Perbedaan Kasasi yang Ditolak & Mengabulkan Permohonan Kasasi Namun Kemudian Hakim Agung Menolak Gugatan

LEGAL OPINION
Putusan Kasasi tidak Selalu Meringankan Hukuman Terpidana Meski Menerima Permohonan Kasasi Pihak Terpidana. Selalu Terkandung Resiko di Dalam Setiap Aksi Upaya Hukum.
Question: Apakah perbedaan antara putusan hakim agung dalam putusan kasasinya yang dalam amar putusan menyatakan: “MENGADILI: menolak permohonan kasasi” dengan “MENGADILI: Menerima permohonan kasasi. Mengadili sendiri: menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.” Keduanya sama-sama menolak, lantas apakah beda konsekuensi hukum atas putusan kasasi semacam itu?
Answer: Model putusan semacam itu bukan hanya dapat ditemukan dalam putusan kasasi, namun juga dalam putusan tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi. Singkatnya, kedua putusan tersebut berbeda arti dan maknanya secara bertolak-belakang. Bila upaya hukum berupa banding ataupun kasasi dilancarkan guna strategi "mengulur waktu", maka perlu dipahami bahwa modus demikian dapat menjadi kontraproduktif manakala permohonan kasasi Anda diterima, dengan "hadiah" berupa pemberatan hukuman pidana dari yang sebelumnya diputuskan judex factie.
EXPLANATION:
M E N G A D I L I : Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi.ß Bunyi amar putusan hakim agung dalam putusan Kasasi memiliki arti bahwa putusan Hakim Pengadilan Tinggi dibenarkan hakim agung, sehingga yang ditolak ialah permohonan kasasi, namun putusan Pengadilan Tinggi itu sendiri tetap sah dan berlaku. Dalam putusan model ini, hakim agung dalam pertimbangan hukumnya pastilah akan menyatakan bahwa pertimbangan hukum pengadilan tinggi telah benar, hakim pengadilan tinggi tidak keliru menerapkan hukum, bahwa majelis tingkat kasasi hanya berwenang memeriksa penerapan hukum yang tidak berwenang memeriksa alat bukti, dsb. Sehingga hakim agung tidak melakukan ambil alih putusan dalam putusan jenis ini.
Bila dalam putusan model ini hakim pengadilan tinggi dalam tingkat banding memutuskan bahwa “gugatan dinyatakan tidak dapat diterima”, maka konsekuensi hukumnya, penggugat dapat kembali mengajukan gugatan baru dengan mengulang dari tingkat pengadilan negeri, meski objek sengketa, subjek, serta pokok perkara sama persis, tanpa resiko dinyatakan nebis in idem.
Sementara bila dalam putusan banding oleh hakim pengadilan tinggi dinyatakan bahwa “gugatan ditolak” atau “gugatan diterima seluruhnya/sebagian”, penggugat tidak dapat kembali menggugat ke hadapan pengadilan negeri, karena akan dinyatakan nebis in idem, oleh sebab putusan tersebut jika tidak diajukan kasasi maka akan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).

Sangat bertolak belakang bila amar putusan dalam putusan kasasi berbunyi sebagai berikut: “MENGADILI: Menerima permohonan kasasi para pemohon kasasi. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, dan mengambil alih putusan dengan amar sebagai berikut: Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.” ß Dalam putusan model ini, permohonan kasasi diterima, sehingga keberatan pemohon kasasi akan dikabulkan oleh hakim agung dengan cara membatalkan putusan pengadilan tinggi dan mengambil alih atau mengoreksi putusan sebelumnya dan membuat amar putusan baru yang menyatakan bahwa gugatan ditolak.
Dalam putusan model kedua ini, putusan akan langsung dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkracht), apapun putusan pengadilan tinggi yang diajukan kasasi.

Terdapat model lain dari putusan kasasi Mahkamah Agung, yakni atas permohonan kasasi yang baik diajukan oleh Terpidana maupun oleh Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim Agung akan menyatakan menerima permohonan kasasi. Namun, kemudian Majelis akan membuat pernyataan lanjutan, bahwa Mahkamah akan memperbaiki amar putusan judex factie dengan membuat amar putusan sendiri, yang baik dapat berupa mengurangi hukuman ataupun bahkan mungkin akan menambah hukuman, sekalipun permohonan kasasi itu diajukan oleh terpidana.
Hakim Agung yang benar-benar agung ialah Hakim Agung yang disegani para koruptor. Sehingga koruptor yang diputus pidana penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) akan berpikir seribu kali sebelum memutuskan untuk mengajukan upaya hukum. Hakim Agung demikian dikenal tidak toleran terhadap koruptor, dan akan dengan "murah hati" menambah beban hukuman penjara bagi sang terpidana tipikor demi efek jera agar tiada lagi anggota masyarakat yang berani untuk coba-coba menjadi korup. Berani mencoba kasasi guna "menghamburkan" waktu sang Majelis, maka siap-siaplah menghadapi sang Hakim Agung yang disegani tersebut.
Mendengar nama besar sang Hakim Agung tersebut saja sudah membuat para terpidana koruptor berkeringat dingin. Namun terdapat sebuah kejanggalan sebagai fenomena sosial yang unik: calon koruptor tidak segan atas nama besar tersebut, dan baru akan mulai merasa segan dan takut ketika akan berhadapan dengan sang Hakim Agung.
 
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.