KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Konsekuensi Hukum Tidak dapat Dibalik-Namakan Sertifikat Kepemilikan dalam Perjanjian Jual Beli yang Telah Ditanda-Tangani

LEGAL OPINION
Question: Bila kami telah mengikat diri dalam kontrak jual beli atas suatu rumah atau tanah, lantas ternyata atas objek jual-beli tersebut tidak dapat diurus balik-nama, maka apakah kemudian kontrak atau perjanjian tersebut gugur dengan sendirinya? Bagaimana dengan hukum beban pembuktian atas kasus jual-beli tanah / rumah?
Answer: Terdapat Putusan Mahkamah Agung Nomor 1103 K/Sip/1972 tanggal 14-5-1973 yang menyatakan bahwa bila perjanjian jual-beli rumah dan/atau tanah mengandung syarat “apabila ternyata bahwa balik-nama atas rumah dan/atau tanah yang bersangkutan itu tidak dapat dilaksanakan”, maka perjanjian jual-beli itu harus dianggap sebagai perjanjian sewa-menyewa untuk jangka waktu 21 (dua puluh satu) tahun, hingga perjanjian termaksud harus dianggap sebagai suatu perjanjian bersyarat, yang syaratnya merupakan suatu syarat penghapusan/batal. Namun penulis menilai, bila tidak terdapat syarat demikian dalam klausul perjanjian, maka perjanjian tersebut batal demi hukum dengan sendirinya karena tidak terpenuhinya unsur objektif causa yang sahih syarat sah perjanjian vide Pasal 1320 KUHPerdata karena sifatnya masih kondisional/bersyarat "dapat dibalik-nama". Untuk itu hendaknya kontrak jual-beli atau yang biasa disebut dengan Akta Jual-Beli ataupun Pengikatan Perjanjian Jual-Beli, perlu diatur dengan tegas hal tersebut.
EXPLANATION:
Guna mempertegas, dapatlah disepakati klausul dalam kontrak yang menyatakan bahwa “bilamana balik-nama atas Objek tidak dapat terjadi secara seketika dan sekaligus, maka perjanjian ini dianggap batal dan dalam 7 x 24 jam pihak Penjual wajib mengembalikan Uang Pembelian kepada Pembeli, dan Pembeli akan mengembalikan Objek Jual-Beli pada Penjual. Dengan ditegaskannya demikian, maka dapat menghindari sengketa hukum yang berlarut-larut antara penjual dan pembeli.
Sementara bila terjadi sengketa jual-beli, sebagai contoh, dimana pihak pembeli mendalilkan bahwa ia belum menerima seluruh barang yang dibelinya menurut kontrak, sedang pihak penjual membantah dengan mengemukakan bahwa ia telah menyerahkan seluruh barang yang dijual-belikan. Pihak pembeli harus dibebani pembuktian mengenai adanya kontrak dan pembayaran yang telah dilakukan sedang pihak penjual mengenai barang-barang yang telah diserahkan (Putusan MA Nomor 197 K/Sip/1956). Namun, bila konteksnya dalah tiada dapatnya hak kepemilikan atas tanah dan/atau bangunan dibalik-nama, maka beban pembuktian menjadi proporsional, dalam arti siapa yang mendalilkan, maka ia yang wajib membuktikan, sebagaimana diatur dalam asas hukum umum pembuktian perdata.
Pernah terjadi, suatu modus usaha properti tidak sehat, sebagaimana pernah SHIETRA & PARTNERS jumpai, dimana pihak penjual ruko tidak juga segera mengurus Akta Jual Beli guna dibalik-namakan pada pihak pembeli meski harga telah dibayar lunas, dengan tujuan agar disuatu hari pihak pembeli komplain dan meminta agar jual-beli dibatalkan dengan uang yang telah dibayarkan dikembalikan pada pembeli.
Penjual properti dalam hal ini menunggu kesempatan tersebut, karena modus utamanya ialah menuai untung naiknya harga properti saat uang pembeli dikembalikan. Sebagai contoh, pembeli membeli rumah toko (ruko) seharga tiga miliar Rupiah, yang beberapa tahu kemudian harga pasaran tanah melonjak hampir dua kali lipat. Maka, sekalipun dana pembeli dikembalikan utuh 100%, sejatinya pembeli dalam hal ini telah dirugikan atas modus demikian.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sendiri mengatur secara tegas, bahwa pihak penjual dibebani kewajiban bahwa apa yang dijualnya bebas dari "cacat tersembunyi", dan penyerahan / penguasaan objek fisik maupun yuridis jual-beli bebas dari sengketa. Bila ternyata terjadi kendala dalam proses finalisasi jual-beli karena tak dapat dibalik-namakan, maka sejatinya dalam hal ini pihak penjual bertanggung jawab baik secara moril maupun secara hukum.
Masyarakat umum hendaknya bersikap waspada, mengingat berbagai modus properti terjadi secara masif dan kecurangan demikian masih belum tersentuh oleh aparat penegak hukum. Kewaspadaan dan kecermatan calon pembeli adalah penting dalam hal ini, karena adalah hal yang sukar untuk bergantung pada itikad baik pihak penjual.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.