Pembelian Objek Tanah dalam Lelang Eksekusi Hak Tanggungan Tidaklah Sama dengan Jual-Beli Biasa Diluar Lelang, sehingga Tidaklah Berlaku Ketentuan mengenai “Cacat Tersembunyi”

ARTIkel hukum
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELIAN DALAM LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
PROLOG
Baru-baru ini SHIETRA & PARTNERS mendapat permohonan bantuan data dan keterangan dari seorang calon doktor dibidang ilmu hukum jaminan kebendaan dengan proposal Disertasi yang memiliki judul berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap Pemenang Lelang selaku peserta parate eksekusi hak tanggungan.
Yang mengherankan, tampak dari proposal Disertasi yang diajukannya, bahwa calon doktor tersebut sama sekali tidak menguasai hukum jaminan kebendaan maupun konsep dasar hukum agraria, justru menimbul blunder stigma yang membuat masyarakat salah kaprah sehingga timbul antipati terhadap hukum jaminan kebendaan. Blunder demikian sangatlah serius, sehingga untuk itu artikel ini penulis susun dan sajikan sebagai upaya untuk meluruskan salah kaprah mengenai praktik lelang eksekusi.
Sejauh pengamatan penulis, kalangan akademisi acapkali tidak membumi. Maksudnya, teori yang ia pahami tidaklah mendalam, oleh sebab tidak memahami aplikasinya serta komplikasinya di dalam praktik. Akibatnya, yang berkembang ialah asumsi demi asumsi. Untuk itu, penulis akan mengupas hukum jaminan kebendaan hak tanggungan secara ringkas, namun strict to the point.
PERMASALAHAN
Artikel ini mencoba mengangkat isu, apakah seorang pembeli lelang dapat menyatakan bahwa ia telah membeli barang lelang hak tanggungan yang mengandung “cacat tersembunyi” untuk ia menuntut pembatalan lelang kepada pihak pemohon lelang?
Apakah tanggung jawab memastikan kondisi objek lelang hanya menjadi beban pemohon lelang hak tanggungan, sementara itu pihak peserta lelang dibebaskan untuk “membeli kucing dalam karung”?
Apakah tertutup peluang terjadinya itikad tidak baik oleh penjual rumah/tanah dalam jual beli biasa non lelang?

RINGKASAN JAWABAN:
Setiap perikatan jual-beli mengandung resiko. Pihak yang menguasai sebidang tanah secara fisik belum tentu beritikad baik untuk menyerahkan secara baik-baik kepada pihak pembeli atau kepada pihak lainnya yang telah menguasai secara yuridis.
Contoh:
1.    Putusan PN Klas I A Bandung No. 417/PDT.G/2009/PN.BDG yang menjadi salah satu putusan yang menggambarkan bagaimana penyewa rumah tidak mau mengosongkan objek sewa meski masa sewa telah berakhir. Mau tidak mau pihak pemberi sewa / pemilik rumah harus mengajukan gugatan agar penyewa segera mengosongkan objek sewa.
2.    Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan putusannya tanggal 14 Februari No.99/Pdt.G/2001/PN.Yk mengenai sengeketa jual-beli tanah yang mana pihak penjual tidak mau menyerahkan tanah pada pihak pembeli, sehingga hakim memutuskan dengan amar yang berbunyi sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
2. Menyatakan sah jual beli tanah Sertifikat Hak Milik No.1609, luas + 318 m2, terletak di … , beserta bangunan rumah yang berada di atasnya, dengan Akte Jual Beli No…. ;
3. Menyatakan bahwa Penggugat sebagai pembeli yang beritikad baik haruslah dilindungi hukum ;
4. Menyatakan sah sebidang tanah Sertifikat Hak Milik No.1609… sah milik Penggugat beserta bangunan diatasnya ;
5. Menyatakan bahwa Tergugat telah ingkar janji (wanprestasi) yaitu Tergugat tidak mau mengosongkan dan menyerahkan tanah dan rumah tersebut seperti apa yang telah diperjanjikan semula ;
6. Menghukum Tergugat untuk mengosongkan rumah dan tanah tersebut dan menyerahkannya pada Penggugat dengan tanpa syarat;
 7. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi keterlambatan mengosongkan rumah tersebut dan menyerahkannya pada Penggugat perhari sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) terhitung sejak tanggal 19 Agustus 2001 sampai rumah tersebut dikosongkan dan diserahkan pada Penggugat ;
8. Menyatakan bahwa putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum banding, kasasi maupun perlawanan
Sementara pihak pembeli dalam jual-beli biasa harus melalui proses panjang untuk menguasai fisik objek jual-beli: gugatan perbuatan melawan hukum barulah eksekusi pengosongan, maka kelebihan jual-beli dalam lelang eksekusi ialah, adanya irah-irah “DEMI KEADILAN DAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang memiliki kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dalam gross risalah lelang sehingga jika pemilik agunan tidak mau mengosongkan agunan, maka dapat seketika dimohonkan eksekusi pengosongan ke hadapan pengadilan. (Lihat SEMA Nomor 4 Tahun 2014)

ASPEK HUKUM LELANG EKSEKUSI JAMINAN KEBENDAAN
Saat artikel ini disusun, yang menjadi hukum positif lelang eksekusi di Indonesia disamping UU Fidusia maupun UU Hak Tanggungan, antara lain:
1.     PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 160/PMK.06/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 176/PMK.06/2010 TENTANG BALAI LELANG. Secara garis besar, lelang terbagi menjadi dua: Lelang Eksekusi dan Lelang Non-eksekusi Sukarela. Dalam lelang eksekusi, peran balai lelang adalah dalam rangka jasa pra-lelang, sementara dalam lelang Non-eksekusi sukarela, balai lelang dapat menjadi penyelenggara lelang.
2.     PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN NEGARA NOMOR 6/KN/2013 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN LELANG.
3.     PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 106/PMK.06/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 93/PMK.06/2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN LELANG.
Baik dalam pengumuman lelang maupun dalam risalah lelang yang dibacakan sebelum peserta lelang mengajukan penawaran harga, selalu disebutkan bahwa objek lelang dijual “apa-adanya”. Kesepakatan ini merupakan pengejawantahan asas pacta sunt servanda Pasal 1338 KUHPerdata, dimana KUHPerdata bersifat open system, sehingga berlakulah teori penerimaan (silahkan rujuk Teori Penerimaan oleh Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian).
Menurut teori penerimaan (ontvangs theorie), suatu kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat balasan dari tawaran tersebut telah diterima oleh pihak yang melakukan tawaran tersebut.
Pada saat pengumuman lelang, masyarakat melakukan penyetoran “uang jaminan” sebagai suatu bentuk penerimaan aktif. Saat pejabat lelang membacakan kepala risalah lelang “Apabila tanah dan/atau bangunan yang akan dilelang ini berada dalam keadaan berpenghuni maka pengosongan tanah tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli… Objek lelang dijual lelang dalam kondisi apa adanya, dengan segala cacat dan kekurangannya serta segala bentuk konsekuensi dan/atau biaya yang ada dan/atau akan ada atas objek lelang (as it is).”—dan peserta lelang tetap melakukan penawaran, maka berlakulah Teori Ucapan (Uitings Theorie) bahwa suatu kehendak baru memiliki arti apabila kehendak tersebut telah dinyatakan; maupun Teori Pengiriman (verzendings Theorie) yakni kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran telah mengirimkan surat jawaban atas penawaran yang diajukan terhadap dirinya bila lelang dilakukan via e-auction / lelang via email.
Oleh sebab lelang parate eksekusi adalah lelang yang tidak dilandasi kesukarelaan debitor/penjamin, maka perlu diberikan suatu perlindungan hukum bagi kreditor pemegang hak tanggungan. Okeh karena itu, Pasal 16 Ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan No.106/PMK.06/2013 yang berbunyi: “Penjual/Pemilik Barang harus menguasai fisik barang bergerak yang akan dilelang.” Kewajiban untuk menguasai agunan hanya diwajibkan bagi pemohon lelang jaminan objek yang diikat fidusia, bukan hak tanggungan.
Tiada “cacat tersembunyi” dalam parate eksekusi. Judul lelangnya sendiri adalah “parate eksekusi”, sehingga adalah kelalaian bagi peserta lelang untuk menyadari hakekat parate eksekusi adalah adanya unsur ketidakkerelaan debitor/penjamin untuk menjual agunan sehingga dilakukan “eksekusi” di pelelangan umum (Lihat Pasal 6 UU HT).
Bahwa menurut kelaziman dunia niaga vide Pasal 1339 KUHPerdata, jual-beli rumah pasti didahului dengan meninjau lokasi objek. Bila calon peserta lelang melakukan aksi “beli kucing dalam karung”, maka beban tanggung jawab dipikul oleh peserta yang ceroboh/gegabah demikian untuk mengetahui kondisi objek lelang.
Dalam lelang eksekusi hak tanggungan, kreditor adalah pihak pemohon lelang. Ketika pemegang hak tanggungan hendak turut serta menjadi peserta lelang, maka jika ia menjadi pemenang lelang, statusnya ialah AYDA (Aset Yang Diambil Alih). Setelah ia menjadi pemenang lelang (penguasaan yuridis), maka dilanjutkan dengan melakukan eksekusi pengosongan (penguasaan fisik), barulah ia dapat mengajukan Lelang NON-eksekusi sukarela dengan jasa Pejabat Lelang Klas II di Balai Lelang maupun di kantor lelang negara (KPKNL).
Dalam lelang NON-eksekusi sukarela terhadap AYDA, barulah ia dapat melepas objek tanah dan/atau bangunan dengan harga pasar, yang tentunya telah dikuasai baik secara fisik maupun secara yuridis.
Konsep dasar hukum agraria mengenai jaminan kebendaan—dibaginya “hak atas penguasaan atas tanah” menjadi dua kategori: Penguasaan tanah secara yuridis dan Penguasaan tanah secara fisik. Sama seperti fidusia yang berasaskan fiduciary, kepercayaan, maka UU HT pun hanya memberikan penguasaan tanah secara yuridis kepada pemenang hak tanggungan. Penguasaan secara  yuridis tidak identik dengan penguasaan secara fisik—contoh: penyewa tanah menguasai secara fisik namun tidak secara yuridis, sehingga terbukalah peluang sengketa ketika penyewa tidak segera mengosongkan objek sewa ketika masa sewa telah berakhir.

RECHT VACUUM PERATURAN PELAKSANA UU HAK TANGGUNGAN
Ketiadaan Peraturan Pelaksana Pasal 26 UU HT jo. Pasal 6 UU HT tentang Parate Eksekusi, menjadi persoalan utama sejak tahun 1996 hingga kini dan menjadi lahan empuk para pengacara debitor nakal. Namun aksi lempar tanggung jawab masih menjadi budaya instansi pemerintah ketika penulis mencoba untuk mendorong berbagai instansi negara untuk segera mengatur kekosongan hukum tersebut.
Tidak sepenuhnya benar terjadi ketidakpastian hukum terhadap pemenang lelang yang merupakan pihak ketiga yang beritikad baik sehingga patut dilindungi hukum, sebagaimana tercermin dalam:
1.     Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014: “Terhadap pelelangan hak tanggungan oleh kreditur sendiri melalui kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkan obyek lelang, eksekusi pengosongan dapat langsung diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan.
2.     Putusan Mahkamah Agung No. 1068 K/Pdt/2008, tertuang kaidah hukum:
− Lelang yang dilakukan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dibatalkan;
− Apabila di kemudian hari ada putusan yang bertentangan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menjadi dasar hukum lelang, maka pihak yang bersangkutan dapat menuntut ganti rugi atas obyek sengketa dari pemohon lelang.
 Lantas bagaimana jika terjadi sengketa ketika lelang telah terjadi? SEMA No.4 Tahun 2014 mengatur sebagai berikut:
UPAYA HUKUM TERLELANG. Dalam hal pemilik barang yang dilelang tidak mau menyerahkan barangnya secara sukarela kepada pemenang lelang dan pemenang lelang mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan.
Jawab Pleno Mahkamah Agung Kamar Perdata: Dalam hal proses eksekusi pengosongan belum selesai, upaya hukum yang diajukan oleh pihak terlelang adalah perlawanan. Sedangkan dalam hal proses eksekusi pengosongan sudah selesai upaya hukumnya adalah dengan mengajukan gugatan.”
Bukankah tampak kontradiktif dengan kaidah hukum Mahkamah Agung lainnya atas bunyi SEMA diatas?
Jawab: sekalipun pihak debitor selaku penggugat / pelawan dinyatakan menang di pengadilan, risalah lelang tetap tidak dapat dibatalkan. Yang dapat dimintanya HANYALAH ganti-rugi terhadap pemohon lelang, bukan meminta pembatalan risalah lelang.
Artinya, karena permintaan ganti-kerugian adalah ranah gugatan, bukan ranah “perlawanan/verzet”, maka perlawanan oleh debitor/penjamin terhadap eksekusi pengosongan yang dimohonkan pemenang lelang, tidak akan dapat dikabulkan oleh pengadilan, mengingat permintaan ganti-rugi adalah ranah gugatan, bukan perlawanan.
Kecuali, perlawanan itu adalah menyoal kekeliruan tanah yang dikosongkan, misal semestinya agunan A yang dieksekusi pengosongan, ternyata oleh pengadilan yang dikosongkan adalah tanah milik pihak lain, atau ketika yang semestinya luas agunan yang terlelang adalah 100 m2, namun yang dieksekusi adalah seluas 200 m2.
Penjualan dapat dilakukan dibawah tangan apabila ada kesepakatan antara debitor dan kreditor jika dengan demikian didapat harga tertinggi dan menguntungkan semua pihak, dan penjualan dibawah tangan demikian barulah jual-beli yang menyerupai jual-beli biasa.

KEWAJIBAN PENJUAL TIDAK SAMA DENGAN KEWAJIBAN PEMOHON LELANG EKSEKUSI. KEWAJIBAN PENJUAL DALAM JUAL BELI BIASA, BARULAH IDENTIK KETIKA MEMBICARAKAN LELANG NON-EKSEKUSI SUKARELA
Yang menjadi kewajiban penjual dalam konsepsi KUHPerdata:
a.     Pasal 1474 KUHPerdata: “Penjual mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya.”
b.    Pasal 1491 KUHPerdata: “Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu: pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram; kedua, tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian itu.”
Ketentuan diatas, secara filosofis dan sosiologis hanya berlaku bagi lelang NON-Eksekusi SUKARELA, dimana unsur kerelaan pemilik objek untuk mengosongkan dan menyerahkan terdapat dalam penjualan jual-beli biasa serta dalam lelang NON-eksekusi sukarela.
Adalah sebuah kekeliruan membedakan parate eksekusi Pasal 14 Ayat (3) UU HT dengan Pasal 6 UU HT, dan mengklaim bahwa PMK No.106 Tahun 2013 telah mencampuradukkan keduanya. Pertanyaannya, bisakah terbit SHT (sertifikat HT) tanpa didahului APHT?
Proses penerbitan SHT adalah (dan hanya dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut): Akta kredit à SKMHT (mengandung klausul surat kuasa mutlak à APHT à SHT. Dengan kata lain, parate eksekusi memiliki karakteristik pokok justru terletak pada Surat Kuasa Mutlak (tidak dapat dicabut kembali) dalam SKMHT yang kemudian terbitlah APHT dan SHT sebagai accessoir-nya. Baik Pasal 14 Ayat (3) UU HT maupun Pasal 6 UU HT, tidak dapat lepas dari SKMHT dan APHT.
Adalah keliru ketika kita menyamakan antara Lelang Eksekusi dengan Lelang NON-Eksekusi. Jual-beli adalah konsepsi perdata yang dilandasi kerelaan para pihak, sementara Lelang Ekseskusi dilandasi oleh wanprestasinya debitor. Dalam disiplin metodologi hukum, dikenal asas: membandingkan jeruk dengan jeruk, bukan membandingkan “jeruk” dengan “sapi”-- dua hal  yang jauh bertolak belakang.
Begitupula suatu kekeliruan menyatakan “yang satu berdasarkan kuasa menjual sedangkan yang lain berdasarkan title eksekutorial” Bisakah SHT terbit tanpa didahului beding-beding dalam APHT (Akta Pembebanan Hak Tanggungan) seperti janji debitor untuk menyerahkan objek agunan ketika agunan dieksekusi?
Adalah sebuah hipotesis yang salah kaprah ketika dinyatakan: “Lelang memiliki karakter hukum yang sama dengan jual-beli.”—benar hanya sejauh itu adalah Lelang NON-eksekusi SUKARELA. Lelang Eksekusi dilandasi oleh sengketa wanprestasi, sementara Lelang NON-eksekusi sukarela dilandasi oleh kesukarelaan yang menyerupai jual-beli biasa. Dalam Lelang NON-Eksekusi, unsur/sikap batin (mens rea) pemilik tanah adalah sukarela melepas objek tersebut pada pembeli.
Penulis temui pula hipotesis akrobatik yang menyatakan “Karena lelang eksekusi atas objek hak tanggungan juga merupakan perjanjian jual-beli maka…ß Perjanjian tunduk pada Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sah perjanjian. Sementara itu, adakah kesepakatan pemilik agunan untuk menyerahkan objek via lelang? (bukankah hanya dapat ditemui dalam Lelang NON-eksekusi sukarela?!); ß unsur primair pacta sunt servanda. Jadi, siapakah yang telah saling bersepakat meski debitor/penjamin menyatakan akan mengosongkan objek jika wanprestasi di dalam akta kredit?
Harap dibedakan antara “cacat tersembunyi absolut” yang tidak dapat diketahui oleh pembeli secara mudah dan terang, dengan “kelalaian pembeli untuk memeriksa dan meneliti”. Dalam praktik yang lazim di dunia properti, setiap calon pembeli pasti akan men-survey kondisi objek rumah sebelum memutuskan untuk menawar dan membeli.
Perlu pula dibedakan mana kewajiban pemohon lelang dalam Lelang Eksekusi dengan Lelang NON-eksekusi. Menyerahkan objek tidak bergerak, adalah kewajiban pemohon lelang dalam Lelang NON-eksekusi. Sementara dalam Lelang Eksekusi, kewajiban pemohon lelang adalah menyerahkan dokumen kepemilikan, karena pemegang hak tanggungan hanyalah pihak yang menguasai secara yuridis hak atas tanah.
Terhadap hipotesis: “… apakah Kreditor selaku penjual lelang mempunyai kewajiban seperti kewajiban penjual dalam jual beli biasa.” Jawabnya: konsekuensi SKMHT ialah Pasal 1807 KUHPerdata: “Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah ia berikan kepadanya.”
Kepala risalah lelang yang selalu dibacakan oleh Pejabat Lelang Kelas I setiap kali lelang akan dibuka dan dihadiri para peserta lelang, bahwa “Apabila tanah dan/atau bangunan yang akan dilelang ini berada dalam keadaan berpenghuni maka pengosongan tanah tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli.” ß Apakah masih dapat disebut sebagai “menutup-nutupi fakta” alias “cacat tersembunyi”?
Kedua, risalah lelang tersebut dibacakan pada saat memulai lelang, dan didengar oleh seluruh peserta lelang, lantas jika memang keberatan, mengapa ikut menawar? Konsekuensi tidak menawar adalah dikembalikannya 100 % uang jaminan lelang sehingga tidak terdapat satupun unsur pemaksaan dalam lelang.

YURISPRUDENSI PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
Dalam Pengantar Ilmu Hukum, dijelaskan, Sumber Hukum Formil terbagi menjadi: UU, Traktat, Yurisprudensi, doktrin, kebiasaan.
Keputusan hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Pasal 22 A.B. menjadi dasar bagi hakim lain kemudian untuk membuat putusan dalam mengadili perkara yang serupa dan keputusan hakim tersebut lalu menjadi sumber hukum bagi pengadilan. Keputusan hakim yang demikian dikenal dengan istilah “hukum yurisprudensi”.
Jadi, yurisprudensi ialah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim dikemudian hari mengenai masalah yang sama—hukum kebiasaan di kalangan para hakim. Maka terang bahwa yurisprudensi adalah juga merupakan sumber hukum tersendiri mengingat Pasal 6 UU HT maupun Pasal 26 UU HT belum juga diatur dalam peraturan pelaksana, yang tentunya tidak dapat dunia niaga  menunggu pemerintah memiliki itikad baik untuk membentuknya meski telah hampir dua dekade berlalu. Hukum Yurisprudensi hadir guna menutup “kekosongan hukum” (recht vacuum) lewat asas “persuasive binding of precedent”.
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No. 478 K/Pdt/2010 yang diputuskan pada tanggal 30 November 2010 dengan diketuai oleh Dr. Artidjo Alkostar , SH. , LL.M. sebagai “hukum yurisprudensi” parate eksekusi hak tanggungan.
Dalam putusan tersebut, debitor mendalilkan, lelang terhadap objek jaminan yang dibebani hak tanggungan tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme langsung (parate executie) mengajukan permohonan kepada pejabat/kantor Ielang tanpa melalui fiat eksekusi yang dalam hal ini melalui Pengadilan Negeri.
Debitor juga berdalih, pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 Undang- Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sampai saat ini secara hukum belum dapat dilaksanakan. Eksekusi hak tanggungan harus dilaksanakan/tunduk dan patuh pada ketentuan hukum acara perdata sebagaimana ditetukan dalam Pasal 224 HIR/258 RBg, demikian yang didalilkan debitor selaku penggugat.
Singkatnya, debitor menyatakan, apakah ketentuan Pasal 224 H.I.R masih hidup atau telah dicabut terkait diundangkannya UU HT? Untuk itu Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyebutkan:
Bahwa alasan-alasan ini tidak dapat dibenarkan, oleh karena putusan Judex Facti /Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, sebab telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan benar, yaitu pelelangan terhadap obyek sengketa telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga perlawanan yang diajukan Pemohon Kasasi/Pelawan tidak beralasan menurut hukum, Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi tersebut (debitor pemberi hak tanggungan) harus ditolak. MENGADILI: Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi.
Maka “hukum yurisprudensi” telah menderogasi keberlakuan Psal 224 H.I.R. terkait parate eksekusi yang bertopang pada Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan. Begitupula dengan “hukum kebiasaan” praktik lelang eksekusi hak tanggungan di Kantor Lelang Negara, adalah sumber hukum formil di Indonesia.

GROSS AKTA PENGAKUAN HUTANG
Mengenai Gross Akta Pengakuan Hutang, merujuk pada Putusan MA RI yang menyatakan bahwa pengadilan/hakim tidak berwenang untuk menilai isi grosse akte seperti yang dipertimbangkan dalam putusan No. 411 K/Pdt/1991 MA RI: ”...kebenaran isi grosse akte tidak dapat diragukan lagi sebagai akibat dari grosse akte merupakan suatu vonis yang dapat dieksekusi.”
Bahwa Putusan No. 3917 K/Pdt/1986 tanggal 30 September 1988, MA RI  mempertimbangkan, karena selain memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, juga memuat jumlah utang dan jangka waktu pengembalian utang secara jelas serta pembayaran dendanya dapat ditentukan dengan mudah dan seterusnya. Dari putusan tersebut dapat disimpulkan, yang menjadi pandangan (ratio decidendi) MA RI berpendapat bahwa ”jumlah tertentu” dalam grosse akte harus diartikan ”asal pada waktu eksekusi jumlah utang dapat ditentukan/dihitung dengan mudah”.
Sebagai contoh: Jumlah yang tertera pada grosse akte ditambah bunga yang telah ditentukan dapat dihitung/ditentukan dengan pasti pada waktu eksekusi grosse akte dimohonkan. Oleh karena itu, meskipun jumlah yang tertera pada grosse akte menjadi berbeda dengan yang dieksekusi karena jumlah tersebut dalam grosse akte telah ditambah dengan bunga yang dapat ditentukan/dihitung dengan pasti maka diartikan jumlah pada grosse akte adalah jumlah yang tertentu/jumlah yang pasti.
Kesimpulan dari putusan tersebut, apabila pada waktu grosse akte dimohonkan, eksekusi jumlah yang tertera pada grosse akte telah berubah karena harus dikurangi dengan jumlah yang terbukti telah dibayar oleh debitur asal jumlah yang tertera pada grosse akte setelah dikurangi jumlah yang telah dibayar dapat dihitung dengan hasil yang pasti. Oleh karena itu, harus diartikan jumlah pada grosse akte tetap tertentu/pasti. (Lihat Ahmad Fikri Assegaf dan Elijana Tanzah, ”PENJELASAN HUKUM TENTANG GROSSE AKTE”, Nasional Legal Reform Program: Jakarta, 2011.)

ITIKAD TIDAK BAIK Vs. ITIKAD BAIK
Pada dasarnya, itikad tidak baik berada pada pihak yang wanprestasi, sebagaimana dalam setiap akad kredit, lazimnya tersua klausula: “Debitor dan/atau Penjamin wajib secara seketika mengosongkan Agunan ketika terjadi wanprestasi… Debitor dan/atau Penjamin tidak akan menyewakan Agunan pada pihak ketiga atau pun ditempatkan oleh penghuni lainnya.”
Dalam beberapa kasus tertentu, pembeli lelang menemukan hambatan pada saat menguasai secara fisik objek jaminan yang telah dibelinya melalui lelang karena debitor macet atau si pemilik agunan tidak secara sukarela mengosongkan objek. Namun, hal tersebut tetap rasional mengingat harga limit dalam lelang eksekusi bisa mencapai nilai likuidasi yang jauh di bawah harga pasar mengingat faktor biaya yang dikeluarkan pemenang lelang guna biasa eksekusi pengosongan.
Bandingkan dengan jual-beli biasa dimana pihak penghuni objek jual-beli tidak dengan sukarela menyerahkan objek jual-beli. Dikarenakan jual-beli biasa diberlakukan harga pasar atau lebih tinggi daripada harga pasar, maka tentunya biaya akan semakin membengkak jika penghuni tidak mau mengosongkan objek. Sehingga, ketika dibandingkan antara lelang eksekusi dengan jual-beli biasa, dalam satu kondisi tertentu seperti objek yang berpenghuni demikian, justru lelang eksekusi bisa jadi lebih efesien.
Tentunya faktor pengeluaran yang diperhitungkan seperti biaya pengosongan yang menjadi margin dari pihak pemenang lelang antara Nilai Limit lelang dengan Harga Pasar atas objek lelang tersebut. Nilai Limit yang mencapai Nilai Likuidasi berdasarkan hasil penilaian independen Appraisal KJPP menjadi margin bagi pemenang lelang untuk menjadi budget pengeluaran untuk upaya pengosongan.
Pemegang Hak tanggungan ialah perorangan maupun badan hukum, sehingga bukan hanya institusi bank yang dapat menjadi pemegang hak tanggungan. Banyak kalangan memiliki asumsi keliru bahwa lembaga hak tanggungan hanya dapat digunakan oleh pihak perbankan semata.
Pemegang hak tanggungan hanyalah menguasai tanah secara yuridis. Dimana demi asas keprimanusiaan, kreditor tetap memberi peluang bagi Debitor untuk melunasi hutangnya hingga detik pelaksanaan hari-H lelang, sebagaimana sering terjadi. Bila kreditor pemegang hak tanggungan harus mengosongkan objek terlebih dahulu, lantas belum juga menemukan pembeli, dan harus mengeluarkan biaya perawatan rumah yang tentunya akan lebih baik dihuni dan dirawat oleh debitor/penjamin yang bersangkutan. Kecuali dalam rangka AYDA.

DEBITOR NAKAL Vs. KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN
Pasal 13 Ayat (1) PMK No.106 Tahun 2013: “Dalam hal terdapat gugatan terhadap objek lelang hak tanggungan dari pihak lain selain debitor/tereksekusi, suami atau istri debitor/tereksekusi yang terkait kepemilikan, pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan yang memerlukan fiat eksekusi.” Secara filosofis, UU HT hadir guna memberikan kepastian hukum bagi kreditor yang berposisi rentan dan riskan karena dana kredit macet di tangan debitor.
Ketika pemenang lelang telah memiliki kutipan risalah lelang, ia dapat mengajukan permohonan balik nama ke hadapan kantor pertanahan. Ia pun menjadi penguasa yuridis dengan namanya tercantum dalam sertifikat tanah. Sertifikat tanah, berdasarkan Pasal 19 UUPA, merupakan bukti kuat kepemilikan hak atas tanah—dalam arti penguasaan yuridis. Ketika pemegang hak tanggungan hanya memiliki penguasaan yuridis atas tanah, maka yang dijualnya via lelang hanyalah penguasaan yuridis tersebut. Untuk menguasai secara fisik pula, pemenang lelang dapat menempuh proses eksekusi pengosongan via pengadilan.

SIKAP BATIN / MENTAL PEMBERI AGUNAN UNTUK TETAP MENGUASAI OBJEK AGUNAN YANG DILELANG, MERUPAKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN.
Perlu diatur dalam ketentuan hukum pidana, bahwa sikap mental (mens rea) debitor/penjamin ketika memberi agunan memiliki motif untuk “merampok” kreditor dengan cara tetap menguasai agunan ketika terjadi kredit macet, sama artinya dengan penipuan/penggelapan sehingga dapat diproses secara pidana sehingga terjadi efek jera bagi debitor nakal.
Analogikan dengan suatu kasus pinjam-meminjam hutang. Jika sejak / sedari awal pihak peminjam memang tidak memiliki niat untuk mengembalikan hutang yang dipinjamnya, maka ia dapat dijerat oleh tindak pidana penipuan. Begitupula dengan debitor peminjam kredit, bila ia tidak mau menyerahkan agunan ketika terjadi kredit macet, disamakan dengan penipuan itu sendiri. Lebih ekstreem lagi bila yang terjadi ialah jual-beli biasa, namun penjual rumah tidak mau mengosongkan rumah tersebut untuk dikuasai secara fisik oleh pihak pembeli, maka unsur penipuan sang penjual lebih kentara lagi.
Dengan demikian, kreditor dapat memulihkan dana kreditnya yang didapat dari DPK (nasabah bank jika pemegang hak tanggungan adalah bank) dan pembeli lelang pun turut mendapat kepastian hukum bukan justru dikriminalisasi oleh debitor nakal.

KESIMPULAN DAN PENUTUP:
Resiko bukan hanya terdapat dalam lelang eksekusi. Beberapa perkara di pengadilan justru terjadi antara pembeli rumah dengan pihak penjual rumah yang justru tidak bersedia dikosongkan oleh pihak penghuni rumah, baik dihuni oleh si penjual rumah itu sendiri ataupun oleh pihak ketiga.
Jika disebutkan bahwa penjualan rumah via lelang adalah berisiko untuk kesulitan mengosongkan objek rumah, maka hal tersebut pun dapat terjadi dalam konteks jual-beli biasa non lelang.
Baik masalah pengosongan dalam sengketa jual-beli biasa maupun jual-beli via lelang, hukum telah memberikan sarana berupa eksekusi pengosongan. Justru, ketika terjadi sengketa antara pemenang lelang dan pihak debitor / pemilik agunan, SEMA telah memberi sarana berupa permohonan eksekusi pengosongan ke pengadilan negeri setempat tanpa perlu didahului oleh gugatan untuk pengosongan. Berbeda dengan jual-beli via lelang eksekusi, belum terdapat aturan yang menyatakan dengan tegas bahwa dalam jual-beli biasa, ketika penjual rumah ingkar janji untuk menyerahkan objek jual-beli kepada pembeli, apakah harus didahului dengan gugatan terhadap pihak penjual rumah atau bisa langsung mengajukan eksekusi pengosongan ke hadapan pengadilan? Akta Jual Beli non lelang tidak memuat irah-irah.
Perlu digarisbawahi, jual-beli biasa tentunya yang menjadi harga jual-beli ialah harga pasar, berbeda dengan jual-beli via lelang eksekusi yang tentunya dapat terbentuk di bawah harga pasar (yakni nilai likuidasi). Margin antara nilai likuidasi dan nilai pasar menjadi dana yang dapat dianggarkan guna eksekusi pengosongan. Sementara itu dalam jual-beli biasa, justru menjadi pengeluaran ekstra ketika pembeli harus menambah biaya guna eksekusi pengosongan.
Dalam sudut pandang ini, justru jual-beli via lelang eksekusi masih lebih menguntungkan: Pertama, terdapat “spread margin” antara nilai likuidasi dan nilai pasar, Kedua, berbekal gross risalah lelang berirah-irah, pemenang lelang dapat langsung mengajukan pengosongan terhadap objek lelang tanpa perlu didahului dengan gugatan perdata di pengadilan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.