Hukum Formil alias Hukum Acara, Bersifat Netral, sehingga Tidak Mengenal Istilah Retroaktif maupun Non-Retroaktif

LEGAL OPINION
HUKUM FORMIL TIDAK MENGENAL ISTILAH RETROACTIVE MAUPUN NON-RETROACTIVE
Question: Beberapa pihak memandang bahwa hukum acara tidak dapat berlaku surut, sementara beberapa pakar hukum lain berpendapat bahwa hukum acara dapat diberlakukan surut alias retroaktif. Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menyatakan asas larangan retroaktif (berlaku surut) suatu ketentuan hukum. Permasalahan acapkali timbul karena adanya perbedaan persepsi dalam menafsirkan asas non-retroaktif dalam pembahasan perumusan suatu peraturan perundang-undangan maupun dalam praktiknya di peradilan. Apakah permasalahan hukum klasik yang jarang mendapat telaah seperti permasalahan tersebut diatas, tetap akan menjadi wacana tanpa suatu pandangan alternatif yang dapat menjadi solusi?
Answer: Sebagian besar sarjana hukum memandang bahwa ketentuan “hukum acara” atau yang lebih sering dikenal dengan istilah “hukum formil” dalam terminologi hukum, tidak dapat diberlakukan surut dengan menganalogikan sama seperti larangan retroaktif hukum materiil. Namun SHIETRA & PARTNERS berpendapat, isu mengenai larangan retroaktif tidaklah relevan dalam memandang ketentuan hukum acara/formil. Artinya, sejak suatu ketentuan hukum formil diberlakukan, maka sejak saat itulah atas segala permasalahan hukum, tunduk pada hukum acara tersebut, entah terhadap perkara yang timbul sebelum hukum formil tersebut dibentuk maupun setelahnya.
EXPLANATION:
Secara sosiologis, hukum formil menyerupai hukum administratif dan hukum tata-tertib. Contoh: suatu Kantor Pertanahan memiliki suatu SOP bagaimana melayani masyarakat. SOP tersebut merupakan autonomic legislation yang biasanya diterbitkan oleh pimpinan Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Atas peraturan SOP internal kantor pertanahan yang anehnya justru mengikat pula para pengguna jasa kantor pertanahan, sama anehnya dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) mengenai kewajiban menempuh mediasi bagi para pencari keadilan di meja hijau dimana para pihak tidak dapat berkilah dari kewajiban tersebut, maka baik bagi pemegang sertifikat yang terbit tahun 1950 maupun sertifikat baru terbit belakangan ini, tidak diberikan perlakuan berbeda. Padahal, sebagaimana kita ketahui bersama, SOP alias “hukum acara” di kantor pertanahan pada tahun 1950 dan tahun 2015 memiliki SOP (hukum “beracara” di kantor pertanahan) dan peraturan administrasi yang berbeda. Begitupula bibit sengketa yang terjadi sejak tahun 1980-an, yang baru diajukan gugatan saat ini, tetap saja tunduk pada ketentuan wajib menempuh mediasi.
Dalam contoh lain, SEMA adalah hukum acara, dan ia tidak berbeda dengan hukum administrasi, dalam arti tata tertib beracara di persidangan. Tanpa melalui tahapan mediasi, tak dapatlah ia memasukkan berkas surat jawaban, pembuktian dan putusan. Pengadilan tidak akan perduli, apakah perkara tersebut terjadi pada tahun 1999 ataukah terjadi setelah PERMA tentang mediasi terbit. Pukul rata!
Atas pemberlakuan "pukul rata" demikian, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa hukum acara / hukum formil, tidak memiliki relevansi dengan isu asas legalitas non-retroaktif. Hukum acara berlaku sebagai ketentuan baku/pokok terhadap semua yang menghadapnya saat ia diberlakukan, entah apakah permasalahan timbul jauh sebelum ataupun sesudah hukum formil tersebut diberlakukan. Entah terhadap subjek hukum yang lahir tahun 1950 atau yang lahir saat ini, diperlakukan sama dan sederajat. Itulah hukum administrasi negara.
Pandangan penulis ini pastilah mendapat banyak pertentangan dan bahkan penolakan oleh banyak akademisi dan praktisi. Sekali lagi, SHIETRA & PARTNERS hendak bertanya balik, apa jadinya bila dalam satu instansi pemerintah, SOP yang diberlakukan saling berbeda terhadap berbagai pemohon/pengguna jasa? Tentunya sangatlah tidak efektif dan tidak efisien. Sementara itu tata tertib administrasi bertujuan untuk mengefesiensikan segala input dan output. Itulah sebabnya, saya menyamakan hukum acara/hukum formil dengan hukum tata tertib administrasi negara maupun hukum tata tertib administrasi pengadilan.


KESIMPULAN: Hukum Acara / hukum formil wajib menjaga sikap netralitas, bercermin atas prinsip netralitas pelayanan negara terhadap warga negara. Sebagaimana dalam putusan-putusan Mahkamah Konsitusi, pengertian perlakuan diskriminatif yang dimaksudkan oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya bukan perlakuan diskriminatif jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007, bertanggal 22 Februari 2008).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.