Pemalsuan Surat atau Membuat Surat Palsu, Tidak Tertipunya Korban Bukan Alasan Pemaaf dalam Pemidanaan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

LEGAL OPINION
Question: Baru-baru ini kami menerima suatu alat bukti pelunasan berupa slip pembayaran RTGS yang dikirimkan via faximili pada pihak kami. Dalam slip tersebut tertera validasi dari bank penerbit slip RTGS. Namun, beruntung kami melakukan verifikasi pada rekening koran kami, ternyata slip RTGS yang dikirimkan pada kami adalah RTGS kosong! Yang pasti, hampir saja kami tertipu, dan entah bagaimana RTGS tersebut bisa divalidasi oleh bank BUMD DKI Jakarta tersebut, yang jelas hal tersebut sangat berbahaya dalam dunia bisnis. Yang ingin saya ketahui, apakah perbuatan orang tersebut termasuk dalam tindak pidana? Bukti fax slip RTGS kosong tersebut ada di tangan saya, dan bila memang dapat menindak si pelaku secara pidana, maka akan kami jalankan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Answer: Pasal 263 KUHP tentang Membuat Surat Palsu / Memalsukan Surat, termasuk dalam delik formil, bukan delik materiil, sehingga perbuatannya yang memalsukan surat / membuat surat palsu yang dilarang dan diberi sanksi pidana, sehingga berhasil atau tidaknya si pelaku, bukan syarat mutlak. Maka dapat Anda lakukan laporan tindak pidana terhadap pelaku kepada pihak berwajib.
EXPLANATION:
Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
“(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
“(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”
Biasanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membuat Pasal 263 Ayat (2) sebagai dakwaan ”Subsidair” dari dakwaan ”Primair” Ayat (1) pasal yang sama.
Menurut Yurisprudensi tetap, yang disebut “Intelectuele Valsheid” atau pemalsuan secara intelektual itu termasuk dalam pengertian perbuatan membuat secara palsu sepucuk surat seperti yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHP (Putusan HR 18 Juni 1988, W.5577)[1]
Bahwa tentang bilamana sepucuk surat itu harus dipandang surat yang palsu, Hoge Raad di dalam arrest-nya tanggal 18 Maret 1940 NJ 1940 No.781 antara lain telah memutuskan bahwa: “Sepucuk surat itu adalah palsu, jika sebagian yang tidak terpisahkan dari surat tersebut ternyata palsu.”[2]
Bahwa Unsur Objektif kelima dan yang terakhir dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHP ialah unsur penggunaannya dapat menimbulkan kerugian.[3]
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang menyebutkan:[4]
“Dari kata-kata, dapat menimbulkan kerugian kiranya sudah jelas bahwa di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHPerdata itu, pembentuk UU tidak mensyaratkan keharusan adanya kerugian yang timbul, melainkan hanya kemungkinan timbulnya kerugian seperti itu. (HR 22 April 1907, W.8536); bahkan pelaku tidak perlu harus dapat membayangkan tentang kemungkinan timbulnya kerugian tersebut (HR 8 Juni 1997, W.6981)” (31)
Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda yang menjadi kiblat landmark decision) dalam arrest-nya tanggal 29 Maret 1943, NJ 1943 No.371, menyatakan: “Kerugian yang mungkin dapat timbul pada pemalsuan surat yang dilakukan oleh seorang notaris ialah berupa berkurangnya kepercayaan masyarakat yang dapat timbul terhadap para notaris.”—Maka, tindakan pelaku yang mem-faximili slip RTGS kosong bervalidasi kepada anda, telah mengganggu ketertiban umum, karena kepentingan seluruh lapisan masyarakat menjadi terusik untuk merasa aman atas kepastian sebuah slip RTGS yang merupakan alat pembayaran dunia bisnis yang sangat sensitif perihal kepercayaan dan kepastian. Efek sosiologisnya tidak terperi jika sampai masyarakat tidak lagi percaya pada kepastian slip RTGS tersebut.
HR dalam arrest-nya tgl 26 Juni 1922, NJ 1922, W.10947 menyatakan, “Pada waktu memastikan kesalahan terdakwa, tidaklah menjadi soal apakah maksud terdakwa itu berhasil atau tidak, karena yang menentukan ialah apakah dari pemakaiannya itu dapat menimbulkan kerugian atau tidak.”[5]
Lamintang kembali menguraikan:[6]
“Yang dimaksud dengan kerugian yang dapat timbul itu bukan hanya kerugian materiil saja, melainkan juga jika penggunaan dari surat yang dipalsukan dapat menyebabkan dipersulitnya pemeriksaan oleh penyidik, maka penggunaan dari surat yang dipalsukan tersebut dapat dipandang sebagai telah merugikan kepentingan masyarakat. (HR 14 Oktober 1940, NJ. 1941, No.42)”
“Menurut Almarhum Prof. Satochid Kartanegara, yang dimaksud dengan kerugian yang dapat timbul di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHP bukanlah hanya kerugian materiil saja, melainkan juga kerugian moril.”
“Diatas telah dikatakan bahwa untuk dapat dipandang sebagai telah menggunakan sepucuk surat yang dipalsukan atau yang dibuat secara palsu itu, pelaku telah menggunakan surat tersebut untuk memperdayakan orang lain. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa untuk selesainya perbuatan menggunakan surat yang dipalsukan atau yang dibuat secara palsu seperti yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 Ayat (2) KUHP tidaklah perlu tujuan pelaku menggunakan surat tersebut telah tercapai. (HR 11 Maret 1895, W.6642 dan 17 Juli 1896, W.6842).”
Yang dimaksud dengan surat palsu Pasal 263 KUHP, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, adalah “surat yang isinya bertentangan dengan kebenaran”, baik mengenai tanda tangannya maupun mengenai isinya, hingga sepucuk surat itu baik seluruhnya maupun hanya sebagian yang berkenaan dengan tanda tangannya saja atau yang berkenaan dengan isinya, secara palsu telah dibuat seolah-olah berasal dari orang yang hanya tertulis di bawah surat tersebut. (Putusan Mahkamah Agung No. 2050 K/Pid/2009)
Dalam berbagai putusan pemidanaan, pengertian “membuat secara palsu” berarti pemalsuan surat didalam suatu tentang: 
- Sesuatu yang layaknya tidak bisa diisikan atau diizinkan secara lain mengenai tanggal, bulan dan tahun (daya pembuktian luas) ;
- Isi / substansi / materi (daya pembuktian materiil) ;
- Tanda tangan (daya pembuktian formil).
Pun bisa terjadi, dalam satu surat dakwaan JPU, Pasal 263 Ayat (2) KUHP tentang surat palsu ini menjadi dakwaan primair, sementara Pasal 378 KUHP tentang penipuan menjadi dakwaan subsidair. Dakwaan subsidair maupun alternatif Pasal 378 KUHP memang cukup relevan, karena juga dapat mencakup tindak pidana penipuan atas suatu penggunaan ataupun pembuatan suatu surat palsu. Pemalsuan surat / membuat surat palsu, pastilah memiliki motif untuk menipu, jadi antara Pasal 263 KUHP dan Pasal 378 KUHP bersifat kongruen dan komplomenter, dalam arti tidak dapat dilepaskan satu sama lain.
Adakah mungkin sengaja menggunakan atau membuat surat palsu (yang seolah isinya benar) bila bukan dengan tujuan untuk menipu?
Sehingga, Jaksa Penuntut Umum wajib membuat dakwaan jenis kumulatif atas suatu tindak pidana pemalsuan surat, dimana dakwaan kesatu adalah Pasal 263 (ayat 1 subsidair ayat 2) dan dakwaan kedua ialah Pasal 378 KUHP—jadi adalah tidak tepat jika JPU merumuskan kedua pasal tersebut secara alternatif maupun subsidair.
Mengapa JPU wajib membuat dakwaan kumulatif atas pemalsuan surat dan delik penipuan? Karena dapat menjadi celah hukum guna “transaksi bagi mafia hukum” dalam memilih pengenaan sanksi pidana. Perhatikan ancaman pemidanaan berikut:
Delik pemalsuan surat, memiliki ancaman pidana penjara paling lama “enam tahun”. Sementara itu, pasal mengenai delik perbuatan curang / penipuan, hanya memiliki konsekuensi pidana penjaran paling lama “empat tahun”. Anda lihat, ada selisih ancaman pidana penjara antara kedua pasal diatas. Hal ini dapat menjadi ajang bagi JPU dalam melakukan “penjualan pasal” terhadap para terdakwa.
Padahal, bila Anda cermati, kasus Anda pun dapat mengena bila dipasangkan pada Pasal 378 KUHP yang berbunyi:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Frasa “supaya” pada rumusan delik penipuan diatas, mengandung makna “dapat”, artinya, tak haruslah si korban tertipu. Namun, mungkin dalam implementasinya diperlues, bilamana si korban tak tertipu, cukuplah dikenakan Pasal 263 KUHP, sementara jika si korban tertipu, JPU wajib membuat dakwaan kumulatif Pasal 263 KUHP jo. Pasal 378 KUHP, sehingga ancaman pidana maksimum Pasal 263 KUHP, yakni sebesar 6 tahun penjara, ditambah sepertiganya, sehingga ancaman pidana maksimumnya ialah sebesar 8 (delapan) tahun penjara.

KESIMPULAN: Pemalsuan Surat ataupun Membuat Surat Palsu hendaknya dihindari, sebab meskipun korban tidak berhasil tertipu, namun tetap merupakan delik pidana yang diancam dengan sanksi pidana penjara. KUHP mengatur hal ini, oleh sebab alat pembayaran harus memiliki suatu kepastian demi terjaganya dunia perdagangan dengan alat bukti pembayaran apapun, dimana pihak perbankan yang menerbitkan slip RTGS kosong dengan validasi resmi dari bank sehingga dapat mengecoh pihak ketiga, berkemungkinan dapat dijerat dengan pasal pidana penyertaan sebagai turut serta maupun persekongkolan/mufakat jahat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.


[1] P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum Terhadap Surat Alat Pembayaran, Alat Bukti, dan Peradilan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 14.
[2] Ibid., hlm. 15.
[3] Ibid., hlm. 30.
[4] Ibid., hlm. 31.
[5] Ibid., hlm. 32.
[6] Ibid., hlm. 32 dan hlm. 37.