RESTORATIVE JUSTICE
Question: Apakah korban pelapor penipuan atau penggelapan dalam hukum acara pidana, dimungkinkan untuk menarik/mencabut laporan pengaduannya kembali setiap waktu, dalam arti ketika terdakwa sudah dalam tahap persidangan sekalipun?
Answer: Dimungkinkan (dengan catatan hanya untuk kasus spesifik tertentu, yang lihat dari konteks kondisi dan keadaan, secara kasuistik), sebagaimana halnya kasus perdata, perdamaian bisa terjadi setiap waktu, meskipun sedang memasuki tahap banding maupun kasasi. Hal ini dimungkinkan dalam rangka restorative justice, dimana menggunakan alam pikir yang sama dengan akta perdamaian dalam sengketa perdata.
EXPLANATION:
Mahkamah Agung dalam putusan pidana kasasi yang dimohonkan kepada hakim agung untuk memutuskan perkara pidana dengan nomor perkara 1600 K/Pid/2009[1], hakim agung telah membuat terobosan hukum yang penting.
Dalam perkara pidana ini Terdakwa didakwa secara alternatif dengan dakwaan Penipuan atau Penggelapan, dimana yang menjadi korban/pelapornya adalah mertua terdakwa itu sendiri.
Permasalahan bermula ketika Terdakwa yang hendak mengembangkan usahanya mengajak korban membantu terdakwa dengan memberikan tambahan modal dengan janji berupa keuntungan berupa bunga atas modal yang diserahkannya.
Untuk semakin meyakinkan korban, Terdakwa menjanjikan bahwa setiap tambahan modal yang diberikan oleh korban terdakwa akan menyerahkan Bilyet Giro (BG) dan Check yang dapat dicairkan 1 bulan setelahnya. Akan tetapi ternyata setelah korban berusaha mencairkan BG dan check-check tersebut terdapat beberapa BG dan Check yang tidak dapat dicairkan, baik karena ternyata cek dan BG tersebut ternyata kosong hingga tanda tangan yang tertera dalam cek dan BG tersebut berbeda dengan yang ada dalam specimen yang ada di Bank, sehingga menjadi terang dan jelas adanya mens rea (maksud batin) dari terdakwa yang memang untuk menipu dari sejak awal sebagai bukti petunjuk yang terang bagi hakim.
Atas perbuatan terdakwa tersebut korban mengalami kerugian mencapai + 3,9 M. Korban kemudian melaporkan perbuatan Terdakwa ke kepolisian. Namun dalam persidangan di tingkat pengadilan negeri, korban menyatakan bahwa ia mencabut tuntutannya kepada terdakwa dengan alasan bahwa terdakwa adalah juga merupakan menantunya yang memiliki 2 orang anak yang masih kecil-kecil, dan korban sebagai pengadu telah memaafkan segala perbuatan terdakwa.
Atas dasar pencabutan pengaduan tersebut, walaupun sudah tidak lagi memenuhi syarat pencabutan pengaduan sebagaimana diatur dalam pasal 75 KUHP, Pengadilan Negeri menyatakan mengabulkan permohonan pencabutan Pengaduan yang diajukan Korban, dan menyatakan penuntutan perkara tersebut tidak dapat diterima.
Putusan tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi, dan oleh Pengadilan Tinggi diperintahkan agar Pengadilan Negeri memeriksa kembali perkara tersebut.
Putusan Pengadilan Tinggi tersebut kemudian dimohonkan kasasi oleh Terdakwa. Oleh Mahkamah Agung permohonan kasasi tersebut dikabulkan. Mahkamah Agung pada intinya menyatakan bahwa pencabutan pengaduan yang dilakukan oleh korban walaupun sudah tidak memenuhi syarat pasal 75 KUHP tetap diterima, dengan pertimbangan bahwa walaupun perkara ini perkara pidana, namun perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui, karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada bila dilanjutkan. Atas pertimbangan tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa pencabutan pengaduan tersebut dinyatakan sah sehingga penuntutan terhadap terdakwa dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam konteks ini, Mahkamah Agung telah menempatkan dirinya sebagai Mahkamah Konstitusi karena melangkah lebih jauh dengan melakukan uji materiil terhadap suatu ketentuan undang-undang.
B. Ringkasan Pertimbangan
a. Bahwa salah satu tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya tindak pidana;
b. Bahwa perkara ini terjadi karena adanya konflik antara mertua (sebagai pelapor) dengan menantu (sebagai terdakwa); ß Perhatikan sifat kasuistik ini.
c. Bahwa ternyata kemudian sang mertua tidak lagi mempersoalkan tindak pidana yang dilakukan oleh menantunya, sehingga pengaduan dicabut;
d. Bahwa walaupun pencabutan pengaduan telah melewati 3 bulan, yang menurut pasal 75 KUHP telah lewat waktu, namun dengan pencabutan itu keseimbangan yang terganggu dengan adanya tindak pidana tersebut telah pulih;
e. Bahwa pencabutan pengaduan yang dilakukan oleh pelapor yang notabene adalah mertua Terdakwa, adalah merupakan tindakan untuk memaafkan menantu yang dengan demikian pihak yang dirugikan merasa tidak perlu lagi perkara ini diteruskan;
f. Bahwa walaupun perkara ini perkara pidana, namun perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui, karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada bila dilanjutkan;
g. Bahwa ajaran keadilan Restoratif mengajarkan bahwa konflik yang disebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara dengan kepentingan umum tetapi konflik juga merepresentasikan terganggunnya, bahkan mungkin terputusnya hubungan antara dua atau lebih individu di dalam hubungan kemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian konflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih.
C. Amar Putusan
Mengadili
Mengabulkan permohonan Kasasi dari Terdakwa.
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi
Mengadili Sendiri
Menyatakan Penuntutan Perkara atas nama Terdakwa tidak dapat diterima.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.
[1] Sumber putusan: Mahkamah Agung, Laporan Tahunan 2010, Ferbruari 2011, Jakarta.