Tindak Pidana Korporasi yang Bermutasi menjadi Tindak Pidana Perorangan (Pengurus Perusahaan)

ARTIKEL HUKUM
Permasalahan: Modus operandi tindak pidana bersifat multifaset, artinya kian beragam, dimana salah satu modus tercanggih ialah dengan menyalahgunakan suatu badan hukum untuk kepentingan seseorang pengurus maupun organ dari badan hukum tersebut. Ancaman pidana bagi tindak pidana korporasi paling jauh hanya sebatas denda atau sanksi administratif seperti pencabutan izin, bukan pemenjaraan terhadap organ badan hukum (kecuali undang-undang menentukan lain). Berbeda dengan tindak pidana perorangan, maka dapat dikenakan ancaman hukum penjara. Nah, karakteristik pembeda antara tindak pidana korporasi dan tindak pidana perorangan inilah yang acapkali membuat orang-orang yang bertikad buruk untuk menyalahgunakan badan hukum tanpa terancam oleh hukuman penjara. Sementara sanksi denda terhadap korporasi hanya sebatas kekayaan badan hukum, dan bila izin operasional dicabut, dapat didirikan badan hukum baru dengan demikian mudahnya di Indonesia dengan cukup bermodalkan kurang dari belasan juta rupiah telah dapat memiliki badan hukum Perseroan Terbatas. Itulah mengapa, prinsip piercing the corporate veil semestinya dan sepatutnya tidak hanya diterapkan dalam hukum perdata, namun juga hukum pidana, sehingga seorang direksi, komisaris, maupun pemegang saham, tidak dapat menyalahgunakan badan hukum tempatnya menjadi organ, sehingga sanksi terhadap tindak pidana korporasi dapat pula terhadap pidana penjara terhadap organ-organnya yang terbukti telah melakukan penyalahgunaan atau melampaui wewenangnya.
Ulasan Singkat: Pada praktiknya pengadilan di Indonesia telah menerapkan prinsip piercing the corporate veil, sehingga tidak dapat lagi suatu organ badan hukum menyalahgunakan badan hukum tempatnya berada tanpa merasa terancam hukuman penjara bila terjadi tindak pidana korporasi. Contoh paling sederhana, bagi badan hukum yang tidak menerapkan Upah Minimum Regional / Sektoral, maka Pengadilan Hubungan Industrial dapat menerapkan pasal pidana penjara dalam UU Ketenagakerjaan terhadap direksi, sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya No. 687 K/PID.SUS/2012.
Pembahasan :
STUDI KASUS Putusan Mahkamah Agung No. 2342 K/Pid.Sus/2011 tanggal 21 Desember 2011.
I MADE PARISADNYANA adalah nama Terdakwa. Pada medio Maret 2009, Terdakwa mendirikan PT. Baliconsultant Life Insurance yang bergerak di bidang usaha asuransi jiwa yang tidak bergerak di bidang asuransi sosial tetapi bergerak di bidang asuransi jasa keuangan dengan menghimpun dana masyarakat.
Berdasarkan Akta Pendirian Perseroan Terbatas tersebut Terdakwa diangkat sebagai Komisaris Utama PT Baliconsultant Life Insuranse.
Terdakwa selaku Komisaris Utama seharusnya bertugas mengawasi secara umum atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada Direksi akan tetapi Terdakwa malahan secara langsung ikut menjalankan atau menyuruh menjalankan perusahaan asuransi tersebut yakni ikut secara aktif dalam kegiatan usaha tersebut dengan menandatangani Sertifikat Polis Asuransi para nasabah serta menyuruh Direksi dan Kepala-kepala cabang PT Baliconsultant Life Insuranse menghimpun semua dana-dana nasabah dan dimasukkan dalam rekening perusahaan, di mana dana tersebut dikelola sendiri oleh Terdakwa selaku Komisaris Utama begitupun dalam pencetusan terhadap pemasaran atau penjualan program asuransi tersebut semuanya direkomendasikan oleh Terdakwa dan Dewan Direksi hanya bertugas menjalankan seluruh kebijakan maupun keputusan yang diambil oleh Terdakwa.
Jumlah nasabah yang dihimpun sebanyak kurang lebih 40.000. nasabah dengan jumlah dana masyarakat yang terhimpun kurang lebih Rp.400.000.000.000,- (empat ratus milyar rupiah) yang kesemuanya masuk ke rekening Terdakwa selaku pemilik dari PT Baliconsultant Life Insuranse.
Kegiatan usaha perasuransian tersebut dilangsungkan tanpa mendapat ijin usaha dari Menteri Keuangan Republik Indonesia. Maka atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), terhadap Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) jo Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1992 tentang Asuransi.
Pengadilan Negeri Denpasar No.157/Pid.B/2011/ PN.Dps. tanggal 28 Juni 2011 telah memutuskan yang amar lengkapnya sebagai berikut :
1 Menyatakan Terdakwa I MADE PARISADNYANA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “menjalankan kegiatan usaha perasuransian tanpa ijin usaha ”;
2 Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama: 15 (lima belas) tahun;
3. Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah) subsidair 6(enam) bulan kurungan; …
Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar. Terdakwa mengajukan Kasasi.
Terdakwa dalam Kasasinya mendalilkan, bahwa dakwaan diarahkan oleh Penuntut Umum langsung kepada Pemohon Kasasi, padahal para nasabah PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE berhubungan hukum dengan PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE yang dalam hukum perseroan disebut sebagai artificial person, badan hukum / legal entity tersendiri, dan diwakili oleh Direksinya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5, Pasal 97 dan Pasal 98 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).
Terdakwa dalam Memori Kasasinya mengemukakan alibi:
Jelas bahwa ini adalah tindak pidana korporasi bukan tindak pidana perorangan biasa, dan dalam korporasi day to day operator adalah Direksi, sedangkan Pemohon Kasasi adalah Komisaris dan pemegang saham, penyebutan Pemohon Kasasi sebagai pemilik atau owner dari PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE juga sangatlah berlebihan karena di muka persidangan terbukti bahwa PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE memiliki setidaknya 14 (empat belas) pemegang saham dan beberapa diantaranya juga duduk sebagai direksi, sehingga sangatlah obscuur apabila Pemohon Kasasi digambarkan sebagai pemilik tunggal dan penguasa utama PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE.
“Judex facti tingkat banding tidak mampu memahami secara sensitif dalam mempertimbangkan perkara a quo hanya karena situasi persidangan yang panas dan rawan intimidasi. Keterangan saksi Sayu Ketut Kusumayani, saksi Ni Putu Diantari dan saksi Putu Candra Marita, haruslah dicerna dengan baik, apakah mungkin Pemohon Kasasi yang hanya satu orang mampu untuk mengendalikan day to day operation sebagaimana diterangkan oleh saksi-saksi itu sementara jumlah nasabah dan transaksi harian pada PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE sangatlah besar dan banyak.
“Perlu digaris bawahi bahwa saksi Sayu Ketut Kusumayani, saksi Ni Putu Diantari dan saksi Putu Candra Marita adalah saksi yang dalam hukum pidana dinamai saksi Mahkota, artinya ada kepentingan dari saksi-saksi ini untuk lepas dari pertanggungjawaban atas suatu perbuatan, perbuatan apa yaitu perbuatan pengelolaan PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE yang merugikan masyarakat yang dikelola oleh saksi-saksi itu selaku direksi.
“Direksi bertindak dalam pengurusan perseroan berdasarkan ruang lingkup tugas dan kewenangannya yang telah ditentukan antara lain dalam Pasal 1 angka 5, Pasal 97 dan Pasal 98 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 5: Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
Pasal 97 :
1. Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
2. Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. ...dst
Pasal 98 :
1. Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
2. Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar.
3. Kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, anggaran dasar, atau keputusan RUPS.
4. Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar Perseroan.
“Bahwa dengan demikian, dalam hal perseroan telah menimbulkan akibat hukum tertentu (misalnya kerugian) bagi pihak ketiga lainnya, maka sudah merupakan kewajiban hukum dari para direksi itu untuk hadir mempertanggungjawabkan "perbuatan" perseroan yang dikelolanya, bukan malah mendorong komisaris untuk bertanggung jawab.
“Oleh karena itu, Unsur "Barang siapa" ini lebih tepat diarahkan kepada PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE, dan apabila Penuntut Umum masih berambisi untuk mengejar Pemohon Kasasi, ada baiknya apabila Penuntut Umum membuktikan dulu andil Pemohon Kasasi dengan cara piercing the corporate veil, tidak dengan main tunjuk saja. Dengan demikian Unsur "Barang siapa" ini tidak terbukti.
“Memahami perkara aquo, memang harus teliti dan hati-hati, karena pemberitaan negatif, apriori dan subjektif tidak henti-hentinya mengiringi proses persidangan perkara yang setempat dikenal dengan nama perkara balicon ini. Kita cermati awal dari keterangan saksi Heni Nugraheni, S.H., LL.M. yang membuat laporan tindak pidana usaha perasuransian tanpa ijin, dari judul laporan itu saja sebenarnya sudah jelas bahwa usaha asuransi itu tentunya tidak sama dengan usaha warung makan yang dapat dikelola oleh orang perorangan, melainkan harus dalam wujud Perseroan Terbatas yang juga diakui oleh para saksi termasuk saksi Heni Nugraheni, S.H., LL.M., saksi Ir. Sumarjono, M,sc., dan saksi M. Sofyan Abdulah yang intinya menyatakan bahwa subyek perkara ini adalah PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE (perhatikan bahwa dalam fakta persidangan ketiga saksi itu tidak pernah menyebutkan I MADE PARISADNYANA sebagai pelaku usaha asuransi tapi PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE).
“Saksi Heni Nugraheni, S.H., LL.M. melaporkan tindak pidana usaha perasuransian tanpa ijin pada tanggal 17 Agustus 2010 dengan terlapor PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE, dan menurut UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan, suatu perseroan itu diwakili oleh direksinya bukan oleh komisaris apalagi oleh pemegang saham.
“PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE juga memiliki 14 pemegang saham, 7 orang di antaranya adalah para pengurus perseroan. Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mambatasi kewenangan dan fungsi masing-masing organ perseroan itu. Dalam hal quod non salah satu organ melakukan perbuatan yang tidak patut atau melanggar hukum, maka adalah tetap menjadi kewajiban dari direksi untuk mengambil tindakan internal maupun eksternal demi kepentingan perseroan dan pemegang saham.
“Apa yang Pemohon Kasasi sampaikan tersebut di atas adalah hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang, dan bukanlah upaya pengelakan semata. Jaksa Penuntut Umum apabila memang benar-benar berniat menciptakan keadilan dalam perkara ini seharusnya sejak awal harus jeli dalam membaca peta perkara, termasuk mengenai susunan organ pengurus PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE beserta pembagian pertanggungjawabannya dengan menempatkan Pasal 55 atau 56 KUHP dalam dakwaannya, bukan malah hanya menempatkan Pemohon Kasasi seorang diri untuk mempertanggungjawabkan perbuatan PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE.
“Dengan pemetaan perkara yang baik maka akan teriihat kadar kesalahan masing-masing organ perseroan dan person per person, sehingga dapat dilakukan distribusi pertangunggjawaban secara seimbang sebagaimana tujuan dari hukum pidana sebagai Ultimum Remedium.
“Pemohon Kasasi hanya bersalah karena selaku Komisaris ia telah lalai untuk mengingatkan direksi agar segera menyelesaikan proses perijinan dan tidak melakukan pengawasan dengan baik. Tapi tidak lebih dari itu.
“Unsur "menjalankan atau menyuruh menjalankan" sebenarnya sudah terjawab sejak awal bahwa yang menjalankan usaha asuransi adalah PT. BALICONSULTAN LIFE INSURANCE (vide keterangan saksi Heni Nugraheni, S.H., LL.M., saksi Ir. Sumarjono, M,sc., dan saksi M. Sofyan Abdulah) yang dalam hal ini menurut keterangan Ahli Irfan Sanusi Sitanggang dijalankan oleh para direksinya, sedangkan menyuruh melakukan diartikan sebagai hasil RUPS yang merupakan organ tertinggi dalam perseroan yang menentukan nasib dan arah perseroan. Apakah dalam perkara a quo pernah diajukan akta risalah RUPS dengan tanda tangan Pemohon Kasasi yang isinya menyuruh melakukan tindak pidana?
“Jawabannya sekali lagi adalah tidak. Perkara aquo dipertimbangkan dan diputus oleh judex facti tingkat pertama dan judex facti tingkat banding hanya berdasarkan opini publik saja tanpa memperhatikan esensi yang paling utama dalam perkara ini yang kembali bermuara pada ketentuan-ketentuan dalam undang-undang perseroan. Karena secara materiil pun tidak dapat dibuktikan bentuk-bentuk perbuatan Pemohon Kasasi selain yang dinyatakan oleh saksi-saksi Mahkota yang jelas diragukan obyektifitasnya.”
Mahkamah Agung dalam pertimbangan putusan kasasi menyatakan bahwa permohonan kasasi tidak dapat dibenarkan. Pertimbangan hukum selanjutnya oleh hakim agung:
- Bahwa unsur barang siapa tidak terpenuhi tidak dapat dibenarkan sebab hal ini berkaitan soal siapa yang harus bertanggungjawab dalam perkara a quo, berdasarkan peran dan perbuatan yang dilakukan itu telah memenuhi unsur tindak pidana.
- Bahwa tidak selama direksi bertanggungjawab terhadap suatu tindak pidana yang terjadi sepanjang perbuatan dan kesalahan itu dapat saja beralih dan menjadi tanggungjawab pada pihak lain yaitu komisaris, sepanjang dapat dibuktikan bahwa PT. Baliconsultant Life Insurance diurus izin operasional yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan RI, disebabkan karena perbuatan Terdakwa selaku komisaris, apalagi dapat dibuktikan bahwa peran Terdakwa sangat signifikan atau dominan sehingga kedudukan dan kewenangan direksi menjadi tidak berjalan atau berfungsi sebagaimana mestinya.
- Selain itu, salah satu instrumen hukum yang dapat menjadi benang merah lahir pertanggungjawaban pidana Terdakwa apabila terbukti bahwa Terdakwa telah bekerjasama atau telah memerintahkan kepada direksi untuk melakukan perbuatan aquo sebagaimana Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
- Syarat izin operasional sangat dibutuhkan dalam pendirian suatu usaha yang bergerak di bidang perasuransian, untuk dijadikan sebagai instrumen kontrol atau pengawasan agar supaya dapat melindungi masyarakat dari tindakan tidak jujur dari pemilik;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Kasasi/Terdakwa dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;
M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa : I MADE PARISADNYANA tersebut;…”
Mahkamah Agung mungkin telah mempraktikkan peradilan sesat dalam kasus ini, dikarenakan membiarkan pelaku “turut serta” dalam tindak pidana diberikan keistimewaan untuk lepas tanggung jawab alias cuci tangan dengan menjadi “saksi mahkota” dan melimpahkan semua kesalahan kepada organ sebuah perseroan terbatas yang tidak berfungsi sebagai penggerak aktivitas perusahaan, yakni komisaris PT tersebut.
Yang paling bersalah dalam kasus ini, secara hukum, ialah direksi, apapun alasannya, organ direksi suatu perseroan terbatas “ought to know” (asas hukum umum: seorang subjek hukum dianggap tahu hukum) bahwa direksilah yang paling berwenang atas aktivitas perusahaan, bukan komisaris. Sehingga menjadi pertanyaan besar, mengapa—sekalipun jika memang benar terdakwa aktif mengintervensi aktivitas perusahaan—direksi tetap bersedia menjadi boneka (nominee) dalam badan hukum yang dilarang oleh hukum?
Tanggung jawab pengurusan perusahaan, seperti perolehan izin, adalah tanggung jawab organ direksi dalam suatu PT sebagaimana tercantum dengan tegas dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kesalahan komisaris, in casu terdakwa dalam kasus ini, ialah hanya sebatas tidak menegur direksi atas kelalaian mengurus izin operasional perusahaan.
Jika putusan (yang mungkin sesat) ini terus dibiarkan, maka bisa menjadi celah hukum dikemudian hari untuk kosnpirasi upaya meng-kriminalisasi pejabat yang tidak disukai dalam suatu badan hukum ataupun organisasi, sebagaimana terlihat dengan vulgar dalam kasus ini, dimana semua pihak bersepakat untuk melimpahkan semua kesalahan pada komisaris mereka.

Prinsip piercing the corporate veil yang membuat tanggung jawab terbatas dalam suatu perseroan terbatas tidak lagi terbatas, memang adalah tepat diterapkan dalam hukum pidana, bukan hanya hukum perdata, namun untuk kasus ini, yang paling bertanggung jawab ialah organ direksi, dimana yang terjadi ialah “turut serta” para organ PT tersebut, bukan mengkambing-hitamkan salah satu pihak yang menjadi organ komisaris yang mana akan menjadi bahan lelucon dan cemoohan para sarjana hukum yang terdidik dengan baik.
Seyogianya Mahkamah Agung juga memberikan pelajaran bagi masyarakat, bahwasannya seseorang menyadari beban dan tanggung jawab posisi Direktur sebuah perseroan. Berani diangkat secara sah secara de jure sebagai Direktur, maka berani bertanggung jawab. Jika seseorang tersebut menyadari bahwa de fakto adalah orang lain yang akan menyetir jalannya perseroan, mengapa masih mau ditunjuk dan didaftarkan namanya sebagai seorang Direktur?
Praktik pinjam nama hingga saat ini masih kerap terjadi dan tidak boleh terus dibiarkan dalam praktiknya. Praktik-praktik demikian menjadi celah melakukan modus nominee yang memiliki motif terselubung guna menghindari kewajiban hukum maupun pajak.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.