Permohonan Kasasi, Alasan Dibalik Kasasi, Pertimbangan Hukum Hakim Agung, Penafsiran dan Kontradiksinya

LEGAL OPINION
Question: Apakah yang menjadi dasar bagi kami jika hendak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA)? Apakah ada perbedaan konsekuensi yuridis atas putusan MA yang menyatakan “permohonan kasasi ditolak” dengan putusan MA yang menyatakan “Membatalkan putusan judex factie dan mengambil alih amar putusan: menyatakan gugatan tidak dapat diterima / niet ontvankelijk verklaard”?
Answer: Judex factie adalah julukan bagi lembaga Pengadilan Negeri / TUN / Agama / Militer / Niaga / Hubungan Industrial dan Pengadilan Tinggi, karena semata sifatnya yang memeriksa kualitas dan kuantitas alat pembuktian (berasal dari akar kata “fact” atau “fakta”). Sementara kasasi, yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung, berpijak pada landasan penerapan hukum (secara teoritis yuridis), oleh sebab itu dijuluki judex iure / judex jure. Mayoritas putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi (kecuali upaya hukum luar biasa, Peninjauan Kembali, yang sifatnya menyerupai judex factie), bersifat legalistis-formil dalam arti seketika menyatakan permohonan kasasi ditolak atau tidak dapat diterima dengan alasan memori kasasi pihak pemohon mencoba menilai pembuktian yang dipersiksa dalam tingkat judex factie. Pertanyaannya, dapatkah pemeriksaan penerapan hukum dilepaskan dari interpretasi atas objek bukti yang menjadi causa prima? Dalam silogisme, aturan hukum adalah premis mayor, sementara fakta adalah premis minor, dan putusan menjadi silogisme konklusinya. Oleh sebab itu, beberapa putusan MA sebenarnya telah mencoba menerobos kekakuan itu, dengan juga menilai alat bukti yang lalai dipertimbangkan oleh judex factie. Jika putusan MA menyatakan “menolak permohonan kasasi”, maka Anda tak akan dapat mengajukan gugatan ulang karena akan dinyatakan nebis in idem. Sementara jika putusan MA menyatakan “mengambil alih amar putusan: menyatakan gugatan tidak dapat diterima”, konsekuensinya si penggugat dapat kembali mengajukan gugatan ulang mulai dari judex factie kembali tanpa resiko dinyatakan nebis in idem. Biasanya hal yang disinggung terakhir tersebut ditempuh MA ketika berkas perkara dinilai kurang patut untuk diputus karena adanya beberapa faktor yang membuat bias duduk perkara, sehingga adalah lebih baik gugatan dinyatakan "tidak dapat diterima" sehingga para pihak dapat kembali memulai gugatan awal pada judex factie.
EXPLANATION:
Dari pengalaman kami mayoritas putusan MA dalam kasasi menyatakan sebagai berikut: “Alasan kasasi tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009.”
Terdengar sumir, namun mayoritas putusan MA berbunyi demikian, sekeliru apapun judex factie telah melakukan kekeliruan dan kelalaian menilai kualitas dan kuantitas suatu alat bukti yang diajukan secara sah di hadapan pengadilan. Namun, terdapat beberapa putusan MA, meski jumlahnya terbatas, memiliki amar putusan yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung: “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan .”
Perhatikan point (b) dan point (c) tersebut diatas, apakah mungkin memisahkan antara penerapan hukum maupun syarat yang diwajibkan regulasi peradilan dengan alat bukti? Alat bukti dan penilaian atau penafsiran terhadapnya tidaklah mungkin dipisahkan dari penerapan hukum dan ketepatan dalam menjatuhkan suatu kesimpulan dan pertimbangan hukum. Karena pertimbangan hukum tidak lepas dari pembuktian, maka dapatlah secara halus/implisit kita katakan bahwa Mahkamah Agung berwenang memeriksa kualitas pembuktian yang telah diajukan dalam tingkat judex factie, namun tidak dapat mengajukan bukti baru pada tingkatan kasasi.
Bandingkan dengan amar putusan Mahkamah Agung berikut ini:
-       Putusan Mahkamah Agung RI No.492 K/SIP/1970 tanggal 16 Desember 1970: ”Putusan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan, karena pertimbangannya kurang cukup (onvoldoende geotiveerd), karena hanya mempertimbangkan soal mengesampingkan keberatan yang diajukan dalam memori banding tanpa memeriksa perkata itu kembali, baik mengenai faktanya maupun mengenai soal penerapan hukumnya, terus menguatkan putusan pengadilan negeri begitu saja. Pertimbangan dalam putusan Pengadilan Negeri, yang hanya mempertimbangkan soal tidak benarnya bantahan dari pihak Tergugat tanpa mempertimbangkan fakta apa dan dalil mana yang telah dianggap terbukti, lalu mengabulkan begitu saja seluruh gugatan tanpa suatu dasar pertimbangan, adalah kurang lengkap dan karenanya putusan Pengadilan Negeri pun harus dibatalkan.”
-       Putusan Mahkamah Agung RI  665K/SIP/1973 tanggal 28 November 1973: ”Satu surat bukti saja, tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain, tidak dapat diterima dengan pembuktian.”
-       Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.991 K/PID/2001 tertanggal 13 Desember 2001: ”Judex Factie telah salah menerapkan Hukum, terutama Hukum Pembuktian yaitu hanya memperhatikan keterangan seorang saksi, sementara hak-hak saksi lainnya diabaikan sekalipun semua saksi disumpah menurut agamanya masing-masing (unus testis null us testis).” ß Perhatikan, saksi adalah salah satu alat bukti dalam hukum acara, baik pidana maupun perdata.        
  
Ambil contoh sederhana yurisprudensi berikut: Putusan Mahkamah Agung RI No. 546 K/Pdt/1984 tanggal 31 Agustus 1985 Jo. 184 K/AG/1996 tanggal 27 Mei 1998: “Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena Penggugat tidak menggugat semua ahli waris almarhum.” Pertanyaannya, bagaimana mungkin Hakim Agung dapat menyatakan berapa jumlah ahli waris yang semestinya dijadikan pihak dalam gugatan jika tidak memeriksa alat bukti seperti kartu keluarga, dsb?
Perhatikan putusan berikut: Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 438 K/Pdt/1995 tanggal 30 September 1996 yang isinya adalah sebagai berikut: ”Dalam suatu gugatan apabila terbukti bahwa Penggugat yang wanprestasi maka gugatan Penggugat sepanjang mengenai wanprestasinya pihak lawan harus ditolak.” Bagaimana mungkin Hakim Agung dalam tingkat kasasi menyatakan suatu gugatan terbukti atau tidak terbukti dalil-dalilnya? “TERBUKTI” berakar kata dari frasa “BUKTI”, yang artinya adalah suatu “alat bukti” (fact atau fakta) yang dikenal dalam hukum acara perdata maupun pidana.
Maka dari itu, mustahil seorang Hakim Agung dalam tingkat kasasi menyatakan dirinya bersih dari tindakan memeriksa alat bukti dalam berkas perkara yang dihadapkan kepadanya untuk diputus. Perkara kasasi, tidak murni bebas dari alat bukti secara 100%. Untuk sampai pada suatu amar putusan, baik menerima, menolak, atau menyatakan tidak dapat diterimanya suatu gugatan/kasasi, tidak akan terlepas dari faktor alat bukti dan fakta.
Perhatikan contoh putusan berikut ini: Putusan Mahkamah Agung RI No.5096/K/PDT/1998 tertanggal 28 April 2000: “Pemberian/pembayaran yang dilakukan dengan bilyet giro kepada seseorang dapat disamakan dengan pengakuan hutang, dengan demikian terbukti si Pemberi mengakui mempunyai hutang.” Apakah dapat Anda katakan bahwa putusan dalam tingkat kasasi ini, bebas sepenuhnya/steril dari sifat penilaian atas kualitas/penghargaan terhadap pembuktian?
Adalah absurb, jika memutus (sebuah produk konklusi silogisme) jika tidak berpijak pada fakta materiel apapun yang terjadi. Sebagaimana kita ketahui, fakta materiel ialah alat bukti itu sendiri.
Jika sebuah putusan tidak memerhatikan alat bukti, maka dapat terjadi chaos dalam dunia hukum. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 476 K/Sip/1974, tanggal 14 November 1974: “Sita jaminan tidak dapat dilakukan terhadap barang milik pihak ketiga.” Namun, jika Hakim Agung tidak melihat bukti yang diajukan pihak ketiga, bagaimana mungkin ia dapat menyatakan bahwa putusan judex factie telah keliru dengan menjatuhkan sita jaminan terhadap barang milik pihak ketiga?
Perhatikan pula contoh berikut. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1954/K/PDT/1987 tanggal 31 Agustus 1992: “Gugatan yang berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum harus dibuktikan oleh Judex Factie adanya unsur kesalahan dan kerugian… Karena tidak ada perincian besarnya kerugian yang diderita maka Gugatan ditolak.” Hakim Agung telah menyentuh ranah pembuktian dan kualitas / penghargaan terhadap intrinsik alat bukti.
Penulis berikan contoh penutup, meski bukan yang paling akhir, yakni Putusan Mahkamah Agung RI No. 577 K/SIP/1969 tanggal 27 Mei 1970 KUHPerdata: “Seorang penarik cek, dalam keadaan bagaimana pun juga, tetap berkewajiban agar bagi cek yang ditariknya tersedia dana yang cukup.” Bagaimana Hakim Agung dapat mengetahui suatu cek isinya kosong atau tidak jika bukan memeriksanya berdasarkan proses pembuktian di persidangan?

Kesimpulan: Masih terdapat putusan kasasi yang cukup arif dengan menyatakan bahwa judex factie lalai untuk memeriksa dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian alat bukti-alat bukti di persidangan sehingga putusan judex factie dianulir. Pandangan Hakim Agung dengan mazhab moderat ini bersifat progresif, karena mencoba menembus sekat yang dalam hal tertentu dapat bersifat merusak jika bersikap legalistis formil. Maka asas kemanfaatan sebagai jalan tengahnya, tentulah hakim agung dalam pemeriksaan tingkat kasasi dapat menilai kembali, apakah terjadi kekeliruan penerapan hukum oleh hakim PN maupun PT dalam menilai bukti-bukti yang dihimpun dalam pemeriksaan tingkat PN maupun PT. Dari pengalaman SHIETRA & PARTNERS, putusan MA yang bersifat progresif demikian berjumlah minoritas ketimbang mayoritas yang bersifat legalistis formil.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.