ARTIkel hukum
PROLOG
Dapat dikatakan, profesi hukum adalah profesi yang cukup ironis sekaligus dilematis, terutama bila praktisi hukum tersebut berpraktik di Indonesia. Artikel sedehana ini penulis angkat sebagai gambaran pengalaman profesi penulis selama berpraktik hukum di Indonesia. Akar dilemanya hanya satu isu: karena terlalu seringnya hukum disimpangi oleh uang, politik, dan kepentingan serta kekuasaan, hukum menjadi bias, bahkan tiada lagi hukum, yang ada ialah “hukum rimba”.
DILEMA SEORANG KONSULTAN HUKUM
Acapkali ketika menemui sebuah pertanyaan atas permasalahan hukum, seorang konsultan hukum akan dibenturkan pada dua fakta pilihan: ia akan memberikan analisa/opini hukum berdasarkan regulasi, atau analisa dan opini hukum akan ia berikan berdasarkan praktik riel di lapangan yang besar kemungkinan berbeda dengan bunyi aturan dalam undang-undang tertulis.
Jika ia memberikan analisa/opini hukum berdasarkan praktik riil di lapangan, hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendri jika suatu kali regulasi yang “impoten” secara seketika diberlakukan secara ketat oleh regulator. Entah penyakit apa yang melanda regulator negeri ini, regulasi dapat ditegakkan demikian ketat dan keras, namun ketika ada suatu kepentingan tententu yang irasional dapat diamputasi keberlakuannya sehingga dikenal istilah “hukum diatas kertas bagaikan macan ompong”.
Jika ia harus memilih untuk memberikan opini hukum “based on the textual law”, maka siap-siaplah ia untuk ditinggal pergi klien karena Opini Hukumnya berbeda dengan praktik dalam implementasinya sehingga dinilai tidak "membumi".
Penulis ambil sebuah contoh sederhana, betapa jurusita pengadilan itu sendiri tidak mengerti hukum acara (dapat Anda bayangkan betapa rusaknya negeri ini karena aparatur negara di pengadilan itu sendiri tidak mengerti konsep dasar ilmu hukum), sebagaimana tertuang dalam bunyi ketentuan Pasal 227 Ayat (1) H.I.R.:
“Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan (Note Penulis: artinya belum inkracht alias belum berkekuatan hukum tetap), mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih hutang, maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap persidangan, pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya.”
Ketentuan tersebutlah yang dikenal sebagai “sita jaminan” atau yang lazim disebut dengan singkatan “CB” dari singkatan “conservatoir beslag”. Mr. R. Tresna dalam bukunya yang berjudul Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta: 2005, dijelaskan bahwa:
“Tindakan hukum ini, yang disebut conservatoir beslag, dapat dilakukan sebelum ada penyelesaian didalam pokok perkaranya, atau sebelum keputusan Pengadilan Negeri didalam pokok perkaranya dapat dijalankan (misalnya menunggu keputusan pengadilan banding)…”
Secara sederhana, Pasal 227 HIR mengatur, bahwa permohonan sita jaminan tidak hanya bisa diminta ketika perkara gugatan masih diperiksa dalam tingkat Pengadilan Negeri. Sepanjang putusan PN belum berkekuatan hukum tetap, sita jaminan secara yuridis tetap dapat dimintakan ketika perkara memasuki tahap banding maupun kasasi.
Dasar filosofinya sederhana: guna mencegah suatu objek tertentu digelapkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Namun, dari berbagai juru sita yang pernah penulis tanyakan, tak satupun yang mengizinkan sita jaminan diajukan jika putusan PN telah diputus, meskipun perkaranya tengah berlangsung banding maupun kasasi. Penulis mencoba bersikeras bahwa sita jaminan dapat diajukan selama putusan belum inkracht, namun justru olokan dan makian yang penulis terima dari jurusita pengadilan.
Fenomena ganjil ini merata dalam segala isu bidang hukum, dan sifatnya bukan anomali, karena penyimpangan demi penyimpangan serta kejanggalan demi kejanggalan dipertontonkan secara vulgar justru oleh aparatur negara itu sendiri. Hal ini baru merupakan contoh kecil. Anda akan terheran-heran bila mengetahui seluruh fakta penyimpangan, bagaimana mungkin ia disebut pengadilan bila yang terjadi ialah penistaaan terhadap hukum (ideal) dan keadilan.
Negeri ini gaib sekaligus juga ajaib, sesuatu yang justru tidak dimungkinkan dan tidak diperbolehkan oleh hukum, bisa terjadi dan terlaksana meski tidak diperbolehkan. Sesuatu yang baik diamanatkan oleh hukum, justru diberlakukan hanya sebatas simbolik “hukum diatas kertas” yang mati karena tidak memiliki daya berlaku efektif di masyarakat oleh para pengemban hukum maupun oleh praktik para aparaturnya sendiri.
Nah, berangkat dari gambaran diatas, apakah yang Anda harapkan dari seorang konsultan hukum: jawaban yang jujurkah, atau jawaban “omong kosong”? Jawaban yang jujur hanya satu: tiada yang pasti dalam soal kepastian hukum di negeri ini selain ketidakpastian itu sendiri. Yang senang hanya satu pihak: para mafia hukum dan calo hukum. Itulah sebabnya, negeri yang tidak konsisten menerapkan hukum ini, justru membuat para calo hukum dan mafia hukum tumbuh subur. Negara ini sendiri yang telah memelihara para calon dan mafia hukum tersebut. Jika negara dengan aparaturnya konsisten menerapkan hukum, secara sendirinya para calo dan mafia akan gulung tikar. KPK akan bubar seandainya kejaksaan dan kepolisian konsisten dan berkomitmen memberantas korupsi.
Dari pengamatan penulis, 80% substansi peraturan perundang-undangan adalah baik dan benar, dari segi filosofis, yuridis, dan sosiologis. Namun, dalam praktiknya, yang baik dari substansi peraturan tersebut justru disimpangi atau di-peti-es-kan, dan yang buruk dari substansi peraturan tersebut justru diagungkan serta dijunjung.
Hukum di negeri ini menjelma demikian menyeramkan bagi para konstituennya, karena tidak ada lagi yang dapat dipegang secara erat. Jika Anda berpegang erat pada ketentuan hukum tertulis, maka bisa jadi Anda akan menjadi korban kriminalisasi, sebagaimana telah banyak penulis lihat dan temui. Penyimpangan justru dijadikan panglima hukum. Bagi siapa yang tidak tunduk dan melestarikan penyimpangan tersebut, ia akan termakan oleh hukum itu sendiri.
Hukum di negeri ini terjangkit “virus” sehingga tidak sehat dan cenderung mematikan.
Hukum harus bersifat rasional, bukan irasional seperti mental para aparatur negara. Ambil contoh sederhana lainnya, para petugas kelurahan yang berkuasa memegang kendali monopoli surat izin domisili perkantoran di wilayahnya, memungut “pungli” dengan dalil penuh ego: “Kamu kan pengusaha, jadi pasti untung, jadi wajar jika kami tarik pungutan!”
Menurut peraturan di sejumlah Pemerintah Daerah, surat izin domisili usaha adalah gratis. Namun cobalah Anda kekeuh meminta gratis, Anda akan dilawan oleh para aparatur negara yang justru digaji oleh uang rakyat. Mental aparatur kita bukan lagi melayani masyarakat, namun memeras masyarakat dengan dua cara: memakan gaji buta dari uang rakyat, dan memeras rakyat dengan kekuasaan monopolistiknya. Bila PNS memiliki pesaing layaknya minimarket yang banyak bertebaran, dimana masyarakat pengguna jasa bebas memilih, PNS busuk pasti layu dengan sendirinya.
Mereka tidak pernah mau bersikap rasional bahwa berusaha itu belum tentu mendapat laba, bisa jadi defisit. Adakah mereka mau menanggung kerugian usaha jika terus memungut pungli demikian?
LEMBAGA YANG PALING TIDAK ADIL IALAH PENGADILAN
Bagi mereka yang pernah berurusan dengan pengadilan, mengetahui secara pasti betapa kotornya lembaga peradilan. Bagi yang belum pernah bersentuhan dengan pengadilan, dapatlah disejajarkan dengan kotornya aparatur Badan Pertanahan Nasional / Kantor Pertanahan.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2014 jo. SEMA Nomor 6 Tahun 2014 telah mengatur secara tegas bahwa sengketa di pengadilan negeri dibatasi hanya dalam jangka waktu 5 (lima) bulan hingga tahap putusan dan minutasi.
Kenyataannya, persidangan dapat berlarut-larut hingga hitungan tahun. Hal ini bukan dikarenakan tumpukan perkara sehingga menjadi berlarut-larut demikian. Ambil contoh Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dikenal sebagai pengadilan yang paling sedikit perkara persidangannya, ketimbang PN Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, maupun PN Bandung.
Ketika Anda mencoba untuk menegakkan SEMA No.2 Tahun 2014 maupun SEMA No.6 tahun 2014, bersiap-siaplah Anda untuk dimusuhi oleh majelis hakim yang kebetulan menyidangkan perkara Anda.
Ketika hukum, keadilan, dan kebenaran direduksi menjadi sebatas peraturan tertulis, sebenarnya telah terjadi penistaan terhadap hukum dan keadilan itu sendiri. Terlebih, ketika peraturan tertulis pun masih harus dikebiri, maka yang terjadi ialah negara tanpa hukum. Chaos. Itulah yang terjadi di Indonesia. Mengerikan bukan? Negara Indonesia bukan termasuk negara yang ramah soal hukum bagi warganegaranya. Negara agamais ini termasuk dalam kategori negara yang dijajah oleh bangsanya sendiri.
Bangsa terjajah, selamanya tidak akan pernah maju. Mindset warganegara kini masih bermental feodal dan kolonialistik. Hal ini tidak mengherankan dalam kacamata ilmu psikologi hukum, oleh sebab masih banyak hukum peninggalan Belanda yang masih diberlakukan dan diterapkan di Indonesia sampai saat ini.
Ambil contoh KUHP, KUHPerdata, dan HIR (kitab hukum acara perdata) yang merupakan produk peninggalan kolonial Hindia-Belanda, dimana di Negeri Belanda produk hukum yang "terbelakang" itu sudah tidak digunakan.
Penulis acapkali mengusulkan pada para pejabat di Kementerian Hukum, bahwa jika Indonesia belum mampu membentuk hukumnya sendiri, ya sudah, copy paste saja hukum terbaru di Belanda sana daripada terus memaksakan diri menggunakan hukum yang tertinggal zaman dimana ketika hukum-hukum tersebut dibentuk, belum dikenal teknologi internet, video, mobil, ataupun pesawat. Jadi, apa yang bisa kita harapkan dari model hukum seperti demikian? Hukum primitif menghasilkan bangsa yang kerdil. Itulah bukti bahwa bangsa Indonesia masih mengidamkan masa penjajahan Kolonial Belanda. Indonesia belum merdeka!
Begitu banyak sarjana hukum di negeri ini, penulis buku hukum, tak terhitung pula jumlah doktor dan profesor hukum, ratusan ribu sarjana hukum telah dicetak berbagai fakultas hukum, apakah dapat dipercaya bila tak ada satupun sarjana hukum yang mampu menulis hukumnya sendiri bagi anak bangsa?
HUKUM INDONESIA, HUKUM BAR-BAR DI MATA BANGSA BERADAB
Penulis akan sedikit menyinggung mengenai perbandingan hukum Indonesia dan Amerika Serikat, guna membuat terang dan jelas betapa terbelakangnya hukum Indonesia dalam arti harafiah sebenarnya.
Jika di Indonesia Anda terpaksa harus menghadapi persidangan yang berlarut-larut hingga hitungan tahunan dalam satu tingkat pengadilan, maka di AS, meski pun berbiaya cukup tinggi untuk menghadirkan dewan juri, namun keadilan benar-benar hadir dan muncul untuk pihak pencari keadilan.
Betapa tidak, biaya mengajukan gugatan demikian murah-meriah di Indonesia, sehingga acapkali lembaga gugatan disalahgunakan untuk merampas kemerdekaan orang lain dari segi waktu, biaya, tenaga, untuk duduk sebagai pesakitan/tergugat, meskipun belum tentu Anda bersalah.
Di Amerika Serikat, jangan coba-coba untuk mengulur waktu dengan menyatakan “surat perbaikan gugatan” belum siap, saksi masih di luar kota mohon sidang tunda 1 minggu, dan tetek bengek lainnya. Jika Anda mencoba mengulur waktu, selain mendapat ganjaran sanksi “contempt of court”, andapun akan dipastikan kalah.
Mengapa? Karena persidangan Anda akan disaksikan oleh “the grand jury”. Jika Anda menghadirkan mereka hanya untuk membuang waktu mereka dengan tetek-bengek demikian, mereka akan marah, dan memahami perasaan pihak lain yang di-“kerjai” oleh sifat berlarut-larut demikian.
Sehingga, tidak heran, bila di USA, sejak hari pertama pembacaan gugatan, putusan dapat terjadi pada minggu itu juga! Para pihak sebisa mungkin menyiapkan diri sebaik-baiknya sebelum mengajukan gugatan atau jawaban, karena sekali membuat para juri tersinggung atau marah untuk waktu mereka yang terbuang percuma karena Anda, hadiah kemenangan pasti akan diberikan pada pihak lainnya.
Bandingkan pula dengan lembaga hukum acara AS yang bernama “sub poena”. Ini merupakan lembaga hukum canggih dan mumpuni di AS, sehingga pihak seberang tidak bisa bersikap macam-macam untuk menggelapkan saksi ataupun menggelapkan bukti, dsb. Siapapun dan apapun itu bisa ditarik dengan surat perintah pengadilan, sekalipun itu perkara perdata.
Di Indonesia, pengacara busuk mengangkangi hakim dan pengadilan lewat penggelapan bukti, penggunaan dokumen palsu, saksi palsu, dsb, tanpa malu dan tanpa takut resiko hukum karma ataupun moralitasnya. Para pengacara, acapkali mengambil peran sebagai agen uang, ketimbang agen moral.
DON’T SAID “LAW IN THE BOOK” DIFFERENT WITH “LAW IN THE SOCIETY”. YOU ARE A JURIST, SO MAKE IT “SHOULD / OUGHT TO !”
Apakah kita harus menyerah para praktik yang menyimpang? Itulah pertanyaan yang sering saya lontarkan kepada diri saya sendiri.
Frustasi, ya. Marah, ya. Namun sejatinya seorang sarjana hukum harus bersifat normatif-imperatif, bukan deskriptif “hukum dalam praktik berbeda dengan hukum dalam bukumu itu!”
Mereka yang tidak beracuan pada hukum, hanya akan menjadi korban kediktatoran, cepat atau lambat. Hukum, secara ontomologi, dibentuk guna kemaslahatan para manusia yang memiliki kepentingan masing-masing agar tidak saling berbenturan satu sama lainnya.
Ketika hukum menjelma praktik yang menyimpang, dan kemudian praktik yang menyimpang tersebut yang diagung-agungkan, percayalah, Anda menanam bom waktu.
Penulis menjadi orang pertama yang meluruskan praktik di Suku Dinas UMKM Jakarta Pusat, dimana sebelum tahun 2013, Anda tidak mungkin mengajukan Tanda Daftar Perusahaan untuk kantor perwakilan, dengan alasan TDP kantor perwakilan hanya dibolehkan untuk perusahaan asing PMA. PMDN ataupun perusahaan swasta nasional (lokal) hanya diperbolehkan memiliki TDP kantor cabang.
Setelah melakukan korespondensi dengan Kementerian Perdagangan c.q. Direktorat Bina Usaha (salah satu instansi negara yang patut kita apresiasi dan acungi jempol), kemudian meluruskan praktik yang selama ini menyimpang di Sudin UMKM Jakarta Pusat.
Masih terngiang di telinga penulis pesan penutup dari pejabat di Kementerian Perdagangan Subdirektorat Bina Usaha Perdagangan ketika menutup diskusi bersama penulis:
“Nah, Pak Hery, yang paling merepotkan ialah ketika harus meluruskan mindset aparat di lapangan, yang selalu berdalih bahwa dirinya sudah pengalaman selama puluhan tahun menangani masalah tersebut, mereka sangat sukar untuk diluruskan, karena ego mereka yang merasa sudah senior. Padahal, praktik mereka selama ini menyimpang. Jika praktik mereka selama ini baik dan benar, kita dukung, lestarikan, namun yang susah bila praktik menyimpang sudah mendarah daging.”
Begitu banyak sarjana hukum maupun pengacara yang berpraktik di pengadilan maupun di gedung pemerintah, namun tak ada satupun yang berani meluruskan praktik yang telah jauh menyimpang dari hukum. Tak usah jauh-jauh, soal sita jaminan jika perkara masih proses banding, yang tidak diizinkan sita jaminan oleh juru sita, soal TDP kantor perwakilan untuk perusahaan lokal, kemana semua sarjana hukum itu?!
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.