LEGAL OPINION
PERMASALAHAN : Kapan suatu putusan benar-benar berkekuatan hukum tetap dalam pidana? Dapatkah terpidana mengajukan Peninjauan Kembali (PK) setelah Mahkamah Agung memutuskan PK sebelumnya, alias PK diatas PK? Berapa kali-kah batasan bagi terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan PK?
Isu Hukum: Mahkamah Konstitusi (MK RI) dalam putusannya menyatakan bahwa PK dapat dilakukan tanpa batasan, tanpa resiko dipuutskan “Menyatakan Tidak Dapat Menerima (NO) karena Nebis in Idem…”. Bahkan, berbagai putusan MK RI yang kembali dimohon uji materiel pun, acapkali terjadi tidak dinyatakan nebis in idem, seperti tampak dalam putusan MK RI itu sendiri. Akan tetapi perlu juga bagi kita untuk bersikap rasional melihat tren praktik peradilan di Mahkamah Agung RI, PK pertama sudah dianggap sebagai putusan yang inkracht (berkekuatan hukum tetap) sebagai penerapan asas kepastian hukum dan putusan harus ada akhirnya (litis finiri oportet), sehingga praktis kaidah hasil dari putusan MK RI tidak diberlakukan secara mutlak adanya.
EXPLANATION:
Pasal 268 KItab Undang-Undang Hukum Acara Pidana:
(1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
(2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.
(3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
Salah satu syarat mengajukan PK ialah adanya bukti baru (novum). Yang menjadi pertanyaan besar, bila bukti subtansiel yang bersifat menentukan telah dihadirkan di Pengadilan Negeri (PN) maupun Pengadilan Tinggi (PT), namun hakim PN maupun PT (judex facti) tidak mempertimbangkan bukti tersebut, maka Mahkamah Agung dalam kasasi maupun PK akan menganggap tidak berwenang memeriksa kembali bukti demikian.
Putusan Kasasi oleh Mahkamah Agung selaku judex iure hanya menyangkut penerapan hukum, apakah PN dan PT sudah benar atau belum dalam menerapkan hukum. Begitupula PK, oleh Mahkamah Agung, ditafsirkan hanya dapat dimohonkan sejauh terdapat “bukti baru” (novum).
Perhatikan, PK hanya dapat dimohon sepanjang terdapat “bukti baru”, dimana bila bukti yang diajukan adalah bukti yang sama dengan yang pernah diajukan di PN ataupun PT, maka Mahkamah Agung pasti akan memutus: “Permohonan PK dinyatakan tidak dapat diterima” alias “N-O, niet onvankelijk verklaard”—meski bukti lama tersebut bersifat menentukan, bersalah atau tidaknya terdakwa.
Inilah salah satu kesesatan hukum paling vulgar dalam hukum acara pidana yang dibiarkan menjadi polemik.
Pertanyaannya, apakah terdakwa harus menunggu hingga putusan kasasi terbit barulah mengeluarkan bukti “kartu AS-nya”?
Mahkamah Agung dalam ini bertindak legalistis-formil, mencari zona aman dengan berlindung dibalik bunyi undang-undang yang kaku dan “mati” serta ketinggalan zaman.
Semestinya definisi “bukti baru” ditafsirkan secara progresif termasuk di dalamnya kategori “bukti lama yang tidak ditimbang oleh judex facti pun termasuk sebagai bukti baru”.
Selama belum terbentuk yurisprudensi yang menyatakan bahwa bukti lama yang tidak dipertimbangkan oleh judex factie sebagai “bukti baru”, maka putusan MK yang menyatakan boleh dilakukan PK diatas PK yang dilakukan PK diatas PK ber-PK yang di-PK-kan terhadap PK yang ber-PK…
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tertanggal 06 Maret 2014 dengan register Nomor 34/PUU-XI/2013, memutuskan dalam Amar Putusannya sebagai berikut:
“AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon:
1.1.Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;”
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menerangkan, Bahwa kepastian hukum haruslah diletakkan dalam kerangka penegakan keadilan (justice enforcement), sehingga jika antara keduanya tidak sejalan maka keadilanlah yang harus dimenangkan, sebab hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan substansial (materiil) di dalam masyarakat, bukan alat untuk mencari kemenangan secara formal.
Disisi lain Mahkamah Konstitusi juga menimbang, Apabila tidak diatur mengenai pembatasan berapa kali upaya hukum (dalam hal ini peninjauan kembali) dapat dilakukan maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai berapa kali peninjauan kembali dapat dilakukan yang mengakibatkan penanganan perkara tidak pernah selesai.
Selain itu juga dapat membuat menunda tegaknya keadilan bagi pencari keadilan itu sendiri hingga jangka waktu yang tidak dapat ditentukan mengingat potensi akan timbulnya fakta hukum baru (novum) yang bisa mengubah putusan Peninjauan Kembali yang telah ada sebelumnya. Selain itu, sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang fair akan menjadi sistem peradilan pidana yang berkepanjangan, melelahkan, serta kepastian hukum dan keadilan hukum juga tidak akan kunjung diperoleh.
Mahkamah Konstitusi juga telah menimbang, bahwa Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas penyelesaian suatu perkara, sehingga seseorang tidak dengan mudahnya melakukan upaya hukum peninjauan kembali secara berulang-ulang. Lagi pula, pembatasan tersebut sejalan dengan proses peradilan yang menghendaki diterapkannya asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dengan pembatasan itu pula akan terhindarkan adanya proses peradilan berkepanjangan dan mengakibatkan berlarut larutnya pula upaya memperoleh keadilan yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri sebagaimana dilukiskan dalam adagium "justice delayed justice denied".
Dua antinomi yang saling bertolak belakang ini, dalam terminologi ilmiah disebut sebagai paradoks. Paradoksal demikian menimbulkan daya tarik-menarik yang menimbulkan titik keseimbangan (equilibrium). Tampaknya, Mahkamah Konstitusi dalam hal ini belum menimbang sampai sejauh itu, dan masih kental nuansa pola pikir konsevatif logika biner: bila tidak hitam, maka putih. Tidak ada abu-abu. Pilihan putusannya hanya terbatas pada dua ekstreem: kiri sekali atau kanan sekali. Sebuah putusan yang kurang kreatif, namun tampaknya cukup diapresiasi oleh berbagai kalangan, sebelum menjelma bom waktu petaka rusaknya tatanan kepastian hukum. Oleh karena itu, pasca putusan MK ini, siapa lagi yang berani berkata dengan lantang: “Saya bukan terpidana, putusan Mahkamah Agung telah berkekuatan hukum tetap!” “Memang ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap?”
Isu yang paling menarik perihal sengketa ketentuan hukum itu justru terletak pada fakta bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP, pernah dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Desember 2010. Oleh karena itu, Mahkamah mempertimbangkan apakah permohonan para Pemohon tersebut ne bis in idem alias permohonan uji materiel tidak diterima karena sebelumnya pernah dimohon dan telah diputuskan?
Perhatikan, MK disini akan membuat kaidah hukum baru bernama yurisprudensi: Apakah putusan MK yang telah diuji materiel dapat diuji materiel kembali? Dimana atau sejauh mana kepastian hukum dari putusan MK?
Akrobatik hukum ini berkelindan dengan masalah apakah boleh dilakukan PK diatas PK yang telah di-PK terhadap PK ber-PK?!
Mahkamah Konstitusi kemudian merujuk Pasal 60 ayat (2) UU MK yang menyatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka MK berasumsi, terhadap pasal yang telah diajukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah dapat diuji kembali apabila terdapat dasar pengujian yang berbeda. Menurut Mahkamah, setelah memperhatikan secara saksama permohonan para Pemohon, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan Nomor 16/PUU-VIII/2010 yang diputus Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 Desember 2010, adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Selain itu, Pemohon dalam permohonan Nomor 16/PUUVIII/2010 adalah badan hukum privat (PT. Harangganjang), sedangkan dalam perkara a quo terdapat pasal lain dari UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian berbeda, yaitu Pasal 24 ayat (1): “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” serta Pasal 28C ayat (1) khususnya mengenai hak untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya dengan keadaan baru dalam rangka mengajukan peninjauan kembali atas perkara yang telah diputus oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu, menurut Mahkamah Konstitusi, permohonan para Pemohon tidak ne bis in idem, sehingga Mahkamah Konstitusi selanjutnya mempertimbangkan pokok permohonan.
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini kemudian berkesimpulan, bahwa upaya hukum luar biasa PK secara historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Menurut Mahkamah, upaya hukum PK berbeda dengan banding atau kasasi sebagai upaya hukum biasa. Upaya hukum biasa harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum karena tanpa kepastian hukum, yaitu dengan menentukan limitasi waktu dalam pengajuan upaya hukum biasa, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tentu akan melahirkan ketidakadilan dan proses hukum yang tidak selesai. Dengan demikian, ketentuan yang menjadi syarat dapat ditempuhnya upaya hukum biasa di samping terkait dengan kebenaran materiil yang hendak dicapai, juga terkait pada persyaratan formal yaitu terkait dengan tenggang waktu tertentu setelah diketahuinya suatu putusan hakim oleh para pihak secara formal pula. Adapun upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) hanya dapat diajukan satu kali, karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan. Adapun penilaian mengenai sesuatu itu novum atau bukan novum, merupakan kewenangan Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan mengadili pada tingkat PK. Oleh karena itu, yang menjadi syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau substansial dan syarat yang sangat mendasar adalah terkait dengan kebenaran dan keadilan dalam proses peradilan pidana.
Apalah gunanya kepastian hukum di depan bila berujung pada ketidakpastian hukum? Bukankah hanya akan menimbulkan wacana kosong kepastian hukum? Apakah blunder demikian justru dapat mengelakkan kita pada bagian akhir yang berhulu pada ketidakpastian hukum?
Sejarah peradilan dimana pun itu membuktikan, semakin lama suatu peristiwa terjadi dengan masa kini, semakin bias bukti yang dapat ditemukan. Kekuatan pembuktian saksi yang melihat/mendengar langsung dapat berbagai kasus sangat diragukan, terlebih bila seratus tahun yang akan datang kasus itu diperkarakan kembali dalam tingkat PK diatas PK? Apakah tumpukan berkas perkara di pengadilan kurang menumpuk untuk kemudian dibebani kembali berupa berkas PK oleh pemohon PK yang bisa jadi hanya upaya “iseng-iseng berhadiah" belaka?
Ingat, yang dapat memohon PK bukan hanya Terpidana, tapi juga Jaksa Penuntut Umum. Jika kita selaku terdakwa diputus bebas oleh putusan PK, dapatkah kita hidup dengan tenang mengingat jaksa sewaktu-waktu dapat menuntut kita kembali? Teror terus menghantui hingga akhir hayat.
Idealnya, PK hanya dapat diajukan satu kali oleh jaksa, dan satu kali oleh Terpidana. Sehingga total kumulatif atas suatu perkara pidana, PK hanya dapat terjadi sebanyak dua kali, sebagai pengejawantahan asas pragmatis selaku jalan tengah dari kedua asas yang saling tarik-menarik: kepastian hukum dan keadilan. Buah simalakama, timbul ketika terpidana betul-betul menghadirkan bukti baru bahwa seharusnya ia tidak dipidana, namun hakim agung dalam putusan PK tidak mencermati dengan saksama bukti baru tersebut, maka akan benar-benar tamatlah riwayat terpidana. Bukti baru yang substantiel dan menentukan berubah menjadi “bukti usang”.
Apapun ketentuannya, bila yang memutus di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung adalah manusia-manusia kotor dan bermoral rendah, itulah petaka sesungguhnya. Seburuk apapun ketentuan hukum yang mengatur bila pemeriksa dan pemutusnya adalah hakim yang bersih dan bernurani, maka hukum yang hidup ditengah masyarakat pastilah hukum yang baik dan benar, itulah kepastian hukum yang sesungguhnya. Kepastian undang-undang, dalam tataran praktik di lapangan, tidak pernah benar-benar ada, itulah faktanya. Sebaik apapun undang-undang bila aparatur negara bermental kerdil, hukum yang berlaku adalah hukum yang kerdil.
Mari kita akhiri diskusi menjemukan perihal “keadilan” dan “kepastian hukum” ini dengan saya kutipkan sebuah pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut:
“Menimbang bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun menurut Mahkamah, hal itu berkait dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan.”
Masalahnya, sejak dari awal Mahkamah Konstitusi tidak pernah memberikan definisi, apa itu “kepastian hukum”. Apa itu “keadilan”? Adakah keadilan bila tiada kepastian? Apakah mungkin tiada keadilan didalam kepastian? Apakah keduanya benar-benar bertolak belakang? Apakah dalam setiap kasus, se-kasuistik apapun itu, keadilan harus menang terhadap kepastian? Mengapa harus memihak “keadilan”? Mengapa tidak memilih “non blok”?
Yang jelas, sekuat apapun bukti baru Anda, bila hakim yang memeriksa dan memutus masihlah manusia yang diliputi oleh kekotoran batin yang tebal, PK seribu kali pun tiada gunanya.
Yang pasti, bila ada terdakwa yang telah dinyatakan bebas dalam putusan kasasi ataupun PK, maka ia tidak layak menyandang “tidak bersalah”, karena kini, dalam hukum pidana, tidak dikenal istilah “telah berkekuatan hukum tetap yang benar-benar tetap”. Perkara pidana Anda terus menggantung, tiada kepastian.
Sayang MK tidak mendengar kesaksian / pembelaan mereka yang telah diputus bebas dalam tingkat kasasi ataupun PK pertama, apakah mereka berkeberatan atau tidak bila terancam kembali dipidanakan oleh PK kedua, PK Ketiga, PK Keempat, dst.
Lihat, MK sendiri telah secara parsial mendengar para pihak dan contoh sample dalam membuat analisa dan sintesa.
Selebihnya, terserah pada masing-masing pembaca yang menafsirkan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.