Kaburnya Penggugat dengan Meninggalkan Proses Persidangan yang telah Melalui Proses Jawab-Menjawab, hingga Uang Panjar Perkara Habis, diartikan Sama seperti Pencabutan Gugatan secara Sepihak yang Melanggar Kaidah Hukum Acara Perdata

LEGAL OPINION
KABURNYA PENGGUGAT DENGAN MENINGGALKAN PROSES PERSIDANGAN YANG TELAH MELALUI PROSES JAWAB-MENJAWAB
Question: Kami mendapat gugatan dari suatu pihak, yang mana setelah terjadinya proses persidangan dimulai dari pembacaan surat gugatan, penyerahan surat jawaban, replik, duplik, dsb, ternyata Penggugat kemudian melarikan diri, hingga proses persidangan tidak selesai hingga putusan hakim. Perkara perdata ini menggantung demikian lama. Setahun kemudian sejak kaburnya pihak penggugat (yang saat itu diwakili seorang pengacara sebagai kuasa hukumnya), kemudian penggugat yang sama kembali mengajukan gugatan kepada kami dengan pokok perkara yang identik. Dimana kepastian hukum bagi masyarakat bila penyalahgunaan hukum demikian dapat digunakan seenaknya oleh suatu pihak untuk menggugat dan mempermainkan tergugat?
Answer: Tidak hadirnya Penggugat di tengah proses persidangan yang telah memasuki tahap jawab-menjawab, atau karena habisnya uang panjar perkara, disamakan dengan pencabutan gugatan yang tidak mendapat persetujuan dari pihak tergugat. Akibat yuridis tindakan penggugat yang tidak menghormati lembaga peradilan demikian, penggguat tidak dapat lagi mengajukan gugatan atas pokok perkara yang sama, sehingga bila gugatan ulang tersebut kembali diajukan, hakim dapat dimintakan oleh pihak tergugat agar gugatan dinyatakan Nebis in Idem. Dapat pula pihak tergugat meminta hakim akan menyatakan pihak penggugat sebagai pihak yang beritikad tidak baik, serta telah melakukan penghinaan terhadap peradilan, contempt of court.
EXPLANATION:
Dasar hukum pencabutan gugatan diatur dalam Pasal 271 dan 272 Reglement of de Rechtsvordering (Rv)—meski beberapa pihak menyatakan bahwa Rv telah tidak berlaku lagi, namun tampaknya Mahkamah Agung selaku lembaga tertinggi yudisial memandang kedua ketentuan dalam Rv tersebut masih relevan terkait pencabutan gugatan. Karena bila tidak, maka dapat dikatakan terjadi “kekosongan hukum” atas ketentuan hukum yang mengatur mengenai pencabutan gugatan di Indonesia. Maka dari itu, ketentuan Rv mengenai pencabutan gugatan dihidupkan kembali melalui lembaga “hukum kebiasaan” (yurisprudensi atau preseden).
Pasal 271 Rv mengatur, bahwa pihak Penggugat dapat mencabut gugatannya, asal hal itu dilakukan sebelum diberikan jawaban. Setelah ada jawaban, maka pencabutan gugatan hanya dapat terjadi dengan persetujuan pihak lawan.
Sementara itu Pasal 272 Rv mengatur, Pencabutan gugatan membawa akibat demi hukum, berupa:
(a) Semua pada kedua belah pihak dikembalikan pada keadaan yang sama seperti sebelum diajukan gugatan;
(b) Pihak yang mencabut gugatannya berkewajiban membayar biaya perkara yang harus dilakukan berdasarkan surat perintah ketua yang ditulis menurut penaksiran besarnya biaya.
Apabila perkara telah disidangkan, dalam konteks arti pihak tergugat telah menyampaikan surat jawaban, baik lisan maupun tertulis, di hadapan persidangan, maka pencabutan gugatan wajib dilakukan oleh penggugat di muka persidangan yang dihadiri oleh tergugat. Tidak dibenarkan pencabutan gugatan, dalam konteks ini, dalam persidangan secara ex-parte (tanpa dihadiri tergugat). Kedua, pencabutan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari tergugat yang telah melakukan proses jawab-menjawab terhadap gugatan.
Proses selanjutnya, majelis hakim akan menanyakan kepada tergugat tentang kehendak penggugat untuk mencabut gugatannya. Dalam hal ini, tergugat memiliki hak untuk menolak permohonan pencabutan gugatan yang diajukan penggugat, sehingga pengadilan wajib untuk menolak pencabutan gugatan tersebut.
Namun bila tergugat menyetujui pencabutan gugatan, maka persetujuan tersebut akan dicatat dalam berita acara persidangan serta dituangkan pula diatas putusan atau penetapan, dilanjutkan dengan perintah pencoretan perkara dari register induk buku perkara atas alasan pencabutan yang disetujui tergugat.
Akibat hukum pencabutan gugatan yang belum memasuki tahap jawab-menjawab: penggugat dapat kembali mengajukan gugatan atas pokok dan subjek perkara yang sama. Namun, akibat hukum pencabutan gugatan yang TELAH memasuki tahap jawab-menjawab, memiliki konsekuensi yuridis yang signifikan, yakni:
1.     Pencabutan tersebut bersifat final mengakhiri penyelesaian sengketa perdata di pengadilan. Beberapa pihak menganalogikan pencabutan jenis ini sebagai penyelesaian perdamaian, dimana para pihak sepakat untuk mengakhiri sengketa dengan dicabutnya gugatan. Maka tidak mengherankan bila pencabutan gugatan yang mendapat persetujuan tergugat disamakan dengan putusan perdamaian (akta van dading), dimana putusan perdamaian itu sendiri bersifat final and binding, alias inkracht.
2.     Karena pencabutan gugatan yang mendapat persetujuan tergugat dianalogikan tunduk pada ketentuan Pasal 130 HIR tentang van dading, konsekuensi yuridisnya ialah: tertutup hak bagi pihak penggugat untuk mengajukan segala bentuk upaya hukum, baik banding, kasasi, maupun gugatan ulang. Disamping itu, pencabutan gugatan mengembalikan posisi para pihak pada kedudukan semula seperti belum terjadinya gugatan.
Karena pihak Penggugat “melarikan diri” ditengah jalannya pemeriksaan di persidangan, maka dapat diasumsikan pula bahwa pihak Penggugat lalai membayar biaya perkara yang dibebankan kepada pihak Penggugat.
Pasal 272 Rv mengatur, pihak yang mencabut gugatannya diwajibkan membayar biaya perkara. Karena pihak Penggugat “melarikan diri” dari persidangan, maka uang panjar dapat dipastikan habis untuk memanggil pihak Penggugat agar hadir di persidangan, sehingga deposit uang panjar tak akan lagi cukup untuk membayar biaya perkara akibat gugurnya gugatan.
Oleh karena uang panjar tidak mencukupi, maka sesuai Pasal 272 Rv, ketua pengadilan mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah kepada penggugat untuk membayar kekurangan biaya perkara, dimana surat perintah berupa penetapan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial (excecutorial kracht) yang tidak dapat diajukan perlawanan (verzet).
Dikarenakan pihak Penggugat “melarikan diri dari persidangan”, sehingga perkara menggantung tanpa kepastian hukum, berakibat tidak dapat diterapkannya Pasal 124 HIR yang memberi hak kepada penggugat untuk mengajukan kembali gugatan yang digugurkan, sebagai perkara baru dengan nomor perkara yang juga baru, dengan syarat membayar biaya perkara.
NAMUN, terhadap permohonan pencabutan gugatan yang memerlukan syarat mutlak persetujuan dari pihak tergugat, gugatan dengan pokok, objek maupun subjek perkara yang sama tidak dapat lagi diajukan dihadapan persidangan, baik di pengadilan yang memiliki yurisdiksi terhadap objek perkara maupun terhadap subjek perkara (Pasal 118 HIR).
Dalam pencabutan gugatan yang memerlukan syarat formil persetujaun dari pihak tergugat, sebenarnya terjadi konstruksi hukum berupa asas pacta sunt servanda (Pasal 1338 KUHPerdata: persetujuan/kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya—ada penawaran pencabutan dan ada kesepakatan berupa persetujuan) disamping kaidah hukum van dading yang menyatakan bahwa akta van dading memiliki kekuatan hukum tetap dan eksekutorial.
Kesimpulan: berdasarkan argumentum per analogiam, dengan “kaburnya” pihak Penggugat dalam persidangan, dapat disamakan dengan pencabutan gugatan tanpa persetujuan dari pihak tergugat. Akibat hukumnya, bila Penggugat kembali mengajukan gugatan yang sama, gugatan tersebut wajib dinyatakan nebis in idem oleh majelis hakim, karena atas suatu perkara yang telah diputuskan, tidak dapat diajukan kembali secara ulang. “Kaburnya” Penggugat, disama artikan dengan pihak Penggugat yang telah melepaskan haknya untuk menggugat tergugat atas objek sengketa tersebut.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.