Gugatan Ganti Rugi atas Pengeluaran Honorarium Advokat, Tidak Lazim namun Bukan Berarti Tanpa Solusi

LEGAL OPINION
Question: Apakah kami dapat mengajukan gugatan ganti rugi, atas biaya aktual atau nyata yang kami keluarkan selaku tergugat untuk ongkos mengewa pengacara dalam menghadapi pihak lawan yang menjadi penggugat?
Answer: Dalam tataran praktik peradilan, belum memungkinkan. Alasan yang dikemukakan pengadilan bersifat klise: “belum ada hukum acara yang menyatakan bahwa pihak lawan dalam gugatan harus menanggung biaya jasa pengacara maupun konsultan hukum”. Kembali pada konsep dasar hukum perdata, perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata). Jika para pihak sebelum terjadi sengketa telah mengikatkan diri dalam suatu kesepakatan tertulis, bahwa jika terjadi sengketa, maka pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan upaya hukum, dimana ongkos yang dikeluarkan untuk jasa hukum tersebut menjadi komponen yang dibebankan pada pihak pembuat pelanggaran sebagai “collateral damage” atas kausa prima pelanggaran tersebut. Dengan adanya kesepakatan tersebut, hakim akan melihat klausul yang telah disepakati, meski tetap dipagari oleh ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata maupun 1339 KUHPerdata. Apa parameter biaya yang dapat dituntut penggantian pada pihak lawan atas biaya jasa hukum tersebut? Kembali pada suatu sifat kepatutan. Jika Anda memilih jasa hukum yang mahal, maka itu menjadi beban Anda dari selebihnya biaya wajar untuk suatu jasa hukum. Masalahnya, hingga kini belum terdapat parameter / patokan nilai jasa hukum yang berlaku secara baku dan umum, sehingga yang disebut dengan "harga wajar" masih bersidat subjektif. Kedua, tiadanya kesepakatan dimuka berapa biaya jasa hukum yang harus ditanggung pihak lawan, mengakibatkan kesepakatan mengenai beban biaya bantuan hukum menjadi tidak memiliki kekuatan mengikat, karena tiadanya nilai spesifik biaya yang disinggung dalam kontrak.
EXPLANATION:
Yurispurdensi Mahkamah Agung RI No.635 K/Sip/1973 tanggal 4-7-1974 jo. Putusan PN Jakarta Pusat No.570/1971 G tanggal 12-10-1973 yang menyatakan bahwa honorarium advokat tidak dapat dibebankan kepada pihak lawan.
Dalam gugatan perdata antara Suciwati (istri Alm. Munir) Vs. Garuda (maskapai penerbangan yang ditumpangi aktivis Munir), Tergugat menolak tuntutan penggugat yang membebankan biaya jasa pengacara sebesar Rp 1,3 miliar kepada para tergugat. Penolakan ini didasarkan pada yurisprudensi MA No. 635 K/Sip/1973 tanggal 4 Juli 1974 tersebut yang menyatakan: Bahwa mengenai honorarium advokat tidak ada sesuatu peraturan dalam HIR yang mengharuskan seorang berperkara minta bantuan dari seorang pengacara, maka upah tersebut tidak dapat dibebankan kepada pihak lawan.
Dalam wacana terbaru yang lebih bersifat progresif, dimana KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) membuat suatu usul bahwasannya terpidana korupsi harus menanggung biaya operasional KPK selama menyidik dan mendakwa, maka hal tersebut dapat dianalogikan dengan membebankan biaya ongkos faktual/aktual/riel yang dikeluarkan, dimana hal tersebut “mau tidak mau” harus dilakukan sebagai langkah untuk menindak pihak yang melanggar.
Logika dibalik usul KPK sederhana, jika tidak korupsi, maka KPK tidak akan menghabiskan anggaran negara untuk menyidik dan menuntut. Melakukan korupsi, konsekuensinya akan ada sumber daya negara yang "tersedot" untuk upaya memulihkan hak negara yang dikorup oleh pelaku. Sama seperti bila dalam perkara perdata, bila para pihak tidak membuat pelanggaran terhadap perjanjian maupun melakukan suatu perbuatan melawan hukum, tentunya pihak yang dirugikan akan sangat direpotkan untuk melakukan suatu langkah hukum guna memulihkan haknya karena pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak dengan sukarela mau memulihkan hak pihak korban dan tidak mau memperbaiki pelanggaran kontrak yang dilakukannya.
Adalah suatu konsekuensi logis bila hal demikian membutuhkan bantuan jasa hukum profesional dalam mendampingi ataupun memberikan konsultasi sebagai penasehat hukum.
Yang disayangkan, hingga saat ini, dari berbagai putusan pengadilan yang telah SHIETRA & PARTNERS simak dan eksaminasi, belum terdapat hakim yang berani beranjak dari zona nyaman untuk menghadirkan putusan progresif.
Kenyataan di lapangan membuktikan, banyak gugatan tanpa dasar diajukan oleh mereka yang mampu membayar lawyer, sementara pihak yang digugat secara tidak patut “mau tidak mau” harus mengeluarkan biaya jasa hukum untuk membela harkat martabatnya di pengadilan. Semestinya, atas itikad tidak baik penggugat yang mengganggu ketenangan pihak tergugat, dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan melawan hukum yang bersifat konstitusional dan membebankan biaya ganti rugi ongkos jasa hukum yang telah dikeluarkan oleh pihak Tergugat ketika putusan hakim menyatakan gugatan Penggugat “tidak diterima” ataupun "ditolak".
Dalam rangka/konteks kontraktual, hal tersebut dapat dimitigasi dengan membuat suatu klausul tersendiri khusus mengenai pembebanan ganti rugi/punitive damage ataupun suatu klausul mengenai sanksi. Yakni, bila salah satu pihak melanggar kontrak, biaya hukum yang ditimbulkan menjadi beban dari pihak yang membuat pelanggaran.
Tentu dasar hukum selain Pasal 1365 KUHPerdata, juga didasarkan pada Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUHPerdata: kepatutan serta kebiasaan. Sekali lagi, hanya seorang hakim berwawasan terbuka dan realistis disamping rasional yang berani membuat putusan yang mencoba menerobos kekakuan guna mematahkan yurisprudensi yang melarang permintaan ganti-rugi atas ongkos jasa hukum yang secara nyata telah dikeluarkan (NOTE: secara patut dan wajar).

PENUTUP: Menurut J. Satrio, tuntutan ganti rugi atas pengeluaran honorarium staf hukum maupun pengacara termasuk dalam kategori ongkos dan merupakan suatu komponen kerugian yang riil. (Lihat J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1999), hlm.179)
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.