Mahkamah Agung Membuka Peluang Enam Kali PK Diatas PK, Peninjauan Kembali

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya berapa kalikah Mahkamah Agung membuka peluang upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap PK? Dalam ranah pidana, terdapat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutus PK boleh diatas PK tanpa suatu batasan selama memang terdapat alat bukti baru, meskipun MA membangkang putusan MK dengan menerbitkan SEMA Nomor 7 tahun 2014 yang menganulir kaidah putusan MK sebagai wujud “pemberontakan” terhadap pendirian MK.
Answer: Secara implisit, dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2014, dibuka celah/peluang untuk mengajukan PK diatas PK sebanyak 6 (enam) kali oleh pihak yang sama maupun oleh pihak yang berbeda, selama dasar alasan pengajuan PK baru berbeda dengan dasar alasan PK sebelumnya.
EXPLANATION:
Permasalahan hukum tersebut diatas sebenarnya bukanlah isu baru, sebagaimana pernah coba diangkat oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 yang menyebutkan:
Permasalahan: Tentang Permohonan PK lebih dari 1 kali. PK pertama: dengan alasan adanya kekhilafan/kekeliruan yang nyata, apakah dapat diajukan PK ke dua dengan alasan diketemukan novum atau adanya Putusan Pengadilan yang saling bertentangan. Apakah dapat diajukan PK lebih dari satu kali, apabila diajukan oleh pihak yang berbeda dan dengan waktu pengajuan yang tidak sama?
“Jawab Pleno: Alasan “kekhilafan” berbeda dengan alasan adanya “novum” (bukti baru) dalam pengajuan PK, sehingga walaupun pemohonnya sama namun apabila alasannya berbeda, maka terhadap perkara tersebut dapat diajukan PK kembali. PK tidak dapat diajukan dua kali dengan alasan yang sama walaupun orangnya berbeda, seperti yang pertama diajukan oleh Tergugat, kemudian yang kedua oleh Tergugat II Intervensi dan seterusnya.” ß  Kuncinya adalah adanya alasan  pengajuan PK yang berbeda. Yang dilarang ialah PK diatas PK dengan alasan yang sama.
Pertanyaan utamanya, berapa kalikah PK terhadap PK dimungkinkan oleh MA? Perhatikan uraian berikut:

Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (UU MA) : “Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”
… DENGAN KATA LAIN, DIMUNGKINKAN 6 (ENAM) KALI PK DIATAS PK !!! (point a hingga f tersebut diatas)

Agak mengherankan ketika UU MA tidak mengatur perihal alasan pengajuan PK untuk perkara pidana. Namun alasan-alasan pengajuan PK sebagaimana diuraikan Pasal 67 UU MA tampaknya berlaku mutatis mutandis terhadap alasan PK terhadap perkara pidana. Sehingga praktis Pasal 67 UU MA tersebut diatas berlaku pula terhadap perkara pidana karena relevansinya yang sebangun.

Pasal 69 UU MA: “Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk:
a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
d. yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.