Kupas Tuntas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012, Menguak Tabir Berbagai Problema Hukum Acara Indonesia

LEGAL REVIEW
KUPAS TUNTAS SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 7 TAHUN 2012

Artikel ini mengupas substansi yang terkuak dalam Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 10/BUA.6/HS/SP/IX/2012 tanggal 12 September yang disampaikan kepada para Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Tingkat Pertama di seluruh Indonesia (Surat Edaran ini disebut juga dengan SEMA No.7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Yang menjadi latar belakang rumusan kaedah hukum dalam SEMA ini, ialah sejak dibentuk sistem kamar di MA pada tahun 2011, guna terbentuk kesatuan hukum, mengingat masifnya antara putusan satu dan putusan lain yang saling bertolak-belakang (baca: inkonsistensi), maka diadakanlah rapan pleno yang membahas persolakan hukum yang  seringkali memicu perbedaan pendapat yang berujung pada inkonsistensi putusan. SEMA ini adalah hasil dari rumusan hukum tersebut.

Rumusan-rumusan hukum dalam SEMA ini berfungsi sebagai pedoman dalam penanganan perkara di MA selain sebagai juklak para petugas Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia.
Menggelitik untuk membaca salah satu permasalahan yang dibahas dalam pleno, namun hal tersebut adalah suatu kemajuan dalam transparansi permasalahan praktik hukum di pengadilan, antara lain:
1.     Ketika suatu perkara pidana mendapati antara barang bukti yang tercantum dalam putusan judex facti (Pengadilan Negeri) berbeda dengan barang bukti dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Maka, mana yang harus diikuti, barang bukti yang tercantum dalam (surat) Tuntutan ataukah putusan Judex Facti? Pleno menjawab: mengenai barang bukti dalam putusan kasasi harus sesuai dengan barang bukti dalam putusan Judex Factie. Meski pertanyaan terbesarnya belum terjawab: Bagaimana mungkin barang bukti antara putusan PN dan barang bukti yang tersebut dalam Surat Tuntutan (requisitor) JPU saling berbeda? Bukankah dasar terbitnya dan pemeriksaan perkara ialah barang bukti sebagaimana terinci dalam surat dakwaan dan tuntutan? Semestinya demi asas “kepastian sumber asal”, yang menjadi dasar rujukan pokok tetaplah surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU);

2.     Hukum acara tidak menyebutkan secara tegas, ukuran/parameter 14 (empat belas) hari dalam mengajukan permohonan kasasi/menyerahkan memori kasasi. Apakah 14 hari kerja ataukah 14 hari kalender? Bagaimana dengan hari libur nasional, apakah akan tetap dihitung/tetap termasuk yang 14 hari tersebut? Dalam praktiknya, kadang penghitungan oleh Panitera Muda (Panmud) pidana sendiri berbeda-beda, kadang lewat 14 hari kalender dianggap permohonan kasasi tidak memenuhi syarat formil sehingga di sampul berkas di-cap “permohonan kasasi tidak dapat diterima”, namun kadangkala walau telah lewat 14 hari kalender, permohonan kasasi dinyatakan memenuhi syarat formil. Demikian pula diantara para Hakim Agung, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai batas waktu ini. Solusi dalam pleno: yang menjadi dasar patokan ialah hari “kalender”, jika tenggang waktu akhir jatuh pada hari libur maka dihitung pada hari kerja berikutnya.
Tanggapan Penyunting: masalah utama disini bukanlah pada berapa hari untuk mendaftarkan kasasi ataupun memasukkan berkas memori kasasi, namun berapa hari kepastian hukum kasasi sudah harus diputus oleh MA. Seringkali putusan kasasi memakan waktu bertahun-tahun, tentu sangat melelahkan dalam mental untuk menunggu kepastian putusan yang dibiarkan menggantung. Lihat bagaimana SEMA No.2 Tahun 2014 dengan sumir hanya mengatur masa waktu putusan terbit hanya sebatas aturan bagi PN dan PT, sementara putusan kasasi tetap dibiarkan “tanpa arah yang jelas”—meski SEMA No.2 Tahun 2014 tidak pernah dihormati terlebih diberlakukan oleh berbagai peradilan di Indonesia. SEMA tersebut tidak dihormati karena tidak punya “gigi”.

3.     Terungkap fakta bahwa banyak diantara Terpidana yang tidak menggunakan upaya hukum banding maupun kasasi, namun by pass langsung mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dengan alasan bahwa Putusan Judex Factie dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (vide Pasal 263 Ayat (2) huruf (c) KUHAP). Bukankah hal demikian dapat diartikan bahwa Terpidana telah menerima Putusan Judex Factie sehingga inkracht (berkekuatan hukum tetap)? Solusi Pleno: UU telah memberikan jalan/hak kepada Terpidana untuk melakukan upaya hukum PK atas perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap (BHT) jika (memang) memenuhi syarat Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.
Tanggapan Penyunting: Fakta yang sebenarnya terjadi, hakim agung yang memutus perkara PK acapkali salah kaprah dengan mengasumsikan PK hanya dapat diajukan bilamana terdapat bukti baru (novum). Berbagai macam putusan PK dapat kita eksaminasi, bagaimana permohonan PK atas kekhilafan hakim ataupun suatu kekeliruan yang nyata dimentahkan Hakim Agung yang hanya melihat dengan “kacamata kuda” ada atau tidaknya bukti baru. Namun satu hal yang dapat kita tarik secara analogi: dalam perkara perdata pun, dapat saja pihak dalam gugatan yang merasa tidak puas atas putusan PN langsung mengajukan Kasasi dengan tidak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.

4.     Dalam hal terjadi disparitas pidana yang dijatuhkan terhadap beberapa orang Terdakwa yang didakwa bersama-sma dan diadili (Majelis) Hakim yang berbeda dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, apakah hal ini dapat menjadi alasan PK? Dapat atau tidak dapat? Jawaban Pleno: “Dikembalikan kepada alasan PK.” Sebuah jawaban yang sumir. Namun, apapun itu solusinya, disparitas demikian menggambarkan ketidakberesan dalam stuktur pejabat kehakiman itu sendiri.

5.     Beberapa putusan Kasasi Mahkamah Agung yang dimohonkan PK oleh Terpidana, dibatalkan, karena putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan sesuatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Menurut hemat kami tidak perlu terjadi apabila putusan Kasasi tersebut dipertimbangkan dengan cermat dan teliti sesuai dengan ketentuan Hukum yang berlaku, demikian rumusan permasalahan dalam pleno. Solusi Pleno: “Adalah kewajiban dari Majelis Kasasi untuk membuat alasan pertimbangan hukum yang jelas, tepat dan cermas.” Jawaban yang diplomatis, namun bukankah antara kasasi dan PK diputus oleh lembaga yang sama, MA itu sendiri?!

6.     Ada perkara dengan dakwaan di-juncto-kan Pasal 55 Ayat (1) butit (1) KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana, dan disidangkan oleh Majelis (hakim) yang berbeda, diputus dengan amar putusan yang berbeda pula, yang satu diputus “N-O” (tidak dapat diterima) dan yang satu lagi dijatuhi pidana. Padahal dakwaannya jelas perbuatan tersebut dilakukan secara bersama-sama dengan dakwaan yang sama namun diajukan secara terpisah/splitsing. Mohon perhatian untuk perbaikan sehingga tidak terjadi disparitas atau perbedaan dalam putusan baik yang menyangkut pembuktian maupun perbedaan pidana. Verifikasi Pleno: harus diputus oleh satu Majelis, namun apabila perkara diterima berbeda waktunya, tidak menjadi alasan untuk dibedakan Majelis (hakim)-nya, agar tidak terjadi disparitas pidana…
 Catatan Penyunting: apa motif terjadinya disparitas putusan tersebut? Semestinya itu menjadi kunci/clue untuk mengawasi hakim yang membuat putusan yang memiliki disparitas tersebut, apakah ada faktor money politics didalamnya? Disayangkan bahwa budaya anti korupsi belum dijadikan rujukan utama oleh aparatur penegak hukum di Indonesia disamping masih lemahnya fungsi pengawasan internal di tubuh lembaga peradilan.

7.     Apabila dakwaan bersifat alternatif dimana salah satu dakwaannya (memiliki) ancaman pidana dibawah 1 tahun sementara dakwaan (alternatif) yang lainnya ancaman pidananya di atas 1 tahun, maka apakah dapat dimohonkan kasasi? Jawaban Pleno: Untuk dakwaan yang ancaman pidananya di atas 1 tahun tetap dapat dilakukan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. (Pasal 45 A UU No.5 Tahun 2004 tentang MA: “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh undang-undang ini dibatasi pengajuannya, yakni dikecualikan terhadap: a. putusan tentang praperadilan; b. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;…”)

8.     Judex Facti sering menerima perkara dari JPU dengan penerapan pasal dan undang-undang yang tidak sesuai, tetapi Judex Factie tidak bisa mengkoreksi karena terikat dengan KUHAP yang mewajibkan memeriksa perkara sesuai dakwaan. Pertanyaannya: Apakah Mahkamah Agung sebagai Judex Juris bisa menerapkan undang-undang dan pasal yang sesuai? Contoh: Perkara-perkara yang menimbulkan kematian orang, lebih sering digunakan pasal (tentang) pembunuhan karena desakan masyarakat; atau contoh kasus pencurian ringan, digunakan pasal yang lebih berat seperti pencurian kayu dengan digunakan UU tentang Kehutanan. Klarifikasi Pleno: hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tetap berpedoman pada surat dakwaan.
Note penyunting: pandangan hakim agung dalam rapat pleno demikian sangat berbahaya. Pertama, judex factie yang semestinya memeriksa berdasarkan penerapan hukum-nya apakah tepat atau belum, justru memenjarakan diri oleh kualitas surat dakwaan yang ceroboh, hal demikian tidak mendidik institusi kejaksaan yang bisa jadi teledor. Kedua, bila hakim agung hanya dapat memutus berdasarkan pasal-pasal yang di-“suguhkan” dalam surat dakwaan, maka kecenderungan yang terjadi ialah dibebaskannya terdakwa daripada dijatuhinya sanksi kepada terdakwa karena telah jelas terjadi kekeliruan dalam penerapan hukum (pemilihan pasal atau undang-undang) meski terdakwa telah jelas dan terang melakukan tindak pidana (yang sayangnya tidak didakwakan pasal atau undang-undang yang tepat oleh JPU). Dakwaan baru (ulang) memang dapat dilakukan, namun tentunya itu sangat memboroskan sumber daya negera untuk menyidangkan.

9.     Mengenai alasan pemaaf dan pembenar di luar ketentuan undang-undang: sebagian hakim menolak alasan-alasan pemaaf dan pembenar di luar undang-undang; sebaliknya sebagian hakim setuju/dapat menerima adanya alasan pemaaf/pembenar diluar undang-undang. Jawab Pleno: pada prinsipnya tidak dibenarkan alasan-alasan pemaaf dan pembenar diluar dari yang disebut dalam undang-undang. Contoh:
-        Guru memukul murid;
-        Dalam perkara lalu lintas sudah ada perdamaian/sudah diberikan santunan (rujuklah perkara anak seorang menteri atau selebritis penyanyi pria yang mengemudikan kendaraan mobil secara serampangan sehingga menewasakan banyak nyawa di jalan raya, namun kasus pemidanannya tidak jelas, berhenti di tengah jalan);
-        Dalam perkara KDRT jangan sampai pidana yang dijatuhkan malah membuat suami dan istri bercerai.
Pleno menambahkan: Alasan pembenar dan pemaaf sudah merupakan asas yang diatur dalam KUHP (kembali kepada asas). Tetapi dalam praktiek, terdapat beberapa yurisprudensi MA yang telah menggunakan alasan pembenar dan alasan pemaaf di luar KUHP, seperti misalnya berlakunya hukum adat setempat.
Catatan Penyunting: bisa atau tidak menggunakan alasan pembenar/pemaaf diluar ketentuan yang ada dalam KUHP? Pleno membuat jawaban sumir dengan menyatakan yurisprudensi dibolehkan, meski faktanya semua putusan yang telah inkracht berpotensi dijadikan preseden oleh hakim lainnya.

10.  Pasal 83 Ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan Praperadilan antara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding, dalam praktek ada putusan Praperadilan yang menyatakan “menolak permohonan Pemohon Praperadilan”, dengan kata lain Surat Perintah Penghentian Penyidikan adalah sah. Terhadap putusan tersebut di atas Pemohon Praperadilan mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi dan diadili Pengadilan Tinggi dengan putusan menyatakan: “- menerima permohonan banding dair Pemohon Praperadilan; - Menyatakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan adalah tidak sah”. Putusan Pengadilan Tinggi yang menyatakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 83 Ayat (1) KUHAP, (maka) apakah putusan yang bertentangan dengan undang-undang tersebut tidak dapat dibenarkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali? Jawaban Pleno: Berdasarkan ketentuan Pasal 45 A UU No.5 Tahun 2004, bahwa terhadap perkara-perkara Praperadilan tidak dapat diajukan kasasi apalagi Peninjauan Kembali. Putusannya adalah “Tidak dapat diterima” (niet onvankelijk veerklaard / NO). Terhadap Praperadilan tentang Penyitaan, maka apakah Penyitaan itu sah akan diputuskan bersamaan dengan pemeriksaan dalam dalam pokok perkara. Pasal 82 KUHAP (dimana disebut tentang Penyitaan terhadap benda yang tidak termasuk alat bukti), sesuai praktik selama ini dapat diajukan “PERLAWANAN:.
Note Penyunting: “perlawanan” sebagaiaman disebutkan dalam pleno dapat diartikan sebagai derden verzet maupun partij verzet, gugatan perlawanan dalam ranah perdata melawan Polri sebagai tergugatnya. Pertanyaannya, bagaimana jika “Gugat Perlawanan” secara perdata diputuskan bahwa atas objek sita pidana tersebut adalah tidak terkait dengan kasus pidana tersebut? Jika putusan pidana telah ditetapkan menyusul kemudian putusan perlawanan, yang mana keduanya saling tumpang tindih, apakah hanya Banding dan PK solusi terakhir? Jika atas putusan praperadilan ternyata diputus tanpa wewenang oleh PT, maka untuk meluruskan kekeliruan PT apakah dapat diajukan Kasasi atau langsung pada PK?
Bunyi Pasal 83 KUHP:
(1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidal dapat dimintakan banding.
(2) Dikecualikan dan ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
Pasal 82 Ayat (1, e): “Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.”
Pasal 82 Ayat (3, d): “Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.”

11.  Apabila terdakwa tidak didampingi oleh penasihat hukum sejak penyidikan, penuntutan dan di Pengadilan, apakah didalam tingkat kasasi putusan PN/PT harus dibatalkan dan dibuat penetapan untuk pemeriksaan kembali? Jawaban dalam Pleno: Tidak batal jika:
-        Dakwaan yang ancaman pidananya 5 tahun, kepada terdakwa dapat didampingi penasehat hukum dan terdakwa sudah ditawarkan untuk didampingi penasehat hukum tapi terdakwa menolak;
-        Dakwaan tersebut ancaman pidananya 5 tahun ke atas, terdakwa wajib didampingi penasehat hukum, tetapi terdakwa tetap menyatakan menolak didampingi penasehat hukum.
Catatan tambahan oleh Pleno: Penolakan terdakwa dalam angka kesatu dan kedua tersebut diatas sudah disebutkan dengan jelas dalam Berita Acara Penyidikan dan Berita Acara Persidangan. Bila nyata-nyata hak terdakwa dilanggar, maka judex jure (MA) wajib mengoreksi putusan judex faktie (PN dan PT) dengan membuat “penetapan” mengembalikan berkas perkara ke PN untuk diperiksa dan diputus sesuai KUHAP.
Note Penyunting: fakta di lapangan, acapkali terdakwa dengan ancaman pidana 5 tahun keatas jamak tanpa didampingi penasehat hukum. Atas kasus seperti demikian, yang mana terdakwa tersebut tidak pernah ditawarkan untuk didampingi penasehat hukum dengan dibiayai oleh negara, maka putusan PN maupun PT wajib dibatalkan dan diperiksa ulang.

12.  Pemeriksaan/pembuktian dakwaan yang bersifat alternatif dalam putusan hakim tingkat pertama (PN):
a. Sebagian Hakim dalam putusannya memeriksa semua dakwaan baru kemudian menyatakan dakwaan yang mana yang terbukti;
b. Sebagian Hakim lainnya langsung memeriksa dakwaan yang dianggap paling relevan dengan fakta-fakta persidangan.
Jawaban Pleno: Hakim dapat langsung menunjuk dakwaan alternatif mana yang paling relevan dengan fakta-fakta persidangan dan/atau yang lebih mudah pembuktiannya.
Note Penyunting: MA yang merupakan judex jure (hanya memeriksa penerapan hukum, bukan pembuktiannya lagi) dalam tingkat kasasi, dimana bila PN dan PT selaku judex factie (memeriksa menimbang alat bukti) hanya membuat pemeriksaan terhadap salah satu dakwaan alternatif, maka keleluasaan hakim agung untuk membuat putusan yang tepat dan lebih baik tidak dapat optimal, sebab yang ditawarkan ke hadapan MA hanyalah salah satu dakwaan saja yang sebelumnya diperisksa judex fantie, sehingga sepatutnya PN memeriksa seluruh dakwaan meski dakwaan dalam bentuk model alternatif. Lebih baik putusan menjadi “cukup” panjang daripada keliru menerapkan hukum.

13.  Formulasi putusan Hakim dalam kasus terdakwa yang mempunyai alasan “pembenar”:
a. Sebagian Hakim merumuskannya dengan menyatakan amar putusan “Onslaag” dan karena itu melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum;
b. Sebagian Hakim merumuskannya dengan putusan “Vrijspraak”, membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan.
Jawab Pleno: Amar putusan: Melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslaag van alle rechtsvervolging)—yakni opsi pertama.
Note Penyunting: Sebetulnya untuk konteks saat ini, tidak memiliki pengaruh signifikan antara kedua opsi terlebih Pasal 244 KUHAP tentang putusan “bebas” tidak dapat diajukan kasasi, kini telah dibatalkan oleh MK, sehingga segala putusan “bebas” maupun “lepas karena alasan pembenar”, baik itu “bebas murni” maupun “bebas tidak murni”, tetap dapat diajukan kasasi.

14.  Pleno membuat sebuah pedoman, bahwa tidak diperkenankannya menjatukan putusan “mengabulkan permohonan kasasi JPU (jaksa penuntut umum)”, namun substansi putusan MA justru meringankan/membebaskan Terdakwa, atau mengabulkan permohonan kasasi (oleh) Terdakwa namun pidananya malah diperberat (dikenal dengan istilah: “kabul bodong”.
Note Penyunting: contoh, bila PN maupun PT menjatuhkan pidana penjara selama 5 tahun, namun kemudian jaksa mengajukan kasasi, maka hakim dalam tingkat kasasi tidak boleh membuat amar putusan yang mengubah sanksi pidana penjara menjadi kurang dari 5 tahun. Begitupula sebaliknya, bila terpidana dijatuhi sanki penjara 5 tahun, namun terpidana mengajukan kasasi, maka tak bolehlah ia kemudian oleh hakim agung dijatuhi pidana penjara lebih dari 5 tahun.

15.  Pleno menyebutkan, hakim kasasi dapat mempertimbangkan terlepas dari alasan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi bila putusan PN maupun PT tidak cukup pertimbangan hukumnya.

16.  Untuk suatu dakwaan kasus pidana, bilamana terbukti bahwa Terdakwa mempunyai “alasan pembenar”, sebagian hakim dalam formulasi putusannya menyatakan dalam amar putusan “Ontslaag” dan karena itu “melepaskan terdakwa dari segala tututan hukum”; sementara sebagian hakim merumuskannya dengan putusan “Vrijspraak” alias “membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan”. Pleno menegaskan, apabila unsur-unsur dari dakwaan tidak terpenuhi, maka diputus “Bebas” (Vrijspraak). Apabila terbukti faktanya tetapi tidak melawan hukum, maka diputus “Ontslaag”. Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf adalah dua hak yang berbeda. Alasan pembenar itu kalau unsur dari dakwaan tidak terpenuhi, maka Vrijspraak, tetapi alasan pemaaf adalah unsur-unsur terpenuhi tetapi alasan ada hal eksepsional (Pasal 48—51 KUHP) maka Ontslaag.
Note penyunting: pernyataan pleno telah merusak konsep dasar hukum pidana dalam ilmu hukum. Yang menjadi alasan tidak melawan hukum atau “tiada pidana tanpa kesalahan” dikarenakan dua hal: karena ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Maka bila unsur-unsur dalam rumusan delik tidak terpenuhi kualifikasi yang didakwakan, putusan berbunyi dalam amar: “Bebas”. Namun bila terbukti secara sah dan meyakinkan unsur-unsur dalam delik terpenuhi, misal pasal pembunuhan, namun disamping itu juga terbukti secara sah dan meyakinkan terdapat alasan pembenar maupun alasan pemaaf, seperti seorang algojo mengeksekusi terpidana ataupun karena ada tekanan mental yang berlebih akibat ancaman serangan seseorang yang dikemudian diserangnya balik hingga tewas, maka amar putusan akan berbunyi “Lepas dari segala tuntutan hukum / ontslaag.” Tidak habis dimengerti bagaimana mungkin para hakim agung tidak memahami konsep dasar ilmu hukum, dan mungkin itulah akar penyebab karut marutnya sistem hukum dan peradilan di negeri ini.

17.  Pleno membuat pedoman sekaligus kaidah, bahwa Surat Dakwaan berjenis subsidaritas tidak dapat dibaca sebagai dakwaan alternatif. Dalam dakwaan subsidaritas harus dibuktikan dakwaan primair lebih dahulu. Bahwa pada dakwaan berbentuk subsidaritas walaupun dalam tuntutan JPU terbukti dakwaan subsidair, akan tetapi Hakim wajib membuktikan dakwaan primair terlebih dahulu.

18.  Dapatkah Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyusun surat dakwaannya dengan menempatkan pelanggaran ketentuan Pasal yang ancaman pidananya lebih rendah lebih dahulu dibandingkan ketentuan Pasal yang anacaman pidananya lebih tinggi?
Pleno menjawab: Penyusunan Surat Dakwaan adalah wewenang JPU, oleh sebab itu Hakim tetap berpedoman pada surat dakwaan, sehingga terhadap dakwaan yang disusun secara subsidaritas, dakwaan primair harus dibuktikan terlebih dahulu, kemudian dakwaan subsidair.
Note Penyunting: adalah tidak lazim bila dalam dakwaan berbentuk subsidair, hakim menyatakan dakwaan primer terbukti, namun kemudian masih berlanjut memeriksa dakwaan subsidairnya seolah merasa tidak puas jika ancaman pidana dalam dakwaan primair lebih kecil daripada ancaman dalam dakwaan subsidairnya. Oleh sebab itu, dalam ilmu hukum, seorang JPU semestinya merumuskan dakwaan subsidair dimana isi dakwaan primairnya memuat ancaman pasal pemidanaan yang paling berat, barulah subsidair memuat ancaman pidana yang lebih ringan.

Terkait praktik peradilan terhadap persidangan Tindak Pidana Korupsi:
19.  Dapatkah dijatuhkan pidana Percobaan pada Tindak Pidana Korupsi (tipikor)?
Pleno menjawab: Pembuat Undang-Undang Tipikor telah menetapkan adanya pidana minimum khusus, karena itu menjatuhkan pidana percobaan pada prinsipnya tidak diperbolehkan. Apabila disimpangi maka hakim telah menginjakkan kakinya ke ranah kekuasaan pembuat Undang-Undang.

20.  Jika dibolehkan disimpangi penjatuhan dibawah minimal pemidanaan, apakah boleh dijatuhkan pidana diatas maksimal pemidanaan?
Pleno menjawab: Penjatuhan pidana di bawah minimal dan/atau pidana diatas maksimal tidak diperkenankan (ketentuan UU Tipikor tidak boleh disimpangi). Walaupun demikian, penjatuhan pidana minimum khusus tersebut dapat disimpangi berdasarkan ketentuan Pasal 12 A UU No.20 Tahun 2001 tentang Tipikor.

21.  Apakah terhadap tindak pidana korupsi dapat dikenakan hanya pidana denda tanpa pidana badan (penjara dan/atau kurungan)?
Jawaban Pleno: Tidak, pasal-pasal tindak pidana korupsi telah menetapkan adanya pidana minimum khusus dan pidana maksimal. Demikian juga mengenai pidana denda, dijatuhkan secara kumulatif bersama pidana penjara (misal Pasal 2 UU Tipikor), atau pidana dengan tersebut dijatuhkan secara alternatif (misal pasal 3 UU Tipikor).

22.  Dalam hal Terpidana telah (mencoba) memenuhi pembayaran (sanksi) uang pengganti sebagian namun tidak mampu membayar kewajiban selebihnya, lalu bagaiamna perhitungan penerapan pidana penjaranya?
Jawaban dalam Pleno: Tidak ada kriterianya dalam Pasal 18 UU Tipikor. Jadi berapa besarpun yang sudah dibayar, pidana pengganti tetap dijalankan. (Sisa masa) Eksekusinya dihitung oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

23.  Apakah setiap perkara tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan adanya suatu kontrak/perjanjian, Terdakwa harus diputus lepas, dengan alasan perbuatan terbukti namun bukan tindak pidana?
Pleno menegaskan: Suatu perjanjian yang disimpangi dan telah menimbulkan kerugian negara maka perbuatan tersebut adalah tindak pidana korupsi.
Note Penyunting: maka menjadi terang dan jelas, prime clause dari spirit UU Tipikor adalah adanya “kerugian negara”, baik itu terjadi dalam rangka implementasi perikatan kontraktual perdana maupun perbuatan melawan hukum lainnya. Yang menjadi fokus perhatian semestinya ialah kesepakatan/konsensus diantara legislator dan eksekutif, bahwa antara “kerugian (kekayaan) negara” dengan “(kerugian) kekayaan negara yang dipisahkan” adalah dua konsep yang serupa atau dua konsep yang berbeda dengan konsekuensi yang juga berbeda?

24.  Bagaimana sikap Hakim dalam menerapkan ketentuan penjelasan unsur melawan hukum materiel dalam Pasal 2 UU Tipikor?
Jawab Pleno (dan sangat mengejutkan): walaupun Penjelasan Pasal 2 UU Tipikor telah dibatalkan MK, tetapi Putusan MK tersebut tidak mengikat bagi Hakim.
Note Penyunting: Disatu sisi kita prihatin atas putusan MK yang menolak gagasan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) materiel—semisal melanggar kepatutan, kesusilaan, dan kemoralan yang belum tertuang dalam aturan tertulis. Namun disisi lain kita turut prihatin bila MA dan jajaran dibawahnya tidak menghormati putusan MK yang merevisi kaidah hukum. Sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum normatif, sehingga secara imperatif harus ditafsirkan: putusan MK mengamandemen normatif hukum, dan normatif hukum adalah premis mayor silogisme, sehingga hakim di jajaran peradilan umum hanya dapat mengisi premis minor berupa kejadiaan riel dalam pokok perkara barulah dibentuk konklusi. Namun disisi lain, kita gembira atas sikap dan pernyataan MA yang menyatakan bahwa putusan MK tersebut adalah tidak mengikat hakim, patut diapresiasi dalam semangat memerangi korupsi. Akan tetapi, patut diingat, sikap “pembangkang” MA kemudian harus kita bayar mahal dengan diterbitkannya SEMA yang membangkang keras putusan MK tentang dibolehkannya PK berkali-kali atas putusan kasasi pidana.

25.  Sejauh mana pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi NO.003/PPU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2007 yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 Ayat 91) UU No.31 Tahun 1999 bertentangan dengan Pasal 28 huruf (d) Ayat (1) UUD 1945 sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat?
Jawab Pleno: “Hakim tidak terikat dengan putusan MK.”
Note Penyunting: bahwa memang benar sistem hukum acara Indonesia tidak menganut sistem binding  precedent, sehingga antar putusan yang satu dan putusan yang lain meski memiliki kasus posisi yang serupa, hakim dapat memutuskan secara bebas terlepas dari putusan sejenis yang telah ada. Namun, hakim MK memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda dengan hakim yudisial peradilan umum, karena hakim MK menguji materiel kaidah hukum berupa pasal perundang-undangan yang menjadi dasar hukum berupa kaidah hukum tertulis. Sistem hukum Indonesia memang bukan binding of precedent, namun bercorak norma hukum tertulis normative, dan putusan MK menjadi produk kaidah hukum itu sendiri. Maka, dapat kita katakan, Hakim MA dalam pleno hendak menyatakan bahwa undang-undang yang disususn legislatif dan eksekutif pun tidak mengikat hakim di jajaran peradilan umum dan MA (?!)—Pembangkangan besar-besaran terhadap konstitusi dan legislatif.

BEDAH KASUS:
26.  Dalam dakwaan JPU dengan menggunakan UU Perlindungan Anak maupun KUHP (misalnya Pasal 293 KUHP) sering disebutkan korban yang telah berusia 18 atau 19 tahun, oleh JPU masih dikategorikan sebagai korban “anak/belum dewasa”. Permasalahan:
a. dalam memutus perkara tersebut diantara Hakim Agung masih ada perbedaan pendapat tentang bataas usia korban, sebagian membenarkan dakwaan jaksa dan menganggap korban masih kategori “anak”;
b. sebagian Hakim ada yang menyatakan perbuatan Terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan Jaksa karena kobran dianggap “sudah dewasa”.
Jawaban Pleno: Ukuran kedewasaan tergantung kepada kasusnya (kasuistis). Dalam berbagai undang-undang berbeda tentang batas usia dewasa akan tetapi khusus untuk pelaku pidana Anak tetap mengacu kepada ketentuan batas usia anak sesuai dengan UU Pengadilan Anak dan UU Perlindungan Anak, yaitu 18 tahun. Mengenai pengertian batas usia di bawah umur/belum dewasa, dalam Pasal 290 KUHP dan Pasal 293 KUHP ada penyebutan angka 15 tahun dsbt. Umumnya dalam praktek batas usia dewasa disebut 21 tahun, akan tetapi seiring dengan perkembangan hukum, antara lain dengan hadirnya UU Perlindungan Anak maupun UU Pengadilan Anak, maka mengenai norma-norma (dalam KUHP) yang tidak mengatur secara eksplisit batas usia dewasa (korban) tersebut, maka disepakati batas usia dewasa (korban) juga merujuk kepada UU Pengadilan Anak dan Perlindungan Anak, yaitu 18 tahun.
Note Penyunting: jadi mana yang benar? Kasuistic approach ataukah normative approach 18 tahun berdasarkan UU Perlindungan AnaK? Tidak konsisten antara pernyataan satu dan pernyataan lainnya. Inilah akar penyebab tiadanya penerapan kepastian hukum di Indonesia.

27.  Dapatkah diterapkan Pasal 55 KUHP sebagaimana rumusan yang disusun JPU, jika Terdakwanya hanyalah seorang diri dan tidak ada Terdakwa lain? Bagaimana ajaran Deelnemingsleer, yang mensyaratkan bahwa ketentuan Pasal 55 KUHP baru diterapkan apabila terdakwanya lebih dari 1 (satu) orang jadi mutlak 2 atau tiga orang. Mahkamah Agung RI selaku judex juris perlu meluruskan hal ini guna terciptanya penerapan hukum yang benar!
Pleno menjawab (dengan sumir): Hakim tidak perlu menyikapi surat dakwaan JPU. Karena penyusunan surat dakwaan merupakan kewenangan JPU.
Note Penyunting: seperti yang kita ketahui, acapkali jaksa “mengejar setoran/sponsor” yang menghendaki penjatuhan pidana dengan berat, maka apakah hakim kemudian akan tersandera oleh bentuk surat dakwaan JPU yang mengada-ada? Menggunakan Pasal 55 KUHP yang berbunyi:
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
… terhadap satu orang terdakwa dan hanya memiliki satu orang tersangka/terdakwa dalam suatu penuntutan, adalah suatu keganjilan, kecuali jenis dakwaaan adalah jenis splitsing, dipisah antara satu terdakwa dan sesama rekan terdakwa lainnya.

28.  Judex Facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) sering menerima perkara dari JPU dengan penerapan pasal dan undang-undang yang tidak sesuai, tetapi judex factie tidak bisa mengkoreksi karena terikat dengan KUHAP yang mewajibkan memeriksa perkara sesuai dakwaan. Pertanyaannya: apakah MA sebagai judex juris bisa menerapkan undang-undang dan pasal yang sesuai (meski jadinya berbeda dengan pasal yang diancam dalam surat dakwaan)? Contoh: perkara-perkara yang menimbulkan kematian orang, lebih sering digunakan pasal pembunuhan karena desakan masyarakat. Pencurian ringan, JPU justru memilih menggunakan pasal yang ancaman pidananya lebih berat, seeprti pencurian kayu dengan digunakan UU tentang Kehutanan. Penerapan hukum yang ada dibeberapa UU yang digunakan oleh judex factie, seperti UU No.23 Tahun 2002 tetnang Perlindungan Anak yang mencantumkan hukumannya lebih berat terhadap pelaku dan hukuman ringan yang ada pada UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Jawab Pleno: hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tetap berpedoman pada surat dakwaan.
Note Penyunting: perhatikan, transaksional perkara bisa terjadi pada contoh kasus diatas, dimana terdakwa dapat melakukan “nego” terhadap JPU, agar diterapkan pasal yang meringankan bagi dirinya dalam dakwaan—sebuah pasal pesanan. Atau sebaliknya keluarga korban yang mendendam, akan “nego” terhadap JPU agar menerapkan pasal yang lebih mematikan terhadap terdakwa. Jelas bahwa sikap MA tidak memberikan keadilan yang sebagaimana mestinya, namun hanya berlindung dibalik sikap formalistis.

29.  Permasalahan berikut merupakan permasalahan hukum klasik yang jamak ditemui: Dalam suatu urusan bisnis misalnya antara penjual dan pembeli, kreditor dengan debitor pada umumnya diikat dalam suatu perjanjian. Namun tidak selamanya para pihak dapat melaksanakan perjanjian tersebut dengan dasar itikad baik. Dalam praktik terdapat kecenderungan adanya pihak tertentu mempunyai itikad buruk untuk melakukan tindak pidana (misalkan terjadinya delik Pasal 372 KUHP atau Pasal 378 KUHP) dengan menggunakan modus perjanjian, sebagai alasan menghindari tanggung jawab pidana. Terhadap masalah tersebut terdapat perbedaan pendapat: Pendapat pertama, pada umumnya putusan PN dan PT maupun MA, perkara pidana yang didalamnya mengandusng suatu ikatan perjanjian, berpendapat bahwa penyelesaiannya masuk dalam ranah perdata. Pendapat Kedua, penyelesaiannya secara kauistis, tidak semua perkara pidana yang mengandung suatu ikatan perjanjian diselesaikan dalam ranah perdata, apabila dapat dibuktikan ada unsur itikad buruk, dengan sengaja untuk memiliki dengan melawan hukum maka masuk dalam ranah pidana. Pleno menjawab: Kedua pendapat tersebut benar, tergantung kasusnya.

30.  Sehubungan dengan alasan kasasi yang mempermasalahkan berat ringannya pidana, pada dasarnya putusan MA menolak dengan alasan tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi, tetapi merupakan kewenangan PN dan PT. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah berat ringannya hukuman merupakan fakta atau merupakan masalah hukum? Terhadap masalah ini dikalangan Hakim Agung terdapat perbedaan pendapat: 
-        Pendapat pertama: bahwa meskipun tidak ada alasan hukum lain menjadi pintu membatalkan putusan PN maupun PT karena dalam mempertimbangkan unsur-unsur pidana sudah tepaat dan benar, MA dapat saja memperbaiki/mengubah (sanksi) pidana yang dijatuhkan PN maupun PT, sebab alasan berat ringannya pidana merupakan masalah hukum dan keadilan, dan tunduk pada pemeriksaan kasasi. MA sebagai pengadilan tertinggi tidak boleh tersandera dengan pidana yang dijatuhkan PN dan PT, apabila MA berpendapat terdapat alasan yang mendasar/elementer, contoh kasus: Amir merasa lapar kemudian mencuri ubi/singkong dua biji untuk dimakan. PN maupun PT menjatuhkan pidana 1 tahun 6 bulan (penjara). Dari segi normatif, PN maupun PT yang menjatuhkan sanksi pidana tersebut tidak dapat disalahkan, tetapi dari segi keadialn tentu saja tidak memenuhi rasa keadilan. Apakah MA membiarkan masalah semacam ini? Prinsip dasar putusan mengandung tiga aspek, yakni: yuridis, sosiologis, dan filosofis.
-        Pendapat kedua: MA tidak dapat memperbaiki pidana yang dijatuhkan PN maupun PT, kecuali terdapat alasan hukum lain menjadi pintu untuk membatalkan putusan kemudian memperbaiki hukuman. Berat ringannya hukuman pidana tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi.
Pleno menjawab: Berat ringannya pidana merupakan kewenangan PN maupun PT selaku judex factie (yang memeriksa fakta-fakta) dan tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi.
Note Penyunting: komentar yang gegabah dari MA. Salah satu alasan permohonan kasasi, ialah adanya kekeliruan dalam penerapan hukum, sehingga sekalipun tindakan/perbuatan telah memenuhi unsur-unsur dalam rumusan pasal, namun margin antara ancaman hukuman pidana maksimum dan minimum menjadi masalah penerapan hukum, sehingga MA semestinya dalam perkara kasasi juga menimbang berat-ringannya perbuatan dan sanksi yang telah dijatuhkan oleh PN maupun PT. kata-kata dalam amar putusan, seperti “terbukti secara sah dan meyakinkan”, kata-kata seperti tidak dapat dihindari, oleh sebab bagaimana mungkin MA dalam putusan kasasinya dapat memutuskan menolak, mengabulkan, atau menyatakan tidak dapat menerima, bila tidak dibuktikan penerapan hukumnya? Frasa “terbukti” berasal dari kata dasar “bukti”. Itulah sebabnya, di negara maju, “bukti argumentasi”-pun dikategorikan sebagai “bukti” itu sendiri.

31.  Dalam surat dakwaan JPU tidak memuat tentang pidana tambahan. Misalnya Pasal 18 UU Tipikor atau Pasal 26 KUHP Militer. Namun dalam praktek selama ini, PN maupun PT dalam amar putusannya tetap menjatuhkan pidana tambahan “pemecatan dari dinas militer”. Terhadap masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan Hakim Agung.
-        Pendapat Pertama: PN maupun PT dapat dibenarkan dan tidak salah menerapkan hukum, apabila menjatuhkan pidana tambahan meskipun tidak dirumuskan dalam surat dakwaan.
-        Pendapat Kedua: PN maupun PT tidak dapat dibenarkan menjatuhkan pidana tambahan yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan, sebab dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara dipersidangan. (Note Penyunting: perhatikan, argumentasi ini sering digunakan Pleno dalam menjawab pertanyaan lain sebelumnya diatas).
Pleno Menjawab: Masalah pidana tambahan adalah diskresi dari Hakim (vide Pasal 35 KUHP). Sekalipun tidak didakwakan, Hakim dapat menjatuhkan pidana tamabahan.
Note Penyunting: Hal demikian tidak dihindari, karena sistem pemidanaan dalam hukum publik berbeda dengan hukum privat. Dalam hukum privat dikenal adagium “non-ultra petita” namun dalam sistem pemidanaan, sebagaimana telah terbakukan dalam berbagai yurisprudensi, seperti putusan oleh Hakim Lilik Mulyadi ketika memeriksa dan memutus perkara ter*risme Bom Bali 2002, hukuman pidana penjara yang dijatuhkan hakim lebih tinggi daripada tuntutan JPU. Maka dapat dianalogikan sama perlakuan hakim terhadap pidana tambahan, seperti mencabut hak-hak tertentu, mengumumkan pada publik, dsb.

Permasalahan Non Teknis:
32.  Dalam banyak perkara yang diajukan pemeriksaan Kasasi, baik terdakwa maupun JPU seringkali menjadi alasan bahwa judex faktie tidak menyampaikan putusan, memori atau kontra, terdakwa tidak didampingi Penasehat Hukum, Hakim memeriksa perkara seorang diri, meskipun dalam berita acara ditanda-tangani oleh majelis, akan tetapi hal ini diabaikan dan dianggap angin lalu saja, tanpa ada sanksi dan konsekuensi hukum dalam putusan judex jure. Padahal masalah ini sangat serius bagi para pencari keadilan. Bagaimana sikap Mahkamah Agung terhadap hal ini?
Pleno menjawab:  Tidak akan membatalkan putusan. Masalah mengenai perilaku Hakimnya, merupakan pelanggaran Kode Etik dan berada di bawah pengawasan MA.
Note Penyunting: praktik yang menyimpang demikian telah berlangsung demikian jamak dan berlangsung dari zaman entah kapan. Menjadi bukti, bahwa fungsi pengawasan MA adalah omong kosong besar.

Berikutnya kita beralih pada hasil rapat kamar perdata MA:
33.  Tentang SURAT KUASA, yang telah menyebutkan untuk digunakan dari tingkat pertama sampai tingkat kasasi dan peninjauan kembali, disepakati:
-        Apabila surat kuasa tersebut dengan tegas menyebut untuk digunakan dalam tingkat Pengadilan Negeri, Banding, maupun Kasasi, maka tidak diperlukan lagi surat kuasa khusus untuk tingkat banding dan kasasi. (Pedoman: SMA No. 6 tahun 1994). [Note Penyunting: ketentuan tersebut bertolak belakang dengan beberapa yurisprudensi, dimana adalah lebih aman dan pasti dalam mewakili kehendak dan kepentingan principal bila antara satu tingkat peradilan mewajibkan satu buah surat kuasa khusus terpisah, tidak disatukan antara PN hingga MA dalam satu Surat kuasa.]
-        Namun apabila surat kuasa menyebutkan untuk digunakan sampai dengan pemeriksaan peninjauan kembali (PK), tetap diperlukan adanya surat kuasa khusus untuk PK, karena PK bukan peradilan tingkat selanjutnya dari tingkat pertama, banding maupun kasasi. PK merupakan upaya hukum luar biasa sehingga harus dibedakan dengan upaya hukum biasa dalam penilaian atas keberadaan surat kuasa yang digunakan.
-        Di dalam surat kuasa harus diebutkan secara lengkap dan jelas pihak pemberi kuasa, pihak penerima kuasa dan pokok sengketa. Penyebutan “dan kawan-kawan” sebagai pengganti penyebutan nama para pihak, menjadikan surat kuasa tidak jelas dan tidak dapat diterima.
-        Sesuai dengan Pasal 1816 KUHPerdata, dalam hal pengangkatan seorang kuasa baru untuk menjalankan suatu urusan yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa yang lama, terhitung mulai dari diberitahukannya kepada orang yang diberi kuasa semula tentang pengangkatan tersebut.
-        Surat kuasa yang dibuat di luar negeri, harus dilegalisasi oleh perwakilan RI negara setempat, yaitu Kedutaan atau Konsulat Jenderal di tempat surat kuasa tersebut dibuat (Peraturan Menteri Luar Negeri No.09/A/KP/XII/2006/01 tanggal 28 Desember 2006). Selanjutnya dibubuhi pemateraian kemudian di kantor Pos (naazegelen).
-        Jaksa sebagai Pengacara Negara tidak dapat mewakili BUMN (persero), karena BUMN tersebut berstatus badan hukum Privat (vide Pasal 11 UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN). [Note Penyunting: juncto Putusan MK yang menyatakan bahwa kekayaaan BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, sehingga hutang-piutang BUMN bukanlah hutang-piutang negara, maka PUPN pun kemudian tidak berwenang mengurus piutang milik BUMN).
-        Semua surat kuasa insidentil bisa diterima dalam beracara di semua tingkat peradilan.
-        Surat kuasa dengan cap jempol harus dilegalisasi di hadapan Pejabat Umum, dalam hal ini untuk daerah Jawa dan Madura oleh Notaris maupun Hakim/KPN, dan untuk daerah lainnya oleh Notaris ataupun Panitera.
-        Untuk surat gugatan yang hanya dibubuhi cap jempol sebagai pengganti tanda-tangan, maka gugatan tersebut harus dinyatakan “tidak dapat diterima” (niet ontvankelijkverklaard).
Note Penyunting: pernyataan pleno adalah sebuah kemunduran bagi hukum acara di Indonesia. Ambil contoh berikut, ketika Anda menandatangani surat kuasa khusus bagi seorang pengacara untuk beracara di persidangan mewakili Anda, maka domisili hukum Anda adalah kedudukan kantor kuasa hukum Anda. Ketika putusan PN terbit, dan Anda tidak menyampaikan kehendak untuk naik banding, maka kuasa hukum Anda dapat langsung mendaftarkan banding dan membentuk memori banding. Bukankah itu berisiko tinggi? Secara politis lebih kentara lagi, sebab daya tawar Anda menjadi lemah di hadapan kuasa hukum Anda yang memiliki kuasa untuk melakukan banding, menerima putusan, dsb. Ketika putusan PN berada di tangan Anda, akan lebih cenderung untuk gentar untuk berpindah pada kuasa hukum lain. Kuasa hukum Anda yang pertama kali mengetahui amar putusan, bukan pihak pemberi kuasa. Mengingat tenggat waktu mendaftarkan banding serta memori banding, maka waktu dan peluang Anda untuk mencabut surat kuasa, meminta diserahkan berkas perkara dan putusan, mempelajari amar putusan, dan mencari kuasa hukum pengganti adalah bukan perkara singkat. Saran saya, hendaknya dalam satu surat kuasa khusus, hanya cukup mewakili kepentingan Anda untuk beracara di satu tingkat pengadilan saja, misal PN saja, atau PT saja, atau kasasi saja—dengan demikian, ketika putusan PN terbit, maka kuasa hukum Anda tersebut tak punya hak apapun lagi terhadap persidangan Anda, dan ia wajib memberikan amar putusan serta berkas perkara tersebut pada Anda secara segera.

34.  Dalam menjatuhkan putusan secara verstek (tanpa hadirnya salah satu pihak), dalam konteks ini yakni tidak hadirnya pihak Tergugat, maka terhadap persidangan tidak diperlukan pembuktian, dan Hakim dapat mengabulkan gugatan kecuali gugatan tidak beralasan atau melanggar hukum, hal ini cukup dilihat dari posita gugatan, pasal 125 Ayat (1) HIR.
Note Penyunting: HIR, hukum acara peradilan peninggalan kolonial Belanda, hingga kini terus memenjara sistem hukum dan otak para Hakim Agung Indonesia. Adalah mengerikan memberikan angin segar pada penggugat secara verstek dan diberi keistimewaan persidangan tanpa proses pembuktian. Dari pengalaman saya, banyak gugatan berupa gugatan ulang terhadap putusan sebelumnya yang telah dinyatakan inkracht, sehingga tanpa proses pembuktian adalah suatu pernyataan yang absurb. Sementara itu resiko sebaliknya, jika penggugat tak pernah hadir, gugatan hanya dinyatakan gugur dan ia berhak kembali menggugat di kemudian hari. Kenyataannya, banyak pihak diantara penggugat itu sendiri yang sebenarnya adalah pihak yang tidak beritikad baik. Mengapa hakim agung menutup mata dari fakta ini?

35.  Berdasarkan Pasal 128 HIR, putusan verstek dapat dimohonkan eksekusi setelah lewat 14 hari sejak putusan tersebut diberitahukan.

36.  Tenggang waktu mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 129 HIR, yakni:
-        Jika pemberitahuan putusan kepada Tergugat sendiri, maka tenggang waktu untuk verzet ialah 14 hari setelah pemberitahuan tersebut.
-        Jika pemberitahuan tidak disampaikan kepada Tergugat sendiri (via Lurah atau Kepada desa), maka:
a. tenggang waktu verzet sampai hari kedelapan sesudah dilakukan teguran (aanmanning);
b. apabila dalam aanmanning Tergugat tidak hadir, tenggang waktu verzet sampai hari kedelapan setelah dilaksanakan sita eksekusi (Pasal 197 HIR);
c. dalam hal dijalankannya eksekusi riil, maka berdasarkan pasal 83 Rv, pada saat eksekusi dijalankan verzet masih dapat diajukan.
Note Penyunting: sungguh ganjil bukan, panggilan umum memiliki batas waktu upaya hukum verzet lebih pendek daripada bila tergugat sendiri yang mendapat / mengetahui langsung isi putusan verzet. Menurut kelaziman hukum acara, panggilan umum justru membutuhkan waktu yang lebih panjang agar pihak yang dipanggil secara umum (misal pengumuman mading di kecamatan atas suatu perkara), secara logis dapat mengetahui atas pengumuman itu dengan tempo waktu yang memadai.

37.  Tentang pemberitahuan putusan yang disampaikan melalui Lurah atau Kepala desa, maka tenggang waktu pengajuan upaya hukum atas putusan verstek tersebut adalah dihitung setelah Lurah atau Kepala Desa menyampaikan pemberitahuan tersebut kepada yang bersangkutan. Apabila di dalam berkas tidak terlampir keterangan tersebut, maka diperintahkan PN untuk menanyakan ke Lurah/Kepala Desa.

38.  Tentang gugatan rekonpensi/rekonvensi (gugatan balik dalam satu berkas nomor perkara dengan gugatan konpensi), sesuai dengan Pasal 132 a Ayat (1) HIR gugatan rekonvensi dapat diajukan dalam tiap-tiap perkara tanpa harus ada hubungan objek sengketa dengan perkara konvensi, kecuali terhadap:
-        Kalau Penggugat Konvensi menuntut karena sesuatu kualitas sedang dalam rekonvensi mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
-        Kalau PN yang memeriksa perkara konvensi secara absolut tidak berwenang;
-        Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan Hakim.
Note Penyunting: Hal ini sudah lazim dikenal dalam teori dan prosedur hukum. Sayangnya, dari berbagai pengalaman, hakim banyak yang tidak memahami hal ini, sehingga secara ceroboh langsung menolak atau menyatakan tak dapat menerima rekonpensi hanya karena konpensi dinyatakan ditolak ataupun tidak dapat diterima. Lebih disayangkan lagi, masih banyak bahkan dikalangan sarjana hukum itu sendiri yang tidak memahami konsep dasar beracara ini.

39.  Tentang Perlawanan:
-        Perlawanan Pihak (partij verzet) berdasarkan Pasal 207 HIR hanya dapat diajukan dengan alasan bahwa Pelawan sudah memenuhi kewajibannya sesuai amar putusan atau apabila terjadi kesalahan dalam prosedur penyitaan, misalnya kelebihan luas objek yang disita, vide Pasal 197 HIR.
-        Perlawanan Pihak Ketiga (derden verzet), berdasarkan Pasal 195 Ayat (6) jo. Pasal 208 HIR, hanya dapat diajukan karena alasan “kepemilikan” (HM, HGB, HGU, HP, dan Gadai tanah); [Note Penyunting: banyak terjadi, gugatan yang berbuah sita jaminan diatas hak atas tanah, namun hak atas tanah tersebut telah diletakkan sita jaminan kebendaan diatasnya sebelum sita jaminan oleh pengadilan, sehingga terhadap sita jaminan demikian pun dapat diajukan gugat perlawanan pihak ketiga maupun partij verzet.]
-        Bagi Pemegang Hak tanggungan tidak perlu mengajukan derden verzet  (perlawanan pihak ketiga) karena objek Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan Sita Eksekusi kecuali Sita Persamaan, karena itu tidak mungkin dilakukan lelang eksekusi.

40.  Pemegang Hak Tanggungan yang beritikad baik harus dilindungi sekalipun kemudian diketahui bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang tidak berhak.
Contoh: debitor mendalilkan bahwa agunan yang diikat sempurna jaminan kebendaan adalah masih dalam sengketa waris, atau seorang suami debitor/penjamin yang mengklaim bahwa pihak penjamin/debitor tersebut telah menggelapkan harta gono-gini dalam keluarga. Permasalahan demikian adalah permasalahan internal keluarga, sehingga pemegang hak tanggungan adalah pihak ketiga yang beritikad baik sehingga pihak ketiga yang beritikad baik wajib dilindungi oleh hukum. Jika debitor/penjamin hendak menggugat/menuntut, tuntut/gugatlah pihak anggota keluarga mereka sendiri yang telah menggelapkan harta keluarga mereka sendiri.

41.  Perlindungan harus diberikan kepada pembeli yang itikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak (objek jual-beli tanah). Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti-rugi kepada Penjual yang tidak berhak.

42.  Penyitaan terhadap asset BUMN (Persero) dapat dilakukan, pelaksanaannya mengacu ke Pasal 197 HIR.

43.  DEWASA adalah cakap bertindak didalam hukum (cakap hukum), yaitu orang yang telah mencapai umur 18 tahun atau telah kawin.
Note Penyunting: perhatikan, pernyataan MA kontradiktif dengan pernyataan sebelumnya dalam SEMA ini yang menyatakan bahwa usia dewasa  bersifat kasuistis. Akibat tiadanya kepastian hukum, praktik di dalam maupun di luar pengadilan menjadi demikian simpang-siur dan mengerikan. Demi keamanan dan kepastian yang benar-benar pasti, adalah lebih aman bila hendak mengikat diri dalam suatu perikatan perdata, dengan mereka yang telah mencapai usia 21 tahun atau lebih—daripada mengambil resiko melakukan perbuatan hukum dengan mreeka yang masih berumur 18 atau 19 tahun.

44.  Tentang akibat perceraian, berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang tentang Perkawinan, dengan adanya perceraian tidak menjadikan kekuasaan orang tua berakhir dan tidak memunculkan Perwalian (bandingkan dengan pasal 299 kUHPerdata). Hakim harus menunjuk salah satu dari kedua orang tua sebagai pihak yang memelihara dan mendidik anak tersebut (Pasal 41 UU Perkawinan).

45.  {Note Penyunting: dengan sangat cerobohnya MA membuat kaedah berikut ini…] Pelelangan Hak Tanggungan yang dilakukan oleh Kreditor sendiri melalui kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkan objek yang dilelang, tidak dapat dilakukan pengosongan berdasarkan Pasal 200 Ayat (11) HIR, melainkan harus diajukan gugatan (pengosongan). Karena pelelangan tersebut diatas bukan lelang eksekusi melainkan lelang sukaela.
Note Penyunting: nampaknya Hakim Agung perlu mendalami Pasal 6 UU tentang Hak Tanggungan, yang menyatakan bahwa parate eksekusi adalah lelang eksekusi, sehingga bila debitor mengalami kredit macet, guna melunasi hak kreditor atas kredit yang telah disalurkan namun mengendap dan macet di tangan debitor, memberi hak pada kreditor berdasarkan title irah-irah yang memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana terikat sempurna dalam SKMHT, APHT, dan SHT. Maka bagaimana mungkin MA dapat dengan cerobohnya tidak mampu membedakan antara lelang sukarela dan lelang eksekusi? Untuk lebih rasionalnya dapat merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan Lelang di kantor lelang negara (KPKNL qq DJKN), yang menyatakan bahwa lelang berdasarkan title eksekutorial dalam SHT, adalah lelang eksekusi.

46.  Tentang Pengajuan memori PK. Berdasarkan Pasal 71 UU tentang MA, memori PK harus diajukan bersama-sama dengan pengajuan permohonan PK. Pengajuan memori PK yang tidak bersamaan dengan pengajuan permohonan PK, maka permohonan PK tersebut haruslah dinyatakan “tidak dapat diterima” (NO/niet onvaankelijk veerklaard).

47.  Tentang PK kedua kali. Pada prinsipnya PK kedua kali tidak diperkenankan (kecuali terhadap perkara pidana yang dibatasi pengajuan PK untuk lebih dari satu kali, lihat putusan MK terhadap permohonan uji materiel oleh Antasari Azhar), kecuali ada dua putusan yang saling bertentangan baik dalam putusan Perdata, Tata Usaha Negara, maupun Agama.

48.  Tentang kesalahan menerapkan Hukum Acara Perdata, dalam hal:
-        Eksepsi tentang kewenangan mengadili yang tidak diputus terlebih dahulu dengan Putusan Sela [Note Penyunting: misal kekeliruan terhadap yurisdiksi peradilan umum ataupun kompetensi relatif dimana akta perjanjian menyepakati pilihan domisili hukum (choise of forum) pada PN Jakarta Barat namun ternyata kemudian salah satu pihak menggugat pihak lainnya dalam perjanjian tersebut justru ke hadapan PN Bandung], maka putusan judex factie (PN maupun PT) harus dibatalkan (oleh MA dalam kasasi) karena salah menerapkan hukum acara (Pasal 136 HIR).
-        (Gugatan) Intervensi terhadap sita jaminan, maka Putusan Judex Facti juga harus dibatalkan karena salah menerapkan hukum, upaya hukum keberatan terhadap sita harus dilakukan dengan (gugat) perlawanan (bukan gugatan intervensi)
-        Tentang “pihak keluarga serta orang terdekat” yang disumpah sebagai saksi dalam perkara perceraian, berkeenaan dengan gugatan perceraian dengan alasan cek-cok terus-menerus dan tidak dapat didamaikan lagi (Pasal 19 F PP No.9 tahun 1975), Hakim wajib mendengar keterangan orang terdekat dan keluarga terdekat kedua belah pihak (Pasal 22 Ayat (2) PP No.9 tahun 1975), bukan disumpah sebagai saksi. Sehingga putusan judex factie tersebut “salah menerapkan hukum”. [Note Penyunting: itulah cara pandang legalistif formil para Hakim Agung. Semestinya bukan karena cacat formil kemudian seluruh substansi gugatan menjadi runtuh. Ibarat dalam suatu kontrak perdata, terdapat klausa yang biasanya tertulis: “bahwa bila salah satu atau beberapa pasal dalam Perjanjian ini saat Perjanjian ini ditanda-tangani maupun dikemudian hari terjadi perubahan ketentuan hukum yang melarang keberadaan pasal tersebut, maka tidak mengartikan seluruh pasal lainnya menjadi batal,…” Kecacatan prosedural yang diakibatkan oleh aparat PN sendiri mengapa harus ditafsirkan cacatnya surat gugatan?!

49.  Tentang Nebis In Idem [Note Penyunting: larangan untuk mengajukan gugatan ulang terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atas suatu objek dan subjek hukum yang sama disamping hubungan hukum yang juga sama]. Menyimpangi ketentuan pasal 1917 KUHPerdata, Majelis Kasasi dapat menganggap sebagai Nebis In Idem (suatu gugatan), meskipun pihaknya tidak sama persis dengan perkara terdahulu, asalkan:
-        Pada prinsipnya pihaknya sama meskipun ada penambahan pihak;
-        Status objek perkara telah ditentukan dalam putusan terdahulu.

50.  Titik singgung kewenangan PN dan PA. apabila terdapat perlawanan terhadap eksekusi putusan Pengadilan Agama (PA) tentang “kepemilikan” objek sengketa (derden verzet) yang Pelawannya bukan sebagai pihak dalam perkara yang diputus oleh PA tersebut, maka perlawanan diajukan ke Pengadilan Negeri (lihat penjelasan Pasa; 50 Ayat (2) p.3 UU No.3 Tahun 2006).

51.  Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial (sengketa ketenagakerjaan) dalam memeriksa perkara Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Perusahaan yang dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga, disepakati: Dalam hal Debitor (perusahaan tempat tenaga kerja bekerja) sudah dinyatakan pailit, maka Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pemutusan hubungan kerja.
Note Penyunting: ketentuan tersebut sangat mengerikan. Ketika terjadi rapat kreditor dalam hal terjadinya kepailitan, semasa masa stay, rapat kreditor tersebut akan melihat siapakah kreditor konkuren, kreditor separatis, dan siapakah kreditor preferen atas budel pailit. Piutang negara berupa pajak dan piutang karyawan berupa gaji, masuk dalam kateori preferen (Pasal 1132 KUHPerdata). Bila sengketa perihal PHK belum diputuskan, maka ia yang berhak tidak dapat menuntut haknya dalam rapat kreditor.  Maka dapat terjadi skenario mengerikan: sebelum dinyatakan pailit, perusahaan nakal yang akan memailitkan diri tersebut mem-PHK seluruh karyawannya. Proses gugatan di PHI pun akan terhenti dan perusahaan akan masuk dalam proses pailit.

52.  Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial untuk memeriksa perkara PHK (pemutusan hubungan kerja) yang alasan PHK-nya masih dalam proses pemeriksaan pengadilan pidana, disepakati Pleno: dalam perkara-perkara PHI yang alasan PHK-nya masih dalam proses pemeriksaan pengadilan pidana, maka perkara PHI tersebut harus ditunda sampai adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.

53.  Surat Kuasa mengenai batasan Serikat Pekerja dan Organisasi Pengusaha yang dapat menjadi kuasa hukum sehubungan ketentuan Pasal 87 UU No.2 Tahun 2004, diepakati dalam Pleno: Yang berhak menerima kuasa dari pekerja yang ingin mengajukan gugatan dalam perkara PHI, yaitu:
-        Pengurus dari serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung-jawab dibidang ketenaga-kerjaan pada perusahaan yang bersangkutan, dimana pekerja/buruh tersebut menjadi anggotanya dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
-        Atau pengurus federasi serikat pekerja/serikat buruh yang merupakan gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang terbentuk pada perusahaan.

54.  Sikap Mahkamah Agung dan PHI terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No.27 dan No.37, disepakati: untuk putusan MK No.27/PUU-IX/2011 dan putusan MK No37/PUU-IX/2011 dapat diterapkan sesuai dengan putusan MK.
Note Penyunting: Betapa arogannya MA dengan menyatakan apakah putusan MK dapat diterapkan MA atau tidaknya. Berdasarkan hak dari manakah MA hendak menguji materiel putusan MK dan beradasarkan kewajiban mana MK harus memohon MA agar putusannya dihormati dan diterapkan. MK memiliki sumber hukum konstitusional yakni UUD 1945. Sikap MA yang acapkali menentang dan menantang dengna vulgar putusan MA, dapat disamakan dengan sikap MA yang melanggar konstitusi itu sendiri dan telah mengintervensi putusan MK dengan cara tidak mematuhi putusan MK. Maka kita akan kembali ke zaman bar-bar dimana raja (baca: hakim) akan berkata: “sayalah hukum!”

55.  Bagaimana bila Pemohon Pailit mendalilkan utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih tersebut, adalah hutang Kreditor lain yang tidak mengajukan permohonan pailit?
Pleno menjawab: seharusnya yang dapat memohonkan Pailit adalah Kreditor yang hutangnya sudah jatuh waktu.
Note Penyunting: berhubungan sistem kontrak perdata bersifat open system, mengakibatkan dalam akta kredit dapat saja dibuat klausul mengenai cross default, sehingga ketika debitor wanprestasi terhadap kreditor lain, dapat diartikan sama dengan wanprestasi terhadap akta kredit, sehingga terjadi pemutusan perjanjian karena wanprestasi.

56.  Dalam perkara Kepalilitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), bagaimana bila setelah tenggang waktu 270 hari tersebut habis, para pihak baik Debitor maupun Kreditor, masih minta waktu perpanjangan dalam rangka perdamaian?
Jawab Pleno: Undang-undang Kepailitan dan PKPU telah menentukan secara tegas tenggang waktu tersebut, dan tidak dapat diperpanjang lagi dengan alasan apapun (Pasal 228 Ayat (6) UU No.37 Tahun 2004, PKPU tetap tidak boleh melebihi 270 hari).

57.   [Note Penyunting: Sebuah bentuk pemberontakan terhadap undang-undang Kepailitan diambil oleh MA, namun tampak kontrak kontradiktif atas pernyataan MA pada poin-poin diatas sebelumnya, sebagai bentuk keterpaksaan berdasarkan realita dan rasio, mengingat tidak sempurnanya pertimbangan sosiologi maupun yuridis saat pembentukannya.] Apabila tuntutan hukum terhadap Debitor adalah tuntutan pekerja/para pekerja perusahaan Debitor tentang perselisihan hak atau perselisihan PHK di PHI sedang berjalan, apakah tuntutan/perkara di PHI tersebut gugur dengan diajukannya permohonan pernyataan pailit (oleh kreditor yang merupakan pihak ketiga)? Sebab apabila dalam rapat verifikasi terjadi perbedaan perhitungan mengenai besarnya tuntutan hak para pekerja/kewajiban Perusahaan (Debitor), mengingat di PHI sedang dipermasalahkan mengenai perselisihan hak atau perselisihan PHK), dan Hakim Pengawas tidak dapat menyelesaikannya, maka masalah tersebut harus diputus oleh Majelis Hakim pemutus melalui mekanisme Renvoi Proses/prosedur. Karena Hakim Niaga tidak berwenang memutuskan mengenai perselisihan hak dan PHK, maka akan menyatakan dalam putusannya “Pengadilan Niaga tidak berwenang”, dan menyatakan PHI yang berwenang memutus sengketa ketenagakerjaan. Sehingga perselisihan tersebut akan diajukan kembali ke PHI. Pleno Menjawab: Penyelesaian perselisihan hubungan industrial (penyebutan / istilah hukum untuk sengketa ketenagakerjaan) pada PHI sebelum adanya putusan pernyataan pailit (oleh Pengadilan Niaga), tetap dilanjutkan sampai Hakim menjatuhkan putusan. Apabila putusan PHI diucapkan sebelum putusan Pailit maka hasil putusan PHI diajukan dalam rapat verifikasi.

58.  Apakah setap permohonan untuk menunjuk TIM KURATOR harus dikabulkan di dalam permohonan pernyataan pailit?
Jawab Pleno: Tidak. Jika perkara pailit tersebut sederhana, tidak sulit, harta pailit dan jumlah Kreditor tidak banyak, karena fee kurator dibebankan kepada harta pailit. Lagipula yang dimaksud Kurator dalam Undang-Undang Kepailitan adalah Balai Harta Peninggalan dan orang perserorangan yang diangkat oleh Pengadilan. Penambahan Kurator dapat diajukan di dalam rapat Kreditor berdasarkan Pasal 71 Ayat (1) dan (2) UU Kepailitan. Apabila di dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit terdapat kesulitan atau terdapat banyak Kreditor, atau debitor tidak kooperatif di dalam memberikan keterangan tentang harta pailit, maka penambahan Kurator dapat dilakukan berdasarkan permohonan kurator, permintaan Debitor, atau usul Hakim Pengawas. Kasuistis.

59.  Apakah badan hukum yang dalam proses likuidasi dapat dipailitkan?
Jawab Pleno: Dapat. Apabila Likuidator belum selesai melakukan pemberesan atau dengan kata lain perseroan masih dalam proses pemberesan (dalam likuidasi) maka (status) badan hukum tersebut masih ada, sehingga badan hukum dalam likuidasi masih dapat dimohonkan pailit.
Note Penyunting: lihat Pasal 1 Ayat (11) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan): “Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi.”

60.  Apakah kantor Pajak adalah (termasuk sebagai) Kreditor yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit?
Jawab Pleno: termasuk Kreditor. Karena ada kewajiban yang harus dibayarkan oleh Debitor. Apabila pada waktu verifikasi mengajukan hak tagihnya kepada kurator.
Note Penyunting: kaidah ini memudahkan calon pemohon pailit. Misal, Anda seorang kreditor yang hendak mem-pailitkan debitor Anda, sementara Anda tak mengetahui subjek hukum yang menjadi kreditor atas debitor yang sama. Untuk mudahnya, Anda dapat mencari tahu tunggakan PBB pada tanah milik debitor, sebagai contoh sederhana, kemudian ketika ternyata mendapati adanya tunggakan tersebut, maka lengkaplah syarat mengajukan pailit sebagaimana diatur Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan: ada minimum 2 kreditor dan salah satu hutang telah jatuh tempo. Yang menjadi pertanyaan besar dalam sengketa pailit: jika saat diajukan permohonan pailit, ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan tersebut terpenuhi, namun saat proses pemeriksaan di persidangan ternyata kemudian debitor melunasi hutang-hutangnya hingga hanya tersisa satu orang kreditor, apakah PN Niaga tetap berhak memeriksa dan menyatakan bahwa debitor tetap menjadi “pailit”?

61.  Apakah penjualan asset pailit melalui lelang umum harus dengan Penetapan Hakim Pengawas?
Jawab Pleno: Tidak perlu Penetapan. Karena berdasarkan Pasal 185 Ayat (2) UU Kepailitan, Penetapan Hakim Pengawas hanya untuk penjualan di bawah tangan.

62.  Bagaimana mekanisme pelaksanaan permohonan Gijzeling dalam Kepailitan?
Jawab Pleno: sampai saat ini belum dapat dilaksanakan, oleh karena belum ada peraturan pelaksanaannya, dalam hal biaya, prosedur, dan kerjasama dengan instansi terkait.
Note Penyunting: maka, dapat kita simpulkan, siapakah yang telah lalai di sini selain daripadapa Pemerintah selaku regulator itu sendiri? Sekadar menyebutkan contoh, berbagai undang-undang menjadi macan ompong hanya karena tidak terdapat pengaturan peraturan pelaksananya. Becermin dari pengalaman pribadi dalam mendorong berbagai instansi menerbitkan peraturan pelaksana suatu undang-undang, antar instansi saling lempar tanggung jawab sehingga mereka mencari aman dengan tidak berbuat apa-apa. Siklus regulasi lingkaran setan menjadi suatu riutal harian dan membudaya di republik ini.

63.  Apakah Kurator dapat melakukan penyitaan harta Debitor tanpa ada Penetapan penyitaan dari Pengadilan Niaga?
Jawab Pleno: Dapat. Karena pailit pada dasarnya adalah merupakan sita umum, sehingga tidak diperlukan lagi Penetapan dari Pengadilan.

64.  Apakah syarat adanya Kreditor kedua cukup dibuktikan dengan Neraca/Laporan keuangan dari Termohon Pailit, yang sudah diaudit maupun yang belum?
Jawab Pleno: Tidak cukup. Kreditor kedua harus dibuktikan dengan bukti surat (loan agreement) atau saksi (kreditor kedua hadir), kecuali diakui oleh Debitor.

65.  Apakah secured Kreditor berhak mengajukan permohonan pailit?
Jawab Pleno: Secured Kreditor dapat mengajukan permohonan pailit dengan kehilangan kedudukannya sebagai kreditor separatis.
Note Penyunting: jawaban yang sangat serampangan dan kebablasan dari MA. Dalam UU Kepailitan telah diatur, bukan pada kondisi kreditor separatis mengajukan permohonan pailit sehingga kehilangan hak separatisnya. Logikanya, buat apa mengambil resiko kehilangan hak istimewa berupa hak sebagai kreditor separatis hanya demi mempailitkan?! Kreditor separatis pemegang jaminan kebendaan memiliki kuasa istimewa untuk menjual dengan kekuasaan sendiri tanpa izin dari penjamin dengan sertifikat yang bertitle irah-irah. Perhatikan isi Penjelasan Resmi Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan: “Yang dimaksud dengan "Kreditor" dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka masing-masing Kreditor adalah Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2.”—itulah sebabnya tren perbankan lebih menyukai kredit sindikasi: masing-masing kreditor mengucurkan kredit bersama atas satu debitor, namun dengan mengikatkan diri lewat perjanjian kredit terhadap masing-masing kreditornya, dimana ketika terjadi kredit macet terhadap salah satu kreditor, otomatis dapat bekerja sama dengan rekan kelompok kreditor sindikasi untuk mempailitkan debitor, karena masing-masing kreditor dalam kredit sindikasi dihitung sebagai kreditor-kreditor tunggal terpisah.
Note Penyunting: Begitupula dengan pertanyaan seperti, apakah anggota serikat pekerja termasuk dalam kategori “kreditor-kreditor” alias tidak dianggap sebagai satu kreditor tunggal yang bernaung di bawah satu atap bernama “serikat buruh”? Menganalogikan pendapat MA diatas atas kasus kredit sindikasi, dapatlah kita katakan bahwa, sebuah organisasi serikat buruh yang terdiri dari minimal dua orang anggota buruh yang memiliki piutang berupa gaji tertunda atas perusahaan tempatnya bekerja, dapat mengajukan permohonan pailit atas perusahaan tempatnya bekerja (yang menunggak) ke Pengadilan Niaga.

66.  Apakah Kurator berhak mewakili pemegang saham yang sudah pailit untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS?
Pleno menjawab: Dalam UU PT tegas-tegas tidak memisahkan hak yang melekat pada seorang pemegang saham dari kepemilikan saham karena yang berhak adalah pemegang saham, tetapi yang menjual sahamnya adalah Kurator, bukan pemegang saham.
Note Penyunting: agak ganjil, oleh sebab fungsi RUPS adalah merumuskan rencana kerja direksi, mengesahkan laporan pertanggungjawaban direksi-komisaris, serta mengangkat dan memberhentikan direksi maupun komisaris. Namun sebagaimana kita tahu, sejak suatu badan hukum PT dinyatakan pailit, maka kepengurusan PT dilakukan oleh Kurator, maka mengapa fungsi RUPS kembali dikembalikan kepada pemegang saham? Tampaknya Hakim Agung telah salah kaprah dalam mempersepsikan antara pemegang saham dan RUPS. Salah satu organ PT adalah RUPS, bukan pemegang saham. Namun pertanyaan tersebut pun cukup menggelitik: jika kurator dapat mendudukkan dirinya sebagai tri-tunggal organ PT, yakni sebagai direksi, sebagai komisaris, dan sebagai RUPS penentu kebijakan suatu PT, maka ketika kurator mengadakan RUPS, maka sang kurator hendak rapat dengan dirinya sendiri?

67.  Apakah pembagian asset pailit yang sudah terjual memerlukan Penetapan Majelis pemutus?
Jawab Pleno: Tidak perlu.

68.  Pleno membuat pernyataan: Meskipun Kurator lebih dari 1 (satu) orang, jasa Kurator tetap dibayar untuk 1 (satu) orang.

69.  Siapakah yang melakukan pemanggilan Kreditor lain untuk menghadiri sidang permohonan pailit, pengadilan atau Pemohon Pailit?
Jawab Pleno: yang harus melakukan pemanggilan adalah Pemohon pailit, oleh karena Kreditor lain merupakan bagian pembuktian dari Pemohon Pailit.

70.  Dimana diajukan gugatan terhadap Kurator yang melakukan kelalaian/kesalahan atau kerugian dalam melaksanakan tugas pengurusan atau pemberesan?
Jawab Pleno: gugatan diajukan ke Pengadilan Niaga di wilayah hukum kurator bertempat tinggal.
Note Penyunting: pernyataan MA telah mengamputasi Pasal 118 HIR yang memberikan dua opsi, ditempat objek sengketa maupun ditempat tergugat berdomisili. Dalam hal ini, kurator berkedudukan sebagai pengambilalih kepengurusan termohon pailit. Artinya, sang kurator menggantikan kedudukan pengurus termohon pailit. Sehingga kedudukan hukum termohon pailitlah yurisdiksi pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus. Sebuah pernyataan hukum yang sangat teledor dari MA.

71.  Dapatkah pembuktian secara materiil diterapkan dalam menghadapi permohonan pailit yang diajukan oleh Debitor?
Jawab Pleno: Hakim harus berhati-hati apabila menghadapi permohonan pailit yang diajukan oleh Debitor, sehingga Hakim harus aktif dengan memanggil Kreditor-Kreditor lain yang disebut dalam permohonan tersebut.
Note Penyunting: MA telah agak menyimpang dari konsep hukum acara perdata yang mengedepankan pembuktian secara formil semata. Namun pandangan ini cukup dapat diapresiasi.

72.  Apakah PT dapat dipailitkan atas utang yang dibuat oleh Direktur yang melanggar Anggaran Dasar ataupun Anggaran Rumah Tangga (PT tersebut)?
Jawab Pleno: PT tidak dapat dipailitkan.
Note Penyunting: jawaban yang keliru fatal. Jika PT memang menikmati utang kredit, entah untuk modal kerja atau pun untuk disalahgunakan, maka RUPS telah lalai dengan menunjuk direksi yang berintegritas dan kompeten. Disamping itu, fungsi Komisaris adalah untuk mengawasi aktivitas Direksi, sehingga adalah janggal bila tupoksi Komisaris diputihkan dan semua menjadi beban personel direksi yang menjabat secara pribadi. Jika pendapat MA direalisasikan, maka direksi berpotensi dijadikan kambing hitam perusahaan yang hanya mau untung tanpa resiko dengan mengorbankan direksi mereka sendiri. Dalam konsep hukum perseroan, terdapat konsep ultra vires, dimana jika direksi melampaui kewenangan dalam Anggaran Dasar, maka perbuatan itu menjadi tanggung jawabnya pribadi secara renteng tanpa mengurangi kewajiban PT terhadap pihak ketiga yang beritikad baik. (Lihat UU PT untuk lebih jelasnya). Pernyataan MA yang sangat absurd dan mengkooptasi bunyi ketentuan dalam UU.

73.  Bagaimana apabila Debitor menolak pembayaran fee Kurator, setelah permohonan pailit ditolak di tingkat Kasasi dan PK?
Jawab Pleno: Kurator dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada Pengadilan Negeri.
Note Penyunting: kekeliruan fatal atas argumentasi hukum yang dangkal. Pada dasarnya, bila di tingkat Pengadilan Niaga permohonan pailit diajukan oleh Kreditor, dengan disertai penunjukkan tim kurator oleh kreditor, maka itu adalah pilihan kreditor sendiri yang semestinya dibebankan kepada kreditor sebagai bentuk sanksi moral atas permohonan pailit yang tidak layak karena debitor terbukti tidak layak dijatuhi pailit (kecuali jika terjadi perdamaian). Bila kreditor yang mengajukan pailit namun tidak menunjuk tim kurator, maka pailit tetap terjadi dengan Balai Harta Peninggalan sebagai Kurator. Maka ini dapat menjadi celah hukum bagi kreditor yang bermodal besar untuk “mengerjai” debitor yang lemah namun tidak mendapat perlindungan sebagaimana mestinya oleh komentar MA ini.

74.  Debitor pailit, sebelum dipailitkan pernah mengajukan gugatan sehingga berkedudukan sebagai Penggugat di perkara perdata, lantas berlanjut hingga tingkat banding. Ketika ia dinyatakan pailit, sementara terhadap perkara perdata yang pernah ia ajukan gugatan sebelumnya tersebut hendak diajukan permohonan Kasasi, maka siapakah yang berhak mengajukan kasasi?
Jawab Pleno: Begitu debitor dinyatakan pailit maka kurator akan mewakili debitor sebagai penggugat.

75.  Bahwa undang-undang kepailitan sendiri telah menentukan bahwa terhadap perkara PKPU baik PKPU sementara maupun PKPU tetap tidak ada upaya hukum, hal ini dapat dilihat pada:
-        Pasal 235 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun”.
-        Pasal 290 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa Apabila Pengadilan telah menyatakan Debitor Pailit maka terhadap putusan pernyataan pailit tersebut berlaku ketentuan tentang kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Bab II, kecuali Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 13.
-        Sudah beberapa perkara semacam ini diteruskan kepada Majelis Hakim Kasasi maupun Peninjauan Kembali, perkara tersebut diputus dengan berbagai amar, ada yang menolak dalam arti menyatakan tidak dapat diterima, akan tetapi ada juga yang menerima permohonan kasasi dan mengabulkan permohonan kasasi.
-        Hal ini menimbulkan disparitas putusan.
Jawab Pleno: Putusan PKPU berdasarkan pasal 235 tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Sedangkan upaya hukum terhadap putusan Pailit berdasarkan atas PKPU sebagaimana dimaksud dalam pasal 290 tetap diterima pendaftarannya dan perkara diteruskan kepada Majelis Hakim.
Note Penyunting: artinya, atas penetapan (bukan “putusan” sebagaimana dinyatakan MA dalam pleno, karena “putusan” adalah produk contradictoir, sementara “penetapan” adalah voluntair, meski dalam perkara PKPU dan Kepailitan yang terjadi adalah quasi penetapan-putusan) PKPU tidak dapat diajukan banding maupun kasasi ataupun PK. Namun, terhadap perkara Pailit yang terjadi akibat gagalnya PKPU yang berujung pada pailit, atas penetapan pailit tersebut dapat diajukan upaya hukum berupa kasasi.

76.   Apakah Sub Kamar Perdata MA Khusus dapat menyepakati kriteria atau parameter dari “terbukti sederhana” dalam konteks UU PKPU dan Kepailitan?
Jawab Pleno: Lihat penjelasan Pasal 8 ayat (4) UU No.37 tahun 2004. Parameternya adalah pada waktu pembuktian adanya hutang.

77.  Apakah pemegang Hak Tanggungan dapat mengajukan permohonan pailit terhadap Debitor pemegang [Note Penyunting: semestinya frasa yang digarisbawahi berbunyi: “Debitor Pemberi”] Hak Tanggungan? Mengingat kreditor mestinya dapat menggunakan hak istimewanya yaitu mengambil pelunasan hutang melalui penjualan objek Hak Tanggungan.
Jawab Pleno: Pemegang Hak Tanggungan dapat mengajukan permohonan pailit karena dia juga sebagai kreditor sebagaimaan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU No.37 Tahun 2004.

78.  Bahwa di dalam UU Kepailitan No.37 Tahun 2004 tidak mengatur mengenai eksepsi, tetapi faktanya ada judex factie yang mengabullkan perihal Eksepsi, karena dalam undang-undang tersebut sudah menentukan fakta yang harus dibuktikan haruslah sederhana (Pasal 8 Ayat (4)), dengan demikian kalau para pihak mengajukan Eksepsi, perkara tersebut mestinya diterjemahkan menjadi tidak sederhana.
Jawab Pleno: Dalam UU Kepailitan tidak mengenal adanya eksepsi, kecuali eksepsi mengenai kewenangan mengadili.
Note Penyunting: apakah benar UU Kepailitan menyebutkan dengan tegas bahwa HIR / hukum acara perdata umum tidak berlaku sepenuhnya terhadap perkara kepailitan di hadapan Pengadilan Niaga?  Bukankah selama aturan lainnya tidak bertentangan dengan lex spesialis, bukankah lex generalis masih dapat diberlakukan (?!)

79.  Dalam hal pembagian harta pailit disamping kreditur konkuren terdapat hutang pajak dan gaji buruh, mana hak yang didahulukan antara pajak dan buruh?
Jawab Pleno: ketika budel pailit tidak cukup dibagi rata maka dibagi berdasarkan perimbangan dan proporsional.
Note Penyunting: Perhatikan, pertanyaannya bukanlah bila ada kreditor konkuren, ada pula kreditor preferen (gaji buruh dan hutang pajak), dan ada juga Kreditor Separatis (pemegang hak tanggungan maupun fiducia dan hipotik), maka siapa yang didahulukan? Pertanyaan semacam itu tidak dilontarkan, oleh sebab memang kedudukan hukum kreditor separatis adalah terpisah dari budel pailit atas agunan/jaminan yang diterimanya. Kreditor separatis berasal dari kata “separate” yang artinya terpisah. Sayangnya, berbagai putusan MA maupun pengadilan dibawahnya masih terjadi salah kaprah dengan mencampuradukkan antara kreditor preferen dan kreditor separatis—disebabkan minimnya pengetahuan atas konsep dasar kriteria kreditor yang dimiliki para jurist.

80.  Ketika perkara diperiksa di Pengadilan, Debitor (lalu) membayar utang  salah satu kreditor, maka tinggal (tersisa) 1 (satu) pihak Kreditor. Apakah dalam keadaan demikian debitor adpat dinyatakan pailit, sesuai Pasal 1 ayat (1) UU kepailitan dan PKPU (yang mensyaratkan adanya minimum 2 kreditor dan satu diantaranya telah dapat ditagih)?
Jawab Pleno: Tidak memenuhi syarat Pasal 2 Ayat (1) UU No.37 Tahun 2004.
Note Penyunting: Artinya, menurut pandangan MA, jika hal demikian terjadi, maka akan sangat memakan sumber daya pemohon pailit, karena sewaktu-waktu pihak debitor dapat saja menggunakan itikad buruk untuk mempermainkan pemohon pailit dengan cara melunasi beberapa hutang hingga tersisa satu kreditor—yakni kreditor Pemohon Pailit itu sendiri.

81.  Apakah dalam suatu perikatan yang memuat klausula arbitrase dapat diajukan permohonan pernyataan pailit mana yang harus lebih dahulu diajukan?
Jawab Pleno: Berdasarkan Pasal 303 UU No.37 Tahun 2004, Kreditor bisa mengajukan permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga.
Note Penyunting: Apakah arbitrase seperti BANI tidak dapat menyidangkan permohonan pernyataan pailit? Apakah UU Arbitrase ada menyebutkan bahwa kompetensi absolut Arbitrase hanyalah dibidang perdata umum? Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase: “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.” Namun, UU Arbitrase bersifat “generalis”. Dikarekan UU Kepailitan bersifat lebih “spesialis”, berlakulah asas lex spesialis derogat legi generalis—ketentuan yang lebih spesifik mengesampingkan ketentuan yang kurang spesifik pada satu bidang konteks/kasus tertentu.

82.  Apakah perkara di PHI sedang berjalan terhadap debitor mengenai perselisihan hak debitor dinyatakan pailit. Apakah perkara PHI gugur (Pasal 29) atau diteruskan?
Jawab Pleno: Berdasar Pasal 29 UU No.37 Tahun 2004 terhadap perkara PHI tersebut harus dinyatakan gugur.
Note Penyunting: perhatikan ulasan dalam poin-poin sebelum dengan isu permasalahan yang sama persis dengan isu permasalahan poin ini, terdapat inkonsistensi pernyataan MA. Bila sebelumnya MA mempertimbangkan bahwa Pengadilan Niaga tidak berwenang memeriksa dan memutuskan berapa beban kewajiban debitor terhadap kewajiban tertunggak atas gaji karyawannya, maka PHI dinyatakan terus berlanjut dan didahulukan sebagai dasar perjumpaan hutang dalam pencocokan hutang dalam budel pailit. Namun kini, MA menyatakan sebaliknya. Tampaknya hal ini menjadi suatu konteks kasuistis dalam menimbang pokok permasalahan kepailitan yang menyangkut hak normatif buruh/karyawan termohon pailit.

83.  Bagaimana proses Legalisasi Dokumen Asing agar dapat diterima sebagai alat bukti pada peradilan Indonesia?
Jawab Pleno: Sertifikat dan dokumen asing sebagai alat bukti harus memenuhi syarat-syarat legalisasi baik di negara asal dan di Indonesia, disamping itu juga harus diterjemahkan oleh seorang penerjemah resmi dan disumpah di RI. Dokumen asing harus dilegalisir oleh Notaris Publik dan disahkan oleh konsul jenderal Ri di negara setempat.
Note Penyunting: sebenarnya legalisir dokumen di Indonesia dapat dilakukan di Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM RI. Kementerian Hukum memiliki database spisimen tanda-tangan notaris di Indonesia, sehingga untuk melegalisir suatu dokumen notarial, tetap dapat dilakukan oleh Kementerian Hukum, disertai dengan surat permohonan legalisir yang memuat tujuan dari permohonan legalisir tersebut disertai dengan pembayaran PNBP. SHIETRA & PARTNERS melayani jasa hukum, baik konsultasi hukum maupun jasa pengurusan izin, legalisir di Kementerian Hukum, maupun pencarian Anggaran Dasar suatu perseroan terbatas.

84.  Apakah gugatan pembatalan Merek terkenal (yang kemudian dikabulkan hakim) mengharuskan pemilik Merek tersebut mengajukan pendaftaran Mereknya ke Dirjen Hak dan Kekayaan Intelektual (HaKI)?
Jawab Pleno: Ya.

Mengenai Arbitrase:
85.  Apakah putusan Arbitrase Internasional yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 4, 5, 62 (2) dan Pasal 66 huruf (c) yaitu dapat diajukan sebagai alasan untuk tidak dapat dilaksanakannya eksekusi?
Jawab Pleno: Putusan Arbitrase Internasional tidak dapat dilaksanakan (eksekusi) oleh karena melanggar ketertiban umum (public policy, public order, dll) lihat Pasal 66 UU No.30 Tahun 1999.
Note Penyunting: perhatikan redaksional “Arbitrase Internasional”, maka, apakah dapat kita tafsirkan bahwa putusan arbitrase lokal seperti BANI bersifat tidak dapat ditolak pelaksanaan eksekusinya dengan alasan bertentangan dengan alasan karet “ketertiban umum”?

86.  Apakah ketentuan Pasal 70 (dengan Penjelasan) tentang alasan pembatalan putusan arbitrase domestik yang bersifat limitatif bisa disimpangi?
Jawab Pleno: Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung tidak dapat disimpangi.

87.  Apakah putusan Arbitrase yang telah diputus ditingkat banding pada Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir sesuai dengan Pasal 72 (4) dapat diajukan upaya hukum luar biasa (PK)?
Jawab Pleno: Dapat, sebagaimana ditentukan Undang-Undang Mahkamah Agung.

88.  Apakah kata-kata “banding” ke Mahkamah Agung (Pasal 72 Ayat 4) sama pengertian hukumnya dengan kata-kata “banding” yang diajukan ke Pengadilan Tinggi, dimana untuk banding ke Pengadilan Tinggi tidak wajib ada memori banding (mohon koreksi) dan kewenangan untuk memeriksa kembali fakta hukum seperti kewenangan Pengadilan Negeri.
Jawab Pleno: kata “banding” dalam perkara ini diartikan sebagai “kasasi” (perlu pleno lebih lanjut). Penjelasan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang No.30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa yang dimaksud “banding” adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud Pasal 70.

89.  Apakah pembatalan putusan Arbitrase dapat diajukan oleh Pihak Ketiga yang tidak ikut sebagai pihak dalam perjanjian Arbitrase?
Jawab Pleno: Pembatalan putusan arbitrase hanya dapat diajukan oleh para pihak (Pasal 70 UU No.30 tahun 1999).
Note Penyunting: bagaimana bila ada pihak ketiga yang dirugikan hak konstitusionalnya akibat putusan arbitrase tersebut? Bila dalam lembaga peradilan umum dikenal istilah gugatan perlawanan oleh pihak ketiga (derden verzet), mengapa MA bisa membuat pernyataan yang fatal demikian? Ataukah yang dimaksudkan oleh MA, ketika putusan arbitrase hendak dieksekusi, barulah pihak ketiga dapat masuk sebagai pihak dalam sengketa dengan mengajukan perlawanan pihak ketiga?

90.  Sebelum ada proses kepailitan, ada putusan arbitrase tentang utang. Putusan Arbitrase tersebut belum dieksekusi. Apakah putusan Arbitrase yang belum dieksekusi dapat diperhitungkan sebagai utang dalam perkara Kepailitan?
Jawab Pleno: Dapat (lihat penjelasan Pasal 2 UU Kepailitan).

91.  Pada saat Arbitrase dan proses kepailitan sedang berjalan bersamaan.
Pleno menjelasakan: sekalipun ada klausula arbitrase, Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa perkara permohonan pernyataan pailit. (lihat penjelasan Pasal 303 UU Kepailitan).

92.  Pleno membuat penegasan kembali: Meskipun menggunakan istilah “Banding”, Pemohon Banding Arbitrase, wajib mengajukan Memori Banding.
Note Penyunting: sebenarnya Memori Banding dalam sengketa arbitrase lebih merujuk pada hukum acara perdata perihal Memori Kasasi.

Perihal Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU):
93.   Pleno menyatakan: Suatu instansi pemerintah yang akan menghadiri persidangan jika diwakili oleh staf, cukup memberikan Surat Tugas tanpa materai (tidak harus melulu surat kuasa).
Note Penyunting: Apakah kaidah tersebut diatas berlaku hanya untuk sengketa KPPU atau secara general diberlakukan pula?

94.  Pleno menyatakan: Terhadap putusan perkara persaingan usaha yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dimungkinkan untuk diajukan upaya hukum luar biasa yaitu PK.

95.  Pleno membuat pernyataan: Karena KPPU bukan Hakim, konsekuensinya dapat digugat.
Note Penyunting: Pernyataan utamanya, apakah keputusan KPPU merupakan objek sengketa dalam ranah Pengadilan Tata Usaha Negara atau dalam ranah pengadilan negeri?

96.  Apakah Majelis Hakim dapat meminta untuk memeriksa alat bukti yang  sebelumnya tidak ada dalam putusan KPPU sebagai pemeriksaan tambahan? Mengingat ketentuan Pasal 5 Ayat (4) UU No.5 Tahun 1999?
Jawab Pleno: Dimungkinkan berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) PERMA No.03 Tahun 2005, menentukan bahwa dalam hal Majelis Hakim berpendapat perlu pemeriksaan tambahan, maka melalui putusan sela memerintahkan kepada KPPU untuk dilakukan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan tambahan adalah kebutuhan dari Majelis Hakim yang menginginkan suatu permasalahan dalam putusan menjadi lebih jelas dengan melakukan pemeriksaan tambahan.

97.  Apakah setiap dokumen yang diajukan sebagai bukti pada pemeriksaan perkara persaingan usaha wajib dibubuhi materai dan leges? Mengingat hal tersebut sulit dilakukan karena banyaknya dokumen yan ada. Beberapa pengadilan memerintahkan hanya list dokumen saja yang dibubuhi materai.
Komentar Pleno: Tidak perlu.

98.  Apakah berkas yang diserahkan kepada KPPU adalah berkas asli atau copy? Didasarkan atas pendapat bahwa berkas perkara adalah minute dan milik KPPU, maka yang diserahkan dalam bentuk copy. Namun dikarenakan kendala biaya, waktu dan banyaknya dokumen, KPPU seringkali menyerahkan dokumen perkara dalam bentuk asli, sebagaimana diperoleh selama pemeriksaan di KPPU.
Jawab Pleno: Berkas yang diserahkan harus asli.

99.  Apakah dibolehkan penerimaan bukti/ dokumen selama pemeriksaan, dengan alasan memberikan kesempatan kepada pihak pemohon untuk membuktikan dalil-dalil keberatannya, dikarenakan majelis hakim dalam hal ini bertindak sebagai judex factie dengan memeriksa hal-hal materiil yang berkaitan dengan pokok perkara, dan bukan Judex Juris yang hanya memeriksa penerapan hukum. Meskipun beberapa pengadilan yang ditemui masih bersikap abu-abu dengan menyatakan tetap menerima bukti yang diserahkan Pemohon namun tetap mempertimbangkan relevansinya dengan pokok perkara dan dengan berkas perkara yang sudah diserahkan atau bahkan menyatakan menolaknya pada saat dibacakan putusan.
Jawab Pleno: Tidak dibolehkan (ditolak). Apabila hakim menganggap perlu dapat diterima melalui pemeriksaan tambahan.

100. Apakah dalam perkara Putusan KPPU perlu dilakukan mediasi?
Jawab Pleno: Sebagaimana ketentuan dalam PERMA No.3 Tahun 2005, maka perkara tersebut tidak mengenal mediasi.

101. Bagaimana jika pada saat keberatan diajukan ke Pengadilan Negeri, terdapat bukti baru?
Jawab Pleno: Bukti baru tidak diperbolehkan, Pengadilan Negeri hanya bisa memeriksa berdasarkan bukti dari KPPU (PN keberatan tidak bisa memeriksa bukti-bukti baru lagi), PN bisa meminta KPPU untuk memeriksa bukti baru yang dianggap penting oleh PN keberatan (dikembalikan), PN memutuskan dengan putusan sela jika PN meminta KPPU untuk melakukan pemeriksaan tambahan (memeriksa bukti baru).

102. Bagaimana melakukan eksekusi putusan KPPU yang ada ganti ruginya (inkracht)?
Jawab Pleno: PN bisa mengeksekusi kalau perlu bisa memakai sita jaminan dan KPPU bisa meminta eksekusi melalui PN.

103. Dalam sidang apakah berhadapan dengan pihak?
Jawab Pleno: Iya, KPPU dan pihak yang berkeberatan.

104. Dalam pemeriksaan apakah kehadiran para pihak adalah wajib?
Jawab Pleno: Dalam proses perkara keberatan yang masuk ke PN, para pihak harus hadir dalam sidang pertama, pihak yang mengajukan keberatan dan KPPU. (Pada proses tersebut tidak ada jawab menjawab, replik duplik karena keterbatasan waktu yaitu 30 hari).

Mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK):
105. Keberatan terhadap Keputusan diajukan ke Pengadilan Negeri di tempat BPSK berada. Kapan jangka waktu. Berapa lama disidangkan Pengadilan Negeri sejak keberatan diterima?
Jawab Pleno: Ditetapkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, bahwa keberatan terhadap keputusan BPSK diselesaikan Pengadilan Negeri dalam waktu 21 hari dihitung sejak hari pertama keberatan itu disidangkan, tetapi tidak diatur berapa lama keberatan itu mulai disidangkan sejak diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, karena 21 hari itu tidak akan ada artinya bila saat pendaftaran tidak ditentukan waktu limitnya.
Note Penyunting: semestinya MA segera menindaklanjuti kekosongan hukum ini dengan menerbitkan PERMA ataupun SEMA.

106. Siapa pihak-pihak yang diperiksa dalam perkara keberatan BPSK di Pengadilan Negeri?
Jawab Pleno: Yang menjadi pihak yaitu pihak yang mengajukan keberatan: konsumen sebagai Pemohon, bisa juga pelaku usaha – pihak yang diajukan keberatan pihak pelaku usaha atau bisa juga sebaliknya konsumen, tetapi ada kemungkinan yang diajukan adalah BPSK dengan alasan keputusan BPSK tidak taat azas yaitu manfaat, keselamatan konsumen, atau kepastian hukum, yang diajukan baik oleh konsumen maupun oleh pelaku usaha.

107. Tidak disyaratkan bentuk tertentu surat permohonan keberatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri dan demikian juga pembuktian yang diajukan Pemohon.
Jawab Pleno: Permohonan keberatan cukup diajukan dengan surat biasa yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa dengan surat kuasa khusus atau melalui LPKSM yang jelas maksud, tujuan dan alasannya. Pembuktian diajukan seperti pembuktian perkara kontradiktif, bukti tertulis di-nazegelen, demikian juga pihak lawan dapat dimintai keterangan baik oleh Pemohon atau Termohon melalui Pengadilan atas biaya yang bersangkutan.

108. Apakah BPSK dapat diajukan ke Pengadilan Negeri oleh salah satu pihak atas alasan “perbuatan melawan hukum” (PMH)?
Jawab Pleno: BPSK dapat diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan atas tindakannya, meskipun badan ini berfungsi untuk membantu upaya menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha karena BPSK itu sendiri bukanlah badan peradilan.

109. BPSK merupakan badan atau institusi alternatif dengan konsumen/produsen untuk menyelesaikan perselisihan mereka selain kepada Peradilan Umum atau Alternatif Dispute Resolution (ADR, arbitrase).
Komentar Pleno: Jika konsumen/pelaku usaha ingin mempercepat mata rantai penyelesaian perselisihan mereka (atau) sengketa mereka tidak terlalu safisticated, sebaiknya mereka (serahkan langsung) kepada Peradilan Umum atau ADR.
Note Penyunting: Artinya, BPSK bukan bersifat limitatif untuk ditempuh terlebih dahulu, namun dapat langsung by pass melompat pada gugatan perdata di Pengadilan Umum maupun arbitrase. Namun dengan catatan, bila prosedur melalui BPSK ditempuh, maka jika terjadi keberatan ke PN, maka mediasi tidak diberlakukan kembali, karena BPSK itu sendiri adalah sebentuk lembaga “mediasi”, sehingga tidak menjadi pengulangan yang sia-sia memakan waktu satu bulan. Akan tetapi, jika para pihak dalam sengketa lagnsung menuju PN untuk menyelesaikan sengketa, mediasi di PN wajib ditempuh.

110. Apakah perkara keberatan atas keputusan BPSK dapat diajukan PK ke MA setelah upaya kasasi?
Jawab Pleno: PK tidak diperkenankan, mengingat semangat dan prinsip yang ada dalam eksistensinya BPSK adalah percepatan proses, disyaratkan dengan pembatasan-pembatasan waktu seperti disebut terdahulu serta alasan-alasan perlindungan.
Note Penyunting: perhatikan pernyataan Hakim Agung sebelumnya diatas yang menyatakan bahwa BPSK bukanlah lembaga peradilan semu, sehingga BPSK dapat digugat. Hakim Agung juga menyatakan bahwa BPSK dapat ditempuh konsumen atau langsung ke PN untuk menggugat, namun jika memilih didahului sengketa di hadapan BPSK maka kehilangan hak untuk PK. Nampaknya Hakim Agung belum membuat pendirian bulat, apakah BPSK dilembagakan sebagai peradilan semu ataukah tidak. Jika dihormati sebagai peradilan semu, mestinya tidaklah dapat BPSK digugat. Jika bukan peradilan semu, mengapa tidak boleh PK?

111. Sering timbul permasalahan usaha jika keputusan BPSK diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri, salah satu pihak enggan untuk menghadap, dalam waktu yang ditentukan tersebut, apakah dapat minta kepada Pengadilan untuk memanggil mereka?
Jawab Pleno: BPSK dapat langsung minta bantuan Kepolisian untuk memanggil yang bersangkutan termasuk untuk menghadirkan saksi atau ahli sekalipun. BPSK juga dapat menyampaikan pangaduan bila konsumen/pelaku usaha melakukan tindak pidana dalam bidang perlindungan konsumen dan meminta untuk melakukan tindakan penyidikan.

112. Pasal 56 ayat (2) Undang-undang 8 tahun 1999 mengatakan bahwa “Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan tersebut”. Bagaimanakah halnya apabila dalam suatu putusan BPSK dimana para pihak hadir yaitu : pelaku usaha dan konsumen pada waktu pembacaan atau pengucapan putusan hadir. Apakah tenggang waktu untuk mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK tersebut, dihitung sejak putusan diucapkan atau sejak putusan tersebut diberitahukan sesuai dengan pasal 56 ayat (2) Undang Undang No. 8 Tahun 1999.
Jawab Pleno: Berlaku ketentuan Hukum Acara Perdata.
Note Penyunting: jika ketentuan umum dalam HIR (hukum acara perdata) juga berlaku di sini, maka sengketa terkait BPSK tidak mengenal istilah PK? Solusi yang coba dijawab MA dalam SEMA ini tampaknya justru melahirkan permasalahan dan pertanyaan baru yang berputar-putar. UU Perlindungan Konsumen adalah bersifat lex spesialis derogat legi generalis, sehingga mengesampingkan hukum acara umum. Sikap MA tidak tertib hukum, mengakibatkan kepastian hukum kian tertinggal jauh dibelakang.

113. Pertanyaan kembali diulang: Apakah BPSK dapat diajukan ke Pengadilan Negeri oleh salah satu pihak atas alasan PMH.
Jawab Pleno: BPSK dapat digugat dalam perkara Perbuatan Melawan Hukum.
Note Penyunting: lantas, untuk apakah upaya hukum keberatan ke PN yang mestinya digunakan untuk mengoreksi putusan BPSK yang dinilai keliru jika salah satu pihak dalam sengketa di hadapan BPSK dapat menggugat instansi BPSK itu sendiri? Kecuali upaya hukum tertutup, barulah BPSK dapat digugat. Namun mengapa BPSK dapat digugat, sementara lembaga peradilan sendiri kebal hukum, dengan segudang imunitas sebagaimana pun rancunya putusan mereka? Warga negara diperbolehkan menggugat seorang kepala negara maupun jajaran eksekutif dibawahnya, namun mengapa lembaga yudikatif tidak dapat digugat? Karena siapa yang akan menyidangkan, pengadilan menyidangkan instansi pengadilan itu sendiri? Maka dapatlah kita katakan, yudikatif mengangkangi eksekutif. Bagaimana dengan legislatif? Legislatif adalah representasi rakyat. Lantas jika memang wakil suara rakyat, mengapa rakyat hendak menggugat anggota parlemen? Karena legislatif adalah “hantu”. Apakah Anda mampu menggugat seekor hantu?

114. BPSK merupakan badan atau institusi alternatif dengan konsumen/produsen untuk menyelesaikan perselisihan mereka selain kepada Peradilan Umum atau ADR.
Jawab Pleno: Ya.
Note Penyunting: Ya, makin bingunglah kita jadinya dengan pendirian pola pikir hakim agung di Indonesia.

Tema mengenai Perselisihan Hubungan Industrial (PHI):
115. Apakah Agen assuransi dan Sopir perusahaan dapat disebut sebagai pekerja sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004.
Jawab Pleno: Agen bukan merupakan pekerja sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 karena tidak menerima upah. Sedangkan dalam kasus sopir Perusahaan termasuk lingkup PHI.
Note Penyunting: jawaban tersebut keliru fatal, karena telah menabrak ketentuan yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Dalam KUHD, diatur perbedaan antara komisioner dan makelar. Jika seseorang menerima keuntungan dengan berdiri/berpijak diatas brand nama perusahaan lain, maka tanggung jawab vicarius (vicarious liability) berada pada pihak nama perusahaan tempatnya berdiri. Berbeda halnya dengan bila seseorang mendapat penghasilan dengan berdiri diatas nama brand miliknya sendiri, ia bertanggung jawab secara pribadi terlepas dari tanggung jawab perusahaan ia menerima order. Begitu pula dalam menelaah kasus seperti agen asuransi. Agen asuransi tidak berpijak pada brand-nya sendiri, tapi bernaung atas brand asuransi, maka vicarious liability berlaku dan wajib diterapkan disini. Begitupula dengan supir, bila supir tersebut adalah outsourcing, maka tanggung jawab vicarius bukan berada pada pihak yang menggunakan jasa sang supir, tapi perusahaan outsourcing tempat bernaung si supir yang memiliki beban tanggung jawab—perusahaan outsource yang menggaji supir tersebut, sementara perusahaan pengguna jasa membyar biaya jasa kepada perusahaan outsource. Dari komentar sederhana ini saja kita sudah dapat menilai kualitas para Hakim Agung di negeri ini. Tidak mengherankan hukum di Indonesia tidak kondusif di mata para pelaku ekonomi maupun masyarakat bila kualitas “kepala” institusi peradilan memiliki kualitas intelektual yang begitu memprihatinkan.

116. Jika sengketa perselisihan hubungan industrial diajukan ke Pengadilan Negeri sebagai gugatan perkara perdata bagaimana sikap Pengadilan Negeri?
Jawab Pleno: Pengadilan Negeri harus menyatakan diri tidak berwenang mengadili sengketa PHI.
Note Penyunting: inilah yang dalam teori ilmu hukum disebut sebagai kompetensi absolut wewenang pengadilan untuk memeriksa dan mengadili (yurisdiksi). Namun, pertanyaan sebenarnya yang perlu dipecahkan adalah, bila dalam perjanjian kerja (employment agreement) disebutkan bahwa jika terjadi sengketa ketenagakerjaan dengan perusahaan, maka para pihak memilih untuk menyelesaikannya di hadapan pengadilan negeri tempat perusahaan berdiri, maka apakah choise of forum berdasarkan pacta sunt servanda (vide Pasal 1338 KUHPerdata) tetap tidak dalam menyimpangi ketentuan hukum acara perdata mengenai kompetensi absolut ini?

117. Bagaimana bentuk perjanjian kerja yang dapat dijadikan bukti di Pengadilan Hubungan Industrial?
Jawab Pleno: Perjanjian kerja tersebut bisa tertulis atau lisan.
Note Penyunting: dalam hukum perdata, perjanjian tidak harus berupa “hitam diatas putih”, namun juga bisa dilangsungkan secara lisan. Kendala utamanya, sistem pembuktian suatu bukti lisan amatlah rapuh, karena dapat dibantah oleh pihak seberang. Begitupula dengan akta dibawah tangan. Hanya akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna—meski amatlah mahal harga yang harus dibayar untuk membayar seorang pejabat negara yang bernama “notaris”.

118. Bagaimana menentukan berakhir masa kerja, jika perjanjian kerja dibuat secara lisan?
Jawab Pleno: Berakhirnya masa kerja dapat ditentukan berdasarkan pembuktian kedua belah pihak.
Note Penyunting: Sifat pembuktian ini lebih mengarah pada sifat suatu pekerjaan tersebut. Jika sifatnya adalah borongan atau musiman, maka hingga “proyek” itu selesai, maka perjanjian kerja berakhir/tuntas. Berbeda bila jenis pekerjaan/karakter kerja bernuansa daily activity, seperti satpam, petugas kebersihan, staf managemen, maka karena sifatnya berkelanjutan yang mana tanpa itu maka sistem operasional perusahaan tidak dapat berjalan, maka itu bersifat permanen.

119. Dalam gugatan pemutusan hubungan kerja, bagaimana menentukan kapan hubungan kerja tersebut putus? Bagaimana pula terhadap PHK kolektif?
Jawab Pleno: Lihat Pasal 156, 157, 158, 160, 162, 164, 167, 168, 169, 170, dan Pasal 172 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Note Penyunting: pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan klasik yang menjadi mimpi buruk kalangan perusahaan, namun dengan sumir dijawab oleh MA. Pernah terjadi kasus gugatan oleh pekerja atas PHK yang dialaminya, dimana sebagai contoh, buruh tersebut di-PHK sepihak oleh perusahaan pada awal tahun 2010, lantas pada tahun 2011 buruh tersebut mengajukan gugatan namun gugatan dinyatakan “tidak dapat diterima” oleh pengadilan karena eksepsi pihak perusahaan (tergugat) diterima oleh hakim. Buruh tersebut kembali mengajukan gugatan ulang pada awal tahun 2012, dan dikabulkan oleh hakim, disertai hukuman ganti rugi berupa pesangon plus gaji dari awal bulan 2010 hingga awal tahun 2012. Artinya, dahulu meski hak buruh/pekerja mengajukan gugatan atas haknya dibatasi selama 2 (dua) tahun berdasarkan UU Ketenagakerjaan, namun selama masa waktu itu jika buruh menang atas gugatannya, maka hingga gugatan diajukan perusahaan diwajibkan terus membayar gaji buruhnya. Nominal ganti rugi cukup fantastis. Kini, setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa buruh/pekerja hanya dapat mengajukan gugatan atas haknya dibatasi pada jangka waktu daluarsa 2 tahun, sehingga menjadi 30 tahun mengikuti KUHPerdata sebagai kaidah umum perdata, namun kebiasaan putusan hakim yang mewajibkan perusahaan untuk menggaji karyawan/buruh dalam masa gugatan berlangsung tidak lagi dapat diterapkan, karena dapat menjadi celah hukum bagi buruh, sebagai contoh: di-PHK pada tahun 2012, lantas pada tahun 2040 buruh tersebut mengajukan gugatan kepada perusahaan, dan bila diterima oleh hakim, maka apakah perusahaan harus membayar gaji sebesar lamanya bulan dari tahun 2012 hingga tahun 2040 ? Putusan MK yang mengabulkan uji materiel yang dimohonkan oleh petugas security tersebut justru menjadi kontraproduktif terhadap buruh. Yang sebetulnya menang adalah pihak kalangan perusahaan itu sendiri meski pasal ketentuan mengenai kadaluarsa menuntut hak dibatasi hanya 2 tahun telah dibatalkan MK, namun yang paling diuntungkan justru adalah pengusaha karena hak istimewa unik dalam pasal UU Ketenagakerjaan tersebut justru ditiadakan oleh gugatan uji materiel pihak buruh itu sendiri.

120. Dalam menentukan jumlah pembayaran, jenis pembayaran apa saja yang menjadi hak buruh?
Jawab Pleno: pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
121. Bagaimanakah perhitungan tenggang waktu dalam hal penyelesaian perkara PHI dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung?
Jawab Pleno: Pasal 110 UU No.2 Tahun 2004 Permohonan Kasasi diajukan dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak putusan dibacakan atau terhitung sejak tanggal menerima salinan putusan, Saran, memori kasasi diajukan bersama-sama dengan permohonan kasasi. Berkas perkara selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung.(Pasal 112).

122. Kepada Pengadilan manakah diajukan perlawanan terhadap eksekusi perkara PHI, apakah ke Pengadilan Negeri ataukah Pengadilan Hubungan Industrial? Mengingat kewenangan PHI berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada pasal 1 butir 1 jo. Pasal 2 adalah mengenai a) Perselisihan hak, b) perselisihan kepentingan, c) perselisihan pemutusan hubungan kerja dan d) perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Sedangkan masalah rekening Bank adalah mengenai sengketa kepemilikan.
Jawab Pleno: Pengadilan Negeri.

123. Berdasarkan Pasal 58 UU tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ditentukan bahwa dalam proses beracara di PHI pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya yang nilai gugatannya dibawah Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). Bagaimanakah apabila terhadap perkara tersebut diajukan gugatan rekonpensi dengan nilai tuntutan lebih dari Rp.150.000.000,-, apakah dikenakan biaya ataukah karena merupakan gugatan rekonpensi yang merupakan penggabungan gugatan, sehingga tidak perlu membayar pula?
Jawab Pleno: Karena merupakan gugatan rekonpensi yang merupakan penggabungan gugatan, biaya perkara dibebankan kepada negara (nilai gugatan dibawah Rp.150.000.000,-)
Note Penyunting: bagaimana bila bentuknya ialah class action para buruh terhadap perusahaannya di PHI? Apakah akan tetap dinilai per satuan kepala atau berdasarkan total nilai gugatan ganti-ruginya? Atau semisal gugatannya meminta ganti-rugi 200.000.000, sementara hakim hanya mengabulkan sebagian saja, yakni 100.000.000; maka apakah tetap akan dibebankan biaya perkara di akhir putusan?

124. Berdasarkan HIR dan Buku II, pelaksanaan putusan dengan uit voerbaar bij vooraad (UVB) harus diwajibkan kepada pemohon eksekusi untuk membayar uang jaminan. Bagaimanakah pelaksanaan putusan UVB PHI yang diajukan oleh pemohon sebagai pekerja/buruh, apakah harus tetap diwajibkan membayar uang jaminan sebesar nilai amar putusan, mengingat gugatan diajukan secara prodeo karena nilai gugatan di bawah Rp. 150.000.000,- atau diajukan oleh pekerja/buruh yang notabenenya ekonomi lemah (apabila nilai gugatan di atas Rp.150.000.000,-)?
Jawab Pleno: Untuk melaksanakan putusan uit voerbaar bij vooraad Ketua PHI harus mendapat persetujuan MA.

125. Apakah perhitungan hari kerja hanya diterapkan terhadap proses penyelesaian perkara pada Pengadilan Hubungan Industrial saja, tidak pada pada proses penyelesaian perkara PHI pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali?
Jawab Pleno: Sepanjang sudah diatur oleh UU No. 2 Tahun 2004 maka diterapkan ketentuan UU tersebut yaitu hari adalah hari kerja.
Note Penyunting: apakah para Hakim Agung demikian tidak “nyambung”-nya dengan pertanyaan? Permasalahan disini adalah, bila terjadi suatu sengketa hak oleh buruh terhadap perusahaan, mulai dari PHI, banding, hingga kasasi yang bisa memakan waktu tahunan, apakah pada tempo waktu tahunan menunggu hingga putusan berkekuatan hukum tetap tersebut, bila buruh dimenangkan, apakah perusahaan harus membayar gaji hingga saat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu ditetapkan atau hanya sebatas pada saat putusan PHI diputuskan? Saya menilai jawaban sumir MA dilakukan guna mengelak dari permasalahan utama yang jamak terjadi diseputar hukum ketenagakerjaan.

126. Apakah setiap perkara PHI yang diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung wajib disertai dengan memori kasasi?
Jawab Pleno: Wajib. Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung menentukan: bahwa dalam hal pengajuan permohonan kasasi Pemohon Kasasi WAJIB menyampaikan pula MEMORI KASASI yang memuat alasan-alasannya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender setelah permohonan dimaksud dicatat dalam buku daftar.

127. Apakah bagian Pranata Mahkamah Agung dapat meminta disetorkan biaya perkara kepada Pihak, jika di dalam gugatan tidak dicantumkan nilai gugatan, akan tetapi pada amar putusan PHI ditentukan nilai uang yang harus dibayar oleh Tergugat yang nilainya lebih dari 150 juta.
Jawab Pleno: Tidak dapat Karena sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 58 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, nilai uang Rp.150.000.000 ditentukan sebagaimana tercantum di dalam gugatan, bukan di dalam amar putusan.
Note Penyunting: apakah larangan ultra-petita (larangan bagi hakim untuk memutus melebihi apa yang diminta) tidak berlaku dalam perkara PHI? Bila surat gugatan tidak menyebutkan nilai nominal ganti-rugi yang diderita dan yang dimohonkan dalam posita/fundamentum petenti maupun petitum gugatan, apakah dapat dibenarkan hakim memberikan amar putusan yang menyebutkan sebuah nilai nominal? Bagaimana PHI dapat membuat putusan suatu gugatan PHI wajib membayar uang panjar atau tidaknya bila dalam gugatan itu sendiri tidak jelas amar yang dimohonkan nilai nominalnya?!

128. Apakah Manager Personalia dan Kepala Cabang suatu PT dapat mewakili perusahaan di dalam persidangan PHI?
Jawab Pleno: Dapat, bilamana Manager personalia dan Kepala Cabang mendapat kuasa dari Direksi.
Note Penyunting: seluruh karyawan yang berdalam jenjang hierarkhi stuktural perusahaan dapat mewakili direksi perusahaan dengan surat tugas ataupun surat kuasa direksi. Ini dimungkinkan, tidak hanya bagi kepala kantor cabang, manager personalia, ataupun staf legal perusahaan, karena UU PT mengenal istilah legal mandatory, sehingga tidak ada keharusan perusahaan diwakili oleh seorang lawyer, karyawan dengan surat tugas sudah cukup memiliki kapasitas untuk mewakili perusahaan beracara di persidangan.

129. Apakah perusahaan dapat menghadirkan seseorang dari perusahan yang sama dengan pekerja/buruh untuk didengar keterangan sebagai saksi di persidangan?
Jawab Pleno: Dapat sesuai dengan ketentuan HIR (Pasal 146).

130. Apakah biaya pendaftaran Perjanjian Bersama pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dikutip per perjanjian atau per kasus, karena satu kasus terdiri dari beberapa perjanjian bersama tergantung berapa pekerja yang terlibat di dalam kasus tersebut.
Jawab Pleno: Tidak dipungut biaya kecuali biaya PNBP (PP 53 Tahun 2008)
Note Penyunting: lagi-lagi jawaban hakim agung tidak “nyambung” dengan pertanyaan. Ditanya A, dijawab B. Itu namanya lepas tanggung jawab, artinya: timbul hukum yang “abu-abu”, dan hukum yang “abu-abu” menjadi celah hukum empuk bagi aparatur nakal untuk bermain, memeras dengan dalil tidak diatur sebaliknya, dan sebagainya. Kita pun patut bertanya, sebenarnya di pihak manakah Mahkamah Agung? Jangan-jangan Hakim Agung masih terjebak pada mindset kuno, semengat melindungi koprs, saling sandera,

131. Apakah putusan PHI yang tidak mencantumkan kewarganegaraan pada identitas pihak, batal?
Jawab Pleno: Tidak, sepanjang unsur-unsur lain dari pasal tersebut sudah dipenuhi.

Permasalahan-permasalahan Hukum terkait kisruh Partai Politik:
132. Perselisihan apa saja yang termasuk ke dalam Perselisihan Partai Politik?
Jawab Pleno: Lihat penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2008.

133. Bahwa latar belakang lahirnya SEMA No.4 Tahun 2003 adalah masa Pemilu 2004, yang diperkirakan terjadi meningkatnya kasus-kasus perdata yang berkaitan dengan Pemilu. Apakah SEMA No.4 Tahun 2003 masih relevan dipakai sebagai pedoman/petunjuk Mahkamah Agung kepada para Hakim setelah keluarnya SEMA N0. 11 Tahun 2008 dalam penanganan kasus-kasus Partai Politik yang diajukan ke Pengadilan?
Jawab Pleno: Dengan lahirnya SEMA No. 11 Tahun 2008 maka SEMA No.4 Tahun 2003 dianggap tidak berlaku kecuali ketentuan mengenai konflik internal partai.

Jenis Perkara lainnya:
134. Diantara ahli waris ada yang mengajukan perkara kewarisan ke Pengadilan Negeri, sedangkan pewaris beragama Islam. Dalam eksepsi ahli waris yang dijadikan Tergugat mengajukan eksepsi bahwa Pengadilan Negeri seharusnya menyatakan tidak berwenang, tetapi eksepsi tersebut ditolak. Apakah dibenarkan Tergugat di Pengadilan Negeri tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama selaku Penggugat?
Jawab Pleno: Agama pewaris menentukan pengadilan yang berwenang. Pewaris yang beragama Islam sengketa kewarisannya menjadi kewenangan peradilan agama, sedangkan pewaris yang beragama selainnya ke paradilan umum. Keterangan: Semua tuntutan dalam sengketa kewarisan pada peradilan agama pada dasarnya karena adanya perbuatan melawan hukum, hendaknya Pengadilan Agama memulai memberi petunjuk kepada Penggugat bagaimana seharusnya membuat surat gugatan, sebagaimana ketentuan Pasal 58 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009.

135. Perkawinan Warga Negara Indonesia yang beragama Islam yang dilakukan di luar negeri dan telah lewat dari satu tahun tidak didaftarkan di Indonesia, keduanya telah bercerai, kemudian mengajukan gugat pembagian harta bersama ke Pengadilan Agama. Apakah gugatan dapat Diterima?
Jawab Pleno: Perkawinan sesama Warga Negara Indonesia sah bilamana dilakukan sesuai persyaratan dalam Undang- Undang No. 1 Tahun 1974, bila Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing dilakukan menurut hukum yang berlaku di negaranya dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang. Perkwainan di luar negeri yang tidak didaftarkan setelah melewati tenggang waktu satu tahun (Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) tergolong perkawinan sirri, oleh karenanya Pengadilan Agama belum dapat menyelesaikan sengketa tersebut.

136. Apakah dapat dibenarkan salah seorang ahli waris menjual harta warisan tanpa persetujuan ahli waris lainnya? Apakah pembeli harta warisan yang belum dibagi dapat digolongkan sebagai pembeli yang beritikat baik yang perlu dilindungi?
Jawab Pleno: Dilarangnya seorang ahli waris atau atau diantara ahli waris yang menjual harta warisan yang masih atas nama orang tuanya tanpa persetujuan ahli waris lainnya (karena itu akan mengurangi hak ahli waris yang sah lainnya). Pada prinsipnya harta warisan tersebut milik semua ahli waris, dengan demikian pihak yang menjual tanpa persetujuan ahli waris lainnya tidak dapat dibenarkan. Apabila hal tersebut terjadi, maka pihak yang menjual dapat dituntut untuk mengganti kerugian ahli waris yang lain tersebut senilai bagian masing-masing menurut ketentuan hukum waris. Keterangan: Diusulkan, pembeli yang telah mengetahui bahwa surat-surat obyek sengketa bukan atas nama penjual tidak digolongkan sebagai pembeli yang beritikad baik yang harus dilindungi.
Note Penyunting: hal ini penting diatur dan dijalankan secara komit oleh seluruh hakim, mulai dari PN hingga hakim agung, karena dapatlah kita katakan pembeli yang beritikad tidak baik demikian bisa jadi adalah “kongkalikong” penadahan. Namun yang rancu, ahli waris yang lain dapat mengajukan tuntutan pidana penggelapan dan gugatan perdata ganti-rugi pada ahli waris yang menggelapkan budel warisan, namun disaat yang sama dapat pula meminta pembatalan jual-beli sehingga terjadi overlaping upaya hukum yang dapat dilakukan oleh ahli waris yang menggugat. Semestinya MA bersikap tegas demi kepastian hukum, misal menyatakan: terhadap ahli waris yang menggelapkan hanya dapat dituntut secara pidana, sementara gugatan perdata ganti-rugi hanya dapat diajukan kepada ahli waris yang menggelapkan, karena bagaimana pun ahli waris pelaku penggelapan tersebut yang telah menjual dan menerima dana hasil penjualan.

137. Mahkamah Agung membuat kaidah hukum bahwa Harta warisan produktif (misal, harta warisan semula yang ditinggalkan oleh pewaris adalah hanya sebuah pabrik, harta tersebut tidak dibagi dan setelah berkembang harta waris tersebut menjadi beberapa buah pabrik atau hasil lainnya barulah diajukan gugatan harta warisan ke Pengadilan), maka harta warisan produktif tersebut harus diperhitungkan sebagai hasil usaha para ahli waris secara kolektif.

138. Apa criteria yang dapat dipakai untuk menentukan suatu sengketa merupakan sengketa TUN atau sengketa Perdata?
Jawab Pleno: Untuk menentukan suatu sengketa merupakan sengketa TUN atau sengketa Perdata (kepemilikan) kriterianya :
a. Apabila yang menjadi objek sengketa (objectum litis) tentang keabsahan KTUN, maka merupakan sengketa TUN.
b. Apabila dalam posita gugatan mempermasalahkan kewenangan, keabsahan Prosedur penerbitan KTUN, maka termasuk sengketa TUN; atau
c. Apabila satu-satunya penentu apakah Hakim dapat menguji keabsahan KTUN objek sengketa adalah substansi hak karena tentang hal tersebut menjadi kewenangan peradilan perdata; atau
d. Apabila norma (kaidah) hukum TUN (hukum publik) dapat menyelesaikan sengketanya, maka dapat digolongkan sebagai sengketa TUN.

139. Pengertian Teori Melebur (Opplosing Theory). Kapan suatu KTUN dianggap melebur dalam perbuatan hukum perdata?
Jawab Pleno: Untuk memastikan suatu KTUN dianggap melebur dalam perbuatan hukum perdata adalah apabila secara factual KTUN yang disengketakan dan diminta diuji keabsahannya ternyata :
a. Jangkauan akhir dari KTUN diterbitkan (tujuannya) dimaksudkan untuk melahirkan suatu perbuatan hukum perdata. Termasuk didalamnya adalah KTUN-KTUN yang diterbitkan dalam rangka mempersiapkan atau menyelesaikan suatu perbuatan hukum perdata.
b. Apabila Tergugat dalam menerbitkan KTUN objek sengketa akan menjadi subjek atau pihak dalam perikatan perdata sebagai kelanjutan KTUN objek sengketa tersebut.
c. KTUN yang berkaitan dengan ijin cerai tidak digolongkan sebagai KTUN yang melebur dalam perbuatan hukum perdatanya (ic.perceraian), karena ijin cerai merupakan ketentuan hukum public (hukum administrasi) sebagai syarat bagi PNS yang akan melakukan perceraian. Dengan demikian ijin cerai merupakan lex spesialis dan dikecualikan dari penerapan teori melebur.

140. Tentang uang paksa (dwangsom). Apakah uang paksa dapat dimintakan dalam gugatan dan diputus oleh hakim, meskipun belum ada peraturan pelaksanaannya?
Jawab Pleno: Uang paksa dapat diminta dalam gugatan dan dapat dikabulkan serta dimuat dalam amar putusan. Hal ini untuk mendorong pemerintah segera membuat peraturan pelaksanaannya sebagaimana yang diperintahkan oleh undang-undang. Agar setiap gugatan yang memuat tuntutan condemnatoir mencantumkan uang paksa.

141. Apakah terhadap permohonan HUM (Hak Uji Materiel, dalam konteks ini ialah Uji Materiel ke hadapan MA) yang telah diputus “NO” (nietonvaankelijk veerklaard, alias amar putusan berbunyi “tidak dapat diterima”) karena telah lewat waktu dapat diajukan kembali?
Jawab Pleno: Permohonan HUM yang telah diputus “NO” karena telah lewat waktu, apabila diajukan kembali maka harus dinyatakan tidak dapat diterima (“NO”), karena nebis in idem.
Note Penyunting, “NO” hanya dapat dinyatakan dalam amar putusan hakim bila pokok perkara tidak diperiksa. Lantas, bila pokok perkara tidak diperiksa, mengapa jika kemudian pemohon kembali mengajukan uji materiel terhadap suatu peraturan dibawah undang-undang, mengapa dinyatakan nebis in idem? Perihal “NO karena telah daluarsa/lewat waktu” sebenarnya tidak lagi relevan, sebab pembatasan jangka waktu 180 hari sejak terbitkan peraturan tersebut untuk menggunakan hak uji materiel, telah dicabut berdasarkan PERMA No.1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiel.

142.  Bagaimana jika diajukan permohonan HUM (hak Uji Materiel) oleh beberapa Pemohon dalam perkara yang berbeda atas suatu peraturan yang sama, apakah harus diputus semua atau terhadap perkara berikutnya cukup dinyatakan “NO”?
Jawab Pleno: Apabila terdapat permohonan HUM diajukan oleh beberapa Pemohon dengan nomor perkara yang berbeda terhadap peraturan perundang-undangan yang sama (obyek HUM-nya sama), maka :
1) Beberapa perkara dengan nomor yang berbeda tersebut harus diputus secara bersamaan pada hari dan tanggal yang sama dengan amar putusan yang sama.
2) Jika diputus tidak secara bersamaan pada hari dan tanggal yang sama, namun ada yang diputus lebih dahulu, maka terhadap perkara HUM yang diputus pada hari dan tanggal berikutnya harus dinyatakan “NO”.
Note Penyunting: Seyogianya disatukan berupa penggabungan gugatan/permohonan layaknya mekanisme di MK. Jika tidak, mungkin argumentasi yang baik akan menjadi mubazir karena permohonan uji materiel sebelum telah diputus tanpa sempat terlebih dahulu memeriksa dan memutus permohonan uji materiel yang memiliki bukti argumen yang cukup memadai. Ketentuan umum yang akan diuji materiel melingkupi berbagai hal yang bersifat luas, maka tentunya masing-masing memiliki karakteristik unik kasuistis atas pihak yang mengajukan keberatan atas suatu ketentuan umum tersebut, sehingga MA masih tertinggal dalam pemahaman hukum atas kemungkinan diuji-materielnya suatu ketentuan umum lebih dari satu kali sebagaimana uji materiel terhadap keberlakuan Pasal KUHAP tentang larangan PK diatas PK, pada mulanya MK menolak, namun dalam uji materiel beberapa tahun sesudahnya, dimohon oleh Antazari Azhar, permohonan uji materielnya dikabulkan, alih-alih dinyatakan Nebis in Idem.

143. Apakah terhadap peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan sebelum Perma Nomor 01 Tahun 2011 diterbitkan dapat diajukan HUM?
Jawab Pleno: Perma Nomor 01 Tahun 2011 tidak berlaku surut. Oleh karenanya pengajuan HUM terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang diterbitkan dan pernah diajukan sebelum dikeluarkan Perma tersebut, berlaku ketentuan Perma sebelumnya yaitu Perma Nomor 1 Tahun 2004. Sedangkan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang diterbitkan sebelum dikeluarkan Perma tersebut dan belum pernah diajukan HUM diberlakukan Perma Nomor 1 Tahun 2011.
Note Penyunting: Argumentasi MA tidak dapat dibenarkan. Pasal 11 tentang Ketentuan Penutup PERMA No.1 Tahun 2011 menyatakan: “Pada saat mulai berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini, Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1993, Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1999, dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil dinyatakan tidak berlaku.”

144. Apakah dimungkinkan komulasi gugatan terhadap beberapa Keputusan (pejabat) Tata Usaha Negara (disingkat KTUN) yang saling berkaitan?
Jawab Pleno: Komulasi (penggabungan) gugatan terhadap beberapa KTUN dapat dilakukan, apabila beberapa KTUN tersebut karakter (sifat) hukumnya saling berkaitan erat satu sama lain (innerlijke samenhang).

145. Apakah dimungkinkan komulasi gugatan dengan objek sengketa berupa KTUN vide pasal 1 butir 9 jo pasal 53 dengan KTUN vide Pasal 3 Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN)?
Jawab Pleno: Penggabungan gugatan semacam itu tidak dibenarkan karena karakter hukum dari KTUN yang digugat berbeda. Karakter hukum suatu KTUN vide pasal 1 butir 9 berbentuk penetapan tertulis, sedangkan karakter hukum suatu KTUN fiktif negative vide pasal 3 ditandai oleh tidak ada bentuk penetapan tertulis yang dikeluarkan Tergugat. Yang ada adalah sikap diam pejabat yang tidak menjawab permohonan Penggugat. Sehingga keduanya tidak dapat digabungkan dalam satu gugatan.

146. Bagaimana cara mengadili gugatan terhadap himpunan KTUN yang merupakan bundel beschikking (keputusan pejabat tata usaha negara), apakah seluruh KTUN dalam bundel beschikking harus dibatalkan ataukah cukup terhadap KTUN yang menyangkut kepentingan Penggugat saja yang dibatalkan?
Jawab Pleno:  Gugatan terhadap bundel beschikking pengujiannya hanya dilakukan terhadap KTUN dalam bundel beschikking yang dimohonkan untuk dibatalkan atau dinyatakan tidak sah yang berkaitan dengan kepentingan Penggugat. Dalam hal ini yang diuji keabsahannya hanya yang berkaitan dengan kepentingan Penggugat atau yang dimohonkan untuk dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh Penggugat. Contoh A menggugat KTUN yang berbentuk bundel beschikking dimana A namanya ada dalam salah satu KTUN yang berbentuk bundel beschikking tersebut bersama-sama dengan B, C, dan D. Akan tetapi B, C, dan D tidak ikut menggugat. Dalam hal ini yang dibatalkan oleh hakim hanya terhadap KTUN yang menyangkut A (yang digugat A). Apabila keseluruhan KTUN dalam bundel beschikking yang dibatalkan, maka hakim telah bertindak secara ultra petita dalam putusannya, hal ini dapat merugikan kepentingan B, C, dan D yang tidak ikut menggugat. Hal yang demikian tidak terkait dengan asas erga omnes, karena KTUN-KTUN lainnya dalam bundel beschikking tersebut (ic. Atas nama B, C, dan D) yang tidak dipersoalkan (digugat) bukan derivate dari KTUN yang dibatalkan) Berbeda halnya dengan KTUN yang menyangkut sebidang tanah, ternyata sebagian adalah hak Penggugat maka dalam amar putusan harus membatalkan dan mencabut KTUN sengketa serta mewajibkan Tergugat menerbitkan KTUN baru sebagai penggantinya dengan mengeluarkan sebagaian tanah yang menjadi hak Penggugat.
Note Penyunting: singkat kata, kasuistis. Tergantung konteks permasalahan dan kondisi situasionalnya. Itulah sebabnya keadilan bukan ditentukan oleh teks pasal yang kaku, namun secara bijak melihat kondisi dan situasinya, serta posisi para pihak, apakah terpojokkan oleh ketentuan yang kaku ataukah tidaknya.

147. Dalam hal gugatan di PTUN, Penggugat tidak mempunyai kepentingan untuk mengajukan gugatan atau gugatan telah lewat waktu 90 (sembilan puluh) hari, apakah amar putusan dinyatakan “NO” atau gugatan ditolak?
Jawab Pleno: Dalam perkara perdata apabila gugatan dinyatakan “NO”, berakibat Penggugat masih dapat mengajukan gugatan baru. Dalam perkara TUN, tidak selalu berakibat demikian. Dalam hal tenggang waktu pengajuan gugatan telah lewat atau jika Penggugat nyata-nyata tidak mempunyai kepentingan untuk menggugat, maka berakibat seterusnya bagi Penggugat tidak lagi mempunyai hak untuk mengajukan gugatan baru. Atas dasar itu terhadap perkara TUN yang demikian itu, gugatannya dinyatakan ditolak.  Meskipun dalam proses dismissal menurut ketentuan pasal 62 ayat (1) huruf e Undang-Undang PERATUN dinyatakan : dalam hal gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya Ketua PTUN berwenang memutuskan gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak mendasar, namun jika gugatan telah lewat waktu tersebut ternyata lolos dalam proses dismissal dan terbukti nyata-nyata melewati tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari menurut ketentuan undang-undang, maka gugatan harus dinyatakan ditolak.
Note Penyunting: Yurisprudensi secara halus melunakkan batasan masa berlaku mengajukan sengketa ke PTUN, lewat PUTUSAN NO. 41/K/TUN/1994 TANGGAL : 10 NOVEMBER 2010: “Bahwa tenggang waktu pengajuan gugatan bagi pihak ketiga yang tidak dituju langsung dari Surat Keputusan Tata Usaha Negara, tenggang waktu tersebut sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 dihitung secara kasuistik sejak pihak ketiga merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan sudah mengetahui adanya keputusan Tata Usaha Negara tersebut.”

148. Apakah berkas permohonan PK boleh dikirim ke MA tanpa menunggu Pemohon PK yang lain (dhi. Pihak-pihak berperkara lebih dari satu, tetapi masih satu Pemohon yang mengajukan PK dan berkas PK-nya sudah lengkap di pengadilan pengaju).
Jawab Pleno: Berkas dikirim ke MA sesuai prosedur yang telah ditentukan dalam Undang-Undang MA, dengan catatan pihak-pihak yang tidak memohon PK berkualifikasi sebagai turut Pemohon PK.
Note Penyunting: hal demikian memang dilematis. Untuk perkara pidana, tidak dibatasi PK diatas PK terhadap PK yang mem-PK ber-PK, sesuai putusan MK yang membalkan larangan PK untuk kedua kalinya dalam perkara pidana. Namun, dalam perkara perdata maupun sengketa tata usaha negara, menjadi pernyataan besar, bila dalam gugatan terdapat, katakan, sepuluh pihak, maka jika pihak kesatu mengajukan PK, sementara kesembilan pihak lainnya belum mengajukan PK karena belum menemukan bukti baru, lantas kemudian PK diputus, maka apakah artinya menutup hak kesempilan pihak lainnya untuk mengajukan PK dikemudian hari? Jika MA harus menunggu, menunggu sampai kapan? Bukti baru bisa ditemukan bisa tidak. Justice delay is justice denied, begitu kata para sarjana hukum senior.

149. Seandainya berkas tersebut dikirim ke MA tanpa menunggu Pemohon yang lain dan diputus oleh MA kemudian ada permohonan PK dari Pemohon yang lain, bagaimana penyelesaiannya, termasuk mengenai register maupun biaya perkaranya?
Jawab Pleno: Jika terdapat permohonan PK dari Pemohon yang lain, dan permohonan PK yang pertama telah diputus, maka permohonan PK yang lain tersebut diberi nomor register berbeda. Kecuali apabila permohonan PK pertama belum diputus maka nomor register permohonan PK tersebut dijadikan satu.
Note Penyunting: sungguh gawat, Mahkamah Agung telah membuat statement secara tersirat bahwa dalam perkara perdata sekalipun boleh dilakukan PK terhadap PK dengan alasan pihak lain dalam perkara tersebut terlambat menemukan bukti baru !!!...

Permasalahan-permasalahan lain yang lalai untuk dipecahkan oleh Mahkamah Agung:
150.  Terdapat berbagai isu utama yang semestinya diangkat dan dicarikan solusi atau terobosan oleh MA, meski lalai untuk dibahas, diantaranya yakni:
Ø  bagaimana menyusun peraturan bagi lingkungan peradilan umum agar juga dapat menerapkan sistem dismissal seperti halnya dalam PTUN, dimana filterisasi dapat membuat sistem peradilan menjadi efesien mengingat begitu jamaknya materi gugatan yang sumir dan “asal” gugat demi mengulur waktu ataupun demi tujuan tidak beritikad baik lainnya;
Ø  Kedua, acapkali terjadi gugatan ulang terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), namun sistem peradilan dalam hukum acara perdata Indonesia masih tidak memungkinkan putusan sela terhadap gugatan yang nebis in idem (putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan kembali ke muka persidangan untuk dipersengketakan ulang) sehingga dapat seketika diselesaikan dalam putusan sela (putusan provisi);
Ø  Ketiga, kriteria bukti baru (novum) untuk mengajukan PK hanya dibatasi 180 hari tanpa penjelasan yang memadai. Ambil contoh, bukti baru ditemukan saat perkara memasuki tingkat kasasi yang tidak dapat memeriksa alat bukti, dimana putusan kasasi dapat memakan waktu bertahun-tahun lamanya sebelum diperiksa dan diputus, lantas bukti baru apakah tidak lagi menjadi bukti baru yang mana akan ditolak ketika digunakan sebagai dasar pengajuan PK?
Ø  Kosep contempt of court telah diterapkan di negara maju seperti AS beberapa puluh tahun lampau, namun kita masih mendapati salah satu pihak masih mencoba mempermainkan pihak lain dengan cara mengulur-ngulur waktu, menyatakan perbaikan gugatan belum siap, dsb, yang tujuan utamanya hanya untuk mempermainkan—di AS tindakan demikian dapat menguncap sanksi keras dari hakim karena dianggap menghina pengadilan. Di Indonesia, masih jamak terjadi gugat-cabut, gugat-cabut, gugat-cabut tanpa izin dari tergugatnya meski telah memasuki tahap pembuktian. Penulis pribadi pernah mengalami gugat-cabut untuk ketiga kalinya selama 2 tahun untuk subjek dan objek perkara yang sama, dipermainkan karena lembaga hukum acara Indonesia sarat “lubang” untuk disalahgunakan.
Ø  Di AS, dikenal lembaga hukum bernama sub poena, dimana ketika pihak lawan dalam sengketa perdata maupun pidana tidak bersedia memberikan bukti kepada pihak lawannya, maka dapat dimintakan kepada hakim agar diberkan surat perintah agar pihak tersebut patuh untuk menyerahkan bukti-bukti yang diperlukan guna pembuktian perkara tersebut. Hukum acara Indonesia sudah sangat tertinggal jauh.
151. Jadwal waktu sidang tidak pasti, sehingga memungkinkan salah satu pihak, entah tergugat ataupun penggugat yang bermain lurus, terus menunggu sidang dimulai, dari pagi hingga sore. Biasanya salah satu pihak yang beritikad tidak baik akan beralasan mereka sibuk, seolah pekerjaan pihak lawannya hanya untuk menunggu kehadiran dirinya yang sibuk. Namun yang paling tidak adil adalah ketentuan HiR yang menyatakan bahwa bila penggugat tak hadir, maka gugatan gugur dan penggugat kembali boleh menggugat. Sementara bila tergugat tak hadir untuk ketiga kalinya, maka gugatan berjalan terus hingga putusan, TANPA PROSES PEMBUKTIAN. Di lapangan, banyak terjadi, pihak penggugat yang sama sekali tak ada hak untuk menggugat, justru hadir sesuka hati ia, dan pulang pun sesuka hatinya. Praktik seperti demikian tentunya sangat tidak adil dan sarat nuansa mempermainkan. Praktik demikian tidak boleh terus dibiarkan berlangsung tanpa solusi seolah dibiarkan untuk menjadi “kewajaran” yang membusukkan.
152. Dalam suatu kasus pemidanaan terhadap pelaku penggelapan, dijatuhi hukuman penjara plus denda dengan hukuman pengganti berupa kurungan. Pertanyaannya, apakah terpidana pelaku penggelapan dana perusahaan tempatnya bekerja tersebut dapat membayar denda guna menghindari hukuman pengganti, dimana dana untuk membayar denda tersebut adalah bersumber dari dana hasil penggelapannya? Hingga kini celah hukum ini belum ada yang mengisinya, selama puluhan tahun dibiarkan berlangsung bagaikan hutan rimba. Itulah wujud pembengkalaian pemerintah terhadap warga negaranya sendiri. Pantaslah bila tidak ada invenstor yang hendak menanam usahanya di Indonesia.
153. Modus untuk mengakali SEMA No.2 Tahun 2014 tentang jangka waktu maksimum putusan Pengadilan Tinggi, diakali oleh pihak lawan dengan membuat panitera muda mem-peti-es-kan berkas perkara dalam lemari arsip selama bertahun-tahun tanpa dikirim ke PT untuk segera diputus.

EPILOG: Penulis, yang telah melihat berbagai fenomena dan praktik hukum Indonesia, melihat bahwa suatu surat edaran dapat menjadi pedang bermata dua disamping potensi sebagai bumerang. Di satu waktu, bisa saja suatu surat edaran disimpangi, dalam arti tidak dilaksanakan tanpa adanya suatu saksi mengikat. Di waktu lain, dapat saja surat edaran tersebut diberlakukan secara kuat dan keras, sebagai dalih para aparaturnya bahwa mereka menegakkan ketentuan hukum yang tersua dalam surat edaran.
Yang terjadi sesungguhnya, mereka, para aparatur pengadilan, acapkali bermain di dalam sifat elastis ini. Bila mereka hendak mencari zona aman, mereka berlindung di balik dalih adanya surat edaran—sebagai suatu regulasi otonom. Namun ketika ada unsur politis bermain di dalamnya, maka ketentuan itu dapat dilonggarkan dengan sesuka hatinya.
Dapat juga surat edaran menjadi bahan/alasan untuk memeras, dengan alasan adanya ketentuan dalam surat edaran, maka pihak yang berkepentingan akan merasa terpanggil untuk melakukan pendekatan dengan pihak oknum dengan suatu sikap melas meminta tolong, dan oknum tersebut akan menjungkirbalikkan logika psikologi dengan tampil sebagai “penolong / penyelamat” yang dapat membantu dengan menyimpangi surat edaran tersebut.
Sejak pertama kali menyentuh dunia hukum, penulis secara pribadi selalu dengan tegas menyatakan, bahwa semua kaidah hukum harus memiliki sanksi bila tidak diterapkan, dan harus berupa sanksi yang jelas dan keras, agar tercipta kepastian hukum dan ketertiban hukum. Bila ketentuan mengenai sanksi atas ketentuan yang dilanggar tidak diatur, maka hukum preseden harus berani mengambil perannya. Sayangnya, hingga kini pemikiran penulis masih menjadi utopia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.