Hak Pemenang Lelang Eksekusi Hak Tanggungan untuk Seketika Mengajukan Eksekusi Pengosongan Tanpa Harus Menunggu Diputusnya Gugatan Perdata terhadap atau dari Debitor Pemberi Hak Tanggungan

LEGAL OPINION
Question: Saya adalah pemenang lelang atas objek yang dilakukan lelang eksekusi (parate eksekusi) hak tanggungan di kantor lelang negara beberapa saat yang lalu. Objek lelang yang saya menangkan, terletak di Jakarta Selatan, sehingga saya mengajukan permohonan ekskeusi pengosongan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun karena saat ini pihak debitor mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur terhadap kreditor pemegang hak tanggungan (yang kantornya berdomisili di Jaktim), dan kami pun turut digugat sebagai pemenang lelang, pejabat pada PN Jakarta Selatan menunda eksekusi pengosongan dengan alasan menunggu putusan PN Jakarta Timur terhadap gugatan debitor tersebut. Pertanyaan kami, apakah kami dapat protes terhadap pejabat PN Jakarta Selatan tersebut dan meminta untuk tetap melaksanakan eksekusi pengosongan?
Answer: Untuk mengajukan eksekusi pengosongan, pemenang lelang eksekusi hak tanggungan cukup berpegang pada gross akta kutipan risalah lelang, tanpa harus mengajukan gugatan pengosongan, juga tanpa harus menunggu diputuskannya gugatan debitor oleh pengadilan, karena gross akta risalah lelang memuat irah-irah yang memiliki kekuatan hukum seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
EXPLANATION:
SEMA Nomor 04 Tahun 2014 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, menyatakan: “Terhadap pelelangan hak tanggungan oleh kreditur sendiri melalui kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkan obyek lelang, eksekusi pengosongan dapat langsung diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan.”
Artinya, untuk mengajukan eksekusi pengosongan, pemenang lelang tidak perlu mengajukan gugatan perdata kepada penghuni objek lelang, namun langsung meminta eksekusi pengosongan pada pengadilan negeri setempat. Pertanyaannya, bagaimana jika justru pihak debitor/pemberi hak tanggungan yang mengajukan gugatan terhadap pemenang lelang dan kreditor pemegang hak tanggungan selaku pemohon lelang eksekusi, apakah dapat dibenarkan PN Jakarta Selatan menunda eksekusi pengosongan dengan alasan debitor/pemberi hak tanggungan sedang melakukan gugatan di PN Jakarta Timur terhadap kreditornya dan pemenang lelang?
JAWABNYA: Sekalipun kreditor dinyatakan bersalah, risalah lelang tidak dapat dibatalkan. Sehingga tidak ada alasan bagi PN Jakarta Selatan untuk menunda eksekusi pengosongan.
Kesimpulan tersebut dapat ditarik dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1068 K/Pdt/2008 Tanggal 21 Januari 2009, dimana permasalahan utama perkara ini adalah perlindungan hukum terhadap pembeli lelang yang membeli sebidang tanah melalui proses lelang eksekusi. Beberapa tahun setelah lelang tersebut dilakukan, putusan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan lelang dinyatakan oleh pengadilan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan putusan ini, penggugat pada tingkat pertama meminta pembatalan lelang eksekusi yang sudah dilaksanakan dengan sempurna. Pengadilan Tingkat Pertama menyatakan gugatan tersebut “tidak dapat diterima” karena nebis in idem, karena (apabila diterima) akan mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum dan kerancuan terhadap status hukum kepemilikan obyek sengketa. Putusan teresbut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tingkat Banding, namun kemudian dikoreksi kembali oleh Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa lelang yang telah dilaksanakan tidak dapat dibatalkan dan hak pembeli lelang harus dilindungi.
Perkara kasasi di Mahkamah Agung RI Nomor 1068 K/Pdt/2008 tersebut diputuskan oleh Hakim Agung, dengan kesimpulan bahwa:
-        pembatalan suatu lelang yang telah dilakukan berdasarkan adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dapat dibatalkan;
-        pembeli lelang terhadap obyek sengketa berdasarkan Berita Acara Lelang dan Risalah Lelang yang didasarkan atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah pembeli lelang yang beritikad baik dan oleh karena itu harus dilindungi;
-        apabila dikemudian hari ada putusan yang bertentangan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan menyatakan putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut tidak mengikat, maka putusan itu tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk membatalkan lelang, yang dapat dilakukan adalah menuntut ganti rugi atas obyek sengketa dari Pemohon lelang.
(Putusan ini bersumber dari Laporan Tahunan 2010 Mahkamah Agung, Jakarta, Februari 2011, serta bersumber dari Rakernas 2011 Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia, berjudul KAIDAH HUKUM Kasus-Kasus Menarik Perhatian, Jakarta, 18-22 September 2011.)  
Adapun yang menjadi pertimbangan hukum Hakim Agung dalam perkara tersebut, ialah sebagai berikut:
- Bahwa lelang yang telah dilakukan berdasarkan adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dibatalkan;
- Bahwa pembeli lelang yang beritikad baik oleh karena itu harus dilindungi, karena lelang didasarkan pada putusan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga lelang tersebut adalah benar;
- Bahwa kalau kemudian ada putusan yang bertentangan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, dan menyatakan putusan berkekuatan hukum tetap tidak mengikat, maka tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk membatalkan lelang. Yang dapat dilakukan yang bersangkutan adalah menuntut ganti rugi atas obyek sengketa dari Pemohon lelang;
MA menegaskan, perlu adanya perlindungan hukum terhadap pembeli lelang yang beritikad baik. Bila dikemudian hari terjadi pelanggaran hak pemegang alas hak yang sah, pada prinsipnya telah ada mekanisme perlawanan eksekusi yang diatur dalam Pasal 195 HIR/206 RBg pada saat eksekusi dilakukan. Namun, apabila hal itu diketahui belakangan, yaitu ketika proses eksekusi telah dilaksanakan dengan sempurna, maka menurut Mahkamah Agung alat pemulihan haknya adalah mekanisme gugatan ganti rugi terhadap pemohon lelang, bukan terhadap pembeli lelang tersebut.

Disamping itu, irah-irah dalam Sertifikat Hak tanggungan telah memiliki kekuatan eksekutorial dan kekuatan hukum tetap. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU HT) mengatur secara tegas:
(1) Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
(3) Sertipikat Hak Tanggunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekeuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
Penjelasan Pasal 14 Ayat (2) dan ayat (3) UU HT: “Irah-irah yang dicantumkan pada sertipikat Hak Tanggungan dan dalam ketentuan pada ayat ini, dimaksudkan untuk mene-gaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertipikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitor cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata.”
Begitupula Penjelasan Umum Butir Ke-9 UU HT menjelaskan: “Sehubungan dengan itu pada sertipikat Hak Tanggungan, yang ber-fungsi sebagai surat-tanda bukti adalah Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.