Harta Bersama Tidak Selamanya Berupa Aset yang Diperoleh selama Perkawinan / Pernikahan


Question: Apakah seluruh harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, maka dengan otomatis akan dikategorikan sebagai harta bersama? Hal tesebut dirasakan kurang adil dalam praktiknya, karena harta yang dibeli saat perkawinan berlangsung bisa jadi diperoleh dari harta bawaan salah satu pihak. Hal ini berdampak dikemudian hari bila terjadi sengketa harta gono-gini maupun sengketa waris. Bisa juga perkawinan berlangsung kurang dari satu tahun, lalu salah satu pihak meninggal, maka apakah adil bila janda / duda tersebut memiliki separuh harta almarhum?
Answer: Dalam UU Perkawinan, dibedakan antara harta bawaan dan harta bersama. Seluruh harta yang telah dimiliki sebelum dilangsungkannya pernikahan secara sah dan tercatat dalam akta catatan sipil, masuk dalam kategori harta bawaan plus harta yang didapat dari hibah maupun warisan meski hibah ataupun warisan itu didapatkan saat perkawinan berlangsung. Sering terjadi, selama berlangsungnya perkawinan, salah satu pihak tidak berposisi dalam kondisi ekonomi NOL, namun telah memiliki berbagai harta bawaan yang kemudian baru di-“alih wujudkan” kedalam bentuk aset lain, semisal membeli rumah, membeli kantor, membangun usaha baru, dsb. Jadi, kriteria harta bersama, dipersempit maknanya menjadi “penghasilan” yang didapat selama berlangsungnya perkawinan, tidak termasuk didalamnya alih wujud harta menjadi aset berwujud atau tidak berwujud, maupun bunga atas dana tabungan dari uang yang telah dimiliki sebelum terjadi perkawinan, deviden saham harta bawaan, dsb.
EXPLANATION:
Berikut SHIETRA & PARTNERS sertakan putusan Mahkamah Agung yang telah ditetapkan sebagai landmark decision yuresprudensi resmi:
No. Perkara : 1200K/Pdt/2008
Jenis Perkara : Perceraian / Pembagian Harta Bersama
Kaidah Hukum: Pembuktian untuk menentukan harta bawaan/bersama dalam suatu proses perceraian perlu mempertimbangkan juga nilai-nilai kepatutan dan kewajaran.
Resume Perkara:
Perkara ini sebenarnya perkara sederhana, yaitu sengketa mengenai pembagian harta, setelah terjadinya perceraian. Dalam situasi tersebut pada prinsipnya harus diperjelas dulu mana yang termasuk harta bawaan dari masing-masing pihak, serta mana yang menjadi harta bersama yang harus dibagikan kepada kedua belah pihak. Pada kasus yang bermula dari gugatan mantan isteri (Penggugat/Termohon Kasasi), setidaknya ada dua pertanyaan mendasar, yaitu terkait barang tidak bergerak berupa beberapa aset tanah dan bangunan yang masih dikuasai mantan suami (Tergugat/ Pemohon Kasasi), serta barang bergerak berupa beberapa mobil. Pada pengadilan tingkat pertama ditetapkan bahwa sebagian besar dari barang-barang tersebut adalah harta bersama yang masih harus dibagi lagi, putusan mana dikuatkan oleh pengadilan tingkat banding. Di tingkat kasasi, Tergugat/Pemohon Kasasi mempertanyakan proses pembuktian yang mendasari penetapan harta bersama tersebut, antara lain dengan mempermasalahkan alat bukti yang hanya menggunakan fotocopy. Selain itu Tergugat/Pemohon Kasasi juga menunjukkan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa barang tidak bergerak yang dipermasalahkan telah diperolehnya sebelum perkawinan.
Majelis hakim di tingkat kasasi mempertimbangkan sesuai nilai-nilai kepatutan dan kewajaran, bahwa nominal aset barang tidak bergerak tersebut tidak sedikit sehingga, dihubungkan juga dengan sumber penghasilan mereka berdua ketika itu, tidak mungkin diperoleh dalam waktu singkat. Sementara keterangan-keterangan saksi menunjukkan bahwa harta tersebut didapat dari hibah/pemberian orang tua/keluarga yang mana tidak termasuk dalam kualifikasi harta bersama.
Majelis mengabulkan sebagian permohonan kasasi dengan putusan menyatakan aset tanah dan bangunan bukan merupakan harta bersama, namun aset berupa barang bergerak (mobil) merupakan harta bersama. Adanya ketidaksempurnaan pembuktian (hanya berupa fotocopy) telah dibantah dengan bukti-bukti yang menunjukkan tanah dan bangunan tersebut diperoleh dalam waktu singkat setelah perkawinan berlangsung, serta dengan mempertimbangkan penghasilan mereka berdua dulu, dapat disimpulkan harta benda ini tidak mungkin diperoleh sendiri.
Terkait dengan pembuktian kepemilikan barang bergerak (mobil) yang telah dijual oleh Pemohon Kasasi/Tergugat ketika proses perceraian belum berakhir, Majelis berpendapat bahwa harus dipertimbangkan pula nilai-nilai kepatutan dan kewajaran, di mana Majelis memandang wajar bahwa barang bergerak tersebut wajar diperoleh sebagai harta hasil jerih payah mereka berdua, sehingga adil ditetapkan sebagai harta bersama.
Ringkasan Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Agung:
Menimbang bahwa terhadap objek sengketa barang bergerak tersebut, meskipun hanya dibuktikan dengan foto copy surat dan tidak ditunjukkan surat aslinya di persidangan dan juga dibantah oleh Pemohon Kasasi/Tergugat sebagai harta bersama, namun patut dipertimbangkan jerih payah kewajaran selama perkawinan yang telah melahirkan 3 (tiga) orang anak yang sudah barang tentu sudah menjadi pengetahuan umum kepastian adanya jerih payah dalam suka dan duka dalam membina rumah tangga, dalam hukum pembuktian telah menjadi pengalaman umum yang tidak perlu dibuktikan lagi, maka dalam hubungan yang saling terkait dengan keterangan saksi dari kedua pihak di persidangan walaupun tidak sempurna, dan dengan mempertimbangkan nilai-nilai kepatutan dan kewajaran, maka Mahkamah Agung memandang adil bahwa objek sengketa barang-barang bergerak tersebut patut disangka sebagai hasil jerih payah yang wajar, in casu Mahkamah Agung memandang adil untuk menetapkan sebagai harta bersama Pemohon Kasasi/Tergugat dan Termohon Kasasi/Penggugat yang harus dibagi dua;
Amar Putusan
Mengadili:
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: [] tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 332/Pdt/2007/PT.DKI tanggal 11 September 2007 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 21/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Ut. tanggal12 Juni 2007; [...]
Mengadili Sendiri:
Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan sita marital yang dilaksanakan oleh: [...] adalah tidak sah dan tidak berharga serta harus diangkat;
3. Menyatakan objek sengketa berupa:
- Sebidang tanah berikut bangunan gudang yang berdiri di atasnya [...];
- Sebidang tanah berikut bangunan gudang yang berdiri di atasnya [...];
- Sebidang tanah berikut bangunan rumah yang berdiri di atasnya [...];
- Sebidang tanah berikut bangunan ruko yang berdiri di atasnya [...]; adalah bukan harta bersama yang didapat dalam perkawinan antara Pemohon Kasasi/Tergugat dan Termohon Kasasi/Penggugat;
4. Menyatakan objek sengketa berupa:
- 1 (satu) unit kendaraan [...];
- 1 (satu) unit kendaraan [...];
- 1 (satu) unit kendaraan [...];
- 1 (satu) unit kendaraan [...];
adalah harta bersama yang didapat dalam perkawinan antara Pemohon Kasasi/Tergugat dan Termohon Kasasi/Penggugat yang belum dibagi;
[...]
Signifikansi
Meskipun sebenarnya kasus tersebut adalah kasus standar terkait pembagian harta pasca perceraian, yaitu pembagian harta bersama (Pasal 35 UU No. 1/1974), namun cukup menarik ketika Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun pada dasarnya proses pembuktian kepemilikan harus dilakukan dengan mencocokkan bukti fotocopy dengan surat aslinya yang sah dalam persidangan, namun dalam hal pembuktian kepemilikan barang bergerak harus diperhitungkan juga kapan harta tersebut didapat, serta beban pembuktiannya harus mempertimbangkan pula nilai-nilai kepatutan dan kewajaran. Sehingga, meskipun proses pembuktian tidak sempurna, Mahkamah Agung tetap berkesimpulan bahwa barang bergerak yang diperoleh selama masa perkawinan tersebut dapat dianggap sebagai harta bersama, terlepas bukti yang diajukan oleh Penggugat hanya berupa fotocopy.
Pendapat Mahkamah Agung ini sebenarnya sejalan dengan ketentuan mengenai beban pembuktian dalam Pasal 163 HIR jo. Pasal 1977 KUHPer yang menyatakan bahwa penguasa suatu barang bergerak dapat dianggap sebagai pemilik barang tersebut. (Putusan yang secara resmi dijadikan landmark decision ini, dikutip dari: Laporam Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2010, Mahkamah Agung, Februari 2011.).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.