Penghuni Bukan oleh Penyewa yang Menjelma Ilegal

LEGAL OPINION
Question: Seorang pihak ketiga kini menempati rumah milik kami, namun pihak ketiga tersebut adalah pihak atau orang yang berbeda dengan pihak penyewa, maka apakah kami dapat berkeberatan atas hal tersebut? Dan apakah diperbolehkan penyewa yang kembali menyewakan hak sewanya? Jika hal demikian adalah ilegal, maka langkah hukum yang dapat kami tempuh, apakah hanya lewat gugatan pengosongan?
Answer: Ada dua kriteria penempat rumah bukan pemilik: penyewa atau penghuni. Jadi, dalam hukum, dikenal dua jenis penempat rumah yang bukan pemilik. Namun, tak semua penyewa adalah penghuni. Dapat terjadi penhuni rumah bukanlah pihak penyewa. Untuk itu, hukum mewajibkan penyewa untuk memberitahu pemilik rumah, dan apakah pemilik rumah mengijinkan calon penghuni tersebut menempati rumahnya. Menyewakan kembali hak sewa kepada pihak ketiga adalah suatu Perbuatan Melawan Hukum (bila kontrak tidak mengatur) dan dapat juga suatu wanprestasi (bila kontrak sewa melarang secara tegas praktik alih sewa). Dapat meminta bantuan polisi guna pengosongan.
EXPLANATION:
Meski demikian perlu juga diatur secara tegas dalam kontrak sewa, apakah penyewa hanya menggunakan objek sewa sebagai rumah tinggal ataukah sebagai tempat usaha. Bila dijadikan pula sebagai tempat usaha, pastikan pula apa jenis usaha dari calon penyewa. Pada prinsipnya pemilik tanah/rumah harus terlebih dahulu melakukan evaluasi dan penilaian terhadap calon penyewa.
Pihak pemilik pun perlu menyadari, bila objek sewa berada pada daerah perumahan, maka harus ditegaskan diawal dan dalam kontrak, objek sewa tidak dapat dijadikan tempat usaha terlebih pabrik yang dapat mengganggu ketenangan lingkungan terlebih melakukan polusi, baik polusi udara, suara, hingga polusi air. Segala tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan penyewa maka pemberi sewa juga turut bertanggung jawab.
Pasal 1 Ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik (PP No.44/1994): “Penghuni adalah seseorang atau badan yang menempati atau memanfaatkan rumah secara sah, baik untuk tempat tinggal maupun untuk keperluan lain dalam rangka pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga.”
Penjelasan Resmi Pasal 1 Ayat (7) PP No.44/1994 menegaskan: “Dalam hal penyewa bukan penghuni, penyewa wajib memberitahukan kepada pemilik.”
Pasal 2 PP No.44/1994:
(1)     Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik. ß Artinya, bila penghuni bukanlah Pihak Penyewa itu sendiri, tetap harus ada izin pemilik yang sah. Artinya pula, jika kontrak tak mengatur, namun terjadi praktik alih sewa, maka dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum berdasarkan ketentuan ini.
(2)     Penghunian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan cara sewa menyewa atau dengan cara bukan sewa menyewa.
Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) PP No.44/1994: “Pengertian sah di sini adalah adanya persetujuan atau izin dari Pemilik Rumah. Persetujuan atau izin tersebut dituangkan dalam perjanjian sewa menyewa, yang memuat atau mencakup antara lain hak dan kewajiban jangka waktu sewa, harga sewa, obyek rumah yang di sewa. Sedangkan izin yang dituangkan dalam bentuk perjanjian bukan sewa menyewa, memuat atau mencakup antara lain hak dan kewajiban jangka waktu izin menghuni, dan obyek rumah yang dihuni.”
Yang menjadi konsekuensi tidak terpenuhinya syarat formil demikian, diatur dalam Pasal 3 PP No.44/1994: “Penghunian rumah yang dilakukan tanpa persetujuan atau izin pemilik dinyatakan sebagai penghunian tanpa hak atau tidak sah.
Pasal 9 Ayat (1) PP No.44/1994: “Penyewa dengan cara apapun dilarang menyewakan kembali dan atau memindahkan hak penghunian atas rumah yang disewanya kepada pihak ketiga tanpa izin tertulis dari pemilik.”
Pasal 10 PP No.44/1994:
(1)  Penyewa wajib mentaati berakhirnya batas waktu sewa sesuai dengan yang diperjanjikan. ß Namun, karena penyewa ingkar janji, semisal memberikan hak huni kepada pihak lain tanpa izin, maka dapat dinyatakan bahwa perjanjian berakhir dan seketika itu pula batas waktu sewa terputus. Itulah mengapa dalam perjanjian sewa-menyewa perlu dibuat aturan yang tegas mengikat dan sanksinya bila pihak penyewa lalai atau melanggar hukum. Semisal membuat klausul akibat wanprestasi, dimana salah satunya kriteria wanprestasi ialah menyewakan kembali, maka perjanjian akan putus, dsb.
(2)  Dalam hal penyewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak bersedia meninggalkan dan mengosongkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang disepakati dalam perjanjian, penghunian dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengosongkannya. ß Memang tampaknya ketentuan ini seolah hanya berlaku untuk penyewa yang habis masa sewanya, namun secara analogi dan secara logika bilamana penyewa cidera janji sebagamana diuraikan pada Ayat (1) diatas, maka seketika itu pula dapat dimintakan pengosongan pada pihak kepolisian tanpa harus minta fiat eksekusi pengesongan ataupun gugatan pengosongan pada pengadilan.

Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 11 Ayat (1) PP No.44/1994:  Apabila salah satu pihak tidak mentaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, maka hubungan sewa menyewa dapat diputuskan sebelum berakhirnya jangka waktu sewa menyewa dengan ketentuan-ketentuan: jika yang dirugikan pihak pemilik, maka penyewa berkewajiban mengembalikan rumah dengan baik seperti keadaan semula, dan tidak dapat meminta kembali uang sewa yang telah dibayarkan.” 
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.