Buku Tanah yang telah Diikat Sempurna Hak Tanggungan Tidak dapat Dibebani Sita Jaminan oleh Kantor Pertanahan

LEGAL OPINION
Question: Sebagai pemegang jaminan kebendaan berupa hak tanggungan, apakah dapat dibenarkan praktik dalam pengadilan yang membebankan CB (conservatoir beslaag, sita jaminan) terhadap objek yang telah diikat sempurna dengan hak tanggungan maupun jaminan kebendaan lainnya? Hal ini kami pertanyakan, selaku kreditor pemegang jaminan kebendaan yang acapkali teramputasi ketika Kantor Pertanahan mencatat dalam buku tanah adanya CB dan menerima begitu saja berita acara CB oleh pengadilan. Hal demikian dapat menjadi celah hukum bagi debitor nakal dengan sengaja menjadikan dirinya objek gugatan sehingga pengadilan pun meletakkan CB diatas objek yang sebenarnya telah diagunkan kepada kreditor pemegang jaminan kebendaan yang sebelumnya telah diberikan debitor sebagai jaminan hutang.
Answer: Terdapat larangan secara hukum maupun oleh kaidah yurisprudensi yang menyatakan bahwa atas objek yang telah diikat sempurna dengan jaminan kebendaan, baik hak tanggungan maupun hipotek (yang diterbitkan sebelum tahun 1996), dilarang untuk dibebankan sita jaminan diatasnya. Logika hukum larangan ini: Pertama, hak tanggungan telah lebih dahulu dilekatkan, sehingga semestinya berita acara CB oleh pengadilan diartikan sebagai pemegang peringkat paling akhir dalam jaminan kebendaan alias hanya sebatas “sita persamaan”, BUKAN sita jaminan. Kedua, sertifikat hak tanggungan mengandung asas publisitas didalamnya, sehingga mengingat pihak ketiga—asas publisitas yang mengikat pihak ketiga ini telah diatur secara tegas dalam undang-undang hak tanggungan. Sehingga tindakan kantor pertanahan yang mengamputasi hak pemegang jaminan kebendaan, tidak dapat dibenarkan secara tertib administratif, maupun secara yuridis.
EXPLANATION:
Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) adalah produk hukum Kementerian Agraria/BPN itu sendiri yang mana telah diatur dalam UU HT, sehingga tidak semestinya Kantor Pertanahan penerbit SHT justru mengingkari produk hukumnya sendiri dengan mengabulkan sita jaminan yang diajukan pengadilan. Kantor pertanahan maupun Kementerian Agraria, selalu berkilah, bahwa mereka hanya “mencatat”, namun konsekuensi dari catatan CB/sita jaminan dalam buku tanah, berakibat hak pemegang jaminan kebendaan menjadi teramputasi.
Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU HT): “Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. … dengan ciri-ciri:
a. memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya;
b. selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun obyek itu berada;
c. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
d. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.”
… bila Kantor Pertanahan masih meletakkan CB diatas jaminan kebendaan (Hipotik dan/atau HT), maka tindakan Kantor Pertanahan telah melawan hukum, sebagaimana telah diatur dalam Penjelasan Pasal 13 UU HT:
Ayat (1):Salah satu asas Hak Tanggungan adalah asas publisitas. Oleh karena itu didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.”
Ayat (5):Dengan dibuatnya buku tanah Hak Tanggungan, asas publisitas terpenuhi dan Hak Tanggungan itu mengikat juga pihak ketiga.”
Sehingga dengan asas publisitas, pihak lain yang mengajukan gugatan dan meletakkan sita jaminan diatas objek HT adalah pihak yang beritikad tidak baik, dengan sengaja/lalai mengamputasi hak pemegang hak tanggungan.
Tanah yang telah diikat sempurna jaminan kebendaan (hak tanggungan dan/atau hipotik) tidak dapat diletakkan sita jaminan (SEMA No.7 Tahun 2012: “Bagi Pemegang Hak Tanggungan tidak perlu mengajukan derden verzet/perlawanan karena obyek Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan Sita Eksekusi kecuali Sita Persamaan, karena itu tidak mungkin dilakukan lelang eksekusi.”);
Dalam suatu koordinasi antara SHIETRA & PARTNERS dengan Kantor Pertanahan maupun Pejabat pada Kementerian Agraria, para pejabat pertanahan tersebut berkilah, bahwa tugas Kantor Pertanahan hanyalah “mencatat”, meskipun menimpakan Sita Jaminan CB diatas jaminan kebendaan (hak tanggungan mapun hipotik) memiliki konsekuensi logis dikorbannya hak kreditor pemegang hak tanggungan. Kantor pertanahan qq. Kementerian Agraria/BPN perlu melihat dampak dari pencatatan tersebut, disamping mengamputasi hak pemegang hak tanggungan yang telah dilindungi UU HT, menyulitkan pemenang lelang yang hendak balik-nama, sehingga dengan itu pemegang sertifikat hak tanggungan dapat menagih: dimanakah tanggung jawab Kementerian Agraria/BPN terhadap produk hukumnya berupa Sertifikat Hak Tanggungan ?!
Sekalipun CB dapat diletakkan terhadap hak atas tanah yang telah diikat sempurna hak tanggungan, fakta hukumnya tetaplah: HT terlebih dahulu telah diikat sempurna sebelum CB diletakkan, sehingga hak preferen HT tetap lebih didahulukan/diistimewakan ketimbang CB yang diletakkan belakangan, sehingga kantor pertanahan tidak semestinya menghambat hak pemegang hak tanggungan maupun pemenang lelang terkait agunan. Bila dalam terminologi hak tanggungan dikenal istilah peringkat, maka semestinya CB diletakkan sebagai peringkat yang paling belakang dari Hak tanggungan yang telah dicatat terlebih dahulu dalam buku tanah.
Terhadap barang agunan atau barang yang dijadikan jaminan utang, pada waktu yang bersamaan hanya dapat diletakkan sita penyesuaian oleh pihak ketiga. Larangan ini meliputi segala bentuk agunan, baik hipotek ataupun hak tanggungan atas tanah. Yang dapat dikabulkan dan diterapkan (selama diminta dalam gugatan) hanya sita penyesuaian atas alasan, di atas barang itu telah melekat lebih dahulu hak agunan kepada pihak lain. (Lihat: M. Yahya Harahap, S.H. Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, 2008, Sinar Grafika: Jakarta.)
Dengan demikian menurut hukum, permintaan sita jaminan maupun sita pada umumnya, hanya dapat diletakkan di atas barang:
-   Secara murni benar-benar bebas dari pembebanan dari segala bentuk penyitaan (beslag) maupun dari segala bentuk pengagunan;
-   Prinsip ini harus konsekuen ditegakkan penerapannya demi melindungi kepentingan pemegang sita atau pemegang hak agunan terdahulu.
SHT merupakan produk hukum Kementerian Agraria/BPN sendiri yang telah diberikan kekuatan irah-irah oleh UU HT. Adapun terhadap CB (sita jaminan dari pengadilan) tersebut, semestinya Kantor Pertanahan hanya mencatatnya dalam buku tanah sebagai sita persamaan atau pemegang hak tanggungan peringkat “dibawah” pemegang SHT.
Penjelasan Umum Nomor 9 UU No.4 Tahun 1996: “Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji… Sehubungan dengan itu pada sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN  BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Modus debitor nakal yang marak terjadi ialah: debitor ketika mengalami kredit macet, segera melakukan rekayasa yang dikonstruksi sedemikian rupa, sehingga timbullah seolah-olah debitor melakukan perbuatan melawan hukum terhadap pihak ketiga, kemudian diajukan gugatan oleh pihak ketiga tersebut, dimana debitor justru membenarkan gugatan pihak ketiga tersebut, sehingga pengadilan meletakkan sita jaminan pada objek yang telah dijaminkan pada kreditor pemegang hak tanggungan. Alhasil, debitor mendapatkan dana kredit yang tidak perlu ia kembalikan, dan agunan pun tidak akan pernah dapat di-parate eksekusi lewat mekanisme Pasal 6 UU HT.
Berbagai celah dan modus debitor nakal harus dihadapi oleh kreditor. Celah hukum ini diperparah oleh sikap Kementerian Agraria/BPN pusat selaku regulator maupun Kantor Pertanahan yang justru tidak bertanggung jawab atas produk hukumnya sendiri yang bernama SHT, dengan tetap meletakkan sita jaminan diatas HT pada buku tanah.
Praktik lembaga peradilan terkadang irasional. Sebut biaya yang dibebankan bagi pihak yang hendak mencabut sita jaminan, sama besar dengan biaya meletakkan sita jaminan hak atas tanah. Sementara itu roya (pencoretan) hak tanggungan hanya dibebani Kantor Pertanahan sebesar Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tidak sampai hitungan jutaan rupiah karena dapat diajukan sendiri oleh debitor atau pemenang lelang cukup berbekal surat pernyataan pencabutan (roya) hak tanggungan dari kreditor, maka catatan adanya "hak tanggungan" pada buku tanah dan sertifikat tanah pun dibersihkan dari catatan tersebut. Hanya semudah mencoret "catatan". Lantas mengapa atas biaya pencabutan sita jaminan, pengadilan membebankan biaya yang demikian tinggi pada sipil pencari keadilan?
REKOMENDASI:
Penulis telah berhasil mendorong mindset Pejabat di Kementerian Agraria / BPN agar dapat konsisten menolak berita acara sita jaminan dari pengadilan, sehingga tercipta kepastian hukum. Setelah serangkaian diskusi serta perdebatan yang alot, disepakati bahwa Kementerian Agraria akan membuat suatu surat edaran bagi berbagai kantor pertanahan agar tidak mengamputasi hak pemegang hak tanggungan, sehingga berita acara CB oleh pengadilan hanya akan ditafsirkan sebagai sita persamaan.
Namun selama menunggu surat edaran tersebut disahkan, secara kasuistis dan spesifik pihak kreditor pemegang hak tanggungan, baik perbankan, perorangan, maupun lembaga pembiayaan seperti anjak piutang maupun modal ventura, dapat berkorespondensi langsung dengan Kementerian Agraria guna meluruskan kekeliruan praktik kantor pertanahan setempat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.