KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Kepastian dalam Hukum adalah Ketidakpastian itu Sendiri, Kupas Tuntas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014

ARTIKEL HUKUM
KUPAS TUNTAS SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 4 TAHUN 2014
Artikel ini akan membahas secara tuntas Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2014 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Apakah substansi dari SEMA No. 5 Tahun 2014? Sangat mengejutkan, pengakuan secara tersirat dari MA, bahwa telah terjadi beberapa “kecelakaan” hukum dalam rumusan rapat pleno di Tahun 2012 yang kini dicoba dikoreksi lewat SEMA Nomor 4 Tahun 2014.
Berikut kutipan SEMA 5 tahun 2014: “Rumusan hukum hasil pleno kamar tahun 2012 dan 2013 yang secara tegas dinyatakan direvisi atau secara substansi bertentangan dengan rumusan hasil pleno kamar tahun 2014, rumusan hukum tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Kini, pertanyaan besar yang amat menarik bagi kita, “kecelakaan hukum” apakah yang terjadi dalam SEMA Nomor 7 Tahun 2012 sehingga harus segera direvisi dua tahun setelahnya oleh SEMA Nomor 4 Tahun 2014?
Mari kita bahas secara komprehensif.
SEMA No. 04 Tahun 2014 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan
PERMASALAHAN DALAM PERDATA UMUM
1.    KEWENANGAN MENGADILI (absolut/relative)
Permasalahan: Putusan Pengadilan Negeri menyatakan tidak berwenang, kemudian Penggugat mengajukan Banding, Pengadilan Tinggi membatalkan putusan dengan menyatakan Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara tersebut, dan memerintahkan Pengadilan Negeri membuka kembali persidangan dengan memutus pokok perkara. Atas putusan Pengadilan Tinggi tersebut Tergugat mengajukan kasasi.
Jawab Pleno: Oleh karena Putusan Pengadilan Tinggi yang menyatakan Pengadilan Negeri berwenang merupakan putusan akhir maka perkara tersebut harus diproses pemeriksaan kasasinya dan berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung.
Tanggapan Penyunting: Jika pandangan MA diterapkan secara mutlak, maka akan terjadi “kekalutan hukum”. Jika Pengadilan Negeri (PN) menyatakan pengadilan tidak memiliki yurisdiksi karena keliru dalam komptensi absolut, maka seketika itu juga perkara dipusus dalam putusan sela tanpa memeriksa pokok perkara. Jika kemudian terhadap putusan PN tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi (PT), yang mengoreksi putusan PN sehingga menyatakan bahwa PN berwenang memeriksa dan memutus, maka apakah dasar bagi MA dalam kasasi untuk memutus perkara tersebut bila tergugat merasa berkeberatan terhadap putusan PT? Mengingat pokok perkara tidak pernah diperiksa maupun diputus oleh PN, meski PT termasuk judex factie, namun pada akhirnya kasasi dalam putusannya tidak memiliki ruang untuk memutus. Hakim Agung hanya akan dapat memutuskan apakah PN berwenang atau tidak, tidak dapat memutus lebih jauh, apakah penggugat dan gugatannya benar atau tidak, berapakah sanksi hukuman yang harus dijatuhkan, dsb. Secara strategis politis, hal ini justru menguntungkan pihak Tergugat dan merugikan pihak Penggugat itu sendiri.
2.    TERLAMBAT MENGAJUKAN BANDING
Permasalahan: Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi yang menyatakan permohonan Banding tidak dapat diterima karena terlambat mengajukan banding, kemudian pihak mengajukan permohonan kasasi.
Jawab Pleno: Oleh karena dengan lewatnya waktu untuk mengajukan banding, putusan Pengadilan Negeri tersebut telah berkekuatan hukum tetap, maka permohonan kasasi ditolak.
3.    JAKSA SEBAGAI PENGACARA NEGARA
Permasalahan: Apakah Jaksa sebagai Pengacara Negara dapat menjadi Kuasa BUMN/BUMD ?
Jawab Pleno: Jaksa sebagai pengacara Negara, berdasarkan Pasal 24 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, berwenang dapat mewakili BUMN dan BUMD.
Note: Rumusan ini merupakan revisi terhadap Hasil Rumusan Kamar Perdata tanggal 14 s.d 16 Maret 2011 angka I huruf g, yang menyatakan Jaksa sebagai Pengacara Negara tidak dapat mewakili BUMN (Persero), karena BUMN tersebut bersatus badan hukum privat (vide Pasal 11 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN)
4.    PENGOSONGAN EKSEKUSI OBJEK HAK TANGGUNGAN
Permasalahan: Pelelangan Hak Tanggungan oleh Kreditur sendiri melalui Kantor Lelang, apabila Terlelang tidak mau mengosongkan obyek lelang, apakah pemenang lelang dapat mengajukan eksekusi pengosongan secara langsung kepada Ketua Pengadilan Negeri secara langsung atau harus melalui gugatan?
Jawab Pleno: Terhadap pelelangan hak tanggungan oleh kreditur sendiri melalui kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkan obyek lelang, eksekusi pengosongan dapat langsung diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan.
Note: Rumusan ini merupakan revisi terhadap Hasil Rumusan Kamar Perdata tanggal 14 s.d 16 Maret 2011 pada angka XIII yang demgam keliru menyatakan  bahwa pelelangan hak tanggungan yang dilakukan oleh kreditur sendiri melalui kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkan objek yang dilelang, tidak dapat dilakukan pengosongan berdasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR melainkan harus diajukan gugatan, karena pelelangan tersebut di atas bukan lelang eksekusi melainkan lelang sukarela.
5.    TUNTUTAN PRIMER DAN SUBSIDER
Permasalahan: Dalam hal suatu gugatan terdapat tuntutan primer dan subsidair
Jawab Pleno: Tuntutan Primer dan Subsider dapat dikabulkan secara bersama-sama, dengan ketentuan diuraikan dalam posita gugatan, dan harus lebih mencerminkan keadilan.
NOTE Penyunting: SEMA No.4 Tahun 2014 dengan cacat menyatakan istilah dalam gugatan perdata dengan istilah hukum “tuntutan”. Tuntutan, hanya dikenal dalam istilah dakwaan pidana. Ketika mengabulkan suatu gugatan, bila sepenuhnya dikabulkan artinya dikabulkannya gugatan primer, sementara dikabulkannya gugatan subsidair berarti hanya separuh permohonan dalam petitum yang dikabulkan mengingat asas hukum acara perdata melarang hakim untuk memutus melebihi apa yang diminta (asas non ultra petita).
6.    PANGGILAN/PEMBERITAHUANPUTUSAN
Permasalahan: Tentang panggilan dan pemberitahuan yang disampaikan melalui Lurah / Kepala Desa, karena pihak-pihak tidak bertemu dengan Jurusita, apakah diperlukan bukti penyampaian panggilan/pemberitahuan tersebut kepada Panitera Pengadilan?
Jawab Pleno: Baik panggilan maupun pemberitahuan putusan yang disampaikan melalui Kepala Desa atau Lurah tidak diperlukan bukti penyampaian dari Kepala Desa/Lurah kepada yang bersangkutan, sesuai ketentuan Pasal 390 ayat (1) HIR.
Note: Rumusan ini merupakan revisi terhadap Hasil Rumusan Kamar Perdata tanggal 14 s.d Maret 2011 pada angka V tentang pemberitahuan putusan yang disampaikan melalui Lurah atau Kepala Desa, maka tenggang waktu pengajuan upaya hukum atas putusan dihitung setelah Lurah atau Kepala Desa menyampaikan pemberitahuan tersebut kepada yang bersangkutan. Apabila di dalam berkas tidak terlampir kekurangan tersebut, maka diperintahkan kepada Pengadilan Negeri untuk menanyakan ke Lurah/Kepala Desa.
Note Penyunting: Kaidah MA tersebut melanggar hukum acara perdata, dimana suatu putusan baru mengikat setelah tanggal penerimaan putusan, sehingga tanggal penerimaan materiel tersebutlah menjadi patokan jangka waktu hak untuk melakukan upaya hukum. Contoh, seorang kepala desa mungkin baru pada seminggu kemudian menyampaikan surat pada konstituen setelah menerima surat dari Pengadilan Negeri. Artinya, hak konstituen tersebut untuk mengajukan banding ataupun kasasi telah terpangkas 1 minggu. Sementara menurut hukum acara perdata, jangka waktu dihitung sejak tanggal tanda terima materiel yang bukan oleh delegator.
7.    UPAYA HUKUM TERLELANG
Permasalahan: Dalam hal pemilik barang yang dilelang tidak mau menyerahkan barangnya secara sukarela kepada pemenang lelang dan pemenang lelang mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan.
Jawab Pleno: Dalam hal proses eksekusi pengosongan belum selesai, upaya hukum yang diajukan oleh pihak terlelang adalah perlawanan. Sedangkan dalam hal proses eksekusi pengosongan sudah selesai upaya hukumnya adalah dengan mengajukan gugatan.
8.    TENGGANG WAKTU PENYELESAIAN GUGATAN PARPOL
Permasalahan: Dalam hal putusan dijatuhkan melewati tenggang waktu (60) hari yang ditentukan oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Jawab Pleno: Bahwa putusan sah karena tidak ada ancaman pembatalan terhadap lewatnya tenggang waktu.
9.    UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PKPU
Permasalahan: Dalam hal ada upaya hukum terhadap putusan PKPU baik dikabulkan maupun ditolak.
Jawab Pleno: Terhadap putusan PKPU tidak ada upaya hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 235 dan Pasal 293 Undang-Undang Nomo 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
10. UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILA NEGERI MENGENAI PERMOHONAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
Permasalahan: Dalam hal putusan pengadilan negeri tentang permohonan pembatalan arbitrase yang diajukan banding ke Mahkamah Agung.
Jawab Pleno: Banding terhadap putusan arbitrase ke Mahkamah Agung diperlakukan sebagai upaya hukum banding sehingga tidak ada kewajiban untuk mengajukan memori banding. Sedangkan register dan penomoran perkara akan disesuaikan.
11. PASAL 163 UU NO 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Permasalahan: Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan dan ada pekerja yang tidak bersedia bergabung.
Jawab Pleno: Karyawan yang tidak bersedia bergabung dengan perusahaan baru, maka karyawan tersebut tetap berhak untuk mendapatkan pesangon. Pasal 163 jo Pasal 156 UU No.13 Tahun 2003.
12. PASAL 96 UU NO 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Permasalahan: Penerapan kadaluwarsa untuk menuntut hak pesangon dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Jawab Pleno: Rumusan Pasal 96 UU 13 Tahun 2003 yang telah di-judicial review berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013 bukan menerbitkan norma baru. Oleh karenanya dalam memutus kedaluwarsa tidak mengurangi kebebasan hakim untuk mempertimbangkan rasa keadilan berdasarkan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juncto Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
13. PENERAPAN PASAL 1979 KUH-PERDATA (BW) DALAM PERKARA PHI
Permasalahan: Dalam perkara PHI yang diputus di tingkat Pengadilan Negeri gugatan dinyatakan tidak dapat diterima karena syarat formil tidak terpenuhi, kemudian gugatan diajukan kembali untuk kedua kalinya, apabila dihitung dari putusan dalam gugatan pertama telah lewat waktu satu tahun dan gugatan menjadi kadaluwarsa.
Jawab Pleno: Gugatan pertama mengakibatkan daluwarsa tercegah, oleh karenanya tenggang waktu daluwarsa dihitung sejak gugatan pertama berkekuatan hukum tetap.
PERMASALAHAN HUKUM PIDANA
14. Permasalahan: Apakah permohonan Peninjauan Kembali (PK) dapat diaju kan terhadap putusan Praperadilan?
Jawab Pleno:  Peninjauan Kembali Terhadap Praperadilan tidak diperbolehkan kecuali dalam hal ditemukan indikasi penyelundupan hukum.
Note Penyunting: inilah salah satu solusi atas putusan pra-peradilan Budi Gunawan Vs. KPK.
15. Permasalahan: Apakah Pemohon (dalam kasus pidana) masih mempunyai hak untuk mengajukan PK lagi terhadap putusan Peninjauan Kembali yang amarnya dinyatakan tidak dapat diterima/ Niet Ontvankelijk Verklaard (NO)?
Jawab Pleno: Pengajuan Peninjauan Kembali terhadap putusan Peninjauan Kembali yang amarnya dinyatakan tidak dapat diterima (NO) dimungkinkan, dengan syarat-syarat apabila :
a. Peninjauan Kembali terdahulu telah diputus sebelum SEMA No.1 Tahun 2012.
b. Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana wajib hadir di persidangan meskipun hanya 1 (satu) kali.
16. Permasalahan: Apakah Jaksa/Penuntut Umum diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana?
Jawab Pleno: Jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK. Sebab yang berhak mengajukan PK sudah jelas diatur dalam KUHAP (Pasal 263 ayat (1), untuk itu tidak dapat ditafsirkan dan disimpangi serta sesuai dengan Asas KUHAP bahwa hak-hak asasi Terdakwa/Terpidana lebih diutamakan.
Note Penyunting: Namun MA lupa, bahwa nasib seluruh warga negara tergantung di tangan penegakan hukum. Bila seorang penjahat biadab karena suatu kekeliruan oleh pengadilan yang membebaskannya, apakah putusan demikian yang dikehendaki oleh masyarakat luas dimana penjahat berkeliaran di luar rumah mereka yang bisa jadi memangsa sanak keluarga mereka. Selama bukti baru tersebut adalah konkret, substansial, krusial, maka tiada alasan untuk membebaskan seorang yang memang berbahaya bila dibiarkan bebas.
17. Permasalahan: Apakah perkara Tipiring (tindak pidana ringan) boleh diajukan Peninjauan Kembali?
Jawab Pleno: Tidak diperbolehkan sesuai ketentuan Pasal 205 ayat (3) KItab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
18. Permasalahan: Berbagai persepsi berkembang tentang kedudukan “ahli waris” dalam kaitannya dengan pihak yang diperkenankan mengajukan PK sesuai Pasal 263 KUHAP. Bagaimana sikap Mahkamah Agung terhadap persepsi tersebut?
Jawab Pleno: Ahli waris dapat mengajukan Peninjauan Kembali apabila pewaris/Terpidana telah meninggal dunia.
19. Permasalahan: Apakah Majelis Peninjauan Kembali (MA) dapat menjatuhkan pidana yang lebih berat dari pada penjatuhan pidana oleh judex juris? (bandingkan dengan ketentuan Pasal 266 KUHAP).
Jawab Pleno: Majelis PK tidak dapat menjatuhkan pidana lebih berat daripada penjatuhan pidana oleh judex juris / judex facti (baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Kasasi).
20. Permasalahan: Apakah terhadap satu perkara diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali dua kali? (bandingkan dengan ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP).
Jawab Pleno: Sudah dijawab pada nomor (2) dengan tambahan bahwa Terpidana yang mengajukan Peninjauan Kembali terhadap Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum diperbolehkan karena Peninjauan Kembali seperti ini bukan Peninjauan Kembali dua kali, demikian juga halnya apabila Terpidana dan JPU mengajukan Peninjauan Kembali secara bersamaan.
21. Permasalahan: Mahkamah Konstitusi dengan putusannya No. 114/PUU-X/2012, tanggal 26 Maret 2013 menyatakan putusan bebas tidak berkekuatan hukum yaitu pada Pasal 244 KUHAP, yang menyatakan : Terhadap putusan perkara pidana pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain, selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
-        Apakah putusan bebas juga dapat dibanding ke PT baru dikasasi?
-        Bagaimana bentuk putusan kasasi terhadap putusan bebas tersebut apakah NO JPU atau Tolak JPU?
-        Bagaimana jika JPU kasasi sebelum tanggal 23 Maret 2013 tersebut?
Jawab Pleno: Pasal 67 KUHAP tidak dicabut. Pasal 67 KUHAP menyatakan Terdakwa/Penuntut Umum berhak minta banding kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari tuntutan hukum dan putusan Pengadilan dalam acara cepat.
a. Tidak dapat diterima (NO), jika : kasasi diputus sebelum tanggal 23 Maret 2013.
b. Tolak : jika kasasi diputus setelah tanggal 23 Maret 2013.
Note Penyunting: Sikap MA tersebut diatas bertentangan keras terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam putusan uji materiil Nomor 114/PUU-X/2012, memutuskan bahwa upaya hukum kasasi juga dapat dilakukan bagi putusan bebas. Menurut MK, terhadap putusan “bebas” yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung kemudian dimohonkan pemeriksaan kasasi, tidak diartikan sebagai Mahkamah Agung pasti akan / harus menyatakan terdakwa bersalah dan dijatuhi pidana. MA tetap dapat menguatkan putusan judex factie, artinya terdakwa tetap dibebaskan dalam putusan kasasi. Perkara konstitusi ini sendiri bermula dari adanya permohonan yang diajukan oleh seorang pensiunan PNS dari Sumatera Barat, yang divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping pada tanggal 18 Juni 2008. Namun kemudian, jaksa penuntut umum melakukan upaya kasasi atas dasar ketentuan dalam Pasal 244 KUHAP dengan mengajukan argumen hukum bahwa kata “bebas” dalam pasal dimaksud dibagi dalam dua kategori, yaitu “bebas murni” dan “bebas tidak murni.” Ketika itu, JPU mengartikulasikan bahwa vonis yang dijatuhkan kepada pemohon bukanlah vonis bebas dalam kategori “bebas murni.”—berakhir sudah kontroversi mengenai “bebas murni” dengan “bebas tidak murni”, namun lahir sudah seteru antara Putusan MK dengan sikap MA yang memberontak putusan MK.
RUMUSAN HUKUM HASIL RAPAT PLENO KAMAR PERADILAN AGAMA [Note Penyunting: kaidah berikut dapat diterapkan secara umum diluar peradilan agama secara analogi, argumentum per analogiam]
22. Permasalahan: Kesalahan ketik pada amar putusan Peninjauan Kembali yang sudah diterima oleh para pihak, apakah kesalahan tersebut cukup direnvoi di Mahkamah Agung atau dengan mengajukan gugatan baru?
Jawab Pleno: Diajukan gugatan baru dengan posita mengacu kepada perubahan amar yang salah ketik tersebut, dan bila gugatan tersebut dikabulkan, salah satu amarnya memuat amar putusan bahwa putusan ini berlaku serta merta.
23. Permasalahan: Sejak kapan dihitung tenggat waktu pengajuan permohonan Peninjauan Kembali, apakah sejak ditemukannya surat-surat (novum) meskipun perkara kasasi belum putus, atau dihitung sejak pemberitahuan isi putusan kasasi diterima oleh para pihak?
 Jawab Pleno: Tenggat waktu upaya hukum Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya pemberitahuan isi putusan kepada para pihak.
Note Penyunting: jawaban MA tidak nyambung dengan pertanyaan dalam permasalahan. Duduk permasalahan adalah seperti berikut: hak untuk mengajukan PK, limitatif dibatasi jangka waktunya adalah 180 sejak ditemukannya “bukti baru” (novum). Sementara itu, dapat terjadi, novum tersebut baru ditemukan saat perkara kasasi masih diproses oleh MA yang dapat memakan waktu tahunan. Masa berlaku novum adalah setengah tahun, sementara jeda waktu menunggu putusan kasasi adalah tahunan, maka novum pun menjadi “basi” alias telah daluarsa. Saat itulah terjadi permasalahan hukum, apakah novum yang tidak lagi “fresh from the oven” masih dapat dikategorikan sebagai novum yang belum kadaluarsa 180 hari?
RUMUSAN HUKUM HASIL RAPAT PLENO KAMAR MILITER
24. Kaidah Hukum oleh MA yang cukup relevan dianalogikan bagi hukum umum: “Bahwa dalam putusan yang menyatakan Terdakwa bebas dari segala dakwaan, tidak tepat apabila Hakim memerintahkan agar terdakwa masih harus dijatuhkan hukuman disiplin; Bahwa putusan Majelis Hakim Kasasi yang menjatuhkan putusan: “permohonan kasasi tidak dapat diterima” tidak dibenarkan putusan NO dengan perbaikan.”
25. Permasalahan: seorang militer didakwa membeli shabu dengan maksud untuk dikonsumsi, dan dari penggeledahan diketemukan Nark*tika Gol I bukan tanaman yaitu shabu. Terdakwa di pengadilan didakwa melanggar pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Nark*tika yaitu dengan melawan hukum memiliki, dan menguasai nark*tika ; Judex Facti tingkat pertama menjatuhkan putusan dengan pidana penjara 1 tahun dan 6 bulan, dengan pertimbangan Terdakwa masih bisa dibina, Terdakwa baru pertama kali (dijatuhi pidana) dan shabu tersebut belum sempat digunakan ; Putusan banding menguatkan putusan tingkat pertama, dan selanjutnya Oditur Militer mengajukan permohonan kasasi. Majelis Hakim kasasi mengabulkan permohonan kasasi Oditur, membatalkan putusan Judex Facti, mengadili sendiri dan menjatuhkan putusan : pidana penjara selama 4 tahun, denda Rp 800.000.000,- subsidair 6 bulan penjara, dan pidana tambahan dipecat dari dinas militer, dengan pertimbangan bahwa perbuatan Terdakwa dinilai sebagai perbuatan yang tidak pantas dan tidak layak. Persoalan : Apa perbuatan terdakwa dalam kualitas seperti itu masuk dalam kriteria pasal 26 KUHPM? Apa relevansi lama pidana penjara yang dijatuhkan dengan pidana tambahan berupa pemecatan?
Jawab Pleno: karena bagi seorang prajurit yang berada dalam penjara karena menjalani hukuman dalam jangka waktu yang lama, maka tidak dapat melaksanakan sumpah prajurit dan Sapta Marga dengan baik, dengan sendirinya kedisiplinan yang merupakan jiwa yang harus melekat pada setiap prajurit sudah tidak ada lagi.
26. Permasalahan: Terdakwa yang seorang militer didakwa melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a UU. No. 35 tahun 2009 yaitu menggunakan Nark*tika Gol I bagi diri sendiri. Dalam persidangan, Terdakwa terbukti mengkonsumsi pil ekstasi, selain itu Terdakwa mengaku sering menghisap ganja (sudah berulang kali) dan sudah pernah juga mengkonsumsi shabu ketika bertugas di daerah lain. Judex Facti tingkat I menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 1 tahun dan 2 bulan, selanjutnya Judex Facti tingkat banding menguatkan putusan tingkat pertama. Terdakwa mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi karena dirasakan hukuman tersebut terlalu berat. Majelis Hakim kasasi menolak kasasi Terdakwa dengan perbaikan yaitu menambah penjatuhan pidana tambahan berupa pemecatan. Persoalan : Apakah tidak lebih tepat pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa adalah rehabilitasi mengingat Terdakwa sudah menunjukkan keadaan ketergantungan?
Jawab Pleno: yang telah dibuktikan tersebut berdasarkan Pasal 53 ayat (1) PP No. 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI, Prajurit tersebut termasuk mempunyai tabiat dan/atau perbuatan yang nyata-nyata dapat merugikan disiplin keprajuritan atau TNI, sehingga dipandang tidak layak lagi untuk dipertahankan sebagai Prajurit TNI.
27. Permasalahan: Dalam perkara pidana militer, bilamana terdakwa terbukti melakukan tindak pidana susila khususnya terhadap sesama prajurit, isteri/suami/anak atau yang melibatkan PNS, atau isteri/suami di lingkungan TNI. Juga terhadap tindak pidana nark*tika. Di dalam lingkungan TNI sudah dikenal adanya Surat Telegram Panglima TNI Nomor : STR/198/2005 yang intinya terhadap Terdakwa yang melanggar tindak pidana sebagaimana tersebut di atas diusulkan untuk dipecat. Namun dalam persidangan masih banyak silang pendapat, pantas tidakkah untuk dilakukan pemecatan bilamana si Terdakwa sudah mendekati usia pensiun atau bilamana si Terdakwa banyak jasajasanya kepada Negara dan telah dapat penghargaan bintang atau kadar kesalahannya tidak terlalu berat, misalnya mengkonsumsi nark*ba? Demikian pula terhadap perkara-perkara penyalahgunaan senjata api, illegal loging, desersi, insubordinasi, perkelahian antar angkatan dan pembunuhan haruskah dipecat?
Jawab Pleno: Bahwa dilihat dari perspektif hukum pidana, adanya peradilan militer dapat dikategorikan sebagai penegakan hukum pidana khusus, hal ini karena sifat dan hakekat pihak-pihak dalam perkara peradilan militer disini adalah anggota militer, oleh karena itu meskipun Prajurit yang menjadi terdakwa tersebut sudah mendekati usia pensiun atau Terdakwa banyak jasa-jasanya kepada Negara dan telah dapat penghargaan bintang atau kadar kesalahannya tidak terlalu berat, namun apabila dinilai prajurit yang melakukan tindak pidana tersebut dinilai tidak layak lagi sebagai seorang prajurit, merupakan sosok individu yang menyepelekan hukum serta petunjuk pimpinan TNI, dilakukan dalam lingkungan TNI sehingga apabila tidak dipecat akan dapat mempengaruhi anggota prajurit lainnya melakukan perbuatan terdakwa. Maka sudah tepat dan benar apabila tetap dijatuhi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas kemiliteran.
28. Permasalahan: Oditur Militer mendakwa Terdakwa dengan pasal 266 ayat (1) jo ayat (2) jo pasal 64 ayat (1) KUHP, karena Terdakwa ketika masuk seleksi Secatam TNI-AD menggunakan ijazah orang lain (familinya) bernama Irwan Fahla, karena usia Terdakwa saat itu sudah tidak memungkinkan untuk mengikuti seleksi. Dalam pendaftaran seleksi Secatam tersebut Terdakwa menggunakan identitas nama Irwan Fahla alias Hadi Suhendra, dan tahun kelahiran sesuai ijazah tersebut. Setelah lulus seleksi dilantik dengan pangkat Prada. Perbuatannya diketahui ketika Terdakwa berpangkat Pratu dan saat itu Terdakwa dengan status telah beristeri sah melalui kesatuan. Putusan pengadilan tingkat pertama menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 bulan dan pidana tambahan dipecat dari dinas militer. Putusan pengadilan banding atas permohonan banding Terdakwa membatalkan putusan tingkat pertama, mengadili sendiri menyatakan Pengadilan Militer tidak berwenang mengadili perkara Terdakwa, memerintahkan Pengadilan Militer untuk mengembalikan berkas perkara Terdakwa tersebut ke Oditurat Militer. Pertimbangan hukum Judex Facti tingkat banding adalah pasal 9 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1997 bahwa saat itu yaitu tanggal Februari 2005 ketika melakukan tindak pidana tersebut belum yustisiabel peradilan militer. Persoalan : Setelah terdakwa lulus pendidikan Secatam TNI-AD dilantik dengan pangkat Prada, dan selanjutnya menerima gaji dan penghasilan lainnya, melangsungkan perkawinan, dan mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Pratu. Apa tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana berlanjut dalam penggunaan surat palsu tersebut? Bila disidangkan di peradilan umum, apakah berwenang karena status Terdakwa adalah militer aktif?
Jawab Pleno: Bahwa dalam hal ini Pengadilan Militer berwenang mengadili. Karena telah sempurnanya delic yang dilakukan terdakwa justru dengan menggunakan ijasah orang lain tersebut, bahkan terdakwa telah pula menggunakan sebagai persyaratan untuk kenaikan pangkat, dalam hal ini pihak yang dirugikan adalah TNI, oleh karena itu akan lebih tepat kalau didakwa dengan perbuatan berlanjut.
29. Permasalahan: Terdakwa selaku Kapuskopad Kodam, didakwa melakukan tindak pidana “korupsi” berdasarkan undang-undang No. 3 Tahun 1971 (perbuatan dilakukan sebelum Tahun 1999) karena secara melawan hukum Terdakwa telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan. Perbuatan Terdakwa telah merugikan asset Puskopad. Penyidik telah menyita asset harta kekayaan Terdakwa, baik barang bergerak berupa kendaraan roda 4 (empat) maupun barang tidak bergerak berupa tanah yang ternyata barang-barang tersebut diperoleh terdakwa sebelum menjabat Kapuskopad.  Pengadilan tingkat pertama (Dilmilti) memutuskan menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, dan menjatuhkan pidana penjara serta menyatakan pula barang bukti baik kendaraan maupun barang tidak bergerak berupa tanah tersebut dirampas untuk negara cq. Puskopad Kodam yang bersangkutan dengan pertimbangan hukum penjatuhan pidana tambahan tersebut didasarkan pada harga lawan. Pengadilan tingkat banding (Dilmiltama) atas permohonan banding Terdakwa, telah menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama, selanjutnya dalam tingkat kasasi Majelis Hakim Kasasi menolak permohonan kasasi yang diajukan Terdakwa. Persoalan : Apa dibenarkan putusan pengadilan yang menjatuhkan putusan dengan amar “barang bukti dirampas untuk negara cq. Puskopad Kodam” ?
Jawab Pleno: Bahwa oleh karena barang-barang terdakwa tersebut diperoleh sebelum menjabat Kapuskopad dan bukan merupakan hasil kejahatan, maka barang-barang tersebut tidak dapat dirampas untuk Negara dan harus dikembalikan kepada Terdakwa; (Tetapi kalau berdasarkan UU No.31 Tahun 1999 jo No.20 Tahun 2001 barang-barang milik terdakwa dapat disita untuk kemudian dilelang sebagai pemenuhan pembayaran uang pengganti atas kerugian Negara yang ditimbulkan akibat perbuatan terdakwa)
30. Permasalahan: Perkawinan siri yang dilakukan oleh seorang prajurit menurut agamanya, akan tetapi tanpa ijin dari atasan langsung, apakah dapat diketegorikan sebagai perkawinan yang sah, dan dapat menghalangi perkawinan berikutnya (Melanggar Pasal 279 KUHP)?
Jawab Pleno: Perkawinan seorang prajurit yang dilakukan menurut agamanya tanpa ijin atasan langsung, adalah tidak memenuhi syarat formil yang ditentukan dalam kemiliteran (tidak sah secara hukum administrasi di kemiliteran). Sehingga apabila prajurit tersebut melangsungkan perkawinan kedua menurut agama dan atas ijin dari atasan langsung, perkawinan terdahulu yang tanpa ijin dari atasan langsung tersebut bukan merupakan hal yang dapat menghalanginya. Namun demikian prajurit tersebut, dapat saja dinyatakan bersalah atas keterangan palsu atau menerangkan keadaan yang tidak sebenarnya. (dengan catatan apabila didakwakan).
RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR TATA USAHA NEGARA
31. Permasalahan: Dalam beberapa Perkara Keterbukaan Informasi Publik (KIP) oleh Judex Facti sama sekali tidak dipertimbangkan tentang kepentingan yang berimplikasi pada legal standing Penggugat. Apakah hal tersebut dapat dibenarkan apabila ditinjau dari sudut pandang asas no interest no action yang dianut dalam Pasal 53 (1) UU Peradilan TUN dan Pasal 36 Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2013.
Jawab Pleno: Dalam perkara KIP unsur adanya kepentingan merupakan faktor yang harus dipertimbangkan. Walaupun dalam UU KIP siapa saja dapat mengajukan tuntutan untuk mendapatkan informasi, namun dalam pemeriksaan sengketa KIP harus dipertimbangkan tentang ada tidaknya kepentingan yang berimplikasi pada legal standing Penggugat. Hal ini sejalan dengan asas no interest no action dalam hukum acara PERATUN sebagaimana yang dianut dalam Pasal 53 (1) UU Peradilan TUN dan Pasal 36 Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2013.
32. KAIDAH HUKUM BARU DAPAT DIANALOGIKAN BERLAKU UMUM à Permasalahan: Tentang Permohonan PK lebih dari 1 kali.  PK pertama: dengan alasan adanya kekhilafan/kekeliruan yang nyata, apakah dapat diajukan PK ke dua dengan alasan diketemukan novum atau adanya Putusan Pengadilan yang saling bertentangan. Apakah dapat diajukan PK lebih dari satu kali, apabila diajukan oleh pihak yang berbeda dan dengan waktu pengajuan yang tidak sama?
Jawab Pleno: Alasan “kekhilafan” berbeda dengan alasan adanya “novum” (bukti baru) dalam pengajuan PK, sehingga walaupun pemohonnya sama namun apabila alasannya berbeda, maka terhadap perkara tersebut dapat diajukan PK kembali. PK tidak dapat diajukan dua kali dengan alasan yang sama walaupun orangnya berbeda, seperti yang pertama diajukan oleh Tergugat, kemudian yang kedua oleh Tergugat II Intervensi dan seterusnya.
Note Penyunting: kuncinya adalah adanya alasan pengajuan PK yang berbeda.
33. Permasalahan (meskipun telah dibawah oleh Hakim Agung dalam Kamar yang berlainan): Tentang Putusan MA yang inkonsistensi dalam perkara Hak Uji Materiil (HUM). Hasil Rapat Pleno Kamar TUN sebelumnya tanggal 11-13 April 2012 telah merumuskan bahwa Perma Nomor 01 Tahun 2011 tidak berlaku surut. Oleh karenanya pengajuan HUM terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang diterbitkan dan pernah diajukan sebelum dikeluarkan Perma tersebut (Perma Nomor 01 Tahun 2011) diberlakukan Perma Nomor 01 Tahun 2004. Sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang diterbitkan sebelum dikeluarkan Perma tersebut (Perma Nomor 01 Tahun 2011) dan belum pernah diajukan HUM diberlakukan Perma Nomor 01 Tahun 2011. Namun inconcreto terdapat penerapan hukum yang berbeda, khususnya terhadap peraturan perundang-undangan yang diterbitkan sebelum Perma No. 1 Tahun 2004, ada yang menerapkan aturan tenggang waktu sebagaimana diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2004 dan ada yang menerapkan Perma No. 1 Tahun 2011 yang tidak mengenal tenggang waktu.
Jawab Pleno: Pengajuan HUM terhadap Peraturan perundang-undangan pada prinsipnya tidak ada batas waktu, namun harus menggunakan tolok ukur yang jelas (ada pembatasan), yaitu tidak boleh melanggar asas retroaktif dan nebis in idem. Oleh karenanya penerapan Perma Nomor 01 Tahun 2011 tentang HUM tidak boleh berlaku surut, sehingga terhadap peraturan perundangundangan yang terbit sebelum Perma Nomor 01 Tahun 2011, dan belum pernah diajukan berlaku Perma Nomor 01 Tahun 2004.
Note Penyunting: MA keliru dalam memahami konsep hukum. Hukum, dibagi dalam dua kategori “marga”, yakni hukum formil dan hukum materiil. Hukum formil bersifat netral, sehingga tidak relevan terhadap asas non-retroaktif.
34. Permasalahan: Jangan terlalu mudah menyimpulkan sengketa TUN sebagai sengketa Perdata. Dalam praktek beracara di PTUN, manakala pihak Tergugat mengajukan eksepsi bahwa sengketa tersebut sebagai sengketa perdata, maka Hakim TUN secara serta merta menyatakan gugatan tersebut N.O. padahal untuk sampai kepada kesimpulan bahwa sengketa tersebut sebagai sengketa perdata harus melalui tahap pengujian yuridis sebagai berikut: Hakim TUN dalam menguji keabsahan KTUN objek sengketa melalui beberapa aspek yaitu:  
a. Aspek kewenangan Pejabat TUN tersebut;
b. Aspek prosedural penerbitan KTUN tersebut;
c. Aspek material substansial pendukung terbitnya KTUN objek sengketa.
Ketiga aspek tersebut diuji secara tertib dan berurutan dari Nomor 1 sampai dengan 3. Hakim TUN akan menyimpulkan bahwa sengketa TUN tersebut sebagai sengketa Perdata, manakala semua aspek tersebut telah lolos dan tidak mengandung cacat yuridis. Hanya tinggal satu-satunya “aspek substansi hak dari objek yang di atasnya diterbitkan KTUN objek sengketa” yang belum terjawab. Tanpa menguji substansi “Hak” tersebut, maka Hakim TUN belum dapat menentukan keabsahan KTUN objek sengketa. Hal ini perlu ditegaskan semata-mata untuk menghormati berlakunya “asas Prae Sumtio Iustae Causa”. Dan wewenang untuk menguji substansi “Hak” adalah kewenangan absolut Hakim Perdata, sehingga gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima alias N.O.
jawab Pleno: Dalam sengketa TUN tidak ada proses contradiktoir, sehingga kalau sudah kelihatan tanda-tanda ada sengketa keperdataan tidak perlu dilakukan pengujian secara keseluruhan tentang kewenangan, prosedur dan substansi suatu keputusan TUN.
Note Penyunting: Terdapat sebuah keganjilan besar dalam sistem hukum acara di Indonesia. Ambil contoh dalam perkara kepailitan dan PKPU. Kepailitan, adalah perkara voluntair, yakni permohonan dengan produk putusan hakim berupa penetapan pailit. Meski tergolong atau masuk dalam ranah voluntair, alias bukan contradictoir, namun dalam praktik dan implementasinya semua itu berbentuk conradictoir meskipun disebut sebagai “permohonan” dengan produk hukumnya dari pengadilan niaga berupa penetapan (bukan putusan). Ternyata, bagi hakim agung di MA, istilah “permohnan” membuat takabur akan suatu karakter perkara. Sifatnya direduksi oleh nama “permohonan” meski pada faktualnya yang ada adalah perkara sengketa yang lebih menyerupai gugatan. Yang murni “permohonan” (voluntair) diantaranya: permohonan ganti nama, perwalian, pengampuan, dan semacamnya. Siapa yang mau dinyatakan pailit tanpa bergerak untuk melawan permintaan pailit tersebut—kecuali si debitor itu sendiri yang hendak memailitkan dirinya sendiri.
35. Permasalahan: Belum dibedakan secara tegas antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan kebijakan (beleidsregel) dalam pengujian perkara HUM. Padahal, baik secara yuridis maupun secara akademis (arus besar pemikiran hukum) terdapat pembedaan yang tegas antara kedua hal tersebut. Pembedaan ini penting berkenaan dengan objek HUM yang menjadi kompetensi Mahkamah Agung [Pasal 24A Ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, Pasal 31 Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal 20 Ayat (2) Huruf b Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman].
Jawab Pleno: Objek hak uji materiil adalah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Peraturan kebijakan (beleidsregel) tidak dapat diuji oleh hakim.
36. Permasalahan: Pasal 37 UU No. 14 Th. 1985 Tentang Mahkamah Agung berbunyi: “Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain”. Pasal 22 UU No. 48 Th. 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi :
(1) Mahkamah Agung dapat memberi keterangan pertimbangan dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan.
(2) Ketentuan mengenai pemberian keterangan, pertimbangan dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan diatur dalam undang-undang.
Lampiran I Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. : 142/KMA/SK/IX/2011 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Di Mahkamah Agung, pada angka II ayat (3) berbunyi : “Perkara permohonan grasi, permohonan fatwa, hak uji materiil, dan sengketa kewenangan antar lingkungan peradilan diperiksa dan diputus dengan mekanisme khusus di luar kamar, dengan Majelis Hakim yang terdiri atas Hakim-Hakim Agung dari beberapa kamar sekaligus”. Permasalahannya : Undang-undang yang mengatur mengenai pemberian keterangan, pertimbangan dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan sebagaimana dimaksud Pasal 22 UU No. 48 Th. 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman belum ada. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan pelaksanaan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. : 142/KMA/SK/IX/2011 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Di Mahkamah Agung khususnya terhadap angka II ayat (3) tersebut, maka permasalahannya adalah : Apakah mekanisme penyelesaian permohonan fatwa sebagaimana diatur dalam Lampiran I Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. : 142/KMA/SK/IX/2011 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Di Mahkamah Agung, pada angka II ayat (3) tersebut saat ini sudah dapat diterapkan?
Jawab Pleno: Fatwa yang dimintakan oleh lembaga negara menjadi kewenangan Ketua Mahkamah Agung, sedangkan fatwa yang dimintakan oleh selain lembaga negara menjadi kewenangan Ketua Kamar.

CATATAN PENYUNTING: Entah mengapa, isu hukum yang dihahas bersifat minim, sementara itu berbagai ketertinggalan hukum acara tidak segera mendapat sentuhan dan pembenahan oleh MA. Selama ini hukum acara perdata Indonesia masih mengadopsi hukum acara peninggalan Hindia-Belanda yang sangat amat terbelakang. MA sebagai perumus outonomic legislation di lingkungan peradilan, tidak juga menyentuh masuk ke ranah hukum acara yang dilalaikan oleh perumus peraturan perundang-undangan di negeri ini. Lihatlah, bagaimana KUHP dan KUHPerdata Indonesia masih memakai peninggalan Belanda yang bahkan di Belanda sendiri telah ditinggalkan dan telah berganti kitab undang-undang hukum perdata maupun hukum pidana yang lebih modern. Namun, bila kemudian MA RI mengambil alih fungsi regulatif Lembaga Legislatif, maka tataran Trias Politica menjadi rusak. Alhasil, parlemen di-nina-bobokan oleh sikap aktif MA RI melakukan tambal sulam peraturan hukum yang seyogianya diatur dalam undang-undang, bukan sekadar Surat Edaran yang problematik.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.