan Mahkamah Agung sebagai melanggar kaidah UU Perlindungan Konsumen.