Pihak yang Memiliki Hak untuk Membatalkan Perjanjian atas Alasan Tidak Cakap Hukum

LEGAL OPINION
Question: Bila salah satu pihak ternyata belum cakap hukum dalam mengikat diri dalam kontrak, siapakah diantara pihak itu yang berhak menuntut pembatalan kontrak?
Answer: Apakah para pihak dari sejak awal telah mengetahui dan menyampaikan bahwa salah satu pihak belum cakap hukum? Bila ternyata terdapat kesesatan, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan. Hingga kini tiada aturan hukum tegas yang menyatakan bahwa yang berhak mengajukan pembatalan ialah pihak yang mana, apakah salah satunya atau keduanya. Terdapat doktrin yang menyatakan bahwa yang berwenang dan berhak ialah yang saat mengikat diri dalam kontrak ternyata belum cakap hukum. Namun, bila kita merujuk pada pertanyaan sebelumnya, bila terjadi kebohongan oleh pihak lain yang mengadakan kontrak dengan kita, sebetulnya bisa jadi kita yang telah cakap hukum dirugikan oleh penipuan itu, sehingga sebetulnya penulis pribadi menilai justru hanya pihak yang sedari awal telah cakap hukumlah yang berwenang mengajukan pembatalan. Asas hukum menyatakan, bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum. Bila seseorang menyadari dirinya belum cakap hukum, lantas mengikat diri dalam kontrak, maka tentunya ia secara sadar atau gegabah telah melanggar hukum, maka ia yang tidak beritikad baik tidaklah berhak membatalkan kontrak.
EXPLANATION:
Dalam Buku berjudul Batasan Umur (Kecakapan dan kewenangan bertindak berdasarkan batasan umur) oleh Tuada Perdata tahun 2011 Rakernas 2011 Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia, disebutkan bahwa: “Kewenangan pihak si belum dewasa untuk menuntut pembatalan perjanjian yang telah ditutupnya, harus dibatasi sampai sejauh si belum dewasa mendapat rugi atau tidak mendapat manfaat daripada perjanjian itu.”
Sehingga, sekalipun si belum cakap hukum (saat mengikat kontrak) mengajukan pembatalan dan diterima, syarat limitatif demikian seyogianya berlaku, guna menutup potensi/peluang penyalahgunaan hukum.
Disamping itu, penulis berpendapat, jika saat mengikat diri dalam kontrak, sebagai contoh, berusia 17 tahun dan belum menikah, lantas kini telah berusia 22 tahun dan ia terus melaksanakan isi perjanjian (persetujuan secara diam-diam), maka ketika ia beranjak dewasa memasuki usia 23 tahun, sebagai contoh, maka tak dapatlah lagi ia menuntut pembatalan kontrak. Ia telah tunduk dan mengikat dirinya kembali saat umurnya mencapai cakap hukum, secara diam-diam dengan melaksanakan isi kontrak. Inilah limitatif batasan kedua yang saya usulkan sebagai bukti argumen yang juga seyogianya diperhatikan guna mencegah ketidakpastian hukum yang bersifat vital dalam hubungan keperdataan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.