KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Jangka Waktu Proses Beracara di Pengadilan

ARTIKEL HUKUM
Question: Sebenarnya berapa lamakah proses beracara di pengadilan agar suatu perkara selesai diputus oleh hakim demi kepastian hukum?
Answer: Hal tersebut sebenarnya telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan. Sayangnya, dan kabar buruknya, untuk proses kasasi tidak diatur (meski banyak putusan kasasi baru terbit setelah terbengkalai bertahun-tahun, dan untuk SOP dari panitera Pengadilan Negeri (PN) untuk segera mengirim berkas perkara pada Pengadilan Tinggi (PT) agar hakim PT dapat segera memutus permohonan banding, tidak diatur dan belum diatur (celah hukum ini sering dipakai oleh mafia hukum dalam modus penundaan pengiriman berkas perkara baik ke Pengadilan Tinggi maupun ke Mahkamah Agung maupun sebaliknya penundaan pengiriman berkas perkara dan putusan dari Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung ke Pengadilan Negeri).
EXPLANATION:
Berikut petikan isi SEMA dimaksud:
“Bahwa pada saat ini masing-masing pengadilan telah melaksanakan sistem Manajemen Perkara yang berbasis elektronik baik di Pengadilan Tingkat Pertama maupun Pengadilan Tingkat Banding yang memungkinkan penyelesaian perkara dapat diselesaikan lebih cepat, namun kenyataannya penyelesaian perkara-perkara, baik yang diperiksa di Pengadilan Tingkat Pertama maupun Pengadilan Tingkat Banding pada 4 (empat) lingkungan Peradilan masih diselesaikan dalam waktu yang cukup lama.
Oleh karena hal tersebut di atas, maka diharapkan perhatian para Ketua Pengadilan Tingkar Pertama dan Ketua Pengadilan Tingkat banding pada 4 (epat) lingkungan Peradilan agar penyelesaian perkara dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
1.        Penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama paling lambat dalam waktu 5 (lima) bulan; ß Meski senyatanya bisa jauh lebih lama dari itu, karena frasa “diharapkan”.
2.       Penyelesaian perkara Pengadilan Tingkat Banding paling lambat dalam waktu 3 (tiga) bulan;
3.       Ketentuan waktu sebagaimana pada angka 1 dan angka 2 di atas termasuk penyelesaian minutasi;
4.       Ketentuan tenggang waktu di atas tidak berlaku terhadap perkara-perkara khusus yang sudah ditentukan berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan.
Terhadap sifat dan keadaan perkara tertentu yang penyelesaian perkaranya memakan waktu lebih dari 5 (lima) bulan untuk Pengadilan Tingkat Pertama dan 3 (tiga) bulan untuk Pengadilan Tingkat banding maka Majelis Hakim pada Pengadilan Tingkat Banding harus membuat laporan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding yang tembusannya ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung, sedangkan untuk Pengadilan Tingkat Pertama Majelis Hakim membuat laporan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Mahkamah Agung…. Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.”
Fakta yang terjadi di lapangan, jamak terjadi penyimpangan yang dilakukan oknum panitera pengadilan, berkolusi dengan salah satu pihak dalam sengketa, dengan cara menahan berkas perkara yang diajukan banding oleh pihak lain, sehingga Pengadilan Tinggi tidak akan pernah dapat memutus oleh karena berkas perkara masih berada di PN.
Salah satu kejadian yang penulis alami, putusan PN medio bulan Agustus 2013, namun hingga September 2014, status berkas masih di PN. Artinya, selama 1 (satu) tahun berkas dibiarkan tersembunyi di PN. Tujuannya, strategi lawan untuk mengulur waktu dengan berkolusi pada oknum panitera di PN.
Lebih janggal adalah dikala Anda mungkin berdomisili lebih dekat dengan PT, namun untuk mengajukan banding dan memori banding, Anda tidak bisa memasukkannya ke PT, namun harus lewat PN.
Penulis memberi ilustrasi secara ekstreem dan merupakan realita, nyata terjadi, jika Anda berdomisili di Jakarta, sementara sengketa Anda terjadi di PN Papua, maka jika Anda hendak mengajukan kasasi dan mendaftarkan memori kasasi, maka Anda tidak boleh langsung menghadap Mahkamah Agung yang terletak di Jakarta, Anda tetap hanya boleh mendaftar dan memasukkan berkas di PN Papua.
Sungguh tidak ekonomis, berbiaya tinggi, dan melanggar asas peradilan cepat, sederhana, dan murah.
Fakta kedua, sebetulnya proses persidangan dapat dibuat singkat, semisal tidak harus satu minggu jeda antara satu tahap ke tahap berikutnya. Dan bila hanya untuk memasukkan surat gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, yang menghambat adalah birokrasi prosedural yang tidak efesien, dimana secara efektif sebenarnya proses persidangan mulai dari mediasi hingga putusan cukup 1 (satu) bulan (hal ini kemudian telah diakomodasi Mahkamah Agung dengan membuat mekanisme gugatan sederhana small claim court yang diputus kurang dari 1 (satu) bulan meski jenis perkara yang dapat menggunakan mekanisme sederhana ini masih terbatas kategorinya).
Terlebih gila adalah putusan kasasi. Dalam kasus Kedung Ombo, nilai permohonan ganti rugi dalam gugatan perdata menjadi tergerus nilai inflasi, sehingga sekalipun diputus, karena berkas telah “tertimbun” sekian tahun, maka yang terjadi ialah “menang diatas kertas”.
Fakta yang tidak terbantahkan, peradilan Indonesia memiliki karakter primitif, prosedural, boros waktu, boros energi, boros biaya, dan aparaturnya kurang bermoral—entah bagaimana proses seleksi mereka sehingga dapat menjabat di pengadilan.
Lihatlah fakta yang menjadi rahasia umum, satu diantara majelis hakim, pastilah hakim yang hanya bisa tidur, melamun, main hp, atau celingak-celinguk. Fenomena ini terjadi di ruang sidang mana saja, sejauh pengamatan penulis. Bagaimana proses seleksi hakim maupun pengawasan dan penataran terhadap calon hakim, sama sekali tidak jelas. Hal ini diperkeruh oleh putusan Mahkamah Konstitusi RI yang menyatakan hanya diperkenankannya hakim karir, bukan hakim ad hoc dalam tubuh lembaga yudikatif.

Harapan kita bersama, semoga profesionalitas aparatur pengadilan benar-benar mengerti makna dari kata adil dan kepastian hukum, karena mereka adalah hamba masyarakat, bukan mendesak masyarakat untuk menghamba pada mereka sehingga terpaksa berucap: “Mohon kebijaksanaannya,”, "mohon bantuannya,", "terimakasih banyak", seolah mereka menjadi bijaksana bila melaksanakan tugas mereka dengan bertanggung-jawab.
Peribahasa hukum menyebutkan, keadilan yang tertunda adalah ketidakadilan itu sendiri.
Mengapa saya katakan proses persidangan yang tidak memakan waktu lebih dari 1 bulan adalah persidangan yang mendekati kebenaran, misalkan ketika Anda membaca surat gugatan (terlebih lisan tanpa tertulis, dan sekalipun tertulis, apakah benar akan dibaca oleh hakim yang memutus? Saya tidak yakin), membantah lawan, mengajukan saksi, melakukan pembuktian, namun bila semua itu berujung pada putusan yang diambil satu atau setengah tahun kemudian, apakah hakim masih ingat terhadap semua yang telah dengan susah payah Anda bantah, dalilkan, dan buktikan?
Semestinya Indonesia perlu mengadopsi sistem hukum di Negara Anglo Saxon, dimana baik Penggugat maupun Tergugat harus sudah siap dengan segala dalil dan bukti sebelum mengajukan gugatan sehingga proses persidangan bersifat maraton tanpa berlarut-larut. Proses beracara di penagdilan Indonesia bersifat antiklimaks sejak semula.
Mari kita tinjau dalam perspektif psikologi hukum. Memori manusia terbatas, sangat terbatas. Banyak kejadian “peradilan sesat” justru karena ulah saksi mata yang memorinya bias, sekalipun mereka melihat atau mendengar dengan mata kepala sendiri dan kejadian yang mereka saksikan/dengar tidak berselang waktu lama, acapkali mereka memberikan kesaksian yang sesat karena keterbatasan daya ingatan. Begitupula hakim yang harus memeriksa dan memutus banyak sekali berkas dakwaan dan gugatan yang menumpuk di ruang arsip, apakah ada yang menjamin tidak akan terjadi bias memori antara satu perkara dengan perkara lain?
Semestinya hukum acara perdata dan pidana diadakan pendekatan filter dismissal layaknya Pengadilan Tata Usaha Negara, sebab jamak kita temui, gugatan/tuntutan abal-abal yang tujuannya hanya untuk membuat repot pihak tergugat/terdakwa. Entah untuk mengulur waktu, untuk memeras, untuk berkelit, dsb. Gugatan/dakwaan semacam itu tentu menyita sumber daya hakim yang terbatas. Penulis  secara pribadi sanksi, seorang hakim dapat membaca seluruh berkas bukti dan perkara bila dihadapkan pada setumpuk berkas perkara, yang mana bercampur aduk antara perkara yang benar dan perkara yang dibuat-buat oleh masyarakat itu sendiri. Kebosananlah yang akan timbul, dan itu manusiawi. Semakin tertunda dan berlarut, semakin bosan jadinya, itu lebih manusiawi lagi adanya.
Alasan utama penulis menyatakan bahwa gugatan perdata ataupun tuntutan pidana semestinya tidak lebih dari 1 bulan (bukan hanya berlaku untuk small claim court), baik itu PN, PT, maupun kasasi MA, tentunya ketika seseorang hendak menggugat mestinya telah mengumpulkan semua pembuktian yang cukup, dan jaksa penuntut umum pun telah mengumpulkan semua alat bukti yang terang dan jelas dari pihak penyidik, sehingga tak ada alasan lagi untuk menunda persidangan berminggu-minggu. Apa mungkin jaksa mendakwa seseorang sementara alat bukti itu sendiri belum memadai?
Bayangkan bila Anda berdomisili di Jakarta sementara Anda harus meladeni perkara gugatan/tuntutan di PN Bandung, Anda harus keluar biaya dan waktu serta tenaga pulang-pergi lebih dari belasan kali meski Anda adalah pihak yang beritikad baik. Perasaan terzolimi atas proses peradilan yang lalim tidak dapat dihindari. Mengapa harus dibuat kompleks bila bisa dibuat sederhana?
Albert Einstein berkata, orang bodoh membuat tata cara yang tidak efisien, sementara mereka yang efektif membuat efisien segala sesuatunya. Penulis melihat ketumpulan berpikir Mahkamah Agung selaku pembina dan kepala dari sistem peradilan yang kolot dan lamban serta tidak efektif ini.
Mengapa keadilan harus demikian mahal dan meletihkan? Berarti terdapat pengabaian dari negara terhadap masyarakat warga negaranya. Apakah dapat diartikan lain dari itu?
Sebenarnya masyarakat pencari keadilan dapat mengendus modus yang terdapat dibalik itu. Tidak lain tidak bukan simbiosis mutualisme antara pengacara dan oknum pengadilan. Semakin berlarut, semakin keruh, tentunya mereka yang akan semakin diuntungkan. Klien tidak ubahnya sapi perahan bagi mereka. Tak jarang, saya dapati pengacara yang justru memberikan nasehat sesat pada klien, dimana sekalipun klien mereka bersalah, seperti pengemplang kredit, justru diarahkan untuk menggugat kreditor mereka dengan uang hasil pinjaman kredit ketika debitor tersebut mulai memasuki fase kredit macet.
Modus lain, ketika Anda memiliki pengacara dengan sistem kontrak per tahun. Tentunya kasus Anda akan dibiarkan tertumpuk tanpa diperiksa oleh hakim sebelum kontrak Anda habis masa berlaku dan Anda harus memperpanjang kontrak yang barulah berkas akan diangkat ke permukaan dan diputus.
Banyak modus kotor lain. Bagi yang merasa tersinggung atas artikel jujur ini, Anda tidak akan pernah menang melawan hukum karma. Cepat atau lambat saya dan begitupula dengan Anda akan meninggal dunia dengan mewarisi segudang karma tersebut yang menunggu matang dan berbuah pada si pembuatnya sendiri. Mengapa saya harus takut untuk mengungkapkan fakta? Mengapa Anda merasa begitu hebat bisa berkolusi dengan akal bulus dan korup, sementara Anda sendiri cepat atau lambat juga akan tunduk pada kematian.
Bagi para pencari keadilan, janganlah berkecil hati, hukum karma tidak bisa disogok, dan bekerja dengan demikian jujur dan tegas serta adil, tanpa perlu diminta, ia akan bekerja secara sigap untuk memberikan kembali perlakuan masing-masing sebagaimana mereka berlaku selama ini. Sarjana hukum yang hebat adalah sarjana hukum yang murni mampu menyusun dalil dan argumentasi serta mengadirkan kebenaran, bukan yang menjelma calo dengan bungkusan bernama pengacara, notaris, konsultan, jaksa, hakim, dsb.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.