Non Exclusive Jurisdiction Vs. Choise of Forum

LEGAL OPINION
Question: Sebetulnya di pengadilan manakah seseorang berhak untuk mengggugat? Apa juga yang dimaksudkan dengan non exclusive jurisdiction yang biasa terdapat dalam klausul pilihan domisi hukum dan tempat pilihan pengadilan mana yang berwenang mengadili sengketa?
Answer: Yang dimaksud dengan pilihan kewenangan pengadilan untuk mengadili, memiliki fungsi sebagai “perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya” (vide Pasal 1228 KUHPerdata)—artinya, Pasal 118 HIR disimpangi dan pilihan domisili hukum tersebut mengingat para pihak dalam perjanjian, semisal bila terjadi sengketa, maka Pengadilan Negeri (PN) apakah yang berwenang memeriksa dan memutus. Bila PN tersebut menjadi pilihan domisili hukum dan/atau pilihan pengadilan yang menyelesaikan sengketa, maka itu menjadi kompetensi relatif ataupun kompetensi absolut dari yurisdiksi PN yang dapat mengadili bila terjadi sengketa dikemudian hari antara para pihak dalam perjanjian. Namun pilihan domisili hukum bukanlah monopoli PN, mengingat para pihak dapat memilih lembaga artitrase independen sebagai opsi lain (acta de compromi tendo), untuk kemudian putusan dari arbitrase yang menyerupai proses pengadilan sipil tersebut selanjutnya didaftarkan kepada Pengadilan Negeri sehingga menjadi berkekuatan hukum mengikat dan mutlak seketika itu juga sehingga memiliki kekuatan eksekutorial. Meski demikian ketentuan tersebut tidak berlaku mutlak, semisal dalam perjanjian Anda memilih domisili hukum PN Jakarta Barat sebagai forum yang berwenang mengadili sengketa. Namun bila terjadi dikemudian hari terjadi sengketa niaga, yang mana menjadi kompetensi absolut pengadilan niaga, semisal sengketa merek, sengketa hak cipta, sengketa pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang, maka sekalipun Anda memilih PN Jakarta Barat, maka yang berwenang tetaplah Pengadilan Niaga. Itulah yang acapkali terlupakan ketika merumuskan perjanjian, dimana bila salah satu objek perikatan ialah menjadi yurisdiksi pengadilan niaga, ada baiknya diatur pula Pengadilan Niaga manakah yang berwenang mengadili. Sementara yang dmaksud dengan non exclusive jurisdiction, ialah hak untuk melakukan gugatan di pengadilan manapun tanpa batasan, biasanya terdapat dalam perjanjian yang timpang sebelah karena biasanya pihak lain hanya dibatasi untuk dapat melakukan upaya hukum di salah satu pengadilan saja.
EXPLANATION:
Pasal 118 HIR menyatakan, ditambah dengan berbagai putusan pengadilan yang menjadi yurisprudensi tetap, bahwa subjek hukum dapat menggugat subjek hukum lainnya di hadapan pengadilan dimana tergugat berdomisili (actor sequitor forum rei, perhatikan, domisili berbeda dengan alamat KTP. Domisili lebih bersifat de facto, kediaman nyata seseorang, bukan alamat KTP yang bisa jadi berbeda dengan kediamannya sehari-hari), atau dapat pula menggugat dimana objek sengketa berada. Opsi ini hanya dapat dipilih salah satunya, tidak dapat dilakukan paralel keduanya, dan tidak juga dapat dilakukan ke salah satu opsi pengadilan terlebih dahulu, setelah putusan menjadi tetap lantas beralih pada opsi pengadilan lain. Jika melakukan gugatan di hadapan pengadilan negeri selain diatur Pasal 118 HIR, maka hakim akan memutus bahwa gugatan Anda tidak dapat di terima (niet onvankelijk verrklaard atau bisa disingkat N-O). sebetulnya tidak mutlak pula demikian, oleh sebab Anda dapat memilih domisili hukum pada Arbitrase seperti BANI ataupun Artbitrase internasional seperti SIAK.
Jika Anda telah memilih salah satu pengadilan/arbitrase, namun kemudian menggugat di hadapan pengadilan/arbitrase lain, gugatan Anda pun akan dinyatakan “tidak dapat diterima” oleh hakim.
Sebaliknya, bila Anda menggugat ke hadapan domisili hukum tergugat, semisal PN Jakarta Barat karena tergugat berkediaman di Jakarta Barat, kemudian gugatan Anda dinyatakan “ditolak”, maka bila sekalipun Anda menggunakan Pasal 118 HIR dengan menggugat ke hadapan pengadilan dimana objek sengketa tersebut berada, semisal di PN Jakarta Timur, maka gugatan Anda akan dinyatakan Nebis in Idem, yang tidak lain N-O pula. Yang perlu digaris-bawahi, bila gugatan Anda tersebut di PN Jakarta Barat diputuskan oleh hakim sebagai “tidak dapat diterima” alias N-O, maka Anda masih dapat menggugat ulang, dengan opsi sebagaimana kembali pada Pasal 118 HIR tanpa resiko dinyatakan sebagai nebis in idem. Inilah perbedaan antara gugatan yang dinyatakan “ditolak” dengan gugatan yang dinyatakan sebagai “N-O”.
Biasanya dalam perjanjian, dalam pasal khusus yang mengatur perihal sengketa, berbunyi sebagai berikut: “PARA PIHAK sepakat untuk tunduk pada hukum negara Republik Indonesia (choise of law, biasanya terdapat dalam kontrak dagang internasional), dan bila terjadi sengketa, para pihak sepakat untuk menyelesaikan terlebih dahulu secara musyawarah untuk mufakat. Bilamana tidak terjadi kesepakatan/perdamaian, maka Para Pihak memilih Pengadilan Negeri Jakarta Utara (choise of forum) sebagai pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara terkait substansi maupun pelaksanaan dari Perjanjian ini, tanpa mengurangi hak Pihak Pertama untuk melakukan upaya hukum ke hadapan pengadilan lain terhadap Pihak Kedua (inilah yang disebut non exclusive jurisdiction).”
Artinya, Pihak Kedua hanya dapat menggugat Pihak Pertama di PN Jakarta Utara, yang mana "mengunci" peluang Pihak Kedua untuk mengajukan gugatan, sementara itu Pihak Pertama dapat memilih opsi yang terdapat dapat Pasal 118 HIR sebagaimana telah dijelaskan diatas, baik pada yurisdiksi PN dimana Pihak Kedua berdiam atau memiliki objek sengketa.
Bila suatu hari, Pihak Kedua, sebagai contoh, terjadi sengketa niaga (misal sengketa hak paten atau pun desain industri) terhadap Pihak Pertama, maka apakah berarti Pihak Kedua harus / hanya dapat menggugat di PN Jakarta Utara? Majelis hakim PN Jakarta Utara dapat dipastikan akan memutus bahwa mereka tidak memiliki yurisdiksi untuk memutus perkara tersebut, sehingga Pihak Kedua berhak menyimpangi klausul choise of forum dalam perjanjian, dan menggugat ke hadapan Pengadilan Niaga.
Namun, hakim yang cermat akan mendapati, bahkan hak "non exclusive jurisdiction" bagi salah satu pihak secara sepihak dalam kontrak merupakan adanya indikasi "penyalahgunaan kedudukan dominan / kekuatan ekonomi" sehingga perikatan perdata diantara para pihak menjadi demikian timpang.
Sedikit saja mengetuk nurani Majelis Hakim, maka batu pendulum akan bergerak menuju pihak yang lebih lemah dalam perjanjian perdata tersebut.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.