Penerapan Asas Pembebasan Tanggung Jawab Hukum akibat Force

LEGAL OPINION
Question: Dapatkah alasan adanya kenaikan harga minyak bumi dunia sebagai dasar untuk mengakhiri hubungan kontrak pengadaan jasa dan barang? Apakah permasalahan seperti kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) dapat dikategorikan sebagai force majeure sehingga dapat terhindar dari gugatan wanprestasi?
Answer: Jarang sekali atau bahkan tidak pernah ada klausul dalam perjanjian yang menyatakan bahwa kenaikan minyak bumi sebagai salah satu alasan force majeure. Kontrak biasanya memuat keadaan apa saja yang cukup relevan untuk menjadi alasan force majeure (keadaan kahar), seperti adanya huru-hara, gempa bumi, mogok masal, kebakaran—namun jangan sesekali mencantumkan frasa “antara lain” ataupun “termasuk namun tidak terbatas” dalam klausula Force Majeure. Ketika penafsiran suatu perjanjian mengalami suatu kendala, maka para pihak dan hakim yang mengadili sengketa diantara mereka perlu merujuk kembali pada asas hukum umum, yang berbunyi: “Kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.” Namun, disisi lain terdapat asas hukum umum lain yang menyatakan: “Lex niminem cogit ad impossibilia”—undang-undang (termasuk undang-undang yang dibentuk berdasarkan kesepakatan) tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin. Bila undang-undang negara saja tidak dapat memaksa warga negaranya untuk melakukan sesuatu yang tidak layak, terlebih "undang-undang" buatan sipil. Disini, kita dapat melihat adanya perbenturan asas, karena itu kita perlu merujuk pada satu nilai utama sebagai payung dari segala asas, yakni nilai: akal budi dan rasionalitas, kewajaran, dan kepatutan, disamping keadilan dan kepastian hukum. Namun, bila kita menilik dari segi niaga, adalah lebih baik “kerja rugi” daripada merusak brand/nama baik di mata pelanggan yang dapat menjadi potential income dikemudian hari. Untuk itu kita dapat kembali pada satu asas hukum perdata kontraktual: resiko usaha hanya dapat ditanggung oleh pihak yang membuat pilihannya sendiri untuk mengambil resiko tersebut.
EXPLANATION:
Force Majeure, atau yang dalam istilah bahasa Indonesia diartikan sebagai ”keadaan kahar”, ialah suatu ketentuan yang telah disepakti sebelumnya disuatu klausula kontrak/perjanjian/perikatan, baik lisan (meski sukar dibuktikan) maupun tertulis (hitam diatas putih), yang mana pihak satu akan membebaskan pihak lain dari tuntutan wanprestasi bila pihak lain tersebut mengalami suatu keadaan yang tidak memungkinkannya untuk bertindak sesuai prestasi atau sesuai dengan apa yang telah disepakati sebelumnya, entah itu untuk berbuat sesuatu, menyerahkan sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Istilah force majeure, hanya dikenal atau hanya relevan dalam kaitannya dengan masalah suatu hubungan perdata yang bersifat kontraktual, dimana salah satu pihak gagal (default) untuk menjalankan salah satu atau beberapa kewajiban timbal-balik terhadap pihak lain di dalam perikatan yang lahir dari kesepakatan diantara para pihak. Meski sebenarnya konsep tersebut juga dikenal dalam ranah hukum pidana seperti dasar penghapus kesalahan pidana semisal adanya alasan pembenar ataupun alasan pemaaf dari sang pelaku sehingga lolos dari pemidanaan.
Adapun yang menjadi pasal-pasal penafsiran perjanjian, ialah:
-       Pasal 1342 KUHPerdata: “Jika kata-kata suatu persetujuan jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.”
-       Pasal 1343 KUHPerdata: “Jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberi berbagai tafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat persetujuan itu, daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf.”
-       Pasal 1344 KUHPerdata: “Jika suatu janji dapat diberi dua arti, maka janji itu harus dimengerti menurut arti yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, bukan menurut arti yang tidak memungkinkan janji itu dilaksanakan.”
-       Pasal 1350 KUHPerdata: “Betapa luas pun pengertian kata-kata yang digunakan untuk menyusun suatu persetujuan, persetujuan itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan kedua pihak sewaktu membuat persetujuan.”
Sekarang mari kita telaah keempat pasal perdata diatas. Perhatikan klausa yang bergaris bawah ”yang nyata-nyata dimaksudkan kedua pihak sewaktu membuat persetujuan” dan ”dalam arti yang memungkinkan janji itu dilaksanakan”. Pertanyaan kuncinya, jika janji tidak dapat dilaksanakan karena keadaan materiel di lapangan dikemudian hari yang sangat tidak kondusif, maka kontrak dapat terputus—namun, teori ini hanya berlaku bila tiada klausul mengenai ”Force Majeure” di dalam kontrak. Jika klausul mengenai itu telah ditetapkan didalam kontrak dan disepakati, maka hanya terhadap kejadian-kejadian tertentu yang disebutkan dalam kontrak itu saja yang dapat menjadi alasan untuk lepas dari tuntutan wanprestasi, karena dapat ditafsirkan para pihak telah melepas bentuk-bentuk pelepasan perikatan lainnya.
Sebaliknya, bagaimana jika terjadi hal merugikan diluar apa yang telah disepakati di dalam kontrak? Kata kuncinya ialah ”persetujuan itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan kedua pihak sewaktu membuat persetujuan”. Hal-hal apa sajakah yang nyata-nyata dimaksudkan kedua belah pihak sewaktu membaut persetujuan/kontrak?
1.    Kalkulasi laba, ternyata dalam implementasinya dikemudian hari menemui kondisi yang justru dapat berbuah defisit/kerugian yang ekstrim;
2.    Asumsi biaya BBM bila faktor BBM sangat krusial dalam operasional pemenuhan janji jasa pengadaan barang/jasa, dimana anomali harga BBM dunia yang diprediksi ternyata meleset karena melambung demikian tinggi.
Karena secara relevan apa yang disepakati sebelumnya dalam kontrak tidak lagi relevan dengan keadaan sekarang, maka itu dapat menjadi salah satu alasan untuk meminta pengakhiran ataupun pembatalan kontrak secara seketika ke hadapan pengadilan. Anda tidak perlu cemas bila di dalam kontrak Anda tertuang pasal yang menyatakan bahwa Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditiadakan oleh para pihak, karena Pasal 1266 KUHPerdata maupun Pasal 1267 KUHPerdata tidak dapat ditiadakan oleh sebuah perjanjian sebagaimana pun anda bebas membuat kesepakatan (lihat ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata).
Namun, teori yang penulis ajukan ini masih belum dipraktikkan secara seragam oleh berbagai pengadilan di Indonesia. Bercermin dari berbagai putusan yang masih bersifat orthodoks konservatif, memang tampaknya hukum dan peradilan di Indonesia belum cukup ramah untuk pelaku usaha yang sangat bergantung pada variabel luar seperti keadaan harga BBM dunia. Kondisi realita menjadi variabel bebas, sementara itu daya ikat kontrak menjadi variabel tetap.

KESIMPULAN: Secara analogi, kita dapat menemui perkara serupa berupa kenaikan kurs mata asing terhadap melemahnya nilai rupiah, sebagai salah satu aspek yang dapat memukul dunia usaha di Indonesia. Namun apakah itu dapat menjadi alasan yang cukup memadai untuk berkilah dari tanggung jawab kontraktual?
Dalam dunia niaga, dikenal istilah lembaga “lindung nilai” (hedging), dimana kalangan perbankan menyediakan suatu lembaga asuransi untuk meng-cover naik-turunnya kurs yang tidak dapat diprediksi. Setiap usaha dapat mengalami kemajuan maupun kemunduran, sama seperti halnya seorang debitor yang meminjam dana kredit modal kerja dari sang kreditor, apapun yang kemudian terjadi pada proyek usahanya, kewajiban pelunasan terhadap kreditornya adalah merupakan asas hukum umum perdata itu sendiri.
Berani usaha, berani menanggung potensi rugi, bukan hanya potensi untung. Berani meminjam, berani melunasi. Berani bersepakat, berani menjawab, itulah definisi tanggung-jawab dalam hukum, sebagaimana akar kata “responsibility” ialah berasal dari kata “to respond”.
Namun, dalam kasus kontraktual selain pinjam-meminjam dana, sebenarnya ada sedikit perbedaan dalam konstruksi hukum yang ada. Bila pihak yang memutuskan perjanjian secara sepihak mampu membuktikan bahwa jika perikatan tetap harus dijalankan, maka perusahaan yang diusungnya dapat mengalami kolaps bahkan terancam gulung tikar bahkan berhutang. Sekiranya hal terakhir ini tidak layak untuk tetap melangsungkan perikatan, dimana bila pihak seberang bersikukuh untuk tetap menjalankan kontrak, dapatlah Anda berlindung dibalik asas “Lex niminem cogit ad impossibilia”—undang-undang (termasuk undang-undang yang dibentuk berdasarkan kesepakatan) tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin.
Disini, belum terjadi prestasi apapun dari pihak Anda, maupun dari pihak seberang, sehingga masih memungkinkan pihak Anda untuk meminta pada pengadilan agar membatalkan kontrak tersebut karena tidak lagi equal. Berbeda dengan kontrak pinjam-meminjam dana, jika debitor telah meminjam, dalam arti telah terjadi prestasi dari pihak kreditor, tiada lagi alasan untuk wanprestasi, karena asas hukum umum perdata mewajibkan debitor untuk melunasi hutangnya, apapun alasannya. Dalam kontrak, berlaku satu asas utama yang mengikat secara moril, yakni asas sikap ksatria.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.