Pencabutan Surat Kuasa, Hak Prerogatif Pemberi Kuasa

LEGAL OPINION
Question: Apa sajakah hal-hal penting yang harus dicantumkan pada suatu pencabutan surat kuasa? Apakah didalamnya harus disebutkan alasan pencabutan? Apa saja tips dan kiat yang dapat dilakukan untuk mencabut surat kuasa? Apakah surat kuasa dapat dicabut tanpa syarat dan kapan saja?
Answer: Surat kuasa dapat dicabut kapan saja, selama surat kuasa tersebut tidak bersifat dan berisi klausul bahwa surat kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali, semisal SKMHT yang bersifat kuasa mutlak (tidak dapat dicabut kembali). Namun, surat kuasa yang bukan berupa kuasa mutlak, dapat dicabut sewaktu-waktu dan tanpa alasan apapun. Hal yang paling penting, ialah agar penerima kuasa seketika menyerahkan kembali berkas atau dokumen atau hal lain yang sebelumnya dipercayakan kepada penerima kuasa, agar dikembalikan.
EXPLANATION:
Perlu juga diingat, bahwa seorang pemberi kuasa, semisal pemberian kuasa kepada pengacara/lawyer untuk mewakilinya beracara di pengadilan, dapat mencabut surat kuasanya pada tingkat proses apapun dalam jalannya persidangan. Sehingga dapat terjadi Anda menarik kuasa Anda saat sidang pembacaan putusan atau bahkan sejak saat terjadi mediasi.
Anda dapat mencabut surat kuasa dengan cara mengirim tembusan surat kuasa baru yang Anda berikan kepada pihak ketiga, dimana menurut hukum perdata, otomatis surat kuasa lama menjadi gugur. Namun tentunya hal demikian akan menimbulkan sinisme tersendiri secara moral.
Yang ideal, adalah membuat surat pencabutan kuasa. Bentuk surat adalah surat pada umumnya, hanya saja perlu dibubuhi beberapa kalimat penting. Contoh:
“Bahwa, sejak surat pencabutan kuasa ini Anda terima, maka kuasa yang kami berikan berakhir dengan sendirinya, dan segala tindakan yang Anda lakukan untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab pribadi Anda, dan dengan ini kami perintahkan Anda sesuai hak perdata kami untuk mengembalikan asli maupun fotokopi berlegalisir surat kuasa yang sebelumnya kami berikan. Kami pun memerintahkan agar segala dokumen atau berkas atau benda lain yang terkait dengan hak dan merupakan kepemilikan kami agar diserahkan kembali kepada pihak kami, dengan segala rahasia pribadi kami untuk tetap melekat pada pihak Anda sekalipun dengan pencabutan kuasa ini.” Terdengar keras dan frontal, namun dapat diperhalus sesuai kebutuhan, kecuali tingkat keparahan/kerusakan yang ditimbulkan penerima kuasa tidak lagi dapat ditolerir.
Mengenai cara mencabut surat kuasa, dapat ditujukan langsung pada penerima kuasa, disertai dengan fotokopinya, dimana fotokopi itu dapat menjadi bukti otentik pencabutan, dengan cara meminta agar penerima kuasa yang dicabut kuasanya mencatumkan cap logo mereka, tanda tangan, nama penerima serta tanggal penerimaan surat pencabutan.
Dari fotokopi surat pencabutan tersebut, barulah kita serahkan pada panitera pengganti pengadilan maupun pada bagian hukum umum, sebagai pemberitahuan bahwa kuasa tersebut telah dicabut dan oleh karenanya tidak lagi berwenang mewakili principilnya untuk urusan apapun baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Dalam praktik, timbul pula pertanyaan berikut: Bagaimana jika dalam surat kuasa tercantum kuasa "mutlak" yang artinya "tidak dapat dicabut kembali"?
Terhadap hal tersebut, jawabannya mungkin terdengar filosofis. John Stuart Mill dalam bukunya berjudul On Liberty memberikan sebuah analogi yang tepat: jika seorang budak menjual kebebasannya, apakah benar disebut adanya kebebasan untuk menjadi tidak bebas? Bukan ini justru bertentangan dengan hakiki tujuan kebebasan itu sendiri. 
Sehingga, benarkah adanya kebebasan bersepakat untuk tunduk pada klausul "mutlak" demikian, ataukah mengandung adanya "cacat kehendak" diatasnya?
Bila para pembaca mencoba mencermati kaidah dalam Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan dijumpai klausul hukum negara yang mengatur bahwa bila pemberi kuasa meninggal, mencabutnya dengan pemberitahuan, pailit, atau di-ampu, maka pemberian kuasa berakhir.
Pertanyaannya, terdapat seorang penerima kuasa dengan klausa "mutlak", ketika kemudian pemberi kuasa di-ampu, atau jatuh pailit, siapakah yang kemudian berwenang bertindak untuk dan atas nama si ter-ampu/pailit, sang penerima kuasa ataukah kurator/pengampu?
Sama halnya dengan peristiwa meninggalnya pemberi kuasa, atau dicabutnya kuasa oleh pemberi kuasa, sama-sama tunduk pada satu Pasal KUHPerdata yang sama dengan ketentuan pailit atau di-ampu-nya pemberi kuasa.
Dengan sudut pandang ini, surat kuasa menjadi tidak diperkenankan bersifat "mutlak", dalam artian bila sekalipun tetap dicantumkan maka hal tersebut tidak berlaku adanya.
Berbeda dengan kuasa mutlak yang diamanatkan Undang-Undang, semisal Undang-Undang tentang Hak Tanggungan (UU HT) memberikan amanat bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) bersifat mutlak, maka barulah dapat dibenarkan.
Logikanya, jika ketentuan dalam KUHPerdata membolehkan kuasa mutlak, untuk apa kemudian UU HT kemudian mengatur bahwa SKMHT bersifat mutlak? Jika KUHPerdata membenarkan kuasa mutlak, dimana letak urgensi pengaturan khusus dalam UU HT terhadap SKMHT tersebut?
Jikalau pun kemudian pemberi kuasa beritikad buruk mencabut kuasa sehingga merugikan penerima kuasa karena berbagai pengeluaran telah diderita penerima kuasa, KUHPerdata telah meng-cover kejadian tersebut dengan memberi hak ganti-rugi bagi penerima kuasa selama menjalankan kuasa yang diberikan. Terkecuali potensi keuntungan yang hilang tentunya, masih perlu diperjuangkan lewat mekanisme jalur gugatan dengan proses pembuktian ke hadapan hakim.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.