KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Tindak Pidana Pencucian Uang, Menjerat secara Renteng, Baik Organ/Pengurus Korporasi Pelaku Delik maupun Badan Hukum Korporasi itu Sendiri

LEGAL OPINION
Question: Apakah bisa, dijerat dengan undang-undang pencucian uang, sementara sumber dana berasal dari luar negeri? Masalahnya, bagaimana kami dapat mengetahui bagaimana sumber dana dari luar negeri tersebut adalah didapatkan secara legal atau ilegal? Bagaimana bila subjek hukum yang dituduh melakukan pencucian uang adalah sebuah badan hukum perseroan atau perusahaan? Apakah direksi perseroan tersebut akan terkena jerat pidana? Bagaimana jika kami adalah penyedia jasa keuangan?
Answer: Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum dapat mendakwa subjek hukum Indonesia yang melakukan pencucian uang, meskipun sumber dana berasal dari aktivitas ilegal di negara lain. Dalam rezim UU Anti Pencucian Indonesia di Indonesia, kelalaian (alpha, culpa) termasuk dalam kategori “kesalahan”. Hanya “tiada pidana tanpa kesalahan” yang dapat membebaskan subjek hukum dari jerat pidana. Baik korporasi maupun pengurusnya dapat dijerat dengan UU Anti Pencucian Uang, meski anehnya, UU Anti Pencucian Uang lebih mengarah pada penjeratan terhadap pengurusnya ketimbang korporasi itu sendiri, mengingat beratnya unsur prasyarat delik korporasi dalam UU Anti Pencucian Uang tahun 2010. Bagi Penyedia Jasa Keuangan, selama melaporkan transaksi mencurigakan tersebut, maka tiada ancaman pidana bagi si pelapor.
EXPLANATION:
Pasal 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (UU Pemberantasan Pencucian Uang): “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
3. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. ß Perhatikan, definisi “transaksi” dalam UU ini, meliputi segala jenis perikatan dalam perdata, baik melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, maupun menyerahkan sesuatu. Inilah salah satu Hukum Publik yang meminjam unsur Hukum Privat. Hal ini wajar, mengingat tindak pidana pencucian uang adalah upaya konversi uang kotor menjadi benda lainnya, guna menyamarkan ilegalitas sumber dana tersebut.
10. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
11. Pihak Pelapor adalah Setiap Orang yang menurut Undang-Undang ini wajib menyampaikan laporan kepada PPATK. ß Sementara itu dalam Ayat ke-9 disebutkan, Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi.

Pasal 2 Ayat (1) UU Anti Pencucian Uang: “Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. nark*tika;
d. psikotropika;
e. penyelundupan tenaga kerja;
z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih,
yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Pasal 4 UU Anti Pencucian Uang: “Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).” ß Perhatikan frasa “patut diduga”, itulah unsur kelalaian tindak pidana yang dapat menjerat dalam pasal ini.
Pasal 5 UU Anti Pencucian Uang:
(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. ß Perhatikan, inilah celah hukum fatal yang dihadirkan dalam UU Anti Pencucian Uang Tahun 2010 yang menggantikan UU Anti Pencucian Uang Tahun 2002, dimana jika ketentuan Ayat (1) dan Ayat (2) di-“kawinkan”, maka dapat berbunyi: “Meski harta kekayaan ilegal digunakan, asal melaporkan, maka tiada ancaman pidana.” Suatu excape clause yang demikian fatal.
Penjelasan Resmi Pasal 5 Ayat (1):Yang dimaksud dengan “patut diduganya” adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya Transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.”
Pasal 6 UU Anti Pencucian Uang:
(1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi. [Penjelasan Resmi: “Korporasi mencakup juga kelompok yang terorganisasi yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial atau non-finansial baik secara langsung maupun tidak langsung.”]
(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
NOTE: perhatikan ketentuan dalam Pasal 4 Ayat (3) UU No.15 Tahun 2002 jo. UU No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU lama yang telah digantikan oleh UU Anti Pencucian Uang 2010): “Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan,”
Membaca secara sistematis, antara perbandingan kedua versi UU Anti Pencucian Uang, yakni UU Anti Pencucian Uang versi lama dan versi baru, maka dapat kita simpulkan:
-        Meski korporasi adalah suatu badan hukum, legal entity yang berdiri sendiri, memiliki kekayaan sendiri, akta pengesahan badan hukum dan “badan fiksi” itu sendiri, namun dalam UU Anti Pencucian Uang, tampaknya jerat ancaman pidana lebih mengarah kepada pengurus Korporasi ketimbang Korporasinya itu sendiri;
-        Dalam UU Tahun 2010, terdapat 4 (empat) syarat yang sifatnya kumulatf aslias mutlak, yakni:
o   dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
o   dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
o   dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
o   dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
… Hal ini dapat bersifat kontraproduktif, oleh sebab pihak Korporasi dapat mengkambinghitamkan direksi/komisaris mereka sendiri, dengan menyatakan bahwa tindakan direksi mereka tidak dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi, bahwa si pelaku adalah komisaris sehingga tidak sesuai UU PT yang menyatakan komisaris tidak memiliki kewenangan bertindak keluar perusahaan, bahwa tindakan pengurus mereka tidak memberi manfaat apapun bagi Korporasi. Dengan berbagai kerumitan ini, dapat dipastikan JPU kesukaran dalam menjerat Korporasi.
-        Sementara dalam UU Tahun 2002, syarat untuk itu bersifat lebih sederhana.
Pasal 7 Ayat (1) UU Anti Pencucian Uang: “Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Coba Anda perhatikan ketentuan Denda dalam Pasal 5 maksimumnya hanya 5 (lima) miliar rupiah, sementara Pasal 7 sebesar 100 miliar rupiah. Kaitkan ketentuan Pasal 7 diatas dengan pasal berikut:
Pasal 9 UU Anti Pencucian Uang:
(1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.
(2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Artinya, sangat minim denda maksimun bagi pengurus korporasi, dan karena prasyarat untuk menjerat korporasinya dengan denda sangat berat, maka hampir dikatakan mustahil untuk menjerat denda bagi pengurus korporasi yang nakal.
Pasal 10 UU Anti Pencucian Uang: “Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.” ß Bahkan untuk sekedar percobaan pun dipidana, padahal, tidak ada ketentuan delik pidana percobaan dalam UU Anti Pencucian Uang ini.
Pasal 20 UU Anti Pencucian Uang:
(1) Pihak Pelapor wajib mengetahui bahwa Pengguna Jasa yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor bertindak untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain.
(2) Dalam hal Transaksi dengan Pihak Pelapor dilakukan untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain, Pihak Pelapor wajib meminta informasi mengenai identitas dan Dokumen pendukung dari Pengguna Jasa dan orang lain tersebut.
(3) Dalam hal identitas dan/atau Dokumen pendukung yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap, Pihak Pelapor wajib menolak Transaksi dengan orang tersebut.
Ketentuan Pasal 20 diatas memiliki motif yang mulia, demi asas trasnparansi dan akuntabilitas. Namun, bila diterapkan secara ketat dan kaku, dunia niaga dapat "mandeg" dan berjalan di tempat, karena menjadi bias, mana rahasia “dapur” perusahaan yang dimintai rekanan, dan mana yang merupakan “data pencucian uang” yang pastinya takkan diberikan secara sukarela oleh pihak rekanan. Bila ketentuan ini diterapkan secara kaku oleh lembaga pengawas dan regulator, maka bisa jadi negeri ini akan nampak menyerupai negeri komunis.
Pasal 22 UU Anti Pencucian Uang:
(1) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib memutuskan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa jika:
a. Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip mengenali Pengguna Jasa; atau
b. penyedia jasa keuangan meragukan kebenaran informasi yang disampaikan oleh Pengguna Jasa.
(2) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkannya kepada PPATK mengenai tindakan pemutusan hubungan usaha tersebut sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Mengenai Pasal 22 (terutama Ayat 1 b) diatas, adalah kontradiktif dengan ketentuan pasal 5 Ayat (2) yang menyatakan bahwa tidak dipidana oleh UU ini, bila dilakukan pelaporan transaksi keuangan mencurigakan tersebut. Pasal 70 juga mengatur, bahwa penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan penundaan Transaksi terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. Penyedia Jasa Keuangan dihadapkan pada suatu dilema, menolak pengguna jasa?
Rujuk Pasal 44 Ayat (1) butir (i) UU Anti Pencucian Uang: “Dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf d, PPATK dapat: … meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana;” ß Maka dapat ditafsirkan, selama belum dimintakan penghentian transaksi oleh PPATK, dan selama transaksi itu dilaporkan, maka tiada ancaman pidana bagi Pihak Pelapor.
Pasal 69 UU Anti Pencucian Uang: “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”
Apakah ketentuan Pasal 69 diatas guna mengakomodir kesukaran dalam membuktikan tidak pidana yang terjadi di negara lain yang menjadi sumber dana ilegal? Namun, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa sumber dana tersebut adalah dari tindakan ilegal bila tiada suatu putusan pun, baik di Indonesia maupun oleh pengadilan di negara luar, yang menyatakan bahwa pemilik sumber dana melakukan kegiatan ilegal? Bagaiamna jika seandainya diputus oleh pengadilan luar bahwa kegiatan tersebut adalah legal, sementara oleh Indonesia terlanjur diputus bersalah berdasarkan UU Anti Pencucian Uang ini?
Pasal 77 UU Anti Pencucian Uang:Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”  ß Beban pembuktian berada pada bahu Korporasi atau pengurusnya yang bisa jadi tidak tahu menahu atas legalitas dana yang bersumber dari pihak lain di luar negeri. Pasal ini dapat menjadi peluang kriminalisasi bila diterapkan secara mutlak.
Tampaknya regulator telah mencampuradukkan konsep pelaku Korupsi dengan suatu Korporasi yang bisa jadi hanya menjadi pelaku usaha yang kebetulan menjalin relasi usaha dengan pelaku koruptif, namun bukan berarti Korporasi tersebut turut serta koruptif atau menjadi pembantu transaksi pencucian uang. UU TPPU merupakan Undang-Undang yang "sakti" sekaligus "tajam" yang telah banyak berhasil mengungkap tindak pidana korupsi di tanah air. Hingga kini, UU TPPU praktis hanya terbentur oleh keberlakuan UU Perbankan perihal "rahasia" nasabah penyimpan dana dan simpanannya. Terkadang, antara "privasi" dan "praktik koruptif" kerap dicampur-adukkan sebagai alasan bagi pelaku korup guna menghindari tanggung-jawab akuntabilitas dan transparansi harta kekayaan. Solusinya, setiap pejabat negara maupun pegawai negeri sipil (PNS) diwajibkan untuk memberikan surat kuasa bagi otoritas yang berwenang dibidang TPPU, dalam hal ini PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), agar berhak dan berwenang memeriksa dan mengakses rahasia bank dan nasabahnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.