Choise of Forum yang Dinistakan Hakim Pengadilan Negeri hingga Hakim Agung

ARTIKEL HUKUM
Permasalahan : Sering kita dengar bagaimana kotornya lembaga peradilan, bahkan Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan yang bergelar agung pun dapat kita buktikan bahwa para “hakim agung” tidak seagung gelar untuk sebutan mereka. Bukti tak terbantahkan ialah lewat eksaminasi terhadap putusan-putusan Mahkamah Agung. Penyimpangan secara vulgar, alias pemerkosaan terhadap hukum, dan satu julukan yang dapat kita berikan untuk praktik peradilan di Indonesia: peradilan yang sesat.
Isu Hukum Singkat: Memang benar bahwa permohonan dengan gugatan adalah dua ranah yang berbeda, dimana bila gugatan adalah sengketa dua pihak sementara permohonan bersifat satu pihak belaka (meski secara hukum kapailitan termasuk ranah permohonan, yang anehnya bentuk substansinya juga berwujud sengketa para pihak, antara kreditor dan debitor). Guna memitigasi/mengantisipasi/menutup celah konstruksi hukum sesat yang dapat dimainkan oleh peradilan, bila Anda berkedudukan sebagai kreditor, bilamana sewaktu-waktu Anda hendak mem-pailitkan debitor Anda, maka satu hal yang tidak boleh terlewat dalam akta perjanjian kredit: klausul mengenai pilihan domisili hukum bila terjadi proses pemailitan terhadap debitor. Contoh, klausul tambahan selain domisili hukum bila terjadi sengketa (dalam hal terjadi gugatan), maka perlu diatur pula pilihan domisili hukum bila terjadi permohonan pailit, ialah sebagai berkut: “Kreditor dapat mengajukan permohonan untuk memailitkan Debitor pada Pengadilan Niaga…” Sehingga tidak lagi celah hukum untuk menafsirkan lain ketentuan Pasal 3 UU Kepailitan.
EXPLANATION :
STUDI KASUS PERKARA PERDATA KHUSUS KEPAILITAN, PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI oleh MAHKAMAH AGUNG No. 84 PK/Pdt.Sus/2011 tanggal 26 Juli 2011.
RESUME:
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya No. 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST tangga l6 Oktober 2010 memutuskan, “Mengabulkan permohonan pernyataan pailit para Pemohon Pailit untuk seluruhnya; Menyatakan Termohon Pailit yaitu PT. MESTIKA SAWIT INTIJAYA pailit dengan segala akibat hukumnya…
PT. BANK CIMB NIAGA Tbk (Kreditor) adalah salah satu pemohon pailit. Kronologi kasusnya, berdasarkan akta perjanjian kredit antara Kreditor dan Debitor, disepakati domisili hukum penyelesaian sengketa pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Ketika Kreditor hendak mem-pailitkan Debitor di PN Jakarta Pusat yang mana juga terdapat Pengadilan Niaga sebagai lembaga peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara niaga, justru Mahkamah Agung dalam putusan kasasi maupun PK menyatakan bahwa yang berwenang memutus bukanlah PN Jakarta Pusat, melainkan PN Medan dimana Debitor berdomisili.
Adapun amar putusan Kasasi oleh Mahkamah Agung RI No. 962 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 19 Januari 2011 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: PT. MESTIKA SAWIT INTIJAYA HELMI dan Pemohon Kasasi II: WILENDY, tersebut.
Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 65/Pailit/2010/PN.Niaga.JKT.PST tanggal 6 Oktober 2010.
MENGADILI SENDIRI :
Menyatakan permohonan pernyataan pailit dari Para Pemohon Pailit tersebut tidak dapat diterima. 
Menghukum Para Termohon Kasasi / Para Pemohon Pailit untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah ).

Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan Kembali (PK), menolak permohonan PK yang diajukan oleh kreditor pemohon pailit, dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa pasal 7.4 perjanjian kesepakatan bersama mengenai penyelesaian pinjaman yang telah menunjukdomisili hukum pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, halmana berlaku mengikat apabila terjadi sengketa wanprestasi dari kedua pihak tentang hutang piutang tersebut:
Bahwa pilihan hukum pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam penyelesaian pinjaman tertanggal 22 Desember 2009 tidak dapat diperlakukan dalam hal untuk mengajukan permohonan kepailitan, karena tentang permohonan kepailitan telah diatur dalam pasal 3 Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU, dengan demikian putusan kasasi Mahkamah Agung aquo tidak menunjukan adanya kekeliruan sebagaimana maksud pasal 67 huruf f Undang- Undang No. 14 Tahun 1985 jo . Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jo . Undang-Undang No. 3 Tahun 2009.”
Sekarang kita tinjau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), sebagai berikut:
 (1) Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor. ß Ayat ini sebenarnya hanya menegaskan bahwa Pasal 118 HIR tidak berlaku untuk kasus kepailitan, dimana hanya kedudukan debitor yang menjadi yurisdiksi pengadilan niaga untuk memeriksa dan mengadili, bukan tempat objek sengketa berada untuk alternatif yurisdiksi. Dengan catatan bila antara debitor dan kreditor tidak mengikat diri dalam kontrak pilihan domisili hukum ketika terjadi sengketa. Namun, sebagaimana asas hukum umum tentang kesepakatan, yang berlaku ialah pacta sunt servanda, bila terdapat perjanjian pilihan domisili hukum, artinya berlaku mutlak dan imperatif Pasal 1338 KUHPerdata: bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya—alias, bila telah terdapat klausul pilihan domisi hukum yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian tersebut (choise of forum), maka yang berlaku ialah pilihan para pihak tersebut, bukan Pasal 118 HIR maupun ketentuan ayat (1) Pasal 3 UU Kepailitan ini.
(2) Dalam hal Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor.
(3) Dalam hal Debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.
(4) Dalam hal debitur tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia.
(5) Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.
Sementara itu Penjelasan resmi dari Pasal 3 UU Kepailitan berbunyi:
Ayat (1): “Yang dimaksud dengan "hal-hal lain", adalah antara lain, actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana Debitor, Kreditor, Kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya. Hukum Acara yang berlaku dalam mengadili perkara yang termasuk "hal-hal lain" adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit termasuk mengenai pembatasan jangka waktu penyelesaiannya.”
Ayat (3): “Dalam hal menyangkut putusan atas permohonan pernyataan pailit oleh lebih dari satu pengadilan yang berwenang mengadili Debitor yang sama pada tanggal yang berbeda, maka putusan yang diucapkan pada tanggal yang lebih awal berlaku. Dalam hal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan oleh Pengadilan yang berbeda pada tanggal yang sama mengenai Debitor yang sama, maka yang berlaku adalah putusan Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum Debitor.” ß Bukti ini menjadi tidak terbatahkan lagi, bahwa Pasal 3 Ayat (1) UU Kepailitan tidak berlaku mutlak bahwa yang berwenang mengadili ialah Pengadilan Niaga di tempat kedudukan debitor, karena bila dalam konteks terdapat perjanjian choise of forum yurisdiksi pengadilan yang berwenang mengadili sebagai kompetensi relatifnya, maka diaturlah sebagaimana bunyi Ayat (3) ini.
Berdasarkan uraian diatas, menjadi terang dan jelas bahwa putusan Mahkamah Agung, dapat menjadi bentuk dari peradilan yang sesat. Guna mengantisipasi hal demikian terjadi kembali dikemudian hari, kreditor perlu meninjau ulang kontrak standar bakunya, khususnya dalam bab/pasal mengenai pilihan yurisdiksi pengadilan yang berwenang mengadili dan memutus, agar dievaluasi hingga berbunyi sebagai berikut: “Para Pihak sepakat untuk hanya memilih domisili hukum pada Pengadilan Negeri … sebagai satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara sengketa perdata, dan/atau Pengadilan Niaga … sebagai satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara kepailitan.”

Keterangan: Sebagai tambahan informasi, bentuk klausul yang SHIETRA & PARTNERS sarankan tersebut, terutama yang bergaris bawah, tidak pernah penulis temui selama ini. Namun, sejauh pengamatan penulis pada UU Kepailitan sebagaimana telah diuraikan diatas, sebetulnya bentuk klausul pada umumnya tentang domisi hukum bila terjadi sengketa, sudah cukup jelas bahwa hanya pengadilan tersebut yang berwenang memeriksa dan memutus sebagai kompetensi relatif yurisdiksi pengadilan. Namun, bila kasusnya sebagai berikut: Pilihan Domisili Hukum dalam perjanjian disepakati PN Jakarta Barat, sementara Pengadilan Niaga di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat di PN Jakarta Pusat, maka pengadilan yang berwenang mengadili ialah Pengadilan Niaga Medan bila Debitor yang akan dipailitkan berkedudukan di Medan.


© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.