Utang yang Bersifat Tidak Sederhana, Ajukan Gugatan Perdata ke Pengadilan Negeri, menjelma Utang yang Bersifat Sederhana untuk Mengajukan Pailit terhadap Debitor, Strategi Langkah Hukum Komprehensif

LEGAL OPINION
Question: Kami adalah suplaier produk barang kebutuhan sehari-hari. Ada sebuah pihak rekanan pembeli barang pasokan kami, yang mengajukan pembatalan jual-beli atas barang yang telah kami pasok dan berikan kepada mereka. Mereka menolak pembayaran dengan segala macam dalih. Bisakah pihak tersebut kami ancam untuk kami pailitkan?
Answer: Kasus tersebut bersifat “utang yang tidak sederhana”, sementara hukum kepailitan hanya menerima permohonan pailit atas “utang yang bersifat sederhana”. Strategi untuk mengkonversi “utang yang tidak sederhana” menjadi “utang yang sederhana”, ialah dengan mengajukan Gugatan Perdata ke hadapan Pengadilan Negeri atau Arbitrase sesuai klausul dalam forum penyelesaian sengketa (choise of forum) sesuai akta perjanjian yang telah ditandatangani para pihak sebelum ini, dan ketika putusan telah inkracht dan menyatakan bahwa pihak lawan Anda adalah pihak yang kalah dan diwajibkan untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada pihak Anda, baik berupa sanksi, denda, pelunasan hutang, dsb, maka amar putusan PN atau arbitrase itulah yang menjadi dasar bagi Anda untuk memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai “kreditor” dalam hukum kepailitan, dimana pihak lawan Anda yang tidak mematuhi putusan PN atau arbitrase tersebut akan dikategorikan sebagai penghutang alias “DEBITOR” dalam konteks hukum kepailitan. Strategi ini memakan waktu, namun dapat menghindari “tidak diterimanya” permohonan pailit bila tidak memiliki nominal piutang pasti untuk mempailitkan meski Anda memang memiliki hak untuk “piutang” atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukumnyanya pihak lawan.
EXPLANATION:
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan): “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.” ß Pertanyaan utamanya, apa yang menjadi kriteria “KREDITOR” dalam konteks hukum kepailitan?
Penjelasan Resmi Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan: “Yang dimaksud dengan "Kreditor" dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. …. Yang dimaksud dengan "utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih" adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.”
Kecuali atas kasus seperti hutang-piutang yang telah jelas nominalnya tanpa perlu ditetapkan oleh pengadilan, seperti pemasok barang yang tidak dibayar tagihan oleh penerima barang yang tidak pernah mengajukan pembatalan atas transaksi jual-beli tersebut, maka kriterianya telah sempurna sebagai “kreditor” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU Kepailitan sehingga bersama-sama dengan kreditor lainnya dapat langsung mengajukan pailit terhadap si penghutang.
Pembatalan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1266 KUHPerdata dan Pasal 1267 KUHPerdata, sebenarnya tidak dapat disimpangi sekalipun telah disepakati dalam perjanjian bersama. Hal ini logis, karena untuk memulihkan kondisi para pihak seperti sedia kala, sangatlah sulit untuk menemukan parameternya jika tidak diputuskan oleh hakim.
Perhatikan ketentuan Pasal 1265 KUHPerdata berikut: “Suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.”
Maka adalah tidak logis mengesampingkan/menyimpangkan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata maupun Pasal 1267 KUHPerdata dalam suatu kontrak. Lebih lanjut perhatikan ketentuan berikut:
Pasal 1266 KUHPerdata: “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal-balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka-waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan.”
Pasal 1267 KUHPerdata: “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih: memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.” ß Perhatikan, ada dua opsi / kemungkinan yang dapat diminta dan diputus hakim atas suatu pembatalan: meminta pihak lawan untuk melakukan apa yang dilalaikannya, atau menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga. Kedua kemungkinan putusan hakim inilah, yang merupakan kriteria “piutang” dalam arti nominal yang jelas dan tegas, sehingga bila tidak dihormati oleh pihak tergugat, maka ia berstatus sebagai debitor konkuren dan penggugat sebagai kreditor konkuren tersebut.
Bedakan antara “pemutusan/pengakhiran” (termination) dengan “pembatalan” (null). Pemutusan, tidak mengakibatkan posisi dan kedudukan para pihak kembali kepada keadaan semula seperti tidak pernah ada perjanjian yang pernah terjadi. Sementara, syarat batal suatu perjanjian mensyaratkan hal tersebut. Contoh, ternyata stok barang yang didapat dari suplaier/agen telah terjual separuhnya oleh si penerima barang, maka jika dibatalkan, tentulah ada hak dan kewajiban yang harus diperhitungkan, tak dapat serta-merta menyatakan “batal” tanpa mengkalkulasi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Oleh sebab itu peran hakim dalam memutus merupakan peran sentral. Tanpa putusan hakim, maka piutang dan hutang belum bersifat pasti meski telah konkret.
Perhatikan pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam putusan No. 386 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 tanggal 27 Agustus 2014:
• Bahwa untuk membuktikan adanya utang yang telah jatuh tempo adalah tidak sederhana, sehingga ditolaknya permohonan pailit dipandang tepat;
• Terbukti pemohon Kasasi belum melunasi seluruh kewajibannya untuk membayar harga rumah, maka Termohon belum ada kewajiban untuk menyerahkan rumah;
• Dengan demikian pengembalian DP bukan merupakan hutang yang telah jatuh tempo;
• Kreditur lain juga ingin mengakhiri perjanjian jual beli rumah dan meminta kembali uangnya tidaklah serta merta mempergunakan upaya hukum kepailitan masih dapat melakukan upaya hukum gugatan perdata biasa;
• Dengan demikian unsur Pasal 2 (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak terpenuhi;
Lebih jauh disebutkan dalam SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tentang Pedoman Hakim, bahwa sebelum ada proses kepailitan, terdapat putusan arbitrase tentang utang yang belum dieksekusi, maka putusan Arbitrase yang belum dieksekusi dapat diperhitungkan sebagai utang dalam perkara Kepailitan.
Perikatan dibagi menjadi tiga kategori: memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau untuk tidak melakukan sesuatu. Amat sukar menentukan berapa besar kerugian riel bila perikatan-perikatan tersebut tidak dapat dinilai dengan sebentuk nilai kerugian riel, terutama kontrak yang mengikat mereka tidak mengaturnya secara rinci dan spesifik nilai sanksi atas pelanggaran seperti pembatalan kontrak secara sepihak. Oleh karenanya, perlu peran hakim dalam gugatan perdata untuk memutuskan kerugian riel yang dialami penggugat sebagai konversi "utang yang bersifat tidak sederhana" menjadi "utang yang sederhana".
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.