Status Perkawinan Tanpa Anak, Bukan Dikategorikan sebagai Ahli Waris, Hanya Berhak atas Separuh Harta Gono-Gini, Tidak Mendapat Hak atas Harta Bawaan

LEGAL OPINION
Question: Bila seorang istri ditinggal mati oleh suaminya, sementara istri alias janda tersebut tidak memiliki keturunan, maka apakah janda tersebut kemudian berstatus sebagai ahli waris? Sebagai informasi, mereka tidak tunduk pada KHI maupun hukum adat.
Answer: Jika dalam gugatan perceraian, hakim akan menyatakan “perkawinan putus karena perceraian / putusan pengadilan”. Dalam kasus seorang janda yang ditinggal mati oleh almarhum suaminya, maka statusnya ialah “perkawinan putus karena kematian.” Seorang istri yang menjadi janda, bila tidak memiliki keturunan yang sah dengan almarhum, maka hanya berhak atas harta gono-gini, bukan bersstatus sebagai ahli waris yang berhak atas harta bawaan almarhum.
EXPLANATION:
Pasal 35 UNDANG-UNDANG  NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (UU Perkawinan):
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 38 UU Perkawinan:Perkawinan dapat putus karena:
a. kematian,
b. perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Perhatikan Pasal 38 diatas, bila seorang istri diceraikan suaminya, maka ia berstatus janda, dan hanya mendapat bagian harta gono-gini yang didapat selama perkawinan berlangsung. Sama halnya bila perkawinan putus karena kematian suaminya, maka ia pun hanya berhak atas separuh harta gono-gini, kecuali selama masa perkawinannya mereka mendapat memiliki keturunan yang sah, maka janda pun akan turut terhitung sebagai ahli waris dengan catatan bagian warisnya telah termasuk didalamnya bagian harta gono-gini.
Singkatnya, bila seorang istri / suami ditinggal mati oleh almarhum suami / istri-nya, sementara mereka tidak memiliki keturunan, maka istri / suami yang masih hidup  terlama mendapat separuh dari harta gono-gini, sementara separuh harta gono-gini lainnya beserta harta bawaan jatuh pada ahli waris dari almarhum, bisa berupa garis keturunan ke atas (orang tua), kesamping (saudara kandung), ataupun kebawah (anak dari perkawinan almarhum sebelumnya).

Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa hakim dapat menerapkan hukum adat dalam perkara sengketa waris, dimana kaedah hukum adat memberikan hak menetap/menghuni atas sebuah rumah yang menjadi domisili de facto bagi istri almarhum yang tidak memiliki keturunan hasil perkawinan, sekedar untuk menetap hingga sepanjang hayatnya, namun bukan untuk menjadi hak milik yang dapat dialihkan / dijual-belikan kepada pihak lain oleh sang istri almarhum.

STUDI KASUS
i.      Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo No. 110/Pdt.G/2008/PN.Sda tanggal 19 Januari 2009
Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan:
Menimbang, bahwa dengan berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974 bahwa harta bawaan berada sepenuhnya dibawah penguasaan si pembawa atau harta bawaan suami atau istri berada dalam penguasaan suami atau istri tersebut.
Dari ketentuan pasal tersebut diatas, dapat ditarik suatu asas hukum, bahwa harta bawaan adalah tetap menjadi milik masing-masing suami atau istri;
Yang juga dapat diartikan bahwa apabila suami istri tersebut meninggal dunia dan tanpa memiliki keturunan, maka harta bawaan / asal tersebut kembali kepada keluarga dari pihak suami atau istri;
Menimbang, bahwa suatu asas hukum waris, seorang istri hanya berhak atas harta gono-gini, sedangkan harta asal tetap berada dalam kekuasaan masing-masing;

II. Putusan Mahkamah Agung No. 1934 K/Pdt/2004 tanggal 16 Maret 2006.
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim agung menyatakan: “Bahwa alasan ini tidak dapat dibenarkan, karena telah menjadi Yurisprudensi MARI bahwa janda (yang semasa almarhum suaminya hidup tidak memiliki keturunan) tidak dapat mewarisi harta bawaan, sedang perbuatan Ny. Sukimah yang menghibahkan tanah sengketa kepada Alpini adalah perbuatan melawan hukum.”
Secara singkat putusan ini berkasus posisi dimana hanya keluarga sedarah almarhum pewaris yang berhak menjadi ahli waris, bukan istri almarhum yang tidak memiliki keturunan.

III. Putusan Mahkamah Agung No. 10 K/Pdt /2009 tanggal 23 Juli 2009.
Kronologinya, terjadi “perwakinan putus karena kematian salah satu pihak”—bukan diistilahkan sebagai “cerai mati”, sementara dalam perwakinan tersebut tidak menghasilkan keturunan.
Masalah menjadi keruh, ketika istri almarhum ternyata mendapat bagian warisan dari almarhum suaminya, kemudian oleh janda tersebut diberikan kepada pihak ketiga (suami barunya). Ahli waris yang sah dari almarhum suaminya, yakni kakak dari almarhum suaminya, kemudian menggugat untuk meminta warisan yang merupakan harta bawaan tersebut dikembalikan kepada keluarga sedarah.
Maka warisan yang ditinggalkan yang menjadi perkara ini adalah kembali kepada ahli waris yang syah yaitu kembali kepada orang tuanya, dan apablia orang tuanya sudah meninggal dunia maka kepada saudara pewaris yang masih hidup.

Mahkamah Agung kemudian memutuskan agar janda yang tidak memiliki keturunan, tidak berhak atas harta bawaan almarhum suaminya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.