Legislasi Otonom, Autonomic Legislation

LEGAL OPINION
Question: Apakah dimungkinkan aturan internal yang dibuat oleh internal suatu organisasi mengikat secara hukum bagi orang-orang dalam lingkungan internal organisasi tersebut?
Answer: Segala tindakan yang diambil dari pengurus suatu organisasi yang berdasarkan anggaran dasar (AD) maupun anggaran rumah tangga (ART), mengikat setiap anggota sebagai suatu “kedaulatan otonom”, sehingga tidaklah dapat anggota organisasi tersebut kemudian menggugat pengurus secara perdata dimana pengurus tersebut telah bertindak sesuai kewenangan yang diamanatkan/didelegasikan oleh aturan-aturan dalam AD maupun ART. Itulah fungsi utama dari AD dan ART, sebagai konkretisasi konsep kedaulatan otonom, alias hukum bentukan sipil yang bersifat pseudo hukum. Karena itu, SHIETRA & PARTNERS menyebutnya sebagai hukum sekundair, alias hukum komunitas sipil yang berlaku bagi anggota komunitas tersebut secara terbatas.
EXPLANATION:
Dalam putusan kasasi oleh Mahkamah Agung, perkara No. 1222 K/Pdt/2010 tanggal 18 November 2010 telah diputuskan dengan menyatakan gugatan para Penggugat yang adalah anggota suatu organisasi yang mana pimpinan pusat organisasi dijadikan tergugat, sebagai tidak dapat diterima bila itu menyangkut sengketa internal organisasi yang mana perlu diperhatikan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) organisasi internal mereka sendiri.
Kasus bermula ketika para Penggugat dalam kedudukannya sebagai (Note: perhatikan, kedudukan legal standing dalam gugatan ini adalah bukan sebagai atas nama pribadi sipil, namun sebagai anggota suatu organisasi) pengurus cabang Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Propinsi Papua Barat, yang telah disahkan kepengurusannya oleh Pengurus Pusat PWI.
Kemudian, Pengurus Pusat PWI menerbitkan surat kepada Pengurus cabang PWI Propinsi Papua Barat untuk mengadakan konferensi Cabang Luar Biasa, oleh karena Ketua Cabang PWI Papua Barat telah diangkat sebagai Kepala Humas PEMDA Propinsi Papua Barat, sehingga menjadi tidak patut merangkap sebagai Pejabat Negara / Pemerintah, oleh karena terdapat konflik of interest yang tak dapat dihindari.
Rapat Pleno Pengurus dan Dewan Kehormatan PWI cabang Papua Barat, telah menolak surat Pengurus Pusat PWI tersebut, sehingga Pengurus Pusat PWI menerbitkan surat keputusan tentang pemberhentian Ketua cabang PWI Papua Barat dan membekukan sementara Pengurus cabang PWI Papua Barat, dengan menunjuk caretaker Pengurus PWI cabang Papua Barat.
Bahwa dengan adanya surat keputusan Pengurus Pusat PWI tersebut, maka diajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Manokwari dan sebagai Tergugat I adalah Pengurus Pusat PWI. Pada mulanya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi mengabulkan gugatan Penggugat, meski hanya dikabulkan separuh. Namun kemudian oleh Mahkamah Agung putusan tersebut dibatalkan dan membuat amar putusan sendiri, bahwa gugatan tidak dapat diterima.
Pertimbangan hukum Mahkamah Agung:
“Bahwa terhadap perselisihan Pengurus cabang PWI Papua Barat dengan Pengurus Pusat PWI seperti terurai dalam surat-surat diatas, tidak dapat dinilai sebagai perbuatan seperti dimaksud Pasal 1365 KUH. Perdata, karena dalam tubuh organisasi PWI diatur oleh Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga dan Kode Etik Jurnalistik, serta dipertanggungjawabkan dalam kongres;
“Bahwa oleh karena itu perselisihan dalam tubuh organisasi PWI haruslah diselesaikan oleh mekanisme PWI dan tidak termasuk dalam wewenang Peradilan Umum, sehingga gugatan para penggugat haruslah dinyatakan tidak dapat diterima.”
Kesimpulan yang dapat kita tarik sebagai kaidah yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung, ialah bahwa apabila terjadi kemelut ditubuh suatu organisasi swasta, oleh karena penyelesaiannya sudah diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan ART) begitupula Kode Etik profesi, serta dipertanggungjawabkan dalam suatu kongres organisasi profesi, maka kemelut tersebut tidaklah dapat dinilai sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365 KUH.Perdata.
Berdasarkan definsi yang dipublish oleh “Practitioner.Com: An Introduction to Corporate Regulation and Standardization”[1] atas definisi “autonomic legislationatau terjemahan Indonesia “Legislasi Otonom” ialah: “Autonomic legislation is where certain bodies have the power to make their own laws governing the conduct of a specific class of people. For example The General Medical Council, The Church of England and Universities have this power.”
Terjemahan secara bebas: Legislasi otonom ialah suatu bentuk kewenangan yang dibentuk oleh organ sipil tertentu, yang secara hukum sah untuk mengatur kegiatan organisasinya sendiri, atas larangan ataupun kebolehan di dalamnya, terhadap suatu anggotanya (terspesifik), semisal peraturan yang berlaku di lingkungan suatu universitas.
Terjemahan senada mengenai "Hukum Otonom" dapat dikutip dari http://definitions.uslegal.com/a/autonomic-law/  : “Autonomic law is a type of enacted law that has its source in various forms of subordinated and restricted legislative authority possessed by private persons and bodies of persons. In other words, autonomic law is an internal regulation or rule imposed by a private entity. Examples are corporate bylaws, university regulations, and the rules of the International Monetary Fund.” 
Terdapat pihak yang mendefinisikan "Autonomic Legislation" sebagai "Undang-Undang Otonom", terjemahan yang tidak tepat karena undang-undang berlaku umum dan dibentuk sebagai monopoli otoritas negara sebagai bentuk supremasi negara terhadap warga negaranya, sehingga tidak dapat disandingkan dengan "hukum otonom" yang bersifat hukum "kelas dua".
Menjadi pertanyaan, bagaimana bila hukum otomom bertentangan dengan hukum negara? Pada dasarnya hukum otonom hanya berlaku bila hukum negara tidak mengatur atau memberikan ruang pengaturan secara swadaya/mandiri demikian, dan hanya berlaku bagi kalangan internal mereka sendiri, sebatas itu, tidak melibatkan / membuat beban / hak kepada pihak luar organisasi.
Salah satu wujud nyata dari hukum otonom ialah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), surat keputusan instansi-instansi pemerintah, yang mana semestinya hanya mengikat pegawai internal instansi.
Faktanya? Meski berjudul SEMA, sebagai contoh  SEMA No. 1 Tahun 2002 tentang Mediasi, yang semestinya hanya berlaku dan mengikat pegawai pengadilan, faktanya tetap saja memiliki dampak sampingan collateral damage berupa wajib patuhnya para penggugat maupun tergugat di dalam suatu sengketa perdata di suatu pengadilan, untuk mengikuti proses mediasi, sebelum memasuki sidang perkara di pengadilan, mau tidak mau, selama satu bulan.
Tanpa patuh pada ketentuan SEMA mengenai mediasi ini, maka penggugat ataupun tergugat tidak akan dapat memasuki proses persidangan. Tujuan baik, namun caranya penulis pribadi memandang sebagai kurang tepat.
SEMA ini diperparah dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung mengenai prosedur mediasi di pengadilan.
Menurut ilmu peraturan perundang-undangan, yang boleh membuat aturan hukum yang mengikat umum, bukan menjadi wewenang instansi setingkat Mahkamah Agung. Terlebih bila SEMA yang semestinya mengikat internal pegawai atau mengikat karyawan bila itu hukum otonom, namun pada gilirannya sebagai dampak sampingan membuat para pihak juga mau tidak mau harus tunduk. Bentuk lain dari kediktatoran oleh pihak yang merasa paling berhak membuat hukum. Kearoganan bentuk baru oleh mereka yang berdiri di menara gading. Namun kita juga dapat melihatnya sebagai sebuah simpati kepedulian Lembaga Yudikatif atas lambatnya gerak Lembaga Legislatif membentuk pembaharuan hukum acara.
Sebagai penutup, bahasa sederhana yang kerap kita "sentuh" sehari-hari sebagai peraturan otonon ini, misalnya di dalam suatu Perseroan Terbatas, kita menemukan Anggaran Dasar yang mengikat para organ PT. Di dalam Firma, CV, maupun Yayasan dan Koperasi kita mengenal aturan internal bernama AD dan ART. ADRT tersebut mengikat para peserta atau anggota/pengurus di dalamnya.
Legislasi Otonom yang paling relevan ialah teritori atau kedaulatan dari seorang tuan rumah terhadap para tamunya. Tamu yang memasuki rumah privat seseorang, tunduk pada peraturan tuan rumah, bukan sebaliknya. Untuk memberikan ilustrasi lebih sederhana, perhatikan contoh kasus nyata yang mungkin pernah Anda alami sendiri kejadiannya secara serupa meski tidak persis.
Suatu malam, tiga orang pria berbadan besar mengetuk pintu. Tuan rumah menanyakan dari dalam rumah, "Ada perlu apa?"
Lima kali hal itu ditanyakan, namun tak juga dijawab oleh sang tamu yang memaksa meminta bertemu kepala keluarga dari tuan rumah. Merasa janggal, adakah mungkin para pria itu adalah perampok karena tidak mau menjawab tujuan kedatangannya?
Tuan rumah menjadi tersinggung dan marah atas sikap tamu kurang hajar demikian. Terjadi perdebatan mulut, dan sang tamu kemudian menuding tuan rumah sebagai "tidak sopan". 
Disini kita bisa menilai derajat kecerdasan dari tamu-tamu tersebut. Datang bertamu, namun tidak mau menyebutkan tujuan kedatangannya, bahkan menyebut tuan rumah sebagai tidak sopan.
Tuan rumah adalah penentu aturan main dan hukum dari teritori sebuah rumah. Ketika tamu mendatangi guna bertamu, maka aturan main siapa yang berlaku dan siapa jugakah yang sepatutnya tunduk? Kita bicara perihal "kedaulatan otonom".
Belakang hari tuan rumah ketahui dari kepala keluarga tuan rumah, bahwa salah satu tamu yang menuding tuan rumah sebagai "tidak sopan", adalah provost anggota kepolisian yang disewa sipil untuk menjadi bodyguard guna pamer / menakut-nakuti tuan rumah. Tujuan sipil yang menjadi tamu tersebut hanyalah untuk meminta izin melihat rekaman CCTV atas kendaraan bermotornya yang hilang di sekitar jalan sang tuan rumah.
Atas arogansi tamu demikian, yang semestinya cukup menjawab tujuan kedatangannya, berbuah keonaran dan keriuhan malam di kompleks sang tuan rumah. Dari peristiwa ini pula, kita dapat bercermin betapa sangat rendahnya kesadaran hukum masyarakat di Indonesia. Bahkan dalam ranah privat seperti kediaman pribadi, intervensi berupa arogansi demikian dipertontonkan secara vulgar bagaikan negara tidak berhukum (lawless state).
Ironis, namun demikianlah Negeri Indonesia yang masih harus belajar banyak tentang apa itu makna / definisi kata "berabad", sebalum kita melangkah lebih jauh membahas apa itu "kedaulatan otonom".
 
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

[1] http://legal.practitioner.com/regulation/standards_5_2_3.htm