Sita Jaminan Dicabut bila Gugatan Ditolak, Beda Putusan Sela dan Putusan Akhir Pengadilan Negeri

Question: Bila dalam proses gugat-menggugat, permohonan sita jaminan oleh penggugat dikabulkan hakim dalam putusan sela / provisionil, lantas gugatannya itu sendiri kemudian oleh hakim dinyatakan ditolak, bagaimana dengan sita jaminan yang telah diletakkan?
Brief Answer: Pada dasarnya Pasal 226 Ayat (7) HIR yang menegaskan bahwa bila gugatan penggugat ditolak dan sita revindikasi telah diletakkan atas barang, maka penolakan gugatan harus dibarengi dengan amar putusan yang berisi perintah pencabutan penyitaan. Kendala di lapangan, acapkali jurusita pengadilan tidak secara otomatis menjalankan putusan hakim tanpa membayar biaya pencabutan sita yang mana Tergugat terpaksa membayar biaya pencabutan sita tersebut.
Explanation:
Menurut Yahya Harahap dalam bukunya HUKUM ACARA PERDATA, perintah pencabutan sita dalam amar putusan, bersifat asesoir (turunan) atas penolakan gugatan penggugat. Bila hakim lalai mencantumkan amar perintah pencabutan, maka dapat dilakukan langkah koreksi berupa upaya hukum banding maupun kasasi.
Permasalahan utamanya, bila kemudian gugatan penggugat ditolak hakim, maka siapa yang akan dikenai beban biaya pencabutan sita jaminan?
Keanehan pertama timbul dari tiadanya biaya (resmi) yang berlaku nasional, dalam arti seperti halnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku untuk seluruh pengadilan. Fakta di lapangan menunjukkan, biaya permohonan untuk meletakkan sita jaminan maupun mencabut sita jaminan tidak sama besar nominalnya antara satu pengadilan dengan pengadilan lain.
Keanehan kedua, dan yang mengejutkan, karena terus berlangsung hingga kini tanpa koreksi ataupun revisi SOP/prosedur oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga penyusun kebijkan, adalah bagaimana status atau nasib tergugat yang ternyata dimenangkan? Siapa yang akan menanggung biaya pencabutan sita jaminan yang diletakkan oleh penggugat? Dimana aspek keadilan perlindungan hukumnya bagi tergugat yang sudah digugat secara tidak layak, diletakkan sita jaminan, lantas harus membayar biaya pencabutan sita jaminan yang tidak sedikit? Disitulah letak keganjilan yang terus dibiarkan menjadi budaya buruk yang mengakibatkan aparatur pengadilan negeri begitu tamak penuh dengan nafsu “berahi” mengeruk sebanyaknya pungutan liar demi pungutan liar tanpa kenal puas dengan menyalahgunakan kekuasaan dan monopoli kewenangannya meski mereka telah digaji dengan uang negara yang notabene uang pajak dari rakyat.
Pemerasan demikian setali tiga uang dengan mereka yang beritikad tidak baik dengan menyalahgunakan lembaga sita jaminan yang dimohon oleh orang berpunya terhadap mereka dari kaum marginal: digugat, diletakkan sita jaminan, gugatan ditolak, tapi tetap dalam status tersita jaminan (selamanya bila tak dicabut) karena tergugat yang telah menang tidak mampu membayar biaya pencabutan sita.
Keanehan ketiga, mengapa pemohon sita jaminan tidak dibebani biaya panjar tambahan jika sewaktu-waktu ternyata gugatannya ditolak maka biaya panjar tambahan digunakan untuk mencabut sita jaminan dan bukannya justru membebani biaya tersebut pada tergugat yang menang. Lagipula bila penggugat menang, maka biaya panjar tambahan dapat diambil kembali.
Keanehan keempat, mengapa biaya pencabutan sita jaminan tidak diambil dari uang panjar penggugat?
Keanehan kelima, biaya pencabutan sita sama mahalnya dengan biaya peletakkan sita, meski untuk pencabutan sita pengadilan hanya mengirim surat pada Kantor Pertanahan / BPN setempat bahwa sita telah dicabut, namun memakan biaya hampir belasan juta rupiah sekadar untuk surat pencabutan sita dari pengadilan.
Pejabat pengadilan menerangkan, uang panjar penggugat belum tentu mencukupi. Lantas mengapa tidak sejak pertama kali meletakkan sita telah dibuat margin yang menjamin biaya pencabutan sita mencukupi sampai putusan atas sisa uang panjar? Pejabat tersebut justru hanya memberi solusi: “Minta baik-baik pada penggugat yang kalah untuk mencabut sita jaminannya.” Apa tidak salah memohon pada penggugat yang kalah? Jika harus demikian, berarti siapa yang sebetulnya kalah? Dalam hal ini juru sita pengadilan telah bersikap sewenang-wenang. Tergugat ibarat sudah jatuh (digugat), tertimpa tangga pula (harus mengemis pada penggugat yang tidak beritikad baik dan membayar biaya pencabutan sita).
Dapat kita lihat secara vulgar bagaimana aparatur negara memungut pungutan liar tanpa rasa malu maupun rasa berdosa meski mereka mengenakan atribut keagamaan dan selalu berbicara seolah agamais.
Entah bagaimana pula hal demikian terus berlangsung dan menjadi kebiasaan membudaya tanpa ada yang mampu berkutik ataupun melakukan perubahan. Mengapa lembaga yang terkenal dan diketahui oleh semua masyarakat sebagai lembaga kotor semacam Pengadilan, Kantor Pertanahan, Kepolisian, terus dibiarkan kotor seperti demikian? Dimana KPK? Dimana MA? Dimana Kapolri yang diamanatkan konstitusi untuk melindungi masyarakat dari pemerasan dan penyalahgunaan kekuasaan demikian terus berlangsung meski telah menjadi rahasia umum?
Contoh sederhana, bila Anda digugat sementara jelas dan terang Anda beritikad baik dan penggugat tidak beritikad baik, maka terhadap Anda selaku korban tetap dengan teganya diperas oleh pengadilan yang mewajibkan Anda untuk membayar biaya daftar surat kuasa dengan pungutan liar yang tidak kecil, bahkan setara dengan gaji Anda satu hari kerja meski biaya resmi PNBP-nya hanya Rp.5.000,-.
Dari pengalaman tersebut kita dapat menarik kesimpulan, betapa tamak dan tidak adilnya pengadilan dan para arapatur "penegak hukum" yang menerapkan sistem monopoli kekuasaan sambil mempertontonkan dengan vulgar penyalahgunaan kekuasaan yang mereka lakukan terhadap sipil yang tidak berdaya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.