Badan Pertanahan Nasional RI akan Merancang Ketentuan Baru yang Menutup Celah bagi Debitor Nakal, Perlindungan Hukum bagi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan

ARTIKEL HUKUM
Question: Banyak terjadi penyalahgunaan oleh debitor ketika terhadap agunan yang dahulu diberikan pada kreditor sebagai jaminan bila terjadi kredit macet, namun ketika kredit benar-benar berstatus macet, dan kreditor hendak melakukan lelang eksekusi, debitor justru melakukan gugatan terhadap kreditor-nya sendiri sehingga status hak atas tanah (agunan) oleh kantor pertanahan dinyatakan terblokir. Apakah kreditor pemegang hak tanggungan benar-benar demikian ringkih, ibarat telur di ujung tanduk dimana Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan produk BPN sendiri tidak dapat dipegang kepastian hukumnya?
Answer: Banyak salah kaprah yang terjadi di lapangan oleh para pejabat di masing-masing kantor pertanahan, kantor wilayah pertanahan, maupun Badan Pertanahan Nasional Pusat. Setelah melakukan koordinasi sekian lama, dengan cukup menguras tenaga, waktu, serta pikiran, pada akhirnya SHIETRA & PARTNERS berhasil memberikan masukan berharga bagi BPN pusat untuk menyusun regulasi baru di bidang pertanahan, sehingga menutup segala celah hukum bagi debitor nakal, mengingat debitor acapkali melakukan gugatan abal-abal tanpa hak hanya untuk mengulur waktu yang tentunya hanya akan membuat bengkak NPL perbankan nasional. Kedepannya, dalam jangka waktu dekat ini, BPN akan menerbitkan regulasi baru yang mengatur bahwa bila gugatan diajukan oleh debitor atau penjamin terhadap proses lelang eksekusi hak tanggungan yang dilakukan kreditor, maka terhadap agunan tidak akan dapat dinyatakan “blokir”, sehingga terbentuk kepastian hukum dengan menghormati APHT, Sertifikat Hak Tanggungan serta kredit yang telah disalurkan namun macet dikembali sehingga sewajarnya dan sepatutnya agunan dieksekusi guna memulihkan hak dari kreditor pemberi fasilitas kredit. Petinggi dari BPN Pusat menyatakan, bahwa konsepsi hukum tersebut, merupakan suatu penemuan hukum baru.
EXPLANATION:
Pada dasarnya salah kaprah yang terjadi di setiap kantor pertanahan, ialah salah kaprah dalam mengartikan “catatan adanya gugatan” sebagaimana dimaksud dalam regulasi terkait pendaftaran tanah sebagai “blokir”. Padahal, tak semua bentuk pencatatan dalam buku tanah adalah blokir. Pasal 126 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PMNA 3 tahun 1997) sebenarnya telah mengatur:
(1) Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan dijadikan obyek gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan.
(2) Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan status quo atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan, maka perintah tersebut dicatat dalam buku tanah.
(4) Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan. ß Perhatikan ayat tersebut, telah dinyatakan dengan tegas, bahwa bila terjadi gugatan sekalipun, maka catatan dalam buku tanah yang tertuliskan “blokir oleh karena perintah status quo” hapus dengan sendirinya jika melewati tenggang waktu 30 hari. Sementara itu sita jaminan mustahil dilakukan terhadap agunan yang telah diikat sempurna dengan hak tanggungan.
Para pejabat yang berwenang baik kantor pertanahan, kantor wilayah pertanahan, maupun BPN Pusat selalu mendalilkan, demi asas kehati-hatian, maka setiap adanya bentuk gugatan, maka dalam buku tanah, hak atas tanah yang menjadi objek gugatan akan dinyatakan “terblokir”. Mereka mem-persepsikan “pencatatan adanya gugatan dalam buku tanah” sebagai “BLOKIR”. Inilah salah kaprah yang telah berlangsung selama hampir 20 tahun, sehingga tidak mengherankan bila NPL perbankan nasional demikian tinggi. Yang mengherankan, mengapa hal ini terus berlangsung tanpa ada kritisme oleh pihak perbankan itu sendiri ataupun oleh para ilmuan hukum maupun pejabat kantor pertanahan?
Penulis bertukar argumentasi kepada petinggi BPN Pusat tersebut yang bersikukuh bahwa “pencatatan adanya gugatan” berarti adalah “blokir” oleh sebab demi asas kehati-hatian. Perlu diketahui, gugatan paling sedikit memakan waktu dua tahun hingga inkracht, ditambah masa tunggakan debitor yang kurang lebih satu tahun hingga dinyatakan macet, maka bank harus menanggung NPL selama paling tidak 3 tahun, itulah harus menghadapi gugatan ulang oleh debitor yang kembali menggugat meski putusan telah berkekuatan hukum tetap—inilah keganjilan sistem hukum acara perdata di Indonesia, tidak memiliki proses dismissal layaknya PTUN, sehingga “hakim dilarang menolak perkara”.
Penulis memberikan argumen pendukung, bahwa “catatan” berbeda / tidak selamanya identik dengan “blokir”, ialah produk kantor pertanahan sendiri yang bernama Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) yang memiliki irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang artinya memiliki kekuatan eksekutorial layaknya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam APHT dan SHT jelas disebutkan, bila debitor wanprestasi, maka kreditor berhak melunasi kredit macet lewat eksekusi hak tanggungan, sehingga tiada lagi alasan bagi debitor untuk memungkiri, terlebih menggugat dan memblokir buku tanah agunan sehingga proses pelelangan terhambat. Siapa juga yang mau menjadi peserta lelang bila buku tanah terblokir oleh debitor yang nakal?
Jika demikian, buat apa lembaga hak tanggungan? Apakah hanya untuk “keren-kerenan” dari kantor pertanahan atau pembodohan belaka bagi industri perbankan yang tentunya hanya menguras pengeluaran kreditor?
Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU HT): “Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.”
Pasal 11 Ayat (2) UU HT: “Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain: e.) janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji; j.) janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;”
Pasal 14 UU HT:
(1). Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan per- undang-undangan yang berlaku.
(2). Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(3). Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah

Pasal 30 Ayat (1)  PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH (PP 24 Tahun 1997): “Atas dasar alat bukti dan berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) hak atas bidang tanah:
d. yang data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan dan diajukan gugatan ke Pengadilan tetapi tidak ada perintah dari Pengadilan untuk status quo dan tidak ada putusan penyitaan dari Pengadilan, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut serta hal-hal yang disengketakan; ß Catatan dalam PP 24 Tahun 1997 tersebut tidak mengartikan sebagai blokir!
e. yang data fisik atau data yuridisnya disengketakan dan diajukan ke Pengadilan serta ada perintah untuk status quo atau putusan penyitaan dari Pengadilan, dibukukan dalam buku tanah dengan mengosongkan nama pemegang haknya dan hal-hal lain yang disengketakan serta mencatat di dalamnya adanya sita atau perintah status quo tersebut.
Secara realistis Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK 106 Tahun 2013), dalam Pasal 13 Ayat (1) mengatur: “Dalam hal terdapat gugatan terhadap objek lelang hak tanggungan dari pihak lain selain debitor/tereksekusi, suami atau istri debitor/tereksekusi yang terkait kepemilikan, pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan yang memerlukan fiat eksekusi.”
Lebih lanjut dalam Pasal 24 PMK 106 Tahun 2013: “Lelang yang akan dilaksanakan hanya dapat dibatalkan dengan permintaan Penjual atau penetapan provisional atau putusan dari lembaga peradilan.” ß Peraturan telah amat jelas, dan secara rasio serta logika juga sangat janggal ketika kantor pertanahan justru lebih memihak debitor nakal dan membiarkan kepentingan kreditor atas fasilitas kredit yang macet di tangan debitor. Namun mengapa, dan disayangkan, tanpa putusan sela/provisional sekalipun buku tanah agunan sudah langsung dinyatakan terblokir seketika itu juga tanpa kepastian kapan blokir akan dicabut. Bila sita jaminan saja tidak dimungkinkan terhadap hak tanggungan, maka bagaimana mungkin blokir dilakukan kantor pertanahan? Putusan sela saja belum dikabulkan hakim. Namun itulah praktik yang terjadi di lapangan, akibat salah kaprah aparatur negara yang bergerak mengurusi bidang pertanahan namun, sayangnya, kurang memahami hukum pertanahan.
Secara yuridis, sudah terang dan jelas diatur dalam Pasal 167 Ayat (1) PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH: “Dalam pendaftaran hak untuk pertama kali pencatatan mengenai kekuranglengkapan atau masih disengketakannya data fisik dan atau data yuridis sesuai ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dilakukan dalam halaman 3 buku tanah dengan kalimat sebagai berikut:
a. jika data fisik dan atau data yuridis belum lengkap: “Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan data fisik/yuridis berupa ………………………. belum lengkap”,
b. jika data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan, tetapi tidak diajukan gugatan ke pengadilan: “Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan ada keberatan dari …. Mengenai ………………….. dan kepadanya sudah diberitahukan agar mengajukan gugatan ke pengadilan dalam waktu ……. hari dengan surat nomor …….. tanggal ……….“
c. jika data fisik dan atau data yuridis disengketakan di pengadilan tetapi tidak ada status quo dan tidak ada perintah sita: “Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan ada gugatan di Pengadilan …………… mengenai data fisik dan atau data yuridisnya dengan register perkara nomor ……… tanggal …………” ß Sayangnya, regulasi ini yang cukup logis, tidak pernah diimplementasikan petugas kantor pertanahan dalam realisasinya!
d. jika data fisik dan atau data yuridis disengketakan di pengadilan dan ada perintah status quo atau putusan penyitaan : “Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan bahwa ada gugatan di Pengadilan …… mengenai data dan atau data yuridisnya dengan register perkara nomor …………. tanggal …………….. dan telah diletakkan sita jaminan berdasarkan putusan pengadilan …………….. Nomor ……….. Tanggal ……. jo Berita Acara Sita Jaminan Nomor ………………. Tanggal ……. / diperintahkan status quo oleh Pengadilan dengan surat Hakim ……………. nomor ……… tanggal…………..”, dan nama pemegang haknya tidak di-cantumkan dalam buku tanah. ß Model pencatatan inilah yang baru dapat kita sebut sebagai "blokir". Namun pencatatan model/jenis blokir ini tidak dapat terjadi dalam kasus hak atas tanah dijadikan agunan yang mana menjadi objek sengketa oleh debitor terhadap kreditor pemegang hak tanggungan atas agunan.
Ayat (2): “Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani pejabat yang menandatangani buku tanah yang bersangkutan”.

Faktanya, Kantor Pertanahan Kab. Bogor menolak blokir bila atas tanah tersebut telah diikat sempurna hak tanggungan. Namun, Kantor Pertanahan di Jawa Timur maupun Jakarta tetap melakukan blokir meski gugatan bersifat abal-abal.

Berita yang cukup menggembirakan bagi seluruh kreditor, baik kreditor perorangan (oleh sebab pemegang hak tanggungan tidak hanya dapat dipegang oleh kreditor perbankan, namun juga kreditor perorangan) maupun kreditor perbankan, ialah disepakatinya oleh petinggi BPN bahwa akan terbit regulasi baru dibidang pertanahan yang menutup celah hukum bagi debitor untuk menggugat secara tidak patut sehingga agunan tidak lagi dapat diblokir oleh upaya gugatan yang hanya bertujuan untuk mengulur-ngulur waktu. Kita tunggu saja kemauan baik ni untuk disusun dan di implementasikan oleh para petinggi Kementerian Agraria dan tata Ruang yang menjadi kiblat berbagai Kantor Pertanahan di tanah air.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.