Melawan Seorang Pejabat yang sedang Menjalankan Tugas yang Sah, Dipidanakan

LEGAL OPINION
PERBEDAAN PASAL 211 KUHP DAN PASAL 212 KUHP
Question: Seseorang yang mengaku lawyer/pengacara mengganggu jalannya lelang eksekusi benda jaminan yang sebelumnya diagunkan debitor, dimana debitor tersebut adalah klien dari pengacara yang mengganggu jalannya lelang eksekusi, maka atas tindakannya melawan pejabat lelang selaku aparatur negara adalah merupakan tindak pidana berdasarkan Pasal 211 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) ataukah Pasal 212 KUHP?
Answer: Kedua pasal tersebut dapat diterapkan, hanya saja perbedaannya bila Anda selaku pejabat lelang telah melangsungkan kegiatan lelang namun tiba-tiba seseorang atau suatu pihak mengganggu Anda, maka barulah Pasal 212 KUHP dapat diterapkan. Sementara Pasal 211 KUHP berlaku secara global, dalam arti sebelum Anda melakukan tugas Anda sebagai pejabat lelang pun ada intervensi demikian, maka Pasal 211 KUHP dapat diterapkan. Singkatnya, bagi siapapun yang melawan aparatur negara yang sedang menjalankan tugasnya secara sah, maka ia dapat dikenakan pidana penjara karena melawan aparatur negara.
EXPLANATION:
Pasal 211 KUHP: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Inti delik dari pasal diatas:
-        Memaksa; ß Memaksa disini berarti melakukan tekanan, baik secara fisik maupun psikis.
-        Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; ß sehingga yang dimaksud ialah “memaksa” dengan kekerasan ataupun ancaman kekerasan, sehingga pegawai negari yang dipaksa tidak memiliki pilihan lain selain melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Sementara yang dimaksud dengan “kekerasan” itu sendiri memiliki arti “pemakaian kekuatan atau kekuasaan secara tidak sah”.
-        Yang dipaksa adalah pegawai negeri; ß Pegawai negeri artinya mereka yang diangkat oleh kekuasaan umum yang berwenang untuk melaksanakan jabatan umum yang merupakan bagian dari tugas negara atau orang-orangnya.
-        Dengan tujuan:
a.      Agar pegawai negeri tersebut melakukan suatu perbuatan; ß artinya memengaruhi agar pegawai negeri tersebut melakukan hal yang semestinya secara moral, etika, prosedural teknis, maupun hukum tidak dilakukannya, hanya saja dapat ia lakukan karena memiliki kewenangan sebagai seorang pejabat negara.
b.     Atau sebaliknya, tidak melakukan perbuatan yang sah. ß artinya agar pegawai negeri tersebut melalaikan tugas yang diembannya atau yang diamanatkan hukum kepadanya agar melakukan perbuatan yang sah dan semestinya, namun dibengkalaikannya karena pengaruh tekanan luar.
Jika pihak yang membuat pengaruh daya paksa dilakukan oleh lebih dari satu orang, maka tiap orang itu dipandang melakukan pemaksaan. Perbuatan jabatan artinya, perbuatan yang dilakukan oleh seorang pegawai negari dalam melaksanakan tugas jabatannya.
Yang menarik dan yang mungkin kurang disadari masyarakat, ialah perbuatan jabatan yang dipaksakan tersebut tidaklah harus berupa tindakan yang tidak sah untuk dapat dipidananya si pembuat/dipemaksa. Jadi, berarti bahwa walaupun perbuatan jabatan yang dipaksakan itu sah, karena memang merupakan kewenangan petugas tersebut, pemaksa tetap dapat dipidana. Semisal, membuat seseorang yang semestinya tidak diberikan suatu izin, kemudian oleh pejabat tersebut diberikan izin sesuai kewenangannya.
Sebaliknya, jika pemaksa memaksa si pegawai negeri untuk melalaikan kewajibannya, maka yang perlu dibuktikan ialah bahwa kewajiban pegawai negeri itu adalah memang seharusnya dan wajib ditunaikan. Contoh, bila semestinya suatu tugas bisa dituntaskan pegawai negari tersebut secara seketika, membuatnya menetapkan untuk diselesaikan/diadakan dilain waktu guna memuluskan motif penundaan waktu si pemaksa, atau mungkin membatalkan izin yang semestinya diterbitkannya.
Kini, sampailah kita pada pembahasan yang lebih spesifik.
Hoge Raad pada tanggal 25 Mei 1902 dan 26 Juni 1905 memutuskan: Jika perbuatan jabatan telah dimulai, maka tidaklah dapat dikatakan telah terjadi pemaksaan untuk melalaikan kewajiban tersebut, tetapi berlaku pasal berikutnya, Pasal 212 KUHP. Sebetulnya kaidah putusan Hore Raad tersebut tidak sepenuhnya benar. Contoh, bila seorang pejabat negara sedianya menetapkan untuk mengeluarkan izin atau pelaksanaan pada tgl 5, contoh, lantas karena intervensi luar, lantas menetapkan untuk menundanya menjadi tgl 10, adalah contoh nyata yang sering terjadi dalam praktik di lapangan.

Pasal 212 KUHP: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Dalam Pasal 212 KUHP diatas tidak terdapat kata-kata “melawan hukum” sebagaimana dalam pasal pidana pada umumnya, oleh sebab tiap pemaksaan kepada pegawai negeri memang merupakan perbuatan melawan hukum itu sendiri, terkecuali jika perbuatan pegawai negeri tersebut memang melanggar/melawan hukum. Jika pemaksaan yang dilakukan seseorang guna mencegah pegawai negeri melakukan pelanggaran hukum, sewajarnya bila perbuatan pencegahan tidak disikapi dengan kriminalisasi.
Poin lainnya, syarat pemberlakuan kedua pasal ini, ialah si pelaku mengetahui atau patut menduga bahwa yang ia paksa adalah pejabat/pengawai negeri.

Hoge Raad dalam putusannya tertanggal 27 Februari 1888, W 5526, menegaskan bahwa jika si pembuat keliru mengenai hukum, tidak menjadikan si pembuat tidak dapat dipidana.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.