Pokok Perkara, Unsur Elementer dan Penentu apakah suatu Perkara NEBIS IN IDEM atau Tidaknya

LEGAL OPINION
Question: Pak Hery (dari SHIETRA & PARTNERS) menjabarkan bahwa ada tiga unsur penentu apakah suatu perkara nebis in idem (tidak diterimanya gugatan ataupun tuntutan karena habisnya upaya hukum yang dapat ditempuh oleh sebab perkara tersebut telah diperiksa dan diputus hingga berkekuatan hukum tetap sebelumnya) atau tidaknya, yakni: subjek sengketa, objek sengketa, dan pokok perkara. Unsur manakah yang paling signifikan? Mengapa?
Answer: Unsur terpenting ialah unsur ketiga: “Pokok Perkara”. Subjek dan objek sengketa bisa jadi tidak sama persis, namun hal ini hanya pengaruh waktu dan tentatifnya sifat suatu kondisi objek dan subjek, sehingga objektivitas pun berubah seiring waktu, sehingga meski subjek (misal kini digantikan oleh ahli waris) dan objek (terbit sertifikat baru dengan nomor berbeda) sedikit mengalami perubahan, baik perkembangan maupun penciutannya, tidak membawa pengaruh bagi hakim untuk menyatakan “nebis in idem” atas suatu perkara. Namun, syarat mutlak dan terpenting, yang membedakan karakteristik suatu perkara dari perkara lain, meski objek dan subjek bisa jadi sama antara perkara satu dan perkara lain, ialah unsur denifitif berupa “pokok perkara”. Pokok perkara memiliki suatu “ratio decidendi” yang menjadi spirit atau karakter peletak dasar suatu sengketa, yang bisa ditarik ke dalam akar permasalahan, sehingga dengan mengetahui asal sumbernya, kita akan memahami, apakah suatu perkara patut diputus “nebis in idem” atau tidaknya. Dengan mengetahui perbedaan karakteristik ini, dapat membantu Anda untuk menyusun siasat guna menghadapi pihak lawan Anda sehingga meminimalisir potensi diputus “nebis in idem” oleh majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara Anda.
EXPLANATION:
Saya akan berikan tiga buah contoh yang akan sangat membantu Anda memahami jiwa dari “Nebis In Idem”.
CONTOH I
Seorang korban malpraktik menggugat dokternya, sehingga ia mengalami suatu penyakit yang harus diobati dengan pengobatan yang serius. Ia menggugat sang dokter karena penyakit yang ditimbulkan oleh malpraktik sang dokter.
Atas gugatan tersebut, dihukumlah sang dokter oleh hakim dengan sejumlah nilai ganti kerugian tertentu ataupun berdasarkan akta perdamaian via pengadilan yang menyebutkan berapa besar nilai kompensasi bagi sang penggugat yang pernah menjadi pasiennya.
Setelah semua itu berlangsung dan uang ganti rugi / kompensasi diberikan dan diterima oleh pihak Penggugat, tidak lama berselang, sang pasien tersebut ditemukan tewas, dan ketika diselidiki ternyata komplikasi yang dialaminya demikian fatal adalah karena perbuatan malpraktik dokter yang pernah digugatnya tempo hari. Artinya, akibat malpraktik sang dokter adalah berujung pada kematian, bukan hanya pada rasa sakitnya si pasien ketika mengajukan gugatan pertama tempo hari.
Akibat kematian itu, menjadi suatu peletak dasar bagi terbitnya hak gugat baru bagi keluarga si pasien yang kini telah meninggal, dengan Pokok Perkara yang sama sekali berbeda dari gugatan sebelumnya yang mengangkat isu “sakitnya pasien akibat malpraktik”. Kini, pendulum berayun demikian dahsyat kepada isu yang jauh lebih sensitif dan sensasional, yakni: “kematian pasien akibat malpraktik”.
Meskipun sebelumnya telah diputus oleh hakim, baik berupa putusan gugatan maupun lewat akta van dading yang dikuatkan hakim, disini terdapat dua isu generik yang berlainan:
-        Gugatan pertama adalah terkait isu: sakit akibat malpraktik;
-        Gugatan kedua adalah terkait isu: meninggalnya seorang korban malpraktik.
Atas fakta bahwa gugatan pertama telah diputus, tidak mengakibatkan hakim akan memutuskan bahwa gugatan kedua akan dinyatakan “tidak dapat diterima” dengan alasan “nebis in idem”. Fakta adanya gugatan pertama hanya menjadi kontribusi pengurang nilai ganti-rugi moril yang harus ditanggung oleh si tergugat, bukan justru menihilkan upaya ahli waris almarhum yang telah menjadi korban mal-praktik sang tergugat.
Kini Anda dapat melihat, tipis sekali benang pemisah antara keduanya meski objek dan subjek serta kejadian temporal (kejaian di masa lampau) adalah sama persis—hanya saja waktu kejadian aktual (kejadian saat ini yang menjadi isu sentral gugatan kedua) yang menjadi kunci dari gugatan kedua.
Sama seperti perkara gugatan massal / class action terhadap Pemerintah Daerag atas terjadinya banjir di tahun 2014 dan di tahun 2013, meski objek dan subjek sama, bahkan peristiwanya sama, namun “waktu kejadian temporal” dan “waktu kejadian aktualnya” adalah dua hal yang berbeda.

CONTOH II
Dalam kasus gugatan perdata ganti rugi warga Kedung Ombo (lihat kasus Waduk Kedung Ombo) yang termasyur sebagai bentuk cacatnya hukum acara perdata Indonesia yang melarang hakim di Indonesia untuk melakukan ultra-petitum/ultra-petita, dimana asas ini menutup peluang bagi hakim untuk memutus “melebihi dari apa yang diminta” dalam gugatan, maka teori “Pokok Perkara” menjadi peran sentral yang dapat menjadi terobosan hukum.
Bahwa benar hakim dilarang untuk memutus melebihi dari apa yang diminta dalam gugatan. Misal, dalam gugatan disebutkan bahwa kerugian materiel penggugat pada kejadian yang berlangsung di tahun 1991 adalah sebesar Rp.1 triliun, sebagai contoh. Maka yang diminta dalam petitum gugatan adalah Rp. 1 triliun. Hal tersebut logis dan rasional. Sehingga pada akhirnya hakim pun hanya dapat memutus maksimus sejumlah Rp.1 triliun, meski nilai riil nominal demikian telah tergerus inflasi berhubung antara tanggal dimasukkan gugatan hingga terbit putusan kasasi dapat memakan waktu tahunan yang sarat ketidakpastian kapan perkara dapat diputus inkracht.
Akibatnya, nilai riil jumlah ganti rugi tersebut merosot hingga meski diputuskan oleh hakim dalam tingkat kasasi bahwa penggugat berhak mendapat ganti-rugi sebesar Rp.1 triliun, namun pada faktanya nilai tersebut diluar kehendak para penggugat, sehingga meski diputus secara nilai maksimum, tetap merugikan penggugat.
Dengan teori “Pokok Perkara” yang berbeda, sebenarnya para penggugat dalam gugatan pertama kasus Kedung Ombo masih dapat mengajukan gugatan baru dengan pokok perkara baru dengan spesifikasi yang berbeda dari gugatan sebelumnya, yakni: gugatan nilai inflasi sebagai tolak ukur nilai riil nominal. Dengan demikian hakim tidak akan memutus bahwa gugatan kedua ini nebis in idem, namun hakim akan tetap memeriksa dan memutus perkara inflasi sebagai faktor pedoman nilai riil nominal.
Logikanya sederhana. Bila pada tahun 1991 tersebut nilai tanah per meter persegi ialah Rp.300,- sementara saat diajukan gugatan pertama nilai tanah tersebut adalah Rp. 300.000,- maka telah terjadi inflasi sebesar 1000 %, maka adalah tidak adil bila seandainya gugatan tersebut diajukan pada saat ini ketimbang diajukan jauh tempo hari sebelumnya. Sementara diajukan tempo hari hanya mendapat maksimum ganti rugi Rp.1 triliun, jika saja gugatan diajukan saat ini maka nilai ganti rugi maksimum adalah 1000 % lebih tinggi dari Rp.1 triliun.
Disini kita melihat, gugatan pertama adalah perihal gugatan ganti-rugi harga tanah saat “waktu kejadian temporal” yakni pada saat waktu kejadian tempo hari yang memicu konflik perdata. Dalam gugatan pertama kasus kedung ombo, para penggugat tak pernah meminta faktor inflasi untuk turut dihitung serta, maka petitum pun tidak menyertakan itu, sehingga konsekuensi logisnya hakim tidak pernah memeriksa dan memutus (pokok) perkara inflasi. Sementara gugatan kedua adalah perihal “inflasi” sehingga nilai riil menjadi Pokok Perkara yang relevan untuk diangkat sebagai gugatan kedua.

CONTOH III
Dalam suatu sengketa waris, seorang ahli waris menggugat ahli waris lainnya terhadap lima objek warisan. Sementara jumlah total objek warisan yang ada adalah sejumlah sepuluh objek.
Meski terhadap gugatan pertama berjumlah lima objek warisan saja, bukan berarti si penggugat telah melepas hak waris atas lima objek waris lainnya. Sekalipun kemudian terbit putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap atas gugatan pertama tersebut, ia tetap dapat mengajukan gugatan kedua terhadap lima objek waris lain sisanya.
Ini adalah contoh peran krusial unsur “objek sengketa”. Objek Sengketa dilihat secara spesifik, bukan secara “kotak” luarnya sebagai berjudul “budel warisan”—bukan demikian dalam melihat dengan kacamata hukum, namun melihat sebagai objek per objek.
Contoh lain mengenai unsur subjek sengketa. Bisa jadi penggugat atau tergugat telah meninggal dan kemudian digantikan oleh sekalian ahli warisnya. Meski kemudian sang ahli waris yang maju untuk menggugat, pastilah ia akan tetap dinyatakan “nebis in idem” bila dahulu pernah diajukan gugatan atas “obek sengketa” dan “pokok perkara” yang sama.

KESIMPULAN: Hendaknya dipilah antara Objek Perkara yang satu dengan Objek Perkara yang lain. Anda dapat menyusun strategi, apakah akan melakukan “dobrakan” dalam satu kali gebrakan atau melakukan “serangan” dengan cara terpisah-pisah. Idealnya, demi efisiensi dan efektifitas, mengingat masih banyaknya hakim yang menganut aliran ortodoks konvensional yang alergi terhadap cara berpikir progresif, mengakibatkan meski secara teori semestinya tidak diputus “nebis in idem”, namun resiko itu tetap ada, karena faktor pengetahuan hukum hakim sangat dominan di sini. Untuk itu, strategi awal menyusun gugatan maupun dakwaan sangat sensitif dan determinan. Sekali lalai, gegabah, atau keliru merumuskan, fatal akibatnya—akibatnya ialah: mudahnya pihak lawan untuk melakukan serangan balik berupa cacatnya konsep surat gugatan  ataupun dakwaan sebagai "nebis in idem".
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.