Gugatan Balik, Rekonpensi, antara Gugatan Sewenang-Wenang dan Penghinaan terhadap Pengadilan (Contempt of Court)

LEGAL OPINION
Question: Saat ini saya sedang menghadapi suatu gugatan absurd dari pihak lain. Pertanyaannya, apakah saya hanya bisa pasrah menghadapi gugatan absurd tersebut? Adakah cara bagi saya untuk saya menghadapi gugatan sewenang-wenang tersebut sebagai efek jera karena telah mengganggu hidup ketenangan hidup saya? Saya tahu, bahwa pihak penggugat telah “dipanas-panasi” oleh pengacaranya agar asal menggugat, agar pengacaranya ada acara untuk diperkarakan. Sayangnya, atas ulah pengacara penggugat, jadilah pihak saya yang ditumbalkan, dengan seenaknya menjadikan saya sebagai “pesakitan” di pengadilan. Apa hak dari penggugat serta pengacaranya itu mengambil keuntungan diatas penderitaan saya dan apa juga kewajiban saya untuk diganggu oleh mereka?
Answer: Dapat Anda ajukan gugatan balik (rekonpensi) terhadap gugatan yang Anda hadapi. Gugatan balik / rekonpensi, adalah suatu mekanisme efesiensi yang dapat diambil oleh pihak tergugat konpensi dalam menghadapi gugatan absurb dari pihak yang telah menggugatnya secara sewenang-wenang. Ketika suatu pihak melakukan gugatan tanpa dasar hak, maka yang ia lakukan sebenarnya adalah penyalahgunaan hukum (misbruik van rechts), sehingga atas kerugian konstitusional Anda yang tidak selayaknya diganggu ketenangan hidup oleh gugatan sewenang-wenang, dapat Anda ajukan gugatan balik yang bernama rekonpensi, tanpa resiko membayar biaya panjar dan biaya perkara jika rekonpensi Anda sekalipun ditolak oleh majelis hakim. Namun, yang perlu diingat, tidak digunakannya untuk melakukan rekonpensi bukan berarti gugurnya hak Anda untuk balik menggugat pihak penggugat secara terpisah dalam nomor perkara yang berbeda. Ini hanya masalah strategi dan taktik dalam berlitigasi. Memang, patut disayangkan, banyak di kalangan masyarakat Indonesia yang mudah terbujuk rayu oleh janji-janji muluk para pengacara, seolah menggugat dapat mengatasi segala masalah, bahwa dengan menggugat dapat membuat yang tidak benar menjadi benar ("mencuci masalah"), itu keliru besar. Dan, menggugat tanpa hak, adalah sama dengan mengganggu ketenangan hidup orang yang didudukkan sebagai tergugat—sama halnya dengan polusi udara maupun polusi suara yang dapat digugat di hadapan pengadilan, sehingga gangguan berupa gugatan arburb pun pada dasarnya melahirkan hak untuk mengajukan gugatan balik rekonpensi.
EXPLANATION:
Pasal 132a H.I.R. (hukum acara perdata Indonesia—peninggalan Hindia Belanda), sebagai payung hukum Rekonpensi, mengatur sebagai berikut”
“Ayat (1): Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan (rekonpensi) kecuali:
-     kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
-     kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan.
-     dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.
“Ayat (2): Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugat melawan, maka dalam (tingkat) banding tidak dapat memajukan gugatan (rekonpensi) itu.”
Penjelasan atas ketentuan tersebut diatas:
“Dengan diberikannya kesempatan untuk gugat-menggugat ini maka jalannya berperkara menjadi lebih lancar, oleh karena dua persoalan dapat diperiksa sekaligus.”
“Pada sub 1,2 dan 3 dari pasal ini disebutkan pengecualiannya, yaitu:
1. Jikalau penggugat dalam perkara itu bertindak untuk orang atau badan lain, sedangkan gugatan melawan itu untuk kepentingan pribadi penggugat. Hal ini memang beralasan, sebab penggugat pertama dengan penggugat melawan di sini merupakan dua oknum yang satu sama lain tidak ada hubungannya.
2. Jikalau Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan pertama tidak mempunyai wewenang guna memeriksa gugatan melawan, seperti misalnya isi gugatan melawan itu karena sifatnya termasuk kompentensi Pengadilan Agama atau pengadilan lain yang bukan pengadilan Negeri itu.
3. Jikalau perkara itu tentang sengketa mengenai eksekusi keputusan hakim, oleh karena dalam pelaksanaan keputusan hakim itu pada hakekatnya sudah tidak ada persoalan lagi tentang persengketaan, sebab segala sesuatu oleh hakim telah diselesaikan, sehingga tidak ada alasan lagi untuk saling bergugatan.”

Gugatan Re-konpensi (artinya bukanlah sebagai gugatan ulang, namun “gugatan balik terhadap penggugat dalam nomor perkara yang sama”) hanya dapat diajukan paling lambat saat proses jawaban terhadap Gugatan Konpensi. Anda tidak perlu membayar piaya panjar atas rekonpensi, dan rekonpensi Anda akan diperiksa dan diputus bersamaan dengan gugatan konpensi (gugatan lawan), sehingga tidak akan membuat persidangan Anda menjadi berlarut-larut.
Bandingkan bila Anda menggunakan mekanisme gugatan balik terpisah dari nomor perkara gugatan perdata yang diajukan lawan Anda, selain mengandung konsekensi biaya, Anda akan mendapat nomor perkara terpisah dan diwajibkan untuk menempuh mediasi kembali yang tentunya memakan waktu dan tenaga.

Gugatan Rekonpensi merupakan gugatan yang memiliki sifat individual yang berdiri sendiri; namun apabila ia diakumulasi dengan gugatan konpensi, seolah-olah sifat itu dilebur, dan selanjutnya administrasi yustisialnya ditumpangkan dan dilekatkan dalam gugatan konpensi. (M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 472)
Gugatan Rekonpensi bukanlah asesor dari gugatan konpensi. Eksistensi gugatan rekonpensi tidak tergantung pada gugatan konpensi. Rekonpensi pada dasarnya berdiri sendiri dan dapat diajukan secara terpisah dalam proses penyelesaian yang berbeda, hanya saja hukum memberi hak kepada tergugat konpensi untuk menggabungkannya ke dalam gugatan konpensi. Oleh karena itu, keberadaannya tidak asesor dengan gugatan konpensi. (Ibid, hlm. 476)
Jika Gugatan Rekonpensi tidak mempunyai koneksitas dengan gugatan konpensi, karakter gugatan rekonpensi sebagai gugatan yang berdiri sendiri, harus dipertahankan. Sehingga, sekiranya Gugatan Rekonpensi dinyatakan “tidak dapat diterima” atas alasan cacat formil, Gugatan Rekonpensi tidak tunduk mengikuti putusan itu. Materi Gugatan Rekonpensi tetap dapat diperiksa dan diselesaikan, meskipun gugatan konpensi dinyatakan tidak dapat diterima, apabila secara objektif tidak terdapat hubungan atau koneksitas antara keduanya. (Ibid, 477—478)
Pendirian diatas ditegaskan dalam Putusan MA No.1057 K/SIP/1973: “Karena gugatan dalam rekonpensi tidak didasarkan atas inti gugatan dalam konpensi melainkan berdiri sendiri (terpisah), dengan tidak dapat diterimanya gugatan dalam konpensi, tidak dengan sendirinya gugatan dalam rekonpensi ikut tidak dapat diterima.

Perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan, dapat dikategorikan sebagai Contempt of Court (CoC). Sayangnya, hingga saat ini belum ada ketentuan tertulis maupun preseden yang tegas mengatur soal CoC selain komentar atas UU Mahkamah Agung yang (gaibnya) tidak terdapat di dalam batang tubuh maupun penjelasan dari UU MA itu sendiri.
Hukum acara pidana dan perdata di Indonesia tertinggal jauh dari praktik hukum acara di negara maju seperti Amerika Serikat yang mengenal lembaga hukum subpoena dan CoC yang sangat keras dan tegas. Tindakan seperti mengulur-ngulur waktu, gugatan tanpa hak, berbohong, memanipulasi bukti dan saksi, menutup-nutupi fakta, mempermainkan pihak lain, dapat diganjar hukuman sanksi CoC baik berupa denda atau hukuman lainnya.
Menyalahgunakan lembaga hukum untuk mempermainkan dan mengganggu hak atas ketenangan hidup orang lain yang dijaga oleh konstitusi RI, termasuk dalam kategori CoC. Sayangnya, tanpa menutup mata dari realita, hakim di Indonesia cenderung konservatif ortodoks, dalam arti tidak terbuka terhadap konsep hukum dari negara maju yang sangat tegas menerapkan CoC.
Bandingkan dengan Mahkamah Agung India yang pada tahun 1971 telah membuat The Contmpt of Courts Act, sebagaimana disitir oleh MA RI dalam naskah akademik tentang CoC sejak tahun 2002, namun hingga kini mangkrak.
Penulis pernah menyaksikan secara langsung proses gugatan untuk keempat kalinya oleh penggugat dan tergugat yang sama, dengan objek dan pokok perkara yang sama. Gugatan demi gugatan dilancarkan dengan sewenang-wenang, dengan dalih “hakim dilarang menolak memeriksa perkara”, mengingat pula “murahnya” biaya perkara di pengadilan, menjadikan lembaga hukum “gugatan” menjadi alat untuk melanggar ketenagan hidup orang lain (law as tool of crime)
Merebaknya CoC tidak luput dari praktik pengadilan yang membiarkan lubang-lubang dalam hukum acara pidana maupun perdata yang sangat ketinggalan zaman, baik demi alasan politis maupun alasan koruptis. Tengoklah kasus gugatan untuk keempat kalinya tersebut, meski pihak tergugat memprotes gugatan tersebut, namun hakim dan pengadilan seolah “tutup mata”.
Penulis telah mendalami berbagai naskah berisi teori-teori mengenai CoC di Indonesia yang kebanyakan meminjam teori-teori dari luar. Namun, tak ada satupun pembahasan teoritis yang mengkategorikan “gugatan sewenang-wenang dengan tujuan untuk merendahkan harta martabat dan mengganggu ketenangan hidup tergugat” sebagai CoC.
Adapun paling banter dapat dipaksakan masuk dalam kategori Civil Contempt of Court, sebagai penggambaran penghinaan dalam persidangan perdata, yang merugikan pihak lain, sehingga ia lebih kearah penghukuman karena mengganggu ketenangan hidup tergugat dengan menyalahgunakan hukum acara berupa gugatan sewenang-wenang tanpa dasar hak untuk mengklaim hak dan menggugat.

Rekonpensi dapat menjadi kesempatan yang efektif, sebagaimana dapat kita lihat dalam putusan Mahkamah Agung No. 840 K/Pdt/2005 tanggal 26 April 2006, dalam tingkat kasasi, telah memutuskan:
M E N G A D I L I :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : NGARIJAN SALIM tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 343/Pdt/2003 PT.Mdn tanggal 29 Januari 2004 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 18/Pdt.G/2003/PN.LP tanggal 6 Agustus 2003 ;
MENGADILI SENDIRI :
DALAM KONPENSI :
TENTANG EKSEPSI :
- Menolak eksepsi Tergugat seluruhnya
TENTANG POKOK PERKARA :
1.    Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan sita jaminan yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dengan Penetapan No. 03/CB/2003/18/Pdt.G/2003/PN.LP tanggal 12 Maret 2003 dan telah dilaksanakan dengan Berita Acara Sita Penjagaan (Conservatoir Beslag) pada hari Jum’at, tanggal 14 Maret 2003 atas tanah sengketa tidak sah dan tidak berharga dan harus dianggap/dicabut.
DALAM REKONPENSI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat dalam rekonpensi/Tergugat dalam konpensi untuk sebagian.
2. Menyatakan bahwa perjanjian jual beli tanggal 11 Desember 1998 beserta kuasa tanggal 11 Desember 1998 adalah syah secara hukum.
3. Menyatakan bahwa Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi telah melakukan wanprestasi/ingkar janji.
4. Menghukum Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi untuk menyerahkan sertifikat H.G.B No. 417 untuk tanah seluas 1.589 m2 kepada Penggugat dalam rekonpensi/Tergugat dalam konpensi secara seketika serta Akte Pengikatan Diri untuk melakukan jual beli No. 103 tanggal 28 Juli 1997 sebagai dasar Tergugat rekonpensi/Penggugat dalam konpensi melakukan jual beli kepada Penggugat rekonpensi/Tergugat dalam konpensi.
5. Menghukum Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi untuk membayar ongkos-ongkos yang timbul dalam gugatan rekonpensi sebesar : NIHIL.
6. Menghukum Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat dalam rekonpensi /Tergugat dalam konpensi sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap hari atas keengganan Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi untuk melaksanakan putusan perkara ini.
7. Menyatakan putusan dapat dijalankan dengan serta merta meskipun adanya Banding, Kasasi maupun perlawanan/verzet (uitvoerbaar bij voorraad).
8. Menolak gugatan Penggugat dalam rekonpensi/Tergugat dalam konpensi selebihnya.
Menghukum Termohon Kasasi / Penggugat / Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

KESIMPULAN: Analogikan dengan adagium “semua warga negara berhak menjadi presiden, namun tak semua warga negara layak untuk dapat menjadi presiden”, kita analogikan bahwa memang semua penduduk berhak untuk mengajukan gugatan, namun tak semua memiliki hak untuk mengganggu ketenangan hidup orang lain dengan menyalahgunakan lembaga hukum berupa gugatan.
PENUTUP: Rosa Agustina dalam bukunya “Perbuatan Melawan Hukum” menjelaskan bahwa tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. Sebagaimana dalam putusan Hoge Raad tanggal 21 Maret 1943 dalam perkara W.P. Keruningen v. van Bessum cs. telah mempertimbangkan sebagai berikut (hal. 55): “Dalam menilai kerugian yang dimaksudkan oleh pasal 1371 KUH Perdata harus juga dipertimbangkan kerugian yang bersifat idiil, sehingga Hakim adalah bebas untuk menentukan penggantian untuk kesedihan dan kesenangan hidup, yang sesungguhnya dapat diharapkan dinikmatinya (gederfdelevensvreugde)”.
REKOMENDASI: Ajukan Rekonpensi terhadap gugatan konpensi yang kini anda hadapi, dan ketuklah pintu nurani hakim yang memeriksa dan memutus perkara Anda.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.