Kriteria Kreditor Separatis, Preferen, dan Konkuren dalam Kasus Kepailitan

HOLISTIC LEGAL OPINION
A COMPREHENSIVE LEGAL REVIEW BASED ON THE CASE OF MORTGAGE LAW VERSUS LABOR LAW
Question: Bagaimanakah sebenarnya kedudukan dan status atau posisi hak dari kreditor pemegang hak tanggungan maupun fidusia jika harus berhadapan dengan hak buruh maupun piutang kantor pajak terhadap debitor ketika terjadi kepailitan terhadap debitor termohon pailit ataupun akibat putusnya PKPU?
Answer: Mahkamah Konstitusi telah membuat putusan atas permohonan uji materiil mengenai hak kreditor separatis ketika terjadi kepailitan dalam putusannya Nomor 67/PUU-XI/2013 tanggal 11 September 2014 dan putusan MK Nomor 18/PUU-VI/2008 juncto Nomor 2/PUU-VI/2008 pada tahun 2008 yang isi amar putusannya tampak saling bertolak belakang meski antara putusan versi tahun 2008 dan versi tahun 2014 sama-sama final dan mengikat serta memiliki subjek (buruh vs. kreditor separatis), objek (harta debitor) dan pokok perkara yang sama (kedudukan kreditor). Uji materiil teresbut seputar ketentuan dalam konteks pailitnya perusahaan tempat karyawan bekerja, yang mana bersinggungan dengan hak para kreditor separatis.
Ketika hak kreditor separatis diamputasi oleh kreditor lainnya, entah oleh piutang pajak maupun piutang gaji buruh, maka apa lagi yang tersisa dari kreditor separatis selain hanya nama julukannya sebagai kreditor “separatis” alias “terpisah” (separated / secured) dari budel pailit? Untuk apakah istilah kreditor “separatis” dibentuk oleh pembentuk undang-undang jika pada akhirnya masih dapat diintervensi kreditor lain sehingga tak ubahnya kreditor bersaing yang bersifat konkuren?
Ingat, Sertifikat Hak Tanggungan maupun Fidusia memiliki irah-irah “DEMI KEADILAN DAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” jauh sebelum penetapan pailit dibacakan oleh hakim pengadilan niaga. Dan, yang paling terpenting, irah-irah memiliki kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Selama pasal dalam HIR (hukum acara perdata) yang mengatur tentang irah-irah tersebut belum dicabut atau belum dinyatakan batal, maka tiada satupun kreditor yang dapat mengamputasi hak kreditor separatis pemegang hak tanggungan.
Dari seluruh putusan MK tersebut, kesimpulan yang dapat ditarik ialah: Ketika kreditor separatis mulai menggunakan haknya untuk parate eksekusi selama masa insolvensi, maka agunan tidak masuk dalam budel pailit. Jika kreditor separatis tidak menggunakan haknya untuk parate eksekusi, kreditor separatis berubah menjadi konkuren semi preferen, agunan jatuh dalam budel pailit dan akan diurus oleh kurator.
Maka dari itu, jika Anda adalah kreditor separatis pemegang jaminan kebendaan seperti fidusia maupun hak tanggungan, segera laksanakan hak Anda untuk parate eksekusi, atau agunan Anda akan jatuh ke dalam budel pailit dan menjadi “kue rebutan” pajak, buruh, dan para kreditor lain secara "keroyokan".
Bayangkan modus sebagai berikut (dan SHIETRA & PARTNERS memastikan banyak terjadi di lapangan): debitor nakal membuat sebuah badan hukum Perseroan Terbatas sebagai pihak peminjam dana kredit yang sengaja dikemudian hari ia tunggak, kemudian gaji buruh pun ia tunggak, dan pajak yang ia tunggak, sementara itu mangajukan atau diajukan pailit, akibatnya: debitor nakal mendapatkan dana kredit yang tidak ia kembalikan, pajak yang tidak ia bayarkan, gaji buruh yang tidak ia bayarkan, dan bebas dari segala perikatan hutang lain karena status pailit mengakhiri segala hutang piutangnya. Ia hanya bermodalkan agunan, namun mendapat dana kredit plus gaji buruh dan pajak yang tidak dibayarkan—cukup ia limpahkan semua itu pada kreditor pemegang hak tanggungan maupun pemegang jaminan fidusia. Putusan MK versi tahun 2013 menjadi alat sempurna bagi kreditor nakal untuk merampok kreditor pemegang jaminan kebendaan.
Logika hukum yang menjadi bukti argumen mengapa piutang pajak dan sekalipun itu gaji terutang para buruh tidak dapat mengamputasi kreditor separatis, sangatlah sederhana: bisakah Dirjen Pajak menyita barang milik wajib pajak yang telah diikat sempurna jaminan kebendaan? Bisakah buruh bekerja bila tiada barang modal yang didanai sumber kredit? Mereka tampaknya lupa, bahwa kreditor pemegang jaminan kebendaan bukanlah pabrik uang, mereka hanyalah penghimpun dana masyarakat dan penyalur dana masyarakat dalam bentuk kredit, kredit mana perlu dilunasi untuk mengembalikan dana masyarakat selaku nasabah. MK, lupa bahwa tidak semua nasabah orang berpunya, lupa bahwa karyawan kreditor pun perlu untuk digaji, lupa bahwa jika perbankan kolaps maka perekonomian makro akan turut tumbang, lupa bahwa permohonan uji materiil tersebut telah diputus pada tahun 2008 dengan amar putusan yang menolak permohonan uji materiil terhadap hak para kreditor separatis—putusan mana telah final dan mengikat.
EXPLANATION:
PROLOG
Logika hukum dalam permasalahan tersebut sebenarnya sederhana: mana kreditor dengan jaminan dan mana kreditor tanpa jaminan. Kreditor dengan jaminan, ibarat kreditor yang memiliki bank garansi (bank guarantee), dimana jika terjadi wanprestasi, maka pemegang bank garansi dapat mengajukan klaim dan mencairkan garansi tersebut—hanya saja, bagi kreditor dengan agunan jaminan kebendaan, mekanisme pencairan “garansi” adalah dengan cara parate eksekusi.
Bagi yang berkeberatan atas kreditor separatis, mintalah mereka untuk menjawab pertanyaan berikut:
-        Bila jauh sebelum penetapan pailit dinyatakan oleh hakim pengadilan niaga, apakah setiap kreditor pemegang bank garansi diwajibkan untuk menyerahkan dana pencairan garansi yang diterimanya untuk ditarik oleh pihak kantor pajak maupun gaji buruh?
-        Apakah kreditor yang jauh hari sebelum terjadi pailitnya debitor, pernah menerima cek atau pembayaran tunai atau transfer RTGS diwajibkan untuk menyerahkan sebagian dana mereka yang berasal dari debitor pailit tersebut untuk diambil oleh kantor pajak maupun gaji buruh tanpa adanya putusan actio pauliana?
-        Apakah kreditor separatis yang jauh hari sebelum terjadinya kepailitan menerima agunan sebagai jaminan kebendaan lengkap dengan sertifikat dari negara dengan title irah-irah pun layak untuk diamputasi haknya oleh kantor pajak maupun gaji buruh? Bila dijawab “Ya”, berarti terjadi penculasan karena terhadap kedua pertanyaan sebelumnya kita semua dengan logis akan berkata “Tidak!” Bila negara menistakan Sertifikat Hak Tanggungan maupun Sertifikat Jaminan Fidusia, berarti negara telah melakuka penipuan terhadap warga negaranya sendiri.
Maka menjadi terang dan jelas, tindakan parate eksekusi oleh kreditor separatis pemegang jaminan kebendaan sebenarnya hanyalah upaya untuk mencairkan agunan yang telah diterimanya jauh hari sebelumnya, dan agunan tersebut tak ubahnya dengan cek maupun bank garansi yang diterima oleh kreditor jenis uncategorized.
Mengapa? Karena pada dasarnya ketika kreditor pemegang cek maupun bank garansi, sebenarnya kreditor tersebut telah dibayar/dilunasi/diselesaikan perikatannya oleh debitor saat pemberian cek atau bank garansi, atau juga telah memegang "alat pelunasan". Analogikan sebuah bilyet giro, bukankah kreditor pemegang bilyet giro tersebut tidak akan menuntut pelunasan kepada debitornya meski ia belum dapat mencairkan sebelum tanggal jatuh tempo? Karena ia memang telah diselesaikan/dituntaskan perikatannya saat menerima bilyet giro tersebut.
Dengan kata lain, ketika bilyet giro, cek, bank garansi, dan agunan tersebut dicairkan, maka sifatnya adalah dapat berlaku surut hingga saat bilyet giro, cek, bank garansi, dan agunan tersebut diberikan. Contoh, debitor diwajibkan membayar tanggal 05 April 2015, sementara kreditor diberikan bank garansi tgl 01 April 2015, dan bank garansi tersebut masih dapat berlaku hingga tanggal 07 Mei 2015, maka jika kreditor tersebut baru mencairkan pada tanggal 10 April maka bukan berarti debitor tersebut yang wanprestasi—hanya saja kreditor yang baru mencairkannya pada tanggal 10 April 2015.
Secara filosofis, mereka semua masuk dalam ketegori kreditor separatis, baik pemegang cek, bilyet giro, bank garansi, maupun agunan—karena karakteristiknya serupa: pelunasan sudah ada di tangan kreditor itu sendiri, (inilah karakteristik utama kategori “kreditor separatis”, terpisah dari harta kekayaan debitor karena debitor tersebut tak lagi menguasai aset kekayaan tersebut atau tidak bisa secara penuh menguasainya) sehingga adalah aneh jika perikatan yang telah sempurna selesai harus ditarik kembali ke dalam budel pailit oleh kurator.
Barulah ketika masa insolvensi dua bulan berlalu tanpa ada permulaan upaya kreditor separatis untuk mencairkan agunan, maka kurator dapat menyatakan bahwa pihak kreditor separatis tersebut telah menelantarkan agunan, sehingga diambil alih dan dimasukkan ke dalam budel pailit.
UJI MATERIIL MAHKAMAH KONSTITUSI TAHUN 2013
Dalam perkara uji materiel tahun 2013 di MK, pihak pemohon uji materiil ialah para pekerja Pertamina. Meski senyatanya perusahaan tempat mereka bekerja masih berdiri tanpa ancaman dimohon pailit, namun klaim dari Pemohon Uji Materiil tersebut ialah: “Bahwa para Pemohon adalah juga para pekerja yang berpotensi untuk dikenai pemberlakuan Pasal 95 ayat (4) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam hal perusahaan tempat mereka bekerja mengalami pailit, yang tentunya akan dapat menyulitkan para Pemohon dalam menuntut hak-hak mereka kelak apabila diperhadapkan dengan kreditor lainnya.”
Singkat kisah, separuh dari permohonan mereka dikabulkan oleh MK, meski senyatanya belum ada kerugiaan riel / nyata yang mereka alami—namun baru sebatas “potensi” merugi yang terdengar cukup mengada-ada. Sebenarnya, dari berbagai putusan MK, tampak ketidakkonsistenan MK dalam berpendirian. Dalam putusan lain dalam perkara uji materiil UU KPK jauh sebelum ini, MK menyatakan bahwa Uji Materiil “tidak diterima” karena belum ada kerugian nyata yang diderita Pemohon Uji Materiil.
Klaim Pemohon dalam perkara uji materiil UU Ketenagakerjaan a quo, disebutkan: “Bahwa bilamana Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tetap diberlakukan tanpa adanya pernafsiran yang tegas terhadap ketentuan pasal tersebut, maka akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus pengingkaran hak-hak para Pemohon selaku pekerja dan pekerja lainnya yang bekerja di perusahaan tempat mereka bekerja yang sedang mengalami pailit berdasarkan putusan pengadilan.”
Lantas, apakah bunyi pasal yang mereka permasalahkan?
Pasal 95 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan, mengatur: “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.”
Perhatikan, “didahulukan pembayarannya” berarti masuk dalam kategori kreditor “preferen” Pasal 1132 KUHPerdata. Sementara itu, kreditor separatis seperti kreditor pemegang hak tanggungan maupun jaminan kebendaan lain seperti fidusia, bukan termasuk dalam ranah pasal 1132 KUHPerdata, namun ranah Pasal 1134 KUHPerdata sampai Pasal 1135 KUHPerdata—dengan catatan bila kita berbicara dalam konteks hukum kepailitan, maka dikenal tiga jenis konsepsi kreditor: konkuren, preferen, dan separatis.
Secara teori, istilah “separatis” berasal dari asal kata “separated” yang artinya “terpisah”, maka ia tidak masuk dalam budel pailit, namun terpisah, artinya secured creditor. Maka hak buruh sebenarnya secara yuridis dan filosofis hanya masuk dalam ranah hak dalam budel pailit bersama para kreditor preferen lainnya. Kreditor separatis, karena terpisah dari boedel pailit, ia sudah sewajarnya memiliki hak 100 % atas pelunasan dari jaminan kebendaan tersebut. Mengapa? Ambil konstruksi hukum berikut:
-        Jual Beli rumah tahun 2010 --> terima uang tunai --> objek rumah berpindah tangan.
-        Kredit tahun 2010 --> terima uang tunai --> kredit macet --> lelang eksekusi tahun 2015 --> objek rumah berpindah tangan.
... Perhatikan, dalam contoh diatas, keduanya memiliki konsekuensi akhir yang sama. Namun, dalam kasus kredit macet, sebenarnya berpindahnya penguasaan tanah secara yuridis sudah terjadi sejak tahun 2010 meskipun penguasaan tanah secara fisik kepada pemenang lelang eksekusi baru terjadi pada saat kini. Artinya, parate eksekusi membuat penguasaan hak atas tanah menjadi berlaku surut jauh sejak debitor belum dinyatakan pailit.
Dengan dasar / rasio berpikir demikian, maka sudah sewajarnya bila pemegang jaminan kebendaan masuk dalam kategori “terpisah” dan “teramankan” karena memang sudah jauh sebelum debitor / perusahaan tersebut dinyatakan pailit, sebenarnya dipersepsikan / dianalogikan sama seperti jual-beli rumah biasa yang terjadi pada tahun penandatanganan akad kredit.
SHIETRA & PARTNERS melihat salah kaprah pihak pemerintah maupun pihak buruh pemohon uji materiil dalam menafsirkan ketentuan dalam Pasal 1134 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Adapun bunyi selengkapnya dari Pasal 1134 KUHPerdata:
“Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya.”
Apa yang dimaksud dengan “kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya”?
-        Pertama, belum ada undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa ada yang lebih tinggi daripada kreditor separatis;
-        Kedua, piutang pajak masuk dalam kategori kreditor preferen, bukan separatis, sebab tiada satupun ketentuan dalam UU KUP yang menyatakan secara tegas bahwa piutang pajak masuk dalam kategori separatis, dan piutang pajak adalah bagian dari budel pailit bukan bagian dari aset diluar budel pailit;
-        Ketiga, H.I.R selaku hukum acara perdata positif di Indonesia dengan tegas mengatur, bahwa irah-irah “DEMI KEADILAN DAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” sebagaimana dimuat dalam sertifikat hak tanggungan (SHT) maupun sertifikat fidusia memiliki kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap sejak sertifikat berirah-irah tersebut diterbitkan jauh sebelum adanya penetapan pailit. Sehingga, putusan hakim niaga sekalipun tidak dapat dicampuradukkan dengan SHT maupun sertifikat fidusia karena bila dimaknai mencakup pula hak kreditor separatis, maka artinya putusan pailit oleh hakim pengadilan niaga bersifat nebis in idem.
Pemohon Uji Materiil pada tahun 2013 tersebut kembali mengajukan dalil: “Bahwa dalam pelaksanaan putusan pailit kata “didahulukan” ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak negara dan para kreditor separatis yang merujuk Buku Dua Bab XIX KUH Perdata dan pasal 21 UU No.6 Tahun 1983 yang diubah oleh UU No.9 Tahun 1994. Di sini, hak negara ditempatkan sebagai pemegang hak posisi pertama, diikuti oleh kreditor separatis (pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik).”
Adapun yang dimaksud diatas, ialah Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP). Selengkapnya bunyi Pasal 21 UU KUP:
(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak. 
(2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/ atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
(3a) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
(4) Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
(5) Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:  
a. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
b. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.
Penjelasan Resmi Penjelasan Pasal 21 Ayat (1) UU KUP: “Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.” ß Perhatikan, UU KUP hanya menggariskan kedudukan pajak sebagai “preferen”, dan “preferen” tidak dapat menderogasi keberlakuan hak kreditor “separatis” yang memang terpisah dari budel pailit.
Pemohon Uji Materiil menyatakan, bahwa Pasal 95 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa hak-hak pekerja harus “didahulukan”, namun dalam praktiknya ditempatkan dalam posisi setelah pemenuhan hak negara dan para kreditor separatis, sehingga pasal UU Ketenagakerjaan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja.
Terhadap keberatan dari pihak pemohon uji materiil tahun 2013 tersebut, Presiden dalam keterangannya secara tertulis menjawab, bahwa:
Pada prinsipnya pemenuhan hak-hak atau pembayaran kewajiban kepada debitor, para kreditor separatis dilakukan tersendiri dan terpisah atau bersifat separatis dan mendahului para kreditor lainnya, termasuk para kreditor pemegang hak istimewa dan para kreditor bersaing (konkuren). Artinya, posisi kreditor separatis berada di atas kreditor preferen karena mereka mempunyai jaminan kebendaan yang dinyatakan terpisah atau separatis dari semua perjanjian utang piutang pada umumnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Kepailitan. Bahkan berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, kreditor separatis mempunyai hak untuk mengeksekusi hak-haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, atau yang sering kita ketahui sebagai parate eksekusi. Walaupun untuk itu dan guna kepentingan bersama para kreditor, berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU hak untuk mengeksekusi, hak para kreditor separatis dimaksud ditangguhkan selama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.”
“Dalam konteks bekerja atau buruh sebagai salah satu kreditor yang mempunyai hak dalam proses kepailitan berdasarkan ketentuan Pasal 95 Ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagaimana sudah Pemerintah sebutkan di atas yang kemudian juga dijelaskan lebih lanjut, dalam penjelasannya yang menyatakan bahwa yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang lainnya.”
Sementara itu Pasal 39 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menyatakan, “Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.”
Cacat dari logika pemerintah mulai tampak secara ceroboh dan gegabah dalam membuat pernyataan sebagai berikut (perhatikan tanda bergaris bawah):
Bahwa terhadap anggapan para Pemohon yang mempermasalahkan kedudukan pajak dalam pemberesan hak-hak para kreditor. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa hal ini dimungkinkan untuk didahulukan dari para kreditor konkuren, bahkan termasuk didahulukan dari para kreditor separatis yang harus dipenuhi, yaitu kewajiban pajak-pajak dimaksud dari budel pailit.”
Jaminan kebendaan tidak termasuk dalam kategori budel pailit (lihat kontradiksinya dengan putusan MK versi tahun 2008), karena ia “terpisah” (separatis, separated). Secara tidak langsung pemerintah mengakui, bahwa piutang pajak bukanlah termasuk dalam kategori kreditor separatis, oleh sebab ia masih bersaing dalam budel pailit yang merupakan ranah kreditor konkuren dan preferen.
Jika pemegang jaminan kebendaan selama masa insolvensi menggunakan haknya untuk parate eksekusi, maka UU Kepailitan telah menyatakan dengan tegas bahwa agunan tidak masuk dalam budel pailit, karena ia adalah secured creditor yang memiliki karakteristik “separatis” (separated).
Kecuali, bila dalam masa insolvensi 2 bulan kreditor separatis tidak juga menggunakan haknya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 59 UU Kepailitan, maka hak separatisnya gugur dan masuk dalam kategori “konkuren semi preferen” yang mana agunan jatuh pada budel pailit.

PENEMUAN HUKUM DENGAN PENAFSIRAN SISTEMATIK
Kini, kita tinjau ketentuan dalam UU Kepailitan; Pasal 60 UU Kepailitan mengatur:
(1) Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang melaksanakan haknya, wajib memberikan pertanggungjawaban kepada Kurator tentang hasil penjualan benda yang menjadi agunan dan menyerahkan sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah utang, bunga, dan biaya kepada Kurator.
(2) Atas tuntutan Kurator atau Kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Kreditor pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan.”
Ayat (1) Pasal 60 UU Kepailitan menyatakan dengan tegas, bahwa kreditor separatis punya hak mutlak atas piutangnya yang terdiri dari pokok utang, bunga dan biaya-biaya. Sementara itu secara limitatif Penjelasan Resmi Ayat (2) Pasal 60 UU Kepailitan menjelaskan: “Yang dimaksud dengan "Kreditor yang diistimewakan" adalah Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”
Apakah yang wajib disisihkan oleh seorang kurator dari sisa hasil parate eksekusi kreditor separatis? Yakni apa yang diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata. Dan, secara sistematis, hak gaji buruh tahun lampau maupun tahun berjalan masuk dalam Pasal 1149 KUHPerdata. Artinya, Pasal 60 UU Kepailitan telah tegas dan jelas menerangkan, bahwa jika kreditor separatis menggunakan haknya untuk melakukan parate eksekusi selama masa insolvensi, maka jika hasil parate eksekusi setelah dikurangi piutang kreditor separatis, sisa hasil tersebutlah yang akan dibagi-bagikan pada mereka yang masuk dalam kategori piutang para kreditor dalam Pasal 1149 dan Pasal 1139 KUHPerdata.
Itulah sebabnya, mengapa kemudian diatur Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”
Jika kreditor separatis menggunakan mulai menggunakan haknya untuk parate eksekusi selama masa insolvensi berlangsung, maka ia dapat menggunakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Bagaimanakah hak kreditor separatis ketika melakukan parate eksekusi saat tidak terjadi kepailitan? Seluruh hasil parate ekskeusi jatuh ke dalam hak piutang pemegang jaminan kebendaan, seutuhnya, tanpa dapat diintervensi oleh siapapun.
Kembali pada putusan MK versi tahun 2013. Pihak pemerintah kembali membuat “kecelakaan hukum” dengan menyatakan: “Dengan demikian, secara yuridis, posisi tagihan pajak adalah merupakan salah satu kreditor dalam kepailitan yang oleh undang-undang diposisikan sebagai kreditor preferen …” Padahal, Pasal 1134 KUHPerdata telah menegaskan, kreditor separatis lebih tinggi daripada kreditor preferen! Secara implisit pemerintah mengakui bahwa piutang pajak memiliki hierarkhi dibawah piutang kreditor separatis.
Pernyataan pihak pemerintah ditengarai bernuansa politis guna menghimpun popularitas dengan membuat argumentasi yang bersifat akrobatik: disatu sisi menyatakan bahwa kreditor separatis diluar budel pailit, namun kemudian menyatakan bahwa kreditor separatis termasuk di dalam budel pailit.
Pemerintah hendaknya bersikap konsisten, dimana sertifikat hak tanggungan yang diterbitkan oleh Kementerian Agraria/Kepala BPN maupun sertifikat fidusia oleh Kementerian Hukum, dimana juga masing-masing pendaftaran tersebut telah dipungut biaya yang masuk pada kas negara, namun kemudian memungkiri hak para pemegang jaminan kebendaan dengan menyatakan piutang pajak lebih didahulukan mengakibatkan suatu bentuk ketidakpastian hukum dan sentimen negatif investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Hal demikian menjadi kontraproduktif, yang dapat juga kita artikan bahwa pemerintah itu sendiri sebagai biang keladi mangkraknya pembangunan perekonomian di Indonesia.
Konsekuensi sosiologisnya jelas: kreditor enggan mengucurkan kredit dan lebih memilih untuk menempatkan dana secara aman pada SBI, lantas tiada pembangunan yang terjadi karena ketiadaan modal usaha, dan karena tiada pembangunan, tiada roda ekonomi yang bergerak, tiada tenaga kerja yang terserap, akibatnya potensi pendapatan negara dari pajak penghasilan pun menurun. Apakah tiada cara lain yang lebih kreatif dalam memungut pajak?

PIUTANG PAJAK DAN PIUTANG GAJI BURUH
Pajak, bersumber dari suatu potongan hak para penduduk dan pelaku usaha, baik berupa PPh, PPN, dsb. Ia masih sebentuk “potensi” dalam arti merugikan kekayaan negara dengan berkurangnya pendapatan negara, berupa hilangnya “potensi” pertambahan kekayaan kas negara—bukan dalam arti “memotong” kas negara.
Bandingkan dengan dana kredit, kreditor telah secara nyata menyalurkan kredit untuk pembangunan gedung pabrik debitor, misalkan, dan ketika dana kredit tersebut tidak dapat dilunasi oleh debitor, hal itu adalah sebentuk kerugian nyata dalam arti berkurangnya / terpotongnya kas kreditor. Pemerintah dan hakim konstitusi lalai menimbang, bahwa dana kredit perbankan bersumber dari nasabah, bukan dari kekayaan perbankan itu sendiri.
Para buruh pun lupa, bahwa mereka bisa bekerja dan diterima bekerja karena adanya bangunan pabrik tempat usaha, yang mana semua itu disumber danai oleh biaya kredit kreditor.

AMAR PUTUSAN MK TAHUN 2013
Tiba pada giliran MK pada versi tahun 2013 membuat pertimbangan hukum, dengan bunyi sebagai berikut: “Bahwa pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan para Pemohon tersebut memiliki kesamaan substansi dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan pasal 138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008, tanggal 23 Oktober 2008.”
Mengapa MK tidak menyatakan permohonan uji materiil a quo sebagai nebis in idem meski MK mengakui bahwa pokok perkara adalah identik antara perkara tahun 2008 dan perkara tahun 2013 a quo (?!)
MK kemudian membuat pernyataan: “… Dasar hukum bagi kreditor separatis dan bagi pekerja/buruh adalah sama, yaitu perjanjian yang dilakukan dengan debitor.”—Sungguh mengerikan pengetahuan hukum para hakim konstitusi, atau mungkin lupa bahwa hukum jaminan berperan serta dalam permasalahan tersebut.
Semua kreditor konkuren juga pastilah memiliki perjanjian hutang-piutang, hanya saja yang membedakan kreditor separatis dengan kedua jenis kreditor lainnya (konkuren dan preferen), ialah agunan yang diikat sempurna dengan sertifikat yang memiliki title eksekutorial irah-irah alias hukum jaminan kebendaan.

Tibalah pada AMAR PUTUSAN MK versi tahun 2013, dengan bunyi:
Mengadili,
Menyatakan: mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian:
1.    Pasal 95 Ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya (dluar gaji terhutang) didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis.”
2.    Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya (dluar gaji terhutang) didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis.”
 Perhatikan amar putusan MK yang penulis garis-bawahi, justru menimbulkan problema baru, yakni secara implisit MK justru ingin menyatakan bahwa piutang pajak berkedudukan dibawah hierarki kreditor separatis, hanya saja gaji buruh yang menduduki peringkat tertinggi melampaui kreditor separatis, melampaui kreditor preferen, dan melampaui kreditor konkuren.
Suatu putusan politis populis yang dangkal khasanah pengetahuan hukum. Kering dan minimnya konstruksi dasar konsep hukum yang dimiliki para hakim konstitusi, patut disayangkan. Hal demikian menimbulkan dampak kontraproduktif dikemudian hari, karena kreditor enggan menyalurkan dana kredit bagi modal usaha, dampaknya justru berimbas pada lapangan kerja itu sendiri.
Namun, perlu digarisbawahi, pertimbangan hukum MK tahun 2013 yang membuat amar putusan demikian, ialah bahwa agunan masuk dalam budel pailit. Bagaimana ada kategori agunan yang tidak masuk dalam budel pailit? Bandingkan dengan putusan MK versi tahun 2008 dibawah ini.
PUTUSAN MK VERSI TAHUN 2008
Pihak Pemerintah, secara inkonsisten, dalam perkara di MK dalam Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008, tanggal 23 Oktober 2008, dengan berkebalikan dari pernyataan yang diberikan pada tahun 2013, justru menyatakan: pihak Pemohon sebelumnya juga pernah mengajukan uji materiil terhadap Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan ke hadapan MK dalam register perkara No. 2/PUU-VI/2008 dan diputus tanggal 6 Mei 2008 dengan amar putusan “permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaar).”
Telah tiga kali ketentuan yang sama diuji materiil oleh MK !!! Lantas dimanakah kebenaran ketentuan imperatif limitatif yang mengatur MK bahwa putusannya bersifat final and binding?
Perhatikan pernyataan pemerintah dalam putusan MK Nomor 18/PUU-VI/2008, tanggal 23 Oktober 2008:
Bahwa aset debitor pailit yang dijaminkan (sebelum debitor dinyatakan pailit) kepada kreditor separatis tidak termasuk budel pailit. Aset yang dijaminkan itu terpisah (separate) dari boedel pailit dan kreditor separatis berhak mengeksekusi sendiri haknya tanpa melalui kurator. Berbeda halnya dengan kreditor preferen (serperti buruh) dan kreditor konkuren, mka dalam hal terjadi kepailitan tidak dapat dilaksanakan sendiri hak-haknya yakni dengan menjual langsung boedel pailit, tetapi hak-haknya harus dilaksanakan oleh kurator.”
“Bahwa dengan demikian menurut Pemerintah ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, tidak ada kaitannya (relevansinya) atau tidak terdapat hubungan konstitusionalitas dengan ketentuan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.    Ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU merupakan penjabaran dari asas umum hukum jaminan yang merupakan hukum perorangan atau hukum keperdataan, sedangkan ketentuan Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 merupakan penjabaran dari hukum publik.
2.    Dalam hubungannya dengan kepailitan, apabila setiap kreditor (antara kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren) diberikan hak yang sama untuk melakukan eksekusi padahal berkedudukan masing-masing kreditor berbeda maka hal demikian dapat mewujudkan ketidakpastian hukum dan menciptakan ketidakadilan.”
Pihak DPR dalam putusan MK versi tahun 2008 menyatakan bahwa kedudukan buruh hanya masuk dalam kategori kreditor “preferen”. Lebih jauh keterangan pihak DPR dalam putusan tahun 2008 tersebut menyatakan agrumentasi tajam sebagai berikut:
Bahwa semua perusahaan berbadan hukum juga memerlukan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap nasabah dari PT. Bank Negara Indonesia yang jumlah bukan dalam hitungan ribuan orang saja tetapi mencapai ratusan ribu bahkan jutaan orang sebagai nasabah pada PT. Bank Negara Indonesia yang meletakkan kepercayaan, harapan, dan masa depannya pada PT. Bank Negara Indonesia itu sendiri.”
“Dari apa yang disebutkan di atas, bisa disimpulkan pula, bahwa hak yang didahulukan (hak preferen), yang berasal dari perjanjian (maksudnya yang adanya diperjanjikan), kedudukannya lebih unggul daripada yang diberikan oleh undang-undang.”
“Hak-hak pekerja dalam perkara kepailitan sebagaimana yang dimaksud pada pasal mengacu pada ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, pekerja menempati posisi sebagai kreditor preferen. Hak preferen tersebut diberikan oleh undang-undang. Hak preferen yang timbul karena perjanjian (seperti adanya perjanjian dengan jaminan) kedudukannya lebih tinggi daripada hak preferen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1134 KUHPerdata.”
Yang menarik dari konstruksi hukum pihak DPR pada tahun 2008, bahwa hukum perdata sangat kental nuansa pacta sunt servanda Pasal 1338 KUHPerdata bahwa perjanjian berlaku berlaku sebagai (quasi) undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, maka dari itu dalam hukum perikatan antara kreditor separatis dengan debitornya yang memberi agunan, maka pihak diluar itu harus menghormati perikatan antara debitor dan pemegang hak tanggungan. Sehingga, kurator sebagai pengurus perusahaan termohon pailit, wajib menghormati perjanjian kredit dengan agunan demikian.

PERTIMBANGAN HUKUM MK VERSI PUTUSAN TAHUN 2008—SEBUAH PUTUSAN YANG KAYA AKAN KAJIAN YURIDIS SOSIOLOGIS DAN FILOSOFIS
MK dalam putusan versi tahun 2008 membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang… dalam proses penyelesaian yang demikian, diatur peringkat atau prioritas piutang yang harus dibayar terlebih dahulu, karena adanya kedudukan kreditor yang berbeda, yang diatur dalam undang-undang terutama mengenai jaminan terhadap pinjaman yang diberikan kreditor terhadap seorang debitor, sehingga kreditor yang demikian sejak awal telah terlebih dahulu diperjanjikan untuk diselesaikan tagihannya secara terpisah (separate) dari harta debitor… Karena jaminan yang demikianlah maka kreditor yang dijamin dengan hipotik, gadai, fiducia, dan hak tanggungan dapat menjalankan haknya apabila debitor tidak menbayar hutangnya secara terpisah dan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Demikian pun dalam urutan peringkat penyelesaian tagihan kreditor setelah selesainya kreditor separatis, maka upah buruh masih harus menunggu urutan setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan… “
“Menimbang… Oleh karenanya, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun kebijkan publik perlindungan terhadap manusia, in casu buruh atau pekerja dipandang lebih mengemuka dari pada perlindungan terhadap modal, akan tetapi suatu siklus yang terjadi secara alamiah dalam kehidupan ekonomi, menyebabkan pergeseran urutan prioritas sehingga keutamaan (hak didahulukan) kreditor separatis yang dijamin oleh hak tanggungan diturunkan ke tingkat yang lebih rendah, dengan sendirinya berakibat tidak adanya rangsangan atau motivasi yang cukup bagi para pemodal untuk menanamkan modalnya karena tiadanya jaminan akan kembalinya modal dan pada gilirannya juga akan menebabkan tidak terciptanya lapangan kerja yang diperlukan bagi pekerja.”
MK secara implisit hendak menganalogikan konsep “peringkat” dalam lembaga hak tanggungan. Katakanlah misalnya piutang pajak maupun gaji terutang buruh dan pemegang jaminan kebendaan sama-sama dikategorikan sebagai kreditor preferen, maka siapa yang lebih dahulu memiliki piutang dan didaftarkan secara resmi pada negara, maka ialah preferen peringkat pertama, piutang kreditor selanjutnya masuk dalam kategori peringkat kedua, dst—sama seperti konstruksi pemegang hak tanggungan peringkat pertama, peringkat kedua, dsb.
Ditambahkan oleh MK dalam pertimbangan hukumnya,
Bahwa jika hak-hak buruh termarginalisasi dalam kepailitan. Maka negara harus segera meluruskannya melalui kebijakan atas dasar paretor superiority, yaitu kebijakan yang menguntungkan kepentingan satu pihak, tetapi tanpa mengorbankan kepentingan pihak lain. Ketentuan-ketentuan hukum yang berhubungan dengan hak-hak buruh harus diperbaiki, misalnya bila terjadi kepailitan maka harus ada kepastian hukum yang merupakan jaminan terbayarnya hak-hak buruh misalnya gaji buruh, karena mereka telah memberikan jasa dan keterampilannya dalam proses produksi. Namun demikian, kebijakan ini tidak boleh mengganggu kepentingan kreditor (separatis) yang telah diatur dalam ketentuan hukum jaminan baik berupa gadai, hipotek, fiducia, maupun hak tanggungan lainnya.”
“Selanjutnya hal tersebut tidak diartikan menyamaratakan seluruh komponen piutang yang dasar hukumnya masing-masing berbeda, yaitu undang-undang dan perjanjian. Kedudukan kreditor yang didasarkan pada jaminan (gadai, hipotek, fidusia, dan tanggungan) sejak awal telah mengurangi hak debitor atas harta/aset yang dijadikan jaminan, yang menyebabkan aset tidak dapat lagi dipandang sebagai hak milik penuh debitor, karena aset telah dibebani hipotek, fidusia, hak tanggungan, dan gadai yang mengurangi keleluasaan debitor untuk bertindak terhadap objek jaminan sebagai pemilik semu (pseudo eigenaar);” ß Perhatikan, MK pada tahun 2008 memahami dengan baik konsep dasar hukum jaminan kebendaan, bahwa sejak diikat sempurnanya jaminan, maka penguasaan yuridis telah berada pada pihak pemegang jaminan kebendaan.
Putusan Nomor 15/PUU-VI/ 2008 tanggal 10 Juli 2008 telah memberikan tafsir atas makna keadilan tersebut, yaitu bahwa keadilan bukanlah selalu berarti memperlakukan sama terhadap setiap orang. Keadilan dapat berarti memperlakukan sama terhadap hal-hal yang memang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda. Dengan demikian, justru menjadi tidak adil apabila terhadap hal-hal yang berbeda diperlakukan sama. Unsur modal dan buruh tidak dapat dikatakan sama, baik dilihat dari sifat, asal usul, dan peranannya;
Menimbang bahwa menurut Mahkamah penentuan peringkat penyelesaian atau pelunasan tagihan kredit dalam proses kepailitan yang bersumber dan diatur dalam berbagai produk perundang-undangan baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), maupun dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, sepanjang mengenai kedudukan buruh atau pekerja, telah diperbaiki sedemikian rupa dalam UU Kepailitan dan PKPU, sehingga upah buruh yang sebelumnya hanya termasuk urutan kreditor preferen keempat (Pasal 1149 angka 4 KUH Perdata) yang berada dalam posisi di bawah kreditor separatis, menjadi utang harta pailit di bawah biaya kepailitan dan fee kurator berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU. Dalam konteks demikian, maka Pasal 95 UU Ketenagakerjaan yang merumuskan bahwa upah buruh dalam proses kepailitan didahulukan, harus dibaca bahwa upah buruh tersebut didahulukan, akan tetapi di bawah kreditor separatis yang dijamin dengan gadai, hipotek, fidusia, hak tanggungan (secured-loan), biaya kepailitan, dan fee kurator. Dengan demikian, tidaklah terdapat pertentangan norma antara UU Kepailitan dan PKPU dan UU Ketenagakerjaan.

DISTINGSI HUKUM KETENAGAKERJAAN DAN HUKUM JAMINAN KEBENDAAN, DUA VARIABEL YANG SALING BERBEDA
MK pada tahun 2008 menerangkan, pentingnya membedakan antara hukum jaminan kebendaan dengan hukum ketenagakerjaan, dimana keduanya adalah dua hal yang berbeda sehingga tidaklah relevan untuk disaling-benturkan. Lebih lanjut, perhatikan pertimbangan hukum MK pada tahun 2008:
“… menurut Mahkamah, ketentuan-ketentuan tersebut merupakan penjabaran asas-asas dalam hukum perikatan in casu hukum jaminan dalam hubungan hukum privat. Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU pada dasarnya menentukan bahwa kreditor separatis dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak ada kepailitan. Artinya, hak gadai, hipotek, fidusia, dan hak tanggungan lainnya tidak termasuk boedel pailit yang akan dieksekusi. Kreditor separatis berhak mengeksekusi sendiri barang-barang jaminan yang ada dalam kekuasaannya. Dalam hal masih terdapat kekurangan setelah eksekusi atas barang jaminan yang ada dalam kekuasaannya, kreditor separatis berhak atas boedel pailit sebagai kreditor konkuren, sebaliknya dalam hal terdapat kelebihan dari piutangnya maka kelebihan tersebut harus dimasukkan sebagai boedel pailit;”
“bahwa pelaksanaan hak-hak kreditor separatis a quo tidaklah dapat dikatakan sebagai perlakuan yang tidak adil dan tidak layak dalam hubungan kerja (hubungan antara buruh dan pengusaha), karena dalam hubungan kerja dimaksud, buruh tidak kehilangan hak-haknya dalam kepailitan dan buruh juga tidak kehilangan hak-hak atau upahnya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.”
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat, Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU tidak bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi, faktor lemahnya perlindungan terhadap hak-hak buruh atau pekerja dalam hal terjadinya kepailitan yang dapat mengakibatkan buruh atau pekerja tidak memperoleh apa-apa karena aset debitor telah dijadikan jaminan bagi kreditor separatis memerlukan campur tangan negara. Dengan demikian, yang harus dilakukan bukan dengan cara menyatakan pasal-pasal dalam UU Kepailitan dan PKPU yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan kemudian memberikan kedudukan buruh sebagai kreditor yang setara dengan kreditor separatis dan/atau menghilangkan status kreditor separatis, yang tentunya akan merugikan pihak kreditor separatis yang dijamin hak pelunasan piutangnya berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU, melainkan dengan menutup celah kelemahan hukum dengan mengatur hubungan antara buruh dan debitor dalam UU Ketenagakerjaan melalui berbagai kebijakan sosial yang konkret, sehingga ada jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak buruh atau pekerja terpenuhi pada saat debitor dinyatakan pailit;”
Kini, dapat kita pahami, bahwa Putusan MK tahun 2013 sebenarnya adalah upaya negara dalam “cuci-tangan”, dengan melimpahkan semua beban tanggung jawab negara tersebut dengan cara mengamputasi hak kreditor separatis. Menjadi terang dan jelas bahwa faktor politis dan pragmatis mewarnai putusan MK versi tahun 2013 disamping dimaknai sebagai upaya mendongkrak popularitas MK.
Lihatlah konklusi MK pada tahun 2008 berikut:
KONKLUSI: … Bahwa, diperlukan adanya peranan negara dalam bentuk kebijakan konkret untuk memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak pekerja atau buruh dalam hal terjadi kepailitan.”
Amar Putusan MK tahun 2008 yang pada saat itu dijabat ketuai oleh Mahfud MD: “Mengadili, Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak.”

RINGKASAN:
-        Putusan MK tahun 2013 Nomor 67/PUU-XI/2013 yang diketuai Hamdan Zoelva, memutuskan bahwa agunan yang dipegang kreditor separatis adalah bagian dari budel pailit. Maka dari itu diputuskan MK bahwa agunan tersebut akan terlebih dahulu digunakan untuk pembayaran gaji buruh. ß dibaca dan dimaknai sebagai berikut: JIKA KREDITOR SEPARATIS TIDAK MENGGUNAKAN HAKNYA UNTUK PARATE EKSEKUSI SAAT MASA INSOLVENSI, MAKA AGUNAN JATUH DALAM BODEL PAILIT DAN KEDUDUKAN PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN JATUH MENJADI KONKUREN SEMI PREFEREN.
-        Putusan MK tahun 2008 Nomor 18/PUU-VI/2008 yang diketuai Mahfud MD, semasa jaya dan penuhnya filosofi hukum dielaborasi dalam setiap putusan MK, diputuskan bahwa agunan bukanlah bagian dari boedel pailit. Maka, karena tidak melebur dalam budel pailit, terutang gaji buruh maupun piutang pajak negara tidak dapat mengintervensi hak dari kreditor separatis. ß dibaca dan dimaknai sebagai berikut: JIKA KREDITOR SEPARATIS SEGERA MENGGUNAKAN HAKNYA UNTUK PARATE EKSEKUSI SAAT MASA INSOLVENSI DALAM KEPAILITAN, MAKA KREDITOR SEPARATIS BERHAK SEPENUHNYA ATAS HASIL PARATE EKSEKUSI TANPA DIAMPUTASI SATU SEN PUN OLEH PIUTANG PAJAK NEGARA MAUPUN GAJI BURUH TERHUTANG DEBITOR PAILIT.
KESIMPULAN: Dalam praktiknya, acapkali kreditor pemegang hak tanggungan merasa harus mengalah secara terpaksa kepada para buruh termohon pailit. Mengapa? Ada dua alasan politis: demi kemanusiaan, dan demi menjaga kondisi pabrik dan mesin-mesinnya yang diikat jaminan kebendaan fidusia tidak rusak terkena amuk massa buruh yang merasa marah karena tidak mendapat gaji akibat hutang termohon pailit lebih besar daripada piutang / harta yang dimilikinya. Namun, antara putusan MK tahun 2013 dan putusan MK tahun 2008 yang saling bertolak-belakang, sebenarnya dapat diimplementasikan tanpa dibenturkan sebagaimana disebutkan dalam Bab Ringkasan di atas. Dasar argumentasi serta dasar yuridis yang dipaparkan diatas, jika kreditor separatis menggunakan haknya saat insolvensi, maka ia dapat memegang kuat dan mutlak pemenuhan seluruh piutangnya tanpa dapat diintervensi pajak maupun piutang buruh termohon pailit.
REKOMENDASI: Segera lakukan parate eksekusi, tanpa perlu terlibat dalam “pembalasan dendam” dengan mempailitkan debitor (kecuali debitor yang mengajukan kepailitan dirinya sendiri). Karena, akibat terjadinya keadaan pailit, maka itu menjadi ajang bagi para buruh serta kantor pajak untuk mengintervensi dan mengamputasi hak Anda atas agunan. Oleh sebab itu, membiarkan kredit macet terlampau lama, ibarat membiarkan “bom waktu” untuk meledak menjadi potensi terjadinya pailit, yang mana berujung pada kerugian pihak kreditor separatis itu sendiri. Jika Anda segera melakukan parate eksekusi sebelum melihat debitor akan dipailitkan, maka hasil lelang eksekusi sepenuhnya menjadi hak pelunasan Anda. Kecuali, bila setelah dilakukan parate eksekusi, tetap terdapat piutang terhadap debitor, Anda selaku kreditor konkuren atas sisa hutang tersebut dapat mengajukan pailit atas debitor bersangkutan tanpa resiko kehilangan lebih banyak lagi.
PENUTUP: Asas utama dalam hukum umum keperdataan: tanggung jawab tidak dapat dibebankan/dilimpahkan kepada pihak lain yang tidak bersalah dan beritikad baik. MK pada tahun 2013 selaku guardian of the constitution, justru melanggar amanah konstitusi yang memberikan kepastian dalam harkat dan martabat, untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang. Tidaklah dapat, akibat kesalahan debitor nakal, kreditor separatis yang harus menjadi tumbalnya dengan mengambil porsi hak terpisah dari agunan yang dikuasai pemegang jaminan kebendaan untuk menutup hutang pajak maupun piutang para buruh.
Putusan MK tahun 2013 tersebut sebenarnya mengandung suatu kecacatan prosedural, mengapa? Karena melanggar asas utama dalam sistem peradilan: Audi Alteram Partem—bahwa semua pihak yang berkepentingan wajib didengar keterangan dan pembelaan haknya secara seimbang. Karena pihak kreditor separatis tidak diberi kesempatan untuk membela diri dan mempertahankan haknya, dengan tidak diundangnya pihak yang mewakili para pemegang jaminan kebendaan, maka mengakibatkan dasar filosofis dan sosiologis maupun yuridis dari putusan menjadi berat sebelah.
Semestinya, MK wajib memanggil seorang ahli dibidang jaminan kebendaan dengan biaya yang dibebankan kepada pihak pemohon uji materiil. Karena, bagaimana pun putusan MK dalam perkara a quo memiliki dampak terhadap hak / kepentingan para pemegang jaminan kebendaan yang sifatnya masif (perbankan merupakan salah satu pilar ekonomi nasional).
Ketika undang-undang spesifik saling tumpang-tindih (overlaping) dengan undang-undang spesifik lainnya, maka asas lex spesialis derogat legi generalis menjadi gugur, dan undang-undang umum kembali muncul dengan supremasinya.
Artinya, ketika antar asas hukum spesifik saling berbenturan dengan asas hukum spesifik lainnya, maka yang akan diberlakukan ialah asas hukum umum demi menjaga sifat kepastian hukum. Asas hukum spesifik ditarik dari asas hukum umum, dan ketika antar asas hukum spesifik saling bertentangan, maka ia akan dikembalikan penentuannya pada asas hukum umum.
Ketika UU Ketenagakarjaan Vs. UU Kepailitan Vs. UU Pajak Vs. UU Jaminan Kebendaan saling berbenturan, maka yang wajib menjadi penentu penafsiran tunggal hanyalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Berhubung putusan MK tahun 2013 bersifat final dan mengikat (final and binding)—meskipun putusan MK versi tahun 2008 juga jinal and binding, maka tentunya hak para pemegang jaminan kebendaan menjadi “terculasi” alias diamputasi. Tidak ada mekanisme verzet atau perlawanan dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi.
Sehingga timbul pertanyaan baru, apakah artinya putusan MK dalam perkara a quo menjadi “harga mati”? Disinilah peran utama teori “contra nebis in idem” dapat diberlakukan. Artinya, dengan mendalilkan bahwa para pihaknya berbeda dari permohonan uji materiil oleh para buruh, kini para pemegang hak tanggungan dapat mengajukan uji materiil terhadap UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan maupun UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia dan meminta agar kreditor separatis ditempatkan dalam urutan yang lebih tinggi dari pada kreditor lainnya, termasuk lebih tinggi daripada hutang pajak maupun piutang para buruh, karena agunan yang dikuasai secara yuridis oleh kreditor separatis tidak masuk dalam boedel pailit.
MK tidak akan dapat menyatakan permohonan uji materiil oleh pemegang jaminan kebendaan sebagai nebis in idem, sebab “subjek hukum” pemohon berbeda dari sebelumnya, UU yang dimohon uji materiil pun berbeda dari sebelumnya.
Jika MK kemudian memutuskan bahwa kreditor separatis lebih tinggi daripada hak buruh maupun piutang kantor pajak, maka putusan yang spesifik yang akan berlaku terhadap kasus terspesifik demikian.
Perlu juga diingat, bahwa Pasal 1134 KUHPerdata hingga ketentuan dalam Pasal 1236 KUHPerdata tetap berlaku, meski telah dibentuk UU Ketenagakarjaan maupun UU Pajak dsb, karena sebagaimana kita ketahui, hingga kini lembaga hukum Hipotik dan Gadai masih berpayung hukum semata pada KUHPerdata, kedua lembaga ini tidak memiliki payung hukum dalam UU spesifik. Maka tak dapatlah dikatakan karena asas lex spesialis derogat legi generalis meniadakan ketentuan KUHPerdata, karena hipotik dan gadai masih bernaung langsung diatas payung KUHPerdata.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.