Penangguhan / Stay 90 Hari dalam Pailit Tidak Berlaku Mutlak

LEGAL OPINION
Question: Apakah masa tangguh (stay) dalam kepailitan mutlak 90 hari?
Answer: Tidak mutlak. Masa tangguh 90 hari ialah jangka waktu maksimum keberlakuan masa tangguh, bukan menjadi ukuran mutlak minimum. Bila hakim pengawas membenarkan usul kurator ataupun kreditor agar masa insolvensi dipercepat, maka penetapan pengadilan dapat mengakhiri masa tangguh lebih cepat kurang dari 90 hari dan seketika masuk dalam keadaan pailit.
EXPLANATION:
Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan): “Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.”
Penjelasan resmi Pasal 56 Ayat (1) UU Kepailitan: “Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum Untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik Kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan.”
Ketika masa stay berakhir, otomatis berlangsung masa insolvensi, dimana kreditor separatis pemegang hak tanggungan/fidusia/hipotek/gadai/resi gudang dapat menggunakan haknya mengeksekusi jaminan kebendaan. Namun, tidak selamanya masa stay adalah 90 hari.
Pasal 178 UU Kepailitan:
(1) Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 106 tidak berlaku, apabila sudah ada kepastian bahwa perusahaan Debitor pailit tidak akan dilanjutkan menurut pasal-pasal di bawah ini atau apabila kelanjutan usaha itu dihentikan.
Artinya, bila debitor dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tidak memiiki rencana perdamaian, maka hakim akan menetapkan “insolvensi” meski masa stay belum genap 90 hari.
Pasal 59 Ayat (1) UU Kepailitan: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1).”
Penjelasan Resmi Pasal 59 Ayat (1) UU Kepailitan: “Yang dimaksud dengan "harus melaksanakan haknya" adalah bahwa Kreditor sudah mulai melaksanakan haknya.”
Maka kesimpulannya sebagaimana tertuang dalam Pasal 57 UU Kepailitan:
(1)   Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1).
(2)  Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada Kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebut.
(3)  Apabila Kurator menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kreditor atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada Hakim Pengawas.
(4)  Hakim Pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterima, wajib memerintahkan Kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui kurir, Kreditor dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk didengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut.
(5)  Hakim Pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Hakim Pengawas.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.